Hisab Imkan Rukyat Mudah dan Memberi Kepastian: Contoh Menentukan Idul Fitri 1433

T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

Anggota Badan Hisab Rukyat

Kriteria Imkan Rukyat (IR) bukanlah metode rukyat (pengamatan), tetapi metode hisab yang  mempertimbangkan parameter rukyat. Jadi, tak perlu perlu ke lokasi pengamatan, cukup di depan komputer. Hisab imkan rukyat (kemungkinan rukyat) atau visibilitas hilal (Crescent Visibility) sangat mudah. Ya, hanya beberapa klik saja kita peroleh hasilnya yang akurat. Berikut ini saya ajarkan cara praktis dengan memanfaatkan perangkat lunak AccurateTime yang bisa didownload di internet (http://www.icoproject.org/accut.html?&l=en ). Saya pandu langkah demi langkah.

Setelah download, jalankan Accurate Time, maka akan tampil layar seperti ini:

Langkah awal, kita kaji garis tanggal global dulu yang memberikan gambaran umum kemunginan ketampakan hilal di seluruh dunia. Itulah yang disebut Imkan Rukyat atau Crescent Visibility (visibilitas hilal). Klik “Crescent Visibility”, maka akan muncul:

Klik “Hijric Date”, lalu masukkan bulan dan tahun Hijriyahnya. Lalu klik “Preview” di tengah dan dilanjutkan “Crescent Visibility Map” di bawah. Akan muncul peta kosong. Klik “Draw”, maka akan muncul garis tanggal pada hari terjadinya ijtimak/newmoon.

Arsir merah berarti bulan belum wujud saat matahari terbenam. Kalau Indonesia seluruhnya masih berada pada wilayah arsir merah, artinya bulan belum wujud. Itu masih tanggal 28, bukan hari rukyat dan bukan hari yang diperhitungkan untuk imkan rukyat. Untuk kondisi pada tanggal 29, hari pelaksanaan rukyat atau hari perhitungan imkan rukyat, klik tanggal berikutnya lalu klik “draw”, maka akan diperoleh garis tanggalberikut:

Dari hisab global seperti ini sebenarnya sudah jelas, bahwa di Indonesia saat maghrib 29 Ramadhan sudah imkan rukyat. Maka di Indonesia serta wilayah berarsir biru dan sebelah baratnya 1 Syawal 1433 jatuh pada 19 Agustus 2012.

Kalau diperlukan hisab lokal untuk dibandingkan dengan pelaksanaan rukyat (dalam mengarahkan teleskop), silakan ikuti langkah berikut:

Pertama klik “Location” di menu awal. Lalu pilih kota dari data yang tersedia atau masukkan lintang dan bujur untuk lokasi yang belum ada datanya. Lalu klik “OK”.

Masukkan tanggal rukyat dengan mengklik “Date” di menu utama, lalu setelah diisi klik “OK”.

Untuk mengetahui saat rukyat, yaitu saat maghrib, klik “Prayer Time” di menu utama. Akan diperoleh maghrib pukul 17:55 (untuk contoh kasus ini).

Data waktu akan digunakan untuk mendapatkan posisi hilal untuk observasi atau sekadar menghisab imkan rukyat. Klik “Telescope”. Lalu masukkan tahun, bulan, tanggal, jam, dan menit pengamatan atau waktu hisab imkan rukyat. Jangan lupa klik “Refracted” di kanan atas agar hasil hisab sudah dikoreksi dengan refraksi/pembiasan atmosfer.

Hasil hisab memperlihatkan matahari sudah terbenam, ditandai dengan ketinggian matahari sekitar -15″ (dalam contoh ini tingginya -12′), yaitu posisi pusat piringan mataharinya sehingga piringan atas matahari menyentuh ufuk. Tinggi pusat bulan 6 derajat 36 menit (atau tinggi pusat  hilalnya 6 derajat 24 menit). Visualisasi hilal yang berada di sebelah kiri atas matahari juga digambarkan dengan sabit yang lengkungannya ke arah kanan bawah. Tinggi 6 derajat 36 menit sudah memenuhi kriteria imkan rukyat kesepakatan “2-3-8” (tinggi minimal 2 derajat, jarak bulan matahari minimal 3 derajat, atau umur bulan 8 jam). Jadi 1 Syawal jatuh pada 19 Agustus 2012.

