Diskusi tentang Unifikasi Kalender Islam dan Strategi Mewujudkannya

T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

Anggota Tim Unifikasi Kalender Hijriyah Indonesia, Kemenag RI

Diskusi di Grup WA Asosiasi Dosen Falak Indonesia (ADFI) pada awal September 2021 sayang untuk tidak didokumentasikan. Ada diskusi yang dianggap hangat, namun masih dalam batas yang wajar. Dokumentasi diskusi ini saya kelompokkan berdasarkan topik, walau sebenarnya diskusi mengalir begitu saja tanpa topik tertentu. Diskusi biasanya berawal dari suatu pemikiran yang kemudian ditanggapi.

Dokumentasi ini saya salin seperti apa adanya (termasuk singkatan-singkatan yang lazim di WA). Kecuali perbaikan typo dan beberapa yang saya hapus, yaitu frase yang menyebut orang atau bukan hal yang substantif terkait bahasan. Dokumentasi ini menekankan pada substansi pemikiran, sehingga nama peserta diskusi hanya saya tuliskan inisialnya. Tanggapan saya berinisial TD (Thomas Djamaluddin).

Tentang Titik Temu Rukyat dan Hisab

SA:

TD:

Pola pikir tipikal “pengamal hisab” yg tdk menghargai kenyataan di masyarakat adanya “pengamal rukyat”. Bagi pengamal rukyat, rukyat bil fi’li atau bil ‘ain adalah bagian ta’abudi. Sesungguhnya kriteria [3-6,4] digagas berdasarkan batas minimal utk rukyat. Idealnya menggunakan kriteria optimistis dg rujukan best time (tinggi lebih dari 5 derajat dan elongasi lebih dari 8 derajat seperti kriteria Turki). Tetapi kriteria optimalistik pd RJ2017 dipilih sbg usulan titik temu agar tdk melompat terlalu jauh dari kriteria saat ini (tinggi minimal 2 derajat oleh NU dan WH oleh Muhammadiyah).

SA:

Mohon maaf, apa jenengan memahami apa yang dimaksud dengan “ru’yat bi al-Imi”?. Sekiranya masih ragu tidak salah kalau ditanyakan terlebih dahulu dan jangan tergesa-gesa membuat stigma. Terkesan jenengan pemegang “otoritas tunggal” di WAG ini sehingga yang lain takut dan tidak berkesempatan memberi pandangan. Tradisi semacam ini kurang baik.

TD:

Terminologi “rukyat bil ilmi” bukan terminologi baru. Saya sdh terbiasa yg terminologi itu yg disampaikan teman2 pengamal hisab, baik dari Muhammadiyah maupun Persis.

Saya jelas bukan pemegang otoritas tunggal. Namun, diskusi soal unifikasi kalender bukan hal baru. Saya sdh sering berdiskusi dan menuliskan gagasan sejak 1980-an. Sering berdiskusi dlm satu forum dg teman2 NU, Muhammadiyah, Persis, dan beberapa ormas lainnya.

SA:

Sebaiknya tidak merasa sudah terbiasa dan mengerti dengan istilah “ru’yat bil ilmi”. Barangkali ada sesuatu yang berbeda yang tidak terpikirkan oleh jenengan. Disinilah perlunya saling memahami sehingga bisa saling berbagi. Untuk itu mohon dijelaskan apa yang jenengan maksud dengan “ru’yat bi al-Ilm

TD:

Definisi yg sdh umum saya dengar dari teman2 pengamal hisab, “rukyat bil ‘ilmi” adalah analisis berbasis ilmu hisab (bil ‘ilmi) bahwa hilal sdh dianggap bisa dirukyat. Dg kata lain, rukyat bil ‘ilmi adalah hisab dg kriteria imkan rukyat. Kriteria minimal adalah WH, dg anggapan kalau bulan blm terbenam saat sdh ijtimak, dianggap hilal sdh wujud. Walau sebenarnya blm ada cahaya hilal.

Saat dialog di kantor PP Muhammadiyah di Yogya (bersama Tim Salman ITB) seorang tokoh Muhammadiyah yg hadir menyebutkan hisab dg kriteria imkan rukyat itu sama halnya “rukyat jangka panjang” karena berdasarkan data jangka panjang. Saya setuju dg definisi tsb. Saya kira ini salah satu jalan titik temu. Bisa diusulkan kpd teman2 pengamal rukyat, bahwa perlu mempertimbangkan rukyat jangka panjang (dg kriteria imkan rukyat), bukan hanya rukyat sesaat yg banyak gangguannya (seperti rukyat akhir Muharram/awal Shafar 1443 lalu).

KF:

Artinya, keputusan NU untuk itsbat: Mengikuti selama sesuai dengan sesuai dg rukyat ya?

TD:

Ya, satu sisi saya mengajak saudara2 pengamal hisab utk memahami saudara2 pengamal rukyat seperti diskusi sebelumnya.

Pd sisi lain, saya juga mengajak saudara2 pengamal rukyat utk memahami ajakan saudara2 pengamal hisab utk bergeser ke “rukyat bil ‘ilmi”.

