Menuju Titik Temu Unifikasi Kalender Hijriyah

Thomas Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, Pusat Riset Antariksa, Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa (LAPAN), BRIN

Anggota Tim Unifikasi Kalender Hijriyah Indonesia, Kemenag RI

Mungkinkah mewujudkan unifikasi kalender hijriyah dengan kondisi masih terjadinya polarisasi kriteria? Pada prinsipnya unifikasi kalender hijriyah bisa diwujudkan, asalkan masing-masing pihak bersama-sama mengupayakan titik temu. Mungkinkah mencapai titik temu? Titik temu bisa dicapai dengan menggeser pendapat masing-masing pihak, meninggalkan ego organisasi untuk mewujudkan persatuan ummat.

Rekomendasi Jakarta 2017 (RJ2017) diusulkan menjadi salah satu titik temu. Alternatif lain masih terbuka untuk ditawarkan. RJ2017 mengadopsi konsep kalender global Turki dengan menggunakan batas tanggal internasional, tetapi ada hal mendasar yang berbeda. Kriteria keduanya berbeda dari segi nilainya dan rujukan wilayahnya (markaz). Kalender ala Turki sekadar mensyaratkan kriteria terpenuhi di mana saja, asalkan di Selandia Baru belum terbit fajar. RJ2017 mensyaratkan kriteria terpenuhi di wilayah barat Asia Tenggara. Selain itu RJ2017 mengamanatkan adanya otoritas tunggal secara global, dengan diusulkannya Organisasi Kerjasama Islam (OKI) sebagai otoritas global. Karena OKI adalah organisasi antar-pemerintah, itu bermakna di tingkat nasional berlaku otoritas pemerintah masing-masing.

Kriteria RJ2017 teruji pada kondisi hilal di dekat perbatasan kriteria (tinggi hilal saat itu sekitar 4 derajat, elongasi sekitar 6 derajat). Hilal teramati di wilayah As-Suwayriqiyah, Provinsi Madinah, pada awal Ramadhan 1441 (23 April 2020).

Peta garis tanggal berdasarkan kriteria RJ2017 mencakup wilayah Arab Saudi di dekat batas bawah kriteria. Kesaksian di wilayah As-Suwayriqiyah, Madinah, menjadi salah satu bukti validitas kriteria RJ2017.

Berikut ini contoh dan usulan upaya menuju titik temu yang perlu dilakukan pengamal hisab dan pengamal rukyat. Masing-masing pihak perlu memahami dan mengakomodasi sebagian pendapat pihak lain, dengan menghilangkan ego organisasi.

Pengamal Hisab Menuju Titik Temu

Kasus penentuan awal Shafar 1442 menurut versi pengamal hisab dengan kriteria Turki 2016 tidak mungkin diterima pengamal rukyat. Pada saat maghrib 17 September 2020 posisi bulan di benua Amerika sudah memenuhi kriteria Turki 2016 (tinggi bulan minimal 5 derajat, elongasi minimal 8 derajat) dan di Selandia baru belum terbit fajar. Dengan demikian awal Shafar 1442 jatuh pada 18 September 2020. Namun pada saat itu posisi bulan di Indonesia masih terlalu rendah, kurang dari 1 derajat, sehingga tidak mungkin bisa dirukyat. Maka berdasarkan rukyat, awal Shafar 1442 jatuh pada 19 September 2020.

Pada saat maghrib 17 September 2020 tinggi bulan di benua Amerika sudah di atas 5 derajat, tetapi di Indonesia masih terlalu rendah. Tinggi bulan di Indonesia masih kurang dari 1 derajat.

Upaya titik temu yang perlu dilakukan adalah pengamal hisab perlu memperhatikan kepentingan pengamal rukyat yang memerlukan konfirmasi rukyat. Diusulkan kriteria hisab perlu mempertimbangkan visibilitas hilal regional Indonesia dan sekitarnya. Kriteria RJ2017 bisa menjadi titik temu, karena sudah mempertimbangkan visibilitas hilal di kawasan barat Asia Tenggara.

Pengamal Rukyat Menuju Titik Temu

Kasus penentuan awal Rabbi’ul Akhir 1443 menarik untuk dikaji dari sudut pandang upaya mencari titik temu. Secara hisab, garis tanggal awal Rabbi’ul Akhir 1443, menunjukkan pada saat maghrib 5 November 2021 di Indonesia posisi bulan sudah cukup tinggi dan telah memenuhi kriteria RJ2017. Secara hisab bisa dipastikan awal Rabbi’ul Akhir 1443 jatuh pada 6 November 2021.

Pada saat maghrib 5 November 2021 posisi hilal sudah cukup tinggi dan telah memenuhi kriteria RJ2017. Semestinya 1 Rabbiul Akhir jatuh pada 6 November 2021.

Namun di seluruh lokasi pengamatan  mendung atau hujan, hilal tidak terlihat. Oleh karenanya LFNU mengumumkan Rabbi’ul Awal diistikmalkan (digenapkan 30 hari), sehingga 1 Raabbi’ul Akhir 1443 jatuh pada 7 November 2021. Kondisi ini tentu saja jauh dari upaya menuju titik temu dengan pengamal hisab. Lalu langkah apa yang bisa dilakukan oleh pengamal rukyat untuk menuju titik temu?

Merujuk Fatwa MUI 1981, ketika posisi hilal sudah memenuhi kriteria untuk bisa dirukyat, keputusan bisa diambil berdasarkan terpenuhinya kriteria yang ditetapkan, misalnya kriteria RJ2017. Pada dasarnya kriteria visibilitas hilal, seperti kriteria RJ2017, sudah didasarkan pada data rukyat jangka panjang. Dengan demikian, dengan mengikuti ketetapan kriteria visibilitas atau imkan rukyat sebenarnya pengamal rukyat tidak meninggalkan prinsip-prinsip rukyat sebagai ta’abudi (ketaatan pada perintah Rasul untuk merukyat).

Pengumuman istikmal Rabbi’ul Awal dalam penetapan awal Rabb’ul Akhir 1443.

Fatwa MUI 1981 digunakan untuk menetapkan awal Ramadhan 1407 pada saat hilal tidak terlihat, tidak melakukan istikmal bulan Sya’ban 1407.

Secara ringkas, langkah titik temu yang diusulkan dalam upaya mencari titik temu menuju unifikasi kalender hijriyah dengan menggunakan kriteria visibilitas hilal atau imkan rukyat, seperti kriteria RJ2017, adalah sebagai berikut:

– Pengamal hisab agar mempertimbangkan kriteria imkan rukyat yang menggunakan markaz (titik rujukan) lokal atau regional yang implementatif bagi pengamal rukyat.

– Pengamal rukyat bersedia taat pada kriteria imkan rukyat yang disepakati bersama pengamal hisab. Pada saat hilal tidak terlihat karena mendung, padahal posisinya telah memenuhi kriteria imkan rukyat, itsbat (penetapan) awal bulan mengikuti keputusan sesuai kriteria imkan rukyat, tidak melakukan istikmal (menggenapkan 30 hari bulan berjalan). Kriteria imkan rukyat pada dasarnya adalah hasil rukyat jangka panjang. Jadi, dengan mengikuti kriteria imkan rukyat, pengamal rukyat tidak mengabaikan konsep rukyat sebagai bagian ta’abudi.