Kalau kita mau menggunakan kriteria “Hisab Rukyat Indonesia” yang saya usulkan, yaitu beda tinggi bulan matahari minimal 4 derajat dan jarak bulan-matahari minimal 6,4 derajat  (https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/08/02/analisis-visibilitas-hilal-untuk-usulan-kriteria-tunggal-di-indonesia/ ), maka ada sedikit langkah tambahan. Hitunglah beda tinggi bulan matahari = 6 derajat 36 menit – (-0 derajat 12 menit) = 6 derajat 48 menit= 6,8 derajat. Beda azimut bulan matahari: 282 o 51′ – 275 o 36′ = 7 o 15’= 7,25 derajat. Jarak bulan-matahari = akar (kuadrat beda tinggi + kuadrat beda azimut) = SQRT (6,8 * 6,8+7,25*7,25) = 9,9 derajat. Jelas, beda tinggi bulan matahari 6,8 derajat dan jarak bulan-matahari 9,9 derajat sudah memenuhi kriteria “Hisab Rukyat Indonesia”, maka 1 Syawal jatuh pada 19 Agustus 2012.

Hisab imkan rukyat itu mudah dan memberi kepastian. Hisab imkan rukyat ini sekaligus memberikan informasi akurat untuk mengarahkan teleskop bagi kegiatan rukyat. Inilah cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara astronomi dan dapat dibuktikan dengan rukyat. Cara yang sama bisa digunakan untuk membuat kalender masa yang akan datang, mau 100 tahun atau 1000 tahun, yang terpenting kriteria yang digunakan adalah kriteria yang disepakati, yang menyetarakan hisab dan rukyat.

Sekadar catatan, perangkat lunak Accurate Time tidak mencantumkan ketinggian piringan atas bulan yang diperhitungkan pada hisab wujudul hilal. Mengapa? Karena konsep wujudul hilal yang usang itu tidak dikenal dalam astronomi. Bukan ketinggian piringan bulan yang diperhitungkan, semestinya adalah hilal dan kemudian diperhitungkan kecerlangannya dalam mengalahkan cahaya senja/syafak. https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/11/04/hisab-wujudul-hilal-muhammadiyah-menghadapi-masalah-dalil-dan-berpotensi-menjadi-pseudosains/ dan https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/12/13/membongkar-paradoks-wujudul-hilal-untuk-mendorong-semangat-tajdid-muhammadiyah/.

Mempersatukan Ummat Dengan Mengupayakan Titik Temu dan Menghapus Superioritas

T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI

Sistem kalender sebagai formalisasi sistem penentuan waktu merupakan produk budaya yang menjadi salah satu simbol pencapaian suatu peradaban. Sistem penentuan waktu dalam peradaban Islam sudah ada, hanya belum diformalkan secara baku dan tunggal, karena sistem kalender yang dikehendaki bukan hanya untuk kepentingan adminstratif, tetapi juga untuk penentuan waktu ibadah. Kalender Ummul Quro di Arab Saudi hanya dimaksudkan sebagai kalender administratif, sedangkan untuk kepentingan penentuan waktu ibadah mereka menetapkannya dengan mekanisme rukyat (pengamatan hilal, bulan sabit pertama).  Sebaliknya, banyak sistem kalender Islam di negara lainnya digunakan untuk keperluan ibadah, khususnya untuk penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, termasuk juga untuk penentuan waktu puasa sunnah “Hari Putih” (yaum bidh), setiap tanggal 13, 14, dan 15.

Persoalan muncul karena dikhotomi hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan) yang terkait dengan sistem kalender dan penentuan waktu ibadah. Untuk sistem kalender yang merupakan perhitungan ke depan, hanya hisab yang bisa melakukannya. Hal itu sudah diketahui sejak Khalifah Ummar Ibn Khattab yang mendeklarasinya perhitungan tahun yang dimulai sejak hijrah Rasul dan sistem hisab urfi (periodik) 30 dan 29 secara bergantian. Namun, untuk penetapan waktu ibadah, ummat Islam masih banyak yang menghendaki rukyat hilal, walau mereka sudah mempunyai kalender, seperti dilakukan oleh Arab Saudi, Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Mengupayakan agar sistem kalender hijriyah bersesuian dengan kenyataan rukyat telah mendorong berkembangnya ilmu falak atau astronomi di kalangan ummat Islam. Dari penelitian astronomi jangka panjang itu diperoleh tabel-tabel astronomi yang digunakan dalam perhitungan posisi bulan dan matahari. Formulasi perhitungan posisi bulan dan matahari dinyatakan dalam bentuk tabel itu memudahkan perhitungan secara bertahap. Namun dengan berkembangnya teknologi komputer, formulasi tidak lagi sepenuhnya dengan menggunakan tabel, tetapi disederhanakan dengan formulasi matematis, kecuali untuk koreksi yang memerlukan kecermatan tinggi tetap digunakan tabel dengan sekian banyak deratan angka.