Kasus penentuan awal Shafar 1443 bisa jadi pelajaran. Dg posisi hilal yg cukup tinggi, bahkan sdh memenuhi kriteria RJ2017, [3-6,4], ternyata seluruh perukyat menyatakan tdk melihat hilal karena mendung. Kalau merujuk Fatwa MUI 1981, bila ahli hisab menyatakan bisa dirukyat, maka itu bisa dijadikan putusan. Namun Lembaga Falakiyah PBNU memutuskan istikmal, sehingga awal Shafar 1443 berbeda dg kalender. Perbedaan ini tentu mengkhawatirkan. Seolah percuma kesepakatan kriteria kalau akhirnya dipatahkan dg rukyat sehari.

Beralasan usulan seorang tokoh senior Muhammadiyah saat pertemuan Tim Salman ITB bersama MTT Muhammadiyah pd 2019 yg menyatakan mestinya kriteria imkan rukyat bisa dianggap sebagai rukyat jangka panjang. Jadi, ketika terjadi kasus seperti awal Shafar 1443, tdk harus istikmal tetapi merujuk pd data rukyat jangka panjang berupa kriteria imkan rukyat. Artinya, tdk mengabaikan rukyat (sesuai prinsip ta’abudi), tetapi bisa tetap bersatu dg saudara2 pengamal hisab.

Tentang Rekomendasi Jakarta 2017 (RJ 2017)

SA:

MEMBACA ULANG REKOMENDASI JAKARTA 2017/1438

—- Bagian pengantar dipenggal, langsung pada bagian substansi —–

Dalam Rekomendasi Jakarta 2017/1438 poin pertama dinyatakan bahwa Rekomendasi Jakarta 2017/1438 pada prinsipnya merupakan perbaikan dan/atau penyempurnaan, serta dapat menjadi pelengkap kriteria Istanbul Turki 2016/1437 dengan melakukan modifikasi kriteria elongasi minimal 6.4 derajat dan tinggi minimal 3 derajat dengan markaz kawasan Barat Asia Tenggara. Bagi kelompok yang menolak, penetapan markaz ini dianggap sebagai titik kelemahan.

Dengan kata lain penempatan markaz kawasan Barat Asia Tenggara hanya semata-mata untuk kepentingan kawasan dan masih berpikir zona padahal kalender Islam global meniscayakan keterpaduan dan tidak membatasi wilayah yang sudah memenuhi visibilitas hilal di belahan bumi manapun. Dengan demikian konsep kalender Islam hasil Rekomendasi Jakarta 2017/1438 belum dapat dikategorikan sebagai kalender Islam global. Namun baru sebatas kalender Islam kawasan (regional).

Memperhatikan realitas di atas, lalu bagaimana langkah terbaik untuk mewujudkan penyatuan kalender Islam, khususnya di Indonesia, apatah tetap menjadikan hasil Rekomendasi Jakarta 2017/1438 sebagai pilihan meskipun penggunaannya akan menimbulkan masalah baru dan semakin banyak perbedaan yang akan terjadi sekiranya ormas-ormas Islam tetap bertahan dengan kriteria yang dimiliki.

TD:

– Hal prinsip yg digagas pd Rekomendasi Jakarta adalah mencari titik temu pengamal rukyat dan hisab.

– Pengamal hisab tdk mempertimbangkan markaz, karena hanya fokus pd awal bulan sesuai dg kriteria yg ditetapkan. Bagi pengamal hisab, kriteria tanpa mempertimbangkan rukyat pun bisa digunakan, seperti kriteria ijtimak qabla ghurub dan wujudul hilal. Pola pikir pengamal hisab diwakili oleh  Muhammadiyah.

– Pengamal rukyat, menggunakan kalender sekaligus sbg panduan rukyat. Markaz diperlukan karena kriteria imkan rukyat mestinya juga selaras dg hasil rukyat. Artinya, markaznya tdk terlalu jauh dari wilayah lokasi rukyat. Markaz pun harus memenuhi wilayah otoritasnya sesuai dg konsep wilayatul hukmi. Pola pikir pengamal rukyat diwakili Nahdlatul Ulama.

– Rekomendasi Jakarta menjadi titik temu pengamal rukyat dan hisab dg menggunakan kriteria visibilitas hilal berbasis data astronomi dan menentukan markaz dlm wilayah otoritas negara2 Asia Tenggara dg penduduk Muslim terbanyak.

– Dlm konsep rukyat, bila wilayah timur sdh ada kesaksian rukyat, maka wilayah barat bisa mengikutinya. Maka markaz di kawasan barat Asia Tenggara memungkinkan konsep kalender RJ menjadi kalender global.

– Konsep KIG ala Turki tdk bisa diterima pengamal rukyat, karena markaznya di mana pun. Ketika sdh memenuhi kriteria di benua Amerika, di Indonesia bulan masih di bawah ufuk. Jadi tdk mungkin ada kesaksian hilal.

