Demi Titik Temu: Cukupkan Ijtihad Dalil Fikih, Kembangkan Ijtihad Kriteria Ilmiah

Thomas Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, BRIN

Anggota Tim Hisab Rukyat, Kemenag

Masih banyak yang menduga perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha karena perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan) hilal. Dan masih banyak yang mengira hisab itu hanya menggunakan kriteria wujudul hilal. Metode dirancukan dengan kriteria.

Saya coba menjelaskan dengan diagram sederhana ranah ijtihad (pemikiran sungguh-sungguh berdasarkan dalil dan ilmu untuk menjawab masalah hukum ibadah) yang ditunjukkan di atas. Masalah metode adalah ranahnya ijtihad dalil fikih. Masalah kriteria adalah ranahnya ijtihad kriteria ilmiah. Debat soal dalil rukyat atau hisab sudah berlangsung ratusan tahun tanpa solusi. Namun dialog tentang kriteria ada peluang mencapai titik temu. Menurut Rasul, dalam menghadapi masalah-masalah baru, yang belum secara tegas dan rinci diajarkan Allah di dalam AlQuran dan sunnah rasul, maka berijtihadlah. Kalau benar dapat dua pahala. Kalau pun salah masih dapat satu pahala. Dengan ijtihad kita bisa upayakan titik temu demi terwujudnya ukhuwah islamiyah (persaudaraan Islam) dan kesatuan ummat.

Perbedaan memaknai banyak hadist dan beberapa ayat AlQuran tentang penetapan awal dan akhir puasa Ramadhan memunculkan ijtihad atas dalil-dalil fikih. Hadits perintah berpuasa ada yang memaknai harus dengan rukyat, namun ada juga yang menganggap bisa atau bahkan seharusnya diganti dengan hisab. Semakin digali dalil-dalilnya, semakin menjauh perbedaan pendapat tentang rukyat dan hisab. Maka cukupkanlah ijtihad dalil fikih. Kita terima kenyataan adanya madzhab rukyat dan madzhab hisab yang tidak bisa dipersatukan.

Namun kondisi sekarang berubah. Dulu rukyat bisa langsung diterima tanpa verfikasi. Sementara hisab dianggap rumit sehingga menggunakan kriteria paling sederhana. Sekarang rukyat dengan atau tanpa alat perlu verifikasi, karena kemungkinan keliru mengidentifikasi hilal yang sangat tipis sangat terbuka. Sementara ilmu hisab terus berkembang dengan algoritma yang makin akurat namun terbantu teknologi komputasi yang makin canggih. Untuk verifikasi perlu kriteria. Untuk menentukan masuknya tanggal dari parameter hisab juga perlu kriteria. Baik madzhab rukyat maupun madzhab hisab perlu berijtihad tentang kriteria. Maka yang perlu kita kembangkan saat ini adalah ijtihad kriteria secara ilmiah.

Ijtihad kriteria ilmiah didasarkan pada pemikiran berbasis ilmu falak atau astronomi. Definisi hilal sebagai batasan awal bulan hijriyah, khususnya Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, prinsipnya bisa didialogkan agar sinkron. Kriteria parameter posisi bulan sebagai batasan masuknya tanggal untuk kalender mestinya bisa kompatibel dengan kriteria untuk verifikasi rukyat. Ya, sesederhana itu cara untuk menuju titik temu demi ukhuwah dan kesatuan ummat. Yang diperlukan hanyalah pemahaman fisis astronomis dan keikhlasan karena Allah.

Terkait upaya menuju titik temu, saya mengomentari tulisan tokoh muda Muhammadiyah berikut ini:
https://oif.umsu.ac.id/2023/03/wujudul-hilal-versus-imkan-rukyat-mabims-3-6-4/

Debat soal dalil hisab dan rukyat kita cukupkan, karena sudah ratusan tahun tetap tidak ada hasilnya. Kita hormati eksistensi madzhab hisab dan madzhab rukyat. Itulah implementasi moderasi beragama dalam konteks hisab rukyat.