Dengan berkembangnya ilmu hisab dengan sekian banyak kemudahannya (termasuk program-program komputer yang praktis), ilmu hisab cenderung membuat sebagian orang terlena sehingga melupakan akarnya. Rukyat dicampakkannya. Padahal bagi ahli falak atau para astronom (baik profesional maupun amatir), kalau pun hisab astronomi sudah dikuasai, konsep dasar rukyat harus lebih awal mendasarinya. Dengan demikian bagi astronom hisab dan rukyat itu setara. Saat ini banyak ahli hisab yang bukan lagi ahli falak, mereka tidak faham rukyat sebagai akar ilmu hisab, bahkan cenderung antirukyat. Ahli hisab seperti itu cenderung sekadar pakar komputasi, tanpa faham fisis astronomisnya.

Superioritas vs Titik Temu

Dengan ilmu hisab, baik yang dikuasai secara pribadi atau  dianggap dikuasai oleh kelompoknya, kadang muncul perasaan superioritas. Dulu memang hisab dianggap ilmu yang rumit dan susah, sehingga tidak banyak orang yang menguasainya. Dengan superioritas itu sering muncul kebanggaan seolah ahli hisab lebih unggul dan lebih pintar dari ahli rukyat. Dalam beberapa kesempatan, ungkapan seperti itu muncul. Dan yang terbaru, ungkapan di media massa, “Kami sudah bisa menetapkan awal puasa, juga hari raya, sampai 100 tahun ke depan. Hal itu karena kami memiliki rumus esakta, seperti astronomi dan falak…”. Mereka merasa menguasai astronomi, padahal bukan hakikat astronomi yang sesungguhnya. Ilmu hisab hanyalah salah satu alat bantu astronomi, sedangkan pemahaman fisis astronomisnya yang lebih substantif kadang terabaikan. Pemahaman fisis astronomis tak dapat lepas dari pemahaman rukyat juga.  Semestinya seseorang tidak berhak mengaku menguasai astronomi atau ilmu falak, kalau hanya berbekal ilmu hisab, tanpa ilmu rukyat.

Untuk mempersatukan ummat, dikhotomi hisab dan rukyat harus dihilangkan. Astronomi bisa memberi solusi yang mempertemukan hisab dan rukyat. https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/08/19/astronomi-memberi-solusi-penyatuan-ummat/. Secara nasional dan internasional sedang diupayakan agar ada titik temu hisab dan rukyat dengan memasyarakatkan hisab imkan rukyat atau hisab visibilitas hilal, yaitu hisab yang memperhitungkan kemungkinan berhasilnya rukyat dan sekaligus digunakan pada rukyat yang memperhitungkan hasil hisab. Ada suatu timbal balik yang sinergis dan saling mendukung. Dengan hisab imkan rukyat, tidak ada lagi penentuan awal bulan sekadar berdasarkan hilal wujud yang tidak mungkin dirukyat. Dan dengan hisab imkan rukyat pula tidak akan ada lagi pengakuan kesaksian hilal yang sangat diragukan.

Upaya mencari titik temu itu bukan hal yang mudah. Kementerian Agama sudah mengupayakan dialog terus menerus sejak tahun 1990-an. Alhamdulillah, tahun 1998 semua ormas Islam pelaksana hisab rukyat bersepakat untuk menerapkan kriteria imkan rukyat “2-3-8”, tinggi bulan minimal 2 derajat dan jarak bulan-matahari minimal 3 derajat, atau umur bulan minimal 8 jam. Sayangnya Muhammadiyah menolaknya, dengan alasan itu tidak ilmiah. Memang kriteria “2-3-8” yang juga diterima sebagai kriteria MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) belum sepenuhnya didasarkan pada data astronomi, tampaknya hanya berdasarkan kitab-kitab fikih dan beberapa hasil rukyat terendah yang dilaporkan. Kesepakatan itu dikuatkan pada pertemuan September 2011, karena upaya untuk mengubah ke arah yang lebih astronomi masih terkendala penggunaan wujudul hilal yang berpotensi meningkatkan frekuensi perbedaan.