SA:

Menurut pandangan saya sebelum berbicara kriteria, otoritas dll. Perlu dipahami struktur masyarakat muslim Indonesia yang memiliki keunikan tersendiri. Untuk itu aspek historis, sosiologis, filosofis, yuridis,  astronomis dll perlu memperoleh perhatian secara seimbang.

Lalu bagaimana nasib RJ 1438/2017? Kita hargai sebagai “karya bersama”. Namun masih ada ruang untuk mengkritisi dan memperbaiki karena belum diimplementasikan. Disinilah perlu kerja secara sistematis dan terukur.

Terima kasih atas perhatian dan masukan yang disampaikan.

SA:

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada jenengan. Terkesan sekali jenengan kurang memahami alur pemikiran yang ada dalam gambar tersebut sehingga tergesa-gesa lari ke implementasi KIG Turki 1437/2016.

Dalam kasus KIG 1437/2016 dan RJ 1438/2017  sudah saya jelaskan keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Hal ini tergantung pendekatan yang digunakan.

Sementara itu, jika diperhatikan penjelasan jenengan dalam berbagai forum tentang RJ 1438/2017 maka terkesan ada distorsi dan “memaksakan diri”. Dengan kata lain RJ 1438/2017 harga mati.

Misalnya, sering dikatakan untuk mewujudkan kalender Islam yang mapan ada tiga syarat yang harus dipenuhi sekaligus, yaitu (1) adanya kriteria yang tunggal, ((2) adanya kesepakatan batas tanggal, dan (3) adanya otoritas tunggal.

Patut diketahui dalam RJ 1438/2017 ada tiga hal penting yang jarang jenengan singgung, yaitu (1) kriteria tunggal diperhalus menjadi kriteria standar, (2) otoritas tunggal diganti menjadi pemegang kewenangan, dan (3) ini adalah hasil kongkrit seminar yang tentu saja belum punya daya ikat kepada siapa saja sehingga disepakati oleh pemegang otoritas.

Tiga poin penting di atas, khususnya perubahan poin 1 dan 2 secara sosiologis memiliki implikasi dan  menunjukkan bahwa RJ 1438/2017 masih terbuka untuk didiskusikan dan jangan anti wacana dalam WAG ini.

Wa Allahu A’lam bi as-Sawab.

TD:

RJ 2017 adalah rumusan Seminar Internasional yg dianggap sebagai salah satu usulan yg bersesuaian dg keputusan teknis MABIMS. Tentu usulan itu masih terbuka utk disempurnakan. Itulah yg diharapkan. Tetapi sampai sekarang blm ada yg mengkritisi dg alternatif solusi.

Usulan kriteria [3-6,4] apa pun sebutannya (tunggal, standar, …) blm ada yg memberikan tawaran alternatif. Otoritas tunggal atau pemegang kewenangan atau ulil amri hanya ditanggapi “tdk setuju ada otoritas”. Padahal dlm sejarah, kalender selalu dikaitkan dg otoritas tertentu. Kalender Islam pertama ada karena ada Khalifah Umar bin Kattab. Reformasi kalender Masehi 1582 karena ada Kaisar/Paus Gregorius. Kalender Ummul Quro juga ditetapkan oleh suatu otoritas. KIG Turki juga tdk terlepas dari peran Pemerintah Turki.

Ayo RJ2017 dikritisi dan disempurnakan. Bila perlu, usulkan alternatif utk menuju titik temu.

SA:

Mungkin jenengan lupa pada Muker kemaren di Yogyakarta kita diminta menyampaikan “Prospek KIG Turki 1437/2016 dan RJ 1438/2017”, saat itu saya memberikan catatan kelebihan dan kekurangan keduanya sekaligus memberikan alternatif untuk menuju titik temu yaitu Sintesa antara KIG dan RJ.    Bagaimana bentuk operasional nanti bisa didiskusikan kembali.

TD:

Saya blm baca gagasan “Sintesa antara KIG dan RJ”. Yg sdh saya baca, makalah yg tetap membela KIG Turki, tanpa melihat realitas adanya pengamal rukyat di Indonesia. Makalah tsb juga mengindikasikan blm difahaminya konsep kriteria imkan rukyat (karena tdk terbiasa kriteria rukyat) dg menjadikan contoh rukyat BMKG sbg alasan (secara tdk langsung) menolak kriteria RJ2017. Padahal Kriteria [3-6,4] adalah batas bawah yg juga mencakup rukyat yg dilakukan BMKG dan lainnya. Penolakan mestinya bila ada hasil rukyat yg sahih di bawah kriteria [3-6,4].

Strategi Mewujudkan Kalender Islam Global

AB:

Kalender Islam Lokal dan Global

— Bagian awal dipenggal, langsung pada bagian kesimpulan —

Karena itu, pilihan realistisnya, dengan segenap plus-minusnya, adalah unifikasi tingkat global, karena secara otomatis akan menyelesaikan tingkat lokal. Unifikasi global setidaknya memiliki tiga keunggulan. Pertama, kita (bangsa Indonesia) berperan dan berkontribusi menyelesaikan persoalan keumatan dunia. Kedua, kita tidak lagi dikhawatirkan dengan adanya perbedaan puasa arafah dan idul adha, karena ibadah puasa arafah terkait dengan peristiwa di tempat lain yaitu di negara Arab Saudi. Ketiga, keaktifan mengupayakan unifikasi global merupakan amanat dan semangat pembukaan UUD 1945 yaitu ikut dan aktif melaksanakan ketertiban dunia, dalam hal ini penertiban sistem penjadwalan waktu (Kalender Islam).