Madzhab hisab dan madzhab rukyat tidak bisa dipersatukan, namun bisa dipertemukan dalam konteks kriteria sabagai produk ijtihad ilmiah. Cobalah dialogkan kriteria bersama yang bisa untuk membuat kalender, tetapi kompatibel untuk verifikasi rukyat.

Kriteria wujudul hilal (WH) memang usang. Dari segi konsep, piringan atas bulan yang masih menyembul di atas ufuk bukanlah hilal. Lagi pula konsep WH tidak ada lagi yang menggunakannya, kecuali Muhammadiyah. Arab Saudi hanya menggunakannya untuk kalender sipil. Untuk ibadah, Arab Saudi menggunakan rukyat.

Kriteria Imkan Rukyat (IR) adalah kriteria modern yang dinamis. Dulu kriteria IR yang paling sederhana adalah ijtimak qobla ghurub (konjungsi sebelum maghrib) lalu dilanjutkan WH. Semuanya kemudian ditinggalkan beralih ke kriteria 2-3-8 (tinggi bulan minimal 2 derajat dan elongasi minimal 3 derajat atau umur bulan 8 jam). Namun kemudian kriteria 2-3-8 dikritisi. Maka beralih ke kriteria 3-6,4 (tinggi bulan minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat). Di dunia banyak lagi pilihan kriteria IR: kriteria Ilyas, Yallop, Shawkat, SAAO, Odeh, dan lainnya. Semuanya mendasarkan pada data astronomi modern.

Ketika semua ormas Islam bersepakat dengan kriteria 2-3-8 pada awal 1990-an dan ditegaskan lagi pada 2011, Muhammadiyah tetap bersikukuh dangan WH. Ketika Persis dan NU bersepakat dangan kriteria 3-6,4 dengan penyesuaian, tokoh-tokoh Muhammadiyah hanya mencela aspek proses penetapan dan sosialisasi serta “bertepuk tangan” dengan adanya perbedaan geosentrik-toposentrik. Sama sekali tidak ada itikad Muhammadiyah untuk mencari titik temu.

Dialog itu untuk mencari titik temu. Bukan sekadar ngobrol tanpa tujuan. Dialog antar-pakar ormas dan pemerintah itu sudah panjang, sekitar 30 (tiga puluh) tahun, bukan dialog last minute. Perbedaan elongasi toposentrik dan geosentrik akhirnya bisa diperoleh titik temu dari dialog tanpa kehadiran wakil Muhammadiyah. Lalu apa makna “dialog yang simultan dan terencana” yang digagas seolah baru bangun tidur? Keengganan Muhammadiyah untuk berdialog hanya disebabkan terlalu kuatnya ego organisasi yang bangga dengan kebesaran dan sejarah ormasnya. Ayolah berdialog secara positif menuju titik temu, bukan melompat membanggakan produk kriteria Turki.

Kalau Muhammadiyah mau Kalender Islam Global seperti rekomendasi Muktamar Makassar 2015, ayolah dialogkan bersama ormas2 Islam dan Pemerintah RI. Rekomendasi Jakarta 2017 pun digagas mengarah ke Kalender Islam Global dan sdh diusulkan ke OKI (Organisasi Kerjasama Islam). Bagaimana pun, implementasi suatu sistem kalender bergantung pada otoritasnya, bukan berdasarkan klaim sepihak. Pemerintah RI menetapkan Kalender Hijriyah Standar Indonesia sesuai dengan kapasitas sebagai otoritas nasional. Kesepakatan empat negara MABIMS (forum Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) merupakan awal kalender regional. Kalau nanti disetujui negara-negara Islam di bawah OKI, suatu sistem kalender (apa pun kriterianya) barulah bisa diimplementasikan sebagai Kalender Islam Global.