Sidang Isbat: Upaya Pemerintah Memberi Kepastian di Tengah Keragaman

T. Djamaluddin

Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI

Kalender di mana pun di dunia, yang mengatur kepentingan publik, selalu dikeluarkan oleh otoritas negara. Termasuk di dalamnya ketentuan terkait dengan hari-hari libur keagamaan. Khusus untuk penetapan hari-hari besar keagamaan Islam yang terkait dengan pelaksanaan ibadah, dalil-dalil syar’i juga mengindikasikan perlunya isbat (penetapan) dari otoritas negara. Dulu, Rasul bertindak sekaligus sebagai kepala negara yang menetapkan (mengisbatkan) awal bulan berdasarkan kesaksian orang yang mengaku melihat hilal.

Saat ini di hampir semua negara awal Ramadhan dan hari raya ditetapkan oleh negara, kecuali di negara-negara non-Islam (Muslim minoritas) yang penetapannya dilakukan oleh organisasi keislaman, baik lokal maupun nasional. Di Indonesia, ketentuan untuk penetapan hari libur keagamaan sudah ditetapkan oleh pemerintah, tetapi dalam implementasi pelaksanaan ibadah, khususnya Ramadhan dan hari raya, ormas-ormas Islam mempunyai ketetapan masing-masing yang kadang-kadang berbeda-beda. Apakah keragaman terkait dengan ibadah yang bersifat masal dan berdampak sosial seperti itu dibiarkan tanpa pengaturan?

Setelah Kementerian Agama (dulu Departemen Agama) RI dibentuk pada 2 Januari 1946, salah satu tugas Kementerian Agama adalah penetapan hari libur nasional dan penentuan awal bulan qamariyah yang terkait dengan peribadatan. Hal itu termuat dalam Penetapan Pemerintah Nomor 2/Um, 7/Um, 9/Um dan beberapa Keputusan Presiden terkait lainnya, antara lain Kepres Nomor 25/1967, 148/1968, dan 10/1967 (Asadurrahman, Disertasi “Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Hisab dan Rukyat”, 2011).

Sidang isbat (penetapan) awal Ramadhan dan Syawal yang dipimpin Meteri Agama secara resmi mulai dilakukan pada 1962 yang hampir semuanya terdokumentasi dengan baik dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Agama RI. Pada sidang isbat tersebut hasil hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan) hilal awal bulan dikaji bersama untuk mendapatkan satu keputusan yang bersifat nasional. Penetapan diperlukan mengingat di masyarakat banyak beredar hasil hisab dan banyak pula pelaksana rukyat. Sidang isbat tidak membahas secara rinci substansi hisab dan rukyat, tetapi lebih bersifat menampung pendapat untuk menjadi bahan pertimbangan Menteri Agama dalam mengambil keputusan. Diskusi mendalam soal hasil hisab dan kemungkinan hasil rukyat umumnya dilakukan dalam Temu Kerja Badan Hisab Rukyat (BHR) dan pertemuan/lokakarya yang bersifat teknis hisab rukyat.

Dasar hukum sidang isbat lebih kuat lagi setelah dimasukkan dalam Undang-undang Nomor 3/2006 sebagai pengganti UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 52A menyatakan, “Pengadilan Agama memberikan isbat kesaksian kesaksian rukyat dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah”. Pasal ini diberikan penjelasan yang merupakan satu kesatuan dasar hukum dengan rincian sebagai berikut: “Selama ini pengadilan Agama diminta oleh Menetri Agama untuk memberikan penetapan (isbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1(satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal.”

Pasal 52A UU Nomor 3/2006 menjadi dasar hukum pelaksanaan sidang isbat yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama RI. Masyarakat (khususnya yang merasa kecewa dengan hasil sidang isbat) kembali mempertanyakan urgensinya sidang isbat. Bahkan ada yang berfikir pendek dengan menyatakan bahwa sidang isbat tidak ada gunanya dan hanya memboroskan anggaran negara.

Sidang isbat sangat diperlukan untuk memberikan kepastian kepada masyarakat dari sekian banyak pilihan yang ditawarkan oleh ormas-ormas Islam dengan beragam pendapatnya soal penetapan awal Ramadhan dan hari raya, terutama pada saat terjadi perbedaan pendapat. Apalagi dengan keterbukaan informasi, setiap perbedaan segera akan muncul dalam pemberitaan media massa. Kementerian Agama berdasarkan peraturan perundang-undangan mempunyai kewenangan “pembinaan kehidupan dan kerukunan umat beragama” (a.l. Kepres 102/2001). Tentunya untuk melaksanakan kewenangan tersebut segala upaya dilakukan. Selain penyelenggaraan sidang isbat, pertemuan-pertemuan terkait juga dilakukan untuk mempersatukan ummat. Temu Kerja Badan Hisab Rukyat, diklat hisab rukyat, dan lokakarya/seminar hisab rukyat untuk mencari upaya penyatuan sistem dan metode, termasuk kriteria yang digunakan, secara rutin dilaksanakan Kementerian Agama RI.