TD:

Kalau hanya berfikir kalender dari sudut pandang pengamal hisab, seperti saudara2 kita di Muhammadiyah, kalender global memang jadi prioritas. Namun, unifikasi sepihak bukan jalan terbaik. Di Indonesia, Brunei, dan Malaysia (juga di Saudi dan banyak negara), pengamal rukyat pun sangat banyak. Jadi tdk mungkin kalender lepas dari konsep rukyat, dg mempertimbangkan markaz setempat. Itulah yg digagas kalender dg kriteria baru MABIMS dan Rekomendasi Jakarta.

Lalu apakah kalender lokal-nasional bisa diperluas? Sangat mungkin. Hal yg pasti bisa menjadi kalender Islam regional ASEAN. Dan sangat mungkin juga dijadikan kalender Islam global, karena dalam konsep rukyat, ketampakan di wilayah timur bisa jadi rujukan utk wilayah barat. Setidaknya, wilayah dg mayoritas ummat Islam (dari Merauke sampai Maroko) bisa menerapkannya. Keseragaman yaumu arafah pun bisa dilaksanakan.

Benua Amerika (dg Muslim minoritas) yg berpotensi memenuhi kriteria lebih awal, dlm prakteknya sangat mungkin menunggu wilayah timur. Setidaknya utk yaumu arafah umumnya mereka menunggu keputusan Saudi.  Mereka tdk bisa “memaksa” Saudi utk mengikuti rukyat di Amerika bila di Saudi tdk bisa rukyat.

AB:

Kalender rekomendasi Jakarta 2017 setau sy adalah produk Kalender global yg di gagas Kemenag, terlebih sebagai penyempurna putusan Turki 2016, tinggal diterapkan saja, secara alami akan teruji kompatibilitas sains dan syariat nya. Tdk prl mengusik hisab, rukyat, Muhammadiyah, dan lainnya.

TD:

Kalender yg implementatif tdk terlepas dari hisab dan rukyat. Semestinya, ketika berbicara ttg unifikasi kalender, bias ormas harus dikesampingkan, utk mencari titik temu. Realitas di masyarakat perlu dibaca. Hal yg paling nyata, ada pengamal rukyat yg diwakili NU dan ada pengamal hisab yg diwakili Muhammadiyah. Ayo kita cari titik temu dari 2 kutub yg selama ini tampak berbeda dlm memaknai Kalender Islam.

AB:

Kalender putusan Turki 2016 dan RJ 2017 sdh mengakomodir hisab dan rukyat, meski tdk secara konvensional. Bias atau tdk tergantung cara pandang masing2, setiap org memang tdk lepas dari paradigma yg melekat dlm dirinya. Penilaian yg sama bisa diberikan kpd siapa saja, sesuai paradigma org yg menilai. Sy tdk paham bias ormas mana yg dimaksud? Padahal sy mendukung RJ 2017 utk diterapkan. Hanya, jika dihadapkan dgn putusan Turki sy lbh optimis dgn putusan ini dgn segala pertimbangan dan plus minusnya.

TD:

Bias pemikiran tampak dg mengabaikan kepentingan pengamal rukyat. Bagaimana pun, pengamal rukyat memerlukan konfirmasi rukyat utk menetapkan awal bulan yg terkait dg ibadah. Artinya, markaz lokal perlu diperhatikan. Kalau pun lokasinya jauh dari markaz yg digunakan, konsep matla tetap berlaku.

Tentang Otoritas Kalender

AB:

Untuk poin OKI,

Jika merujuk konteks RJ 2017, yg tertera dlm diktum putusan adalah OKI sbg otoritas. Jika dlm skup regional Asia tenggara MABIMS dpt dijadikan otoritas, maka akan berpotensi melahirkan otoritas2 lain sesuai region (Eropa, Amerika, Asia Pasifik, dll). Mnrt sy ini akan rancu dan ambigu, dan sejak lama sy menolak adanya otoritas dlm kalender Islam global.

Pertanyaan nya lagi, apakah saat ini OKI sdh tau, atau sdh diberi tau bahwa ia diminta menjadi otoritas?

TD:

Konsepnya adalah berjenjang. Dari nasional dan regional. Itu konsep realistis dg bersatu dulu di tingkat nasional dan regional. Regional lain diserahkan kebijakan masing2. Kita tdk bisa mengupayakan kesepakatan global, kalau nasional dan regional blm bersepakat.

Ttg OKI, seingat saya dulu sdh diusulkan utk dikirimi surat. Realisasinya saya blm tahu.

AB:

“Konsepnya adalah berjenjang. Dari nasional dan regional”.

