Kapankah Koreksi Ketinggian Diterapkan pada Jadwal Shalat?


T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

Anggota Tim Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI

Burj_Khalifa

Burj Khalifa di Dubai, ketinggian 829,8 meter dengan ruangan tertinggi di lantai 154 (ketinggian 584,5 meter) [Sumber Wikipedia]

Diberitakan jadwal puasa di gedung pencakar langit Burj Kalifa di Dubai berbeda-beda waktunya bergantung pada ketinggiannya. Departemen Urusan Islam Dubai mengumumkan koreksi jadwal puasa (termasuk jadwal shalat Shubuh dan Maghrib) berdasarkan lantai ruangan. Untuk lantai 80-150 waktu Shubuh dikoreksi -2 menit dan Maghrib dikoreksi +2 menit. Untuk lantai 151 dan selanjutnya waktu Shubuh dikoreksi -3 menit dan Maghrib +3menit.  Jadwal shalat yang beredar di Indonesia ada juga yang mencantumkan ketinggian, misalnya “Koreksi ketinggian (khusus Maghrib): 50-100 meter = + 1 menit; 100-250 meter = + 2 menit; 250-450 meter = + 3 menit; 450-750 meter = + 4 menit; dan diatas 750 meter = + 5 menit”.   Di beberapa program jadwal shalat juga ada fasilitas untuk koreksi ketinggian tempat. Pertanyaan yang sering muncul: Mengapa perlu koreksi ketinggian? Untuk daerah dataran tinggi (seperti Bandung) perlukah koreksi ketinggian berdasarkan tinggi daerah dari permukaan laut?

dip horizon

[Sumber: http://www-rohan.sdsu.edu/~aty/explain/atmos_refr/dip.html%5D

Dalam perhitungan jadwal shalat, asumsi yang digunakan adalah permukaan bumi yang rata dengan ketinggian mendekati 0 meter (karena tinggi manusia tidak seberapa). Namun kalau kita berada di gedung tinggi, seperti Burj Khalifa, maka kita melihat ufuk yang lebih rendah daripada ketika berada di permukaan bumi. Kerendahan ufuk (disebut “dip”) digambarkan pada diagram di atas sebesar dg. Untuk ketinggian h, dengan jari-jari bumi R, maka berlaku rumus: cos dg  =  CG/OC  =  R/(R + h). Karena h jauh lebih kecil daripada R, maka sudut dg pasti sangat kecil juga sehingga berlaku rumus cos x = 1-x^2/2 (^ adalah pangkat, x dalam radian, 180/3,14 derajat). Maka, rumusnya menjadi

1-dg^2/2 = R/(R+h) atau dg^2 = 2 – 2R/(R+h) = 2h/(R+h).

Jadi, dg = √(2h/(R+h). Karena h jauh lebih kecil dari R, maka

dg = √(2h/R) [Rumus 1].

Dengan memasukkan nilai R (=6.371 km) dan mengkonversikan radian ke derajat, diperoleh rumus kerendahan ufuk:

dg = 1,9 √h [Rumus 2], dg dalam menit busur (‘) dan h dalam meter.

Untuk ketinggian gedung 100 meter, maka kerendahan ufuknya 19’. Karena matahari bergerak rata-rata 360º/24 jam (atau 15’/menit), 19′ ditempuh dalam waktu 1,3 menit. Itulah nilai koreksinya. Jadi maghrib +1 menit (dibulatkan), Shubuh -1 menit. Untuk 200 meter dikoreksi 2,5 menit. Untuk 400 meter dikoreksi 5 menit. Jadi koreksi untuk ketinggian h meter:

k=0,13 √h menit [Rumus 3].

Perlukah koreksi untuk daerah dataran tinggi, seperti Bandung (768 meter dari permukaan laut)? Jawabnya tidak perlu koreksi ketinggian dataran tinggi. Alasannya, ketinggian daerah datar hanya menambah faktor pembagi pada Rumus 1, menjadi R+t, bila t tinggi dataran dari permukaan laut. Padahal nilai t itu terlalu kecil dan dapat diabaikan bila dibandingkan dengan radius bumi R. Jadi, ketinggian daerah datatan tinggi disamakan dengan permukaan bumi lainnya yang relatif datar. Kesimpulannya, rumus koreksi ketinggian hanya berlaku untuk gedung-gedung pencakar langit.

Beberapa kasus khusus harus dihitung secara khusus pula.