Harus diakui, sidang isbat dalam kondisi posisi hilal yang rendah selalu berlangsung hangat dengan pro-kontranya. Tentu saja pasti ada saja pihak yang tidak puas dengan hasil sidang isbat. Tetapi bagaimana pun masyarakat akhirnya mempunyai pedoman resmi dari Pemerintah yang bisa jadi rujukan yang menentramkan di tengah perbedaan yang terjadi. Sidang isbat adalah upaya Pemerintah untuk memberi kepastian kepada ummat dan sedapat mungkin mengupayakan terjalinnya persatuan dengan pemahaman bersama akan sumber perbedaan yang harus diselesaikan.

Berikut empat contoh sidang isbat yang mengindikasikan dinamisnya sidang isbat yang sulit untuk dituding mengutamakan kepentingan kelompok tertentu karena sidang itu dihadiri oleh semua perwakilan ormas Islam dan pakar hisab rukyat. Sidang isbat benar-benar berupaya mengakomodasi pemikiran yang berkembang dengan mempertimbangkan kemaslahatan ummat secara keseluruhan.

Sidang isbat untuk penetapan awal Ramadhan 1407/1987 dengan didukung Fatwa MUI No. Kep/276/MUI/VII/1981 pertama kali membolehkan penetapan awal bulan berdasarkan hisab saja bila bulan sudah imkan rukyat (mungkin dirukyat), walau hilal tidak terlihat. Saat itu NU keberatan dengan hasil sidang isbat karena rukyat tidak berhasil. Mereka penghendaki istikmal (menggenapkan bulan Sya’ban) sehingga mengusulkan awal Ramadhan jatuh pada 30 April 1987. Namun sidang isbat akhirnya memutuskan awal Ramadhan jatuh pada 29 April 1987, berdasarkan hasil hisab imkan rukyat.

Sidang isbat untuk penetapan Idul Fitri 1 Syawal 1413/1993 pertama kali menolak kesaksian rukyat yang meragukan dan tidak sesuai dengan hisab yang mu’tabar (terpercaya). Waktu itu bulan sangat rendah, kurang dari 2,5 derajat. Hampir semua perukyat melaporkan tidak melihat hilal. Kesaksian dari Cakung ditolak karena perhitungan ketinggian yang mereka sebutkan hampir 3 derajat meragukan dan bertentangan dengan hisab yang mu’tabar.

Sidang isbat untuk penetapan Idul Fitri 1 Syawal 1418/1998 pertama kali menolak hasil hisab berdasarkan wujudul hilal dan menolak kesaksian hilal yang posisinya lebih rendah dari kriteria imkan rukyat. Hal itu didasarkan pada Qaul Ulama dalam Kitab Al-Khulasah al Wafiyyah (salah satu kitab pegangan hisab para ahli hisab) menyatakan “Syar’i menetapkan awal bulan dari saat matahari terbenam di mana hilal terlihat (imkan rukyat). Oleh karena itu, penetapan awal bulan berdasarkan wujudnya di atas ufuq padahal tidak dapat dilihat atau sulit dilihat dianggap tidak kuat.”

Sidang isbat penetapan Idul Fitri 1432/2011 pertama kali diliput secara langsung oleh media massa dalam seluruh prosesnya. Begitulah dinamisnya sidang isbat, tanpa rekayasa. Semua hasil hisab dipaparkan seperti biasanya. Semua hasil rukyat pun disampaikan seperti lazimnya. Para peserta sidang yang berasal dari berbagai perwakilan ormas Islam dan pakar hisab rukyat diberi kesempatan untuk menanggapi hasil hisab dan hasil rukyat secara terbuka. Saat itulah terlihat secara kasat mata oleh publik, kelompok-kelompok yang selama ini sering berbeda dengan kebanyakan ormas Islam lainnya. Hisab Wujudul Hilal hanya disajikan oleh Muhammdiyah, sedangkan ormas lain sudah menggunakan hisab imkan rukyat yang sudah disepakati sejak 1998. Kelompok perukyat Cakung dan Jepara ditolak kesaksiannya karena hasil rukyatnya diragukan karena terpengaruh hasil hisab yang tidak mu’tabar (terpercaya).

Dalam alam demokrasi dan asas musyawarah, keputusan suatu sidang isbat mestinya bersifat mengikat, walau belum tentu memuaskan semua pihak. Memang merupakan hak warga negara untuk berbeda dalam melaksanakan keyakinan beragama seperti yang dijamin Undang-undang Dasar Negara RI pasal 29. Tetapi ada kewajiban yang jauh lebih penting menurut perintah Allah untuk menjaga persatuan ummat (QS 3:103). Sidang isbat sangat diperlukan untuk mempersatukan ummat dan memberi kepastian ketika terjadi perbedaan pendapat di kalangan ormas Islam.