Hemat sy ini ‘tafsir’ atas poin2 RJ, sebab di seminar tdk ada pembicaraan seperti itu, terlebih itu arena internasional, bukan nasional. Ya, boleh2 saja ditafsiri sprti itu.

Utk poin nasional, regional, global. Sejauh ini sy tdk mendukung konsep bertahap/berjenjang, sebelumnya sdh sy kemukakan alasannya, sepertinya tdk prl disampaikan lg.

TD:

Silakan tdk setuju. Tetapi, itulah strategi realistis yg perlu diupayakan dlm mewujudkan unifikasi kalender hijriyah. Suatu konsep yg ditawarkan perlu strategi implementasinya. Tanpa strategi implementasi, konsep hanya jadi gagasan yg tdk implementatif.

Ummat menunggu unifikasi kalender utk menjamin ketenteraman beribadah. Kita wajib berbuat sesuatu, bukan sekadar berwacana.

AB:

Tdk setuju/tdk perlunya otoritas berdasar analisis, bukan wacana. Sy sdh kemukakan alasannya, bukan sekedar tdk setuju. Diantara alasannya: otoritas dlm bentuk lembaga punya potensi kehilangan legitimasi seiring waktu dan dinamika dunia, bisa juga suatu saat lembaga itu akan bubar, apalagi jika terbias politik, dll. Andai otoritas itu ada, apa tugasnya?

Tdk benar dlm sejarah kalender selalu dikaitkan dgn otoritas tertentu, yg benar terkait tokoh dan momentum tertentu. Khalifah Umar pencetus, bukan otoritas, paus Gregorius momentum krn dicetus di eranya. KIG Turki tdk ada otoritas, tdk ada dlm diktum putusan. Turki hanya tuan rumah, bukan otoritas.

TD:

Kalender di mana pun pasti ada otoritasnya. Tdk bisa sembarangan orang membuat kalender, lalu mengumumkan utk rujukan publik. Silakan berikan contoh sistem kalender tanpa otoritas. Kalender Sunda, tanpa otoritas yg menjaganya, akhirnya punah.

Khalifah Umar menginisiasi Kalender Hijriyah dg otoritas. Putusan rujukan saat hijrah adalah hasil musyawarah dari berbagai alternatif. Khalifah yg memutuskan dg otoritasnya.

Reformasi kalender Masehi 1582 diusulkan oleh astronom. Tetapi diumumkan berlaku publik oleh otoritas saat itu, Paus Gregorius. Di Inggris dg otoritas Raja tdk menerapkan kalender Gregorian sampai 1792.

Pergantian otoritas wajar. Di Inggris kemudian mengikuti otoritas Roma dg sistem Gregorian. Saat ini otoritasnya bergeser ke lembaga ilmiah yg mengawal keputusan lompatan detik (second leap).

KIG Turki otoritasnya bersifat nasional. Jadi kalendernya terbatas berlaku di Turki. Mereka tdk bisa mengumumkan berlaku global, karena pesertanya bukan perwakikan pemerintah. Kalau pun Muhammadiyah mengadopsinya, sesungguhnya itu mengadopsi kalender Turki, bukan kalender global karena baru Turki yg memberlakukan. Turki pun tdk punya otoritas utk mengajak negara2 lain.

RJ2017 merekomendasikan OKI sbg otoritas global. Tentu saja dukungan (atau penyempurnaan atau penolakan) akan datang pd level pemerintah. Indonesia dan negara2 MABIMS sbg sponsornya, mestinya harus menerapkan terlebih dahulu. Jadi, otoritas mau tdk mau harus berjenjang, karena otoritas terkait juga dg kewilayahan.

AB:

– Silahkan saja mengklaim kalender di mana pun pasti ada otoritasnya .

– kalender Masehi saat ini siapa otoritas nya? Apa nama lembaganya? Apa tugasnya?

– SALAH KAPRAH menyatakan KIG Turki otoritasnya nasional. Bahwa pasca muktamar negara Turki yg menerapkan itu pilihan dan bentuk konsistensi sbg tuan rumah. Sama halnya dgn RJ yg pasca rekomendasi tak satupun negara yg menerapkan nya, termasuk tuan rumahnya.

TD:

– Kalender Masehi prinsip dasarnya sdh ditetapkan oleh Paus Gregorius yg dikenal sbg kalender Gregorian pd 1582. Saat ini akurasinya diatur oleh lembaga internasional yg memantau rotasi bumi. Pd awal tahun tertentu ada lompatan detik (leap second) yg diumumkan oleh lembaga tsb. https://en.m.wikipedia.org/wiki/International_Earth_Rotation_and_Reference_Systems_Service

– Setelah saya browsing, ternyata konsep KIG Turki 2016 juga tdk diterapkan di Turki. Turkish Presidency of Religious Affairs (semacam Kementerian Agama) sbg otoritas kalender Islam Turki dg kriteria yg berbeda dari KIG 2016. https://webspace.science.uu.nl/~gent0113/islam/diyanetcalendar.htm

Tentang Kendala Unifikasi Kalender Islam

SA:

TD:

Kita semua sdh tahu ada kendala tsb. Itu sebabnya pd RJ2017 direkomendasikan solusinya. (1) masalah sospol terkait dg otoritas dan keragaman ormas Islam. Solusinya harus ada otoritas yg mengatasi semua ormas Islam. Pemerintah mesti dijadikan sbg otoritas tunggal di tingkat nasional yg bisa dikembangkan utk otoritas kolektif regional dan global. (2) Pemahaman fikih tdk bisa diubah dan jangan dipaksakan berubah. Titik temu “kriteria imkan rukyat atau visibilitas hilal” adalah titik temu faham rukyat dan faham hisab. (3) Dikhotomi kalender murni hisab dan kalender terkait rukyat tdk terpisahkan dari perbedaan faham fikih. Solusinya, titik temu kriteria imkan rukyat. Pd RJ2017 diusulkan kriteria [3-6,4]. (4) Konsep hilal perlu difahami fisisnya, bukan sekadar hisab posisinya. Hilal adalah fenomena ketampakan yg terkait kontras tebal hilal dan gangguan cahaya syafak. Karenanya, rumusan kriteria harus mempertimbangkan tebal hilal (biasanya dg parameter elongasi) dan gangguan syafak (biasanya dg parameter tinggi).

SA:

Betul, persoalannya jawaban jenengan ini sangat subjektif dan respons sesaat.  Akibatnya tidak implementatif.

Seingat saya beberapa tahun yang lalu jenengan tim penyatuan kalender Islam (Masjid Salman), apa hasilnya? dan tahun kemaren LAPAN mengirim Surat No. B/809/SA.00.01/04/2020 tertanggal 21 April 2020 (kalender hijriah tidak dicantumkan) kepada Menteri Agama, MUI, dan Ormas-ormas, apa respons mereka?

Saya memahami niat jenengan baik dan mulia tetapi metode penyampaian jenengan kurang asertif sehingga tidak implementatif ( at-Tariqah wa al-Maddah Muhimmatan).

Ini perlu menjadi renungan bersama.

Oleh karena itu sejak awal dikatakan untuk mewujudkan penyatuan kalender Islam langkah awal yang perlu dilakukan adalah penyamaan persepsi tentang konsep kalender Islam. Selama ini jenengan menganggap tidak penting, apa iya?

Demikian pandangan saya semoga bermanfaat.

TD:

Proses itu panjang. Gagasan dan surat saat ini tdk harus ada hasilnya segera. Saya pun hanya bagian kecil dari gerakan utk mencari titik temu demi unifikasi kalender hijriyah. Namun saya optimis, itu bisa segera terwujud. Apa indikasinya? Dialog makin terbuka, termasuk di media sosial. Generasi muda semua ormas makin terbuka dg beragam informasi. Tdk terbatas info dan dokrin dari ormasnya. Pola pikir kaku ala para senior mereka mulai ditinggalkan.

Dulu saya masih mendengar  para tokoh senior pengamal hisab (dlm pertemuan yg saya hadiri) masih mengatakan “utk apa rukyat, ganti rukyat bil fi’li/bil ‘ain dg rukyat bil ‘ilmi”.

Lalu bergeser, beberapa tokoh ormas pengamal hisab turut dlm kegiatan rukyat. Lalu tokoh2 mudanya banyak belajar astronomi dan mulai mengenal teleskop. Pola pikirnya ttg rukyat tdk lagi sekaku seniornya yg dulu anti-rukyat (dulu ada yg secara eksplisit menyebutkan hal itu kpd saya). Sementara dari ormas  pengamal rukyat, kini banyak  yg mahir ilmu hisab.

Penyamaan persepsi konsep kalender Islam tdk penting? Bukannya tdk penting. Itu sangat penting. Namun kini bukan lagi saatnya merumuskan konsep, tetapi mengimplematasikan konsep.

Th 1978 sdh ada konferensi ttg kalender Islam di Istanbul yg melahirkan kriteria (5-8). Lalu disusul berbagai konferensi di Arab, Malaysia, dan tempat lainnya. Th 1980-an Ilyas memublikasikan gagasan2 ttg kalender Islam dlm program IICP (International Islamic Cakendar Program). Awal 2000-an Odeh juga publikasi  ttg konsep kalender Islam yg dikaitkan  dg rukyat dlm program ICOP (International Crescent Observation Program).

Selain konsep kalender zona tunggal, juga sempat diusulkan konsep bizonal. Konsep2 itu umumnya berupaya mengintegrasikan rukyat dan hisab dg kriteria visibilitas hilal atau imkan rukyat. Konsep bizonal digagas, karena single zonal berpotensi kontradiksi dg rukyat.

SA:

Terima kasih, saya merasa jawabannya berputar-putar tidak merespons inti persoalan. Padahal kalau fokus pada persoalan yang diajukan, kita bisa belajar banyak sekaligus mengevaluasi cara kerja yang dilakukan. Dengan harapan langkah ke depan lebih baik.

Dalam kehidupan perubahan adalah sebuah keniscayaan dan tidak perlu dibesar-besarkan. Kita semua Insya 4JJI mengalaminya, termasuk jenengan. Hanya saja jenengan masih “malu” mengatakannya.