Lalu, mengapa upaya mempersatukan ummat terkesan memojokkan Muhammadiyah? Amar ma’ruf nahi munkar haruslah proporsional. Saya sama sekali tidak memojokkan Muhammadiyah sebagai organisasi besar yang sudah banyak berkontribusi pada kehidupan bangsa dan kesejahteraan ummat. Tidak ada niatan untuk memojokkan salah satu pihak, selain untuk mengajak semua pihak agar terbuka berdialog mencari titik temu. Saya hanya mengkritisi kriteria hisab wujudul hilal yang menjadi sebab terjadinya perbedaan ketika posisi bulan rendah. Dialog sudah diupayakan agar ada titik temu. Sayangnya upaya dialog menjadi buntu karena ada perasaan superioritas yang mengakar di hampir semua lapisan Muhammadiyah, seolah hisab lebih unggul dari rukyat dan seolah hisab itu hanya dengan wujudul hilal. Padahal hisab dan rukyat itu setara dan hisab bukan hanya dengan wujudul hilal, tetapi bisa juga dengan kriteria imkan rukyat yang bisa mempersatukan hisab dan rukyat.

Sebagai bagian dari amar ma’ruf nahi munkar juga, superioritas yang menghambat harus dihapus. Edukasi publik harus dilakukan terus menerus bahwa wujudul hilal itu secara astronomi sudah usang. https://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/05/23/konsep-geosentrik-yang-usang-menginspirasi-wujudul-hilal/ . Dari segi dalilnya pun, mendasarkan wujudul hilal dengan QS 36:40 sungguh tidak tepat, karena ayat itu merupakan satu kesatuan dengan QS 36:38-39 bahwa matahari dan bulan punya orbit masing-masing, seperti disimpulkan pada akhir QS 36:40. Karena dasar QS 36:40 yang mendasari wujudul hilal tidak benar, maka penentuan waktu ibadah berdasarkan wujudul hilal merupakan kreasi yang tanpa didasari ketentuan syar’i. Hadits rukyat diabaikan, sementara landasan Quran yang digunakan dimaknai keliru, jadilah wujudul hilal adalah produk bid’ah. https://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/07/04/hanya-karena-membela-bidah-wujudul-hilal-yang-usang-muhammadiyah-memilih-tafarruq/ .

Unifikasi Kalender Islam Nasional, Regional, dan Global Mudah, Asal Mau Bersepakat

T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama

Ada suatu kerisauan karena ummat Islam belum mempunyai kalender Islam yang mapan. Perbedaan penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha yang sering menimbulkan kebingungan ummat bermula dari belum adanya kalender Islam yang mapan. Apakah demikian sulitnya? Menurut saya tidak. Konsep astronomisnya sangat mudah. Asal ada kemauan untuk bersatu, dengan upaya menuju kesepakatan bersama. Contoh-contoh “best practice” kalender mapan menyatakan untuk menjadi kalender mapan perlu tiga syarat: (1) ada otoritas tunggal yang menjaga sistem kalender, (2) ada kriteria yang disepakati, dan (3) ada batas wilayah yang jelas. (Baca https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/11/16/dengan-menyamakan-kriteria-mereka-bisa-bersatu-kita-pun-semestinya-bisa/ ).

Di Indonesia, dua syarat sudah ada, yaitu otoritas tunggal Menteri Agama umumnya sudah disepakati dan batas wilayah NKRI. Konsep wilayatul hukmi (menganggap NKRI sebagai satu wilayah hukum) diterima oleh semua ormas Islam pelaksana hisab rukyat. Tinggal satu langkah lagi yang diperlukan, yaitu menyepakati kriteria bersama.

Pada 1998 sudah ada kesepakatan ormas-ormas Islam dengan kriteria “2-3-8”, yaitu ketinggian hilal minimal 2 derajat dan jarak bulan-matahari minimal 3 derajat, atau umur bulan 8 jam. Kesepakatan itu kemudian ditegaskan lagi pada September 2011. Sayangnya Muhammadiyah memisahkan diri, tidak mau menerima kesepakatan itu. Dulu, pada 1998 Muhammadiyah beralasan kriteria “2-3-8” tidak ilmiah. Namun, alih-alih menawarkan kriteria yang lebih ilmiah astronomi, Muhammadiyah malah mempertahankan terus kriteria wujudul hilal yang secara astronomi keliru.

Sebenarnya kerisauan juga dirasakan oleh Muhammadiyah. Setidaknya Prof. Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah mempertanyakannya: apakah kita akan membiarkan peradaban Islam terus dalam keadaan tanpa kalender unifikatif? Inikah pilihan kita? http://www.muhammadiyah.or.id/muhfile/download/Peradaban%20Tanpa%20Kalender.pdