Menimbang Ijtihad Ilmiah Waktu Shubuh


Thomas Djamaluddin

Profresor Riset Astronomi-Astrofisika, BRIN

Anggota Tim Hisab Rukyat, Kemenag

Shaum atau puasa Ramadhan diawali sejak shubuh. Imsak hanyalah waktu persiapan menahan diri, 10 menit sebelum shubuh. Namun, mungkin ada yang bertanya atau bingung ketika menerima jadwal imsakiyah versi Muhammadiyah yang kini tersedia internet atau mungkin dibagikan di WAG. Jadwal shubuhnya sekitar 8 menit lebih lambat dari pada jadwal Kemenag. Perlu hati-hati dalam menggunakan jadwal imsakiyah yang beredar. Fahami dulu dasarnya, agar tidak sekadar mengikuti tanpa memahami.

Muhammadiyah mengubah kriteria waktu shubuh pada 2021, dari ketinggian matahari -20 derajat (seperti jadwal shalat Kemenag) menjadi -18 derajat. Perbedaan 2 derajat berarti waktunya berbeda sekitar 8 menit. Berikut ini pokok-pokok dasar putusan Muhammadiyah sehingga menetapkan jadwal waktu shubuhnya 8 menit lebih akhir dari jadwal Kemenag. Juga analisis astronomis atas putusan tersebut. Serta perbandingan dengan data yang diperoleh Kemenag dan hasil riset doktoral.

Dasar Keputusan Muhammadiyah

Analisis Astronomis

Muhammadiyah mendasarkan pada rujukan kitab-kitab klasik, abad 10 – 20 M. Semuanya menyatakan waktu shubuh mulai saat matahari pada ketinggian -18 sampai -19 derajat, tanpa mempertimbangkan lokasi rujukannya. Sebenarnya, waktu fajar atau shubuh berbeda-beda. Di wilayah dekat kutub, shubuh mulai pada ketinggian matahari sekitar -15 derajat. Dekat ekuator, seperti Mesir, shubuh berawal pada saat posisi matahari -19,5 derajat. Jadi wajar di Indonesia posisi matahari saat shubuh adalah -20 derajat. Secara fisis itu bisa difahami, karena di wilayah ekuator atmosfer paling tebal. Akibatnya, hamburan cahaya terjadi ketika posisi matahari paling rendah. Berikut ini tabel jadwal shubuh di beberapa wilayah/negara dari aplikasi jadwal shalat, seperti http://www.islamicfinder.com.

Data pengamatan oleh tim UMSU, UAD, dan UHAMKA, semuanya terpengaruh oleh polusi cahaya dan tidak ada pemilahan kondisi polusi cahaya di wilayah pengamatan. Sedangkan data pengamatan di Malaysia belum diketahui kualitas langit di lokasi pengamatan. Jadi sebenarnya, tidak ada bukti yang kuat dari hasil pengamatan tiga tim yang membantah kriteria Kemenag. Data ketinggian matahari yang lebih tinggi -16,48 sampai -7 derajat diduga kuat karena terpengaruh polusi cahaya, selain karena mengarahkan alat pemantau SQM ke arah zenit, bukan ke arah ufuk timur.

Penelitian Kemenag dan Mahasiswa Doktoral

Tim Kemenag sudah dua kali melakukan pengamatan awal fajar di lokasi yang jauh dari polusi cahaya. Sensor SQM diarahkan ke ufuk timur. Pertama, pada 24 – 25 April 2018 di Labuang Bajo. Pengamatan ke dua di kawasan Observatorium Nasional Timau, Kupang pada 29 Agustus 2022. Semuanya menunjukkan awal fajar astronomi terjadi pada ketinggian matahari -20 derajat.

Ada juga riset doktoral oleh Dr. Basthoni yang menganalisis 285 kurva cahaya fajar dari berbagai daerah di Indonesia. Riset ini memilah lokasi pengamatan menjadi daerah gelap (jauh dari polusi cahaya), agak gelap (sedikit terpengaruh polusi cahaya), dan terang (terpolusi cahaya). Sebagian hasilnya dibahas di blog ini. Hasilnya, rata-rata posisi matahari saat fajar muncul di daerah gelap adalah -19,40 ± 0,53 derajat. Artinya, ketinggian paling rendah sekitar -20 derajat. Hasil riset ini membuktikan bahwa kriteria Kemenag untuk waktu shubuh pada posisi matahari -20 derajat didukung bukti pengamatan yang kuat dan sahih.

Tinggalkan komentar