Maksud saya bukan terkait kalender zonal, bizonal, dan global. Penyamaan persepsi konsep kalender Islam yang dimaksud adalah menyamakan pandangan terkait fungsi kalender Islam. Apakah hanya terkait ibadah, hanya terkait mu’amalah, atau terkait keduanya.

Kalau pemahaman konsep ini sudah sama tinggal memilih model nasional, regional, atau global. Sepatutnya ini menjadi catatan bersama terutama memperhatikan kasus perbedaan awal Safar 1443 H.

TD:

Kalau inti masalah yg dikehendaki adalah “menyamakan pandangan terkait fungsi kalender Islam”, itu sdh jelas terjawab. Bahwa kalender Islam/hijriyah yg dikehendaki unifikasinya adalah kalender yg bisa digunakan utk ibadah. Apa indikasinya? Setiap kita berbicara kalender Islam selalu berbicara ttg dalil fikih. Masalah perbedaan kalender juga selalu muncul terkait dg penentuan waktu ibadah (awal Ramadhan, Idul fitri, puasa Arafah, dan Idul Adha), bukan pd bulan2 lainnya.

Pentingnya Kesepakatan

SA:

Kasus awal Safar 1443 H ini menunjukkan bahwa kriteria tidak menjamin adanya penyatuan. Meskipun sering disebut salah satu syarat implementasi kalender Islam adalah adanya kriteria yang tunggal dan  mewacanakan perlu memperhatikan pelaku rukyat. Dengan kasus seperti hari ini kriteria apa lagi yang perlu dirumuskan?

TD:

Kata kuncinya, “kesepakatan” pd kriteria tunggal blm tercapai. Kalau LF PBNU sdh sepakat dg kriteria imkan rukyat, mestinya dlm kondisi rukyat tdk berhasil, awal bulan bisa ditetapkan besok. Itu juga termuat di fatwa MUI  1981. Tetapi, kita tdk bisa memaksa mereka mengikuti hisab imkan rukyat. Sama halnya kita tdk memaksa Muhammadiyah meninggalkan kriteria WH beralih ke IR.

Jadi, saat ini yg sdg diupayakan adalah mengupayakan titik temu, khususnya di antara 2 ormas besar NU dan Muhammadiyah.

Harus ada sikap legowo:

– Semua ormas bersepakat pd kriteria tunggal, misalnya kriteria RJ2017.

– Muhammadiyah legowo menggunakan kriteria RJ2017 dg markaz wilayah barat Indonesia/Asia Tenggara.

– NU juga legowo menggunakan keputusan hisab kriteria RJ2017 ketika rukyat bil fi’li tdk berhasil (diganti “rukyat bil ‘ilmi).

Kita bisa mewujudkan kalender Islam tunggal, kalau semua legowo menuju titik temu.

SA:

Jika kata kuncinya adalah kesepakatan maka pertanyaan yang dapat dimunculkan, mengapa dikatakan dalam dunia sains tidak mengenal istilah ontologi. Apa iya? Padahal dalam filsafat sains istilah ontologi menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Begitu pula pernyataan yang menyebutkan bahwa dalam pemaknaan sains, tidak ada multitafsir. Bagaimana dengan sains hilal, khususnya konsep imkanur rukyat yang sangat dinamis. Awalnya  mempertimbangkan umur bulan, kemudian ketinggian hilal + azimut antara Bulan dan Matahari, era berikutnya ketinggian hilal dan lebar hilal, dan sejak 1981 Ilyas mempertimbangkan ketinggian hilal dan elongasi.  Saat ini konsep terakhir yang banyak dikaji dan dirujuk untuk membangun sebuah sistem kalender Islam yang mapan, seperti hasil Turki 2016/1437 dan Rekomendasi Jakarta 2017/1438.

Wa Allahu A’lam

TD:

Saya jelaskan ya:

– Dlm masalah hilal, sains menawarkan kriteria. Aspek “kesepakatan” utk memilih satu dari sekian alternatif kriteria di luar konteks sains. Dlm disiplin “sains”, kita tdk berbicara ttg filsafat sains (estimologi, dll), tetapi langsung menerapkan “metode ilmiah”. Bila memenuhi kaidah metode saintifik (mulai dari rumusan masalah, hipotesis, pengumpulan data/teori, analisis, kesimpulan, sampai uji ulang dg berbagai kondisi), itulah hasil yg sahih secara saintifik.

– Beragam kriteria bukan berarti multitafsir. Dlm sains tdk perlu ada kesempatan, kecuali diperlukan definisi yg diperlukan sains (misalnya, definisi “planet” yg akhirnya mengeluarkan pluto dari klasifikasi “planet”). Kesepakatan kriteria visibilitas hilal tdk diperlukan oleh sains, tetapi diperlukan ummat Islam dlm membuat kalender atau menentukan waktu ibadah.

AB:

– Dgn mengusung KIG, Muhammadiyah sebenarnya sdh secara otomatis mengakomodir imkan rukyat (global), dan secara otomatis juga akan meninggalkan WH.