– Ketika kita berada di pinggir lembah yang menghadap ufuk Barat, maka berlaku koreksi waktu maghrib. Ketinggian tempat yang dihitung adalah ketinggian bukit terhadap daerah datar di bawahnya (misalnya lautan lepas). Pada posisi itu kita melihat matahari lebih lambat terbenam karena ufuknya makin rendah. Kalau di bawahnya bukan dataran, tetapi perbukitan juga, jangan gunakan koreksi ketinggian.

– Bila di ufuk Barat ada bukit yang tinggi yang membuat ufuk makin tinggi, maka maghrib akan lebih cepat. Demikian juga bila di ufuk Timur ada bukit yang menyebabkan ufuk makin tinggi, waktu shubuh pun lebih lambat. Dalam kasus seperti itu, koreksi jadwal shalat tidak bisa menggunakan rumus umum. Silakan gunakan koreksi ikhtiyat  (kehati-hatian) yang diperkirakan.

6 Tanggapan

  1. Aneh nih koreksi ketinggian. Harusnya sepadan dong dengan (ga adanya) koreksi kedalaman. Dengan hitungan yg sama, tinggal 3-4 lantai di basement, bisa memundurkan waktu subuh dengan signifikan. Lalu, bagaimana koreksi ketinggian untuk yang lagi di perjalanan menggunakan pesawat?

  2. Saya rasa ini sama sekali tidak perlu. Hakikat ibadah bersifat batiniah (keikhlasan, ketulusan, dsb) bukan hal-hal teknis semacam di atas.

    Kasus hitungan di atas mirip hitungan koreksi arah kiblat Indonesia beberapa tahun yang lalu (yang menurut saya sama-sama tidak perlu). Di mana arah kiblat Indonesia dipandang “melenceng” sekian derajat sehingga shalat muslim Indonesia menghadap Somalia, bukan ke Mekkah.

    Persoalannya adalah, apakah agama (dalam hal ini tata cara ibadah) adalah semata persoalan teknis-eksakta semacam ini? Apakah tuhan berkurang keridhoannya hanya ketika melihat umatnya kurang tepat arah kiblatnya (melenceng sekian derajat) atau kurang tepat waktu sholatnya karena berada di ketinggian tertentu?

    Agama sama sekali bukan ilmu eksakta dan tidak bisa didekati dengan pendekatan eksakta. Agama justru akan sangat “wagu” dan dangkal jika didekati dengan pendekatak eksakta semacam ini.

    • Dalam hal tidak bisa ditentukan secara tepat, Islam memberi kelonggaran waktu atau arah ibadah untuk diperkirakan. Tetapi dalam hal bisa ditentukan dengan mudah dan pasti, itu tentunya lebih baik. Hadits yang mengisahkan Rasul dibimbing oleh Jibril dalam penentuan waktu shalat menjadikan rujukan bahwa waktu shalat tertentu. Rasul juga mengajarkan untuk shalat pada awal waktu. Jadi, banyak ummat Islam yang menghendaki waktu shalat bisa ditentukan secara tepat agar bisa dilaksanakan seawal mungkin. Namun kemudian ada beberapa interpretasi yang menyebabkan terjadinya perbedaan penentuan waktu. Itu masalah ijtihadiyah. Silakan ambil yang meyakinkan, namun semestinya didasarkan pada ilmu. Catatan saya tersebut di atas adalah dalam rangka mengedukasi ummat agar adalm beribadah menggunakan ilmu, bukan sekadar ikut-ikutan. Soal tidak sependapat, itu hal yang wajar saja. Betul, keikhlasan dalam beribadah lebih utama daripada ketepatan dalam penentuan waktu atau arah.

      • Ma’af Prof, yg jadi fokus disini masalah koreksi ketinggian per 1 wilayah dataran tinggi yg relatif ya? dalam arti pada satu wilayah dataran tinggi seperti Bandung itu, tidak perlu ada perbedaan waktu berdasarkan koreksi ketinggian.
        Tapi untuk menghitung wilayah itu sendiri, apakah harus disertakan dip’ nya? Dengan cara misalkan mengambil ketinggian rata2 daerah itu, sehingga daerah itu dihitung sama berdasarkan ketinggian rata2 tersebut.
        Atau samasekali tidak menyertakan dip’? Dalam arti wilayah yg relatif ketinggian itu, ufuk nya dihitung 0 m dpl aja.

      • Ya, untuk wilayah yang datar, tidak perlu dip, karena disamakan dengan dataran rendah 0 dpl.

Tinggalkan komentar