– Dgn kasus Safar kali ini (ikhbar, istikmal NU), sy melihat statemen yg disampaikan sdh lbh ‘di tengah’ krn menyorot dua pihak, tdk sprti sebelumnya yg hanya menyorot satu pihak.

TD:

Imkan rukyat global blm memenuhi pendapat umum di kalangan pengamal rukyat. Bagi pengamal rukyat, IR mestinya kompatibel dg hasil rukyat lokal atau memenuhi konsep rukyat wilayatul hukmi.

Saya sejak awal (1980-an saat mhs astronomi) berada di tengah, mengupayakan titik temu pengamal rukyat dan pengamal hisab. Silakan baca seluruh tulisan saya di blog, adakah yg mementingkan salah satu pihak? Kebetulan saya tdk berafiliasi dg salah satu ormas. Semuanya saya anggap setara dan wajib dihormati.

AI:

Intinya adanya kesepakatan dulu … mau kriteria apapun … pondasi kesepakatan … apapun kriteria tentu ada kelemahannya..sehingga kesepakatan yg menjadi pondasi awalnya

SA:

Betul Kyai “kesepakatan” atau dalam terminologi usul fikih disebut ijmak sebagai kunci mewujudkan penyatuan. Persoalannya kenapa sampai hari ini belum terwujud? Inilah tugas bersama mendiagnosa dan mencari jawabannya.

Oleh karena itu perlu kerja yang sistematis dan terukur. ADFI bisa berkontribusi secara maksimal sesuai kapasitas keilmuan yang dimiliki. Selama ini ada “kecenderungan” tergesa-gesa dan evaluasi (monev) yang dilakukan kurang substantif.

TD:

Ya, kata kuncinya “kesepakatan”. Di dlm Rekomendasi Jakarta 2017 ada 3 hal yg direkomendasikan:

– Kriteria (3-6,4]

– Batas tanggal: International Date Line.

– OKI sbg otoritas global. Karena OKI adalah organisasi antar-pemerintah, itu bermakna di tingkat regional pun organisasi antar-pemerintah sbg otoritas. MABIMS bisa jadi otoritas regional. Di tingkat nasional Pemerintah RI sbg otoritas.

Upaya menuju kesepakatan bisa bertahap:

– Kesepakatan garis tanggal mudah diterima.

– Kesepakatan otoritas nasional prinsipnya bisa diupayakan dg menghilangkan ego organisasi demi persatuan dan kesatuan ummat.

– Kesepakatan kriteria terus didialogkan.

Tim Unifikasi Kalender Hijriyah bisa memfasilitasi upaya2 tsb.

**Apa kita “tergesa-gesa”?

Kalau kita telaah lahirnya Rekomendasi Jakarta 2017, itu adalah proses panjang. Fatwa MUI lahir 2004 dg rekomendasi utk membuat kriteria utk jadi pedoman bersama. Pd 2015 ada halaqoh oleh MUI bersama Kemenag. Halaqoh membentuk tim pakar yg menghasilkan naskah akademik usulan kriteria. Pd 2016 ada pertemuan teknis MABIMS yg mengusulkan kriteria baru yg sama dg usulan dlm naskah akademik. Pd 2017 ada Seminar Internasional Fikih Falak yg melahirkan Rekomendasi Jakarta 2017. Pd 2019 ada pertemuan pakar falak MABIMS yg kembali mengusulkan penerapan kriteria baru MABIMS.

**Apa monev kita kurang substantif?

Pd Rekomendasi Jakarta 2017 diusulkan hal2 substantif utk unifikasi kalender hijriyah. Bukan hanya kriteria, tetapi juga batas tanggal dan otoritas. Kalau masih ada yg kurang, silakan usulkan hal2 yg substantif.

Sekian lama Pak Susiknan menganggap ada kekurangan dlm upaya unifikasi kalender hijriyah, tetapi saya blm lihat gagasan substantif  nyatanya. Bisa diungkapkan di sini gagasan substantif Pak Susiknan dlm beberapa kalimat ringkas? Tentu sbg ilmuwan Pak Susiknan terbiasa membuat abstrak utk mengungkapkan gagasan besar Pak Susiknan, termasuk yg sdh dibukukan.

M:

Kesepakatan untuk tidak sepakat, bagian dari kesepakatan juga kah?

TD:

Itu permainan kata yg mengungkapkan keengganan bersepakat. Kadang bernuansa arogansi kebesaran ormas masing2. Padahal ummat mendambakan persatuan. Minimal tercermin dari keseragaman mengawali Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Keseragaman memberikan ketenteraman dlm beribadah. Mungkinkah? Sangat mungkin dan ada contohnya. Arab Saudi, Malaysia, dan Brunei adalah contoh negara yg memberikan keseragaman nasional  yg didambakan ummat. Di negara2 itu otoritas Pemerintah mempersatukan  ummat. Di Indonesia, ormas2 mengklaim memiliki otoritas   sendiri. Ego organisasi jadi penghambat persatuan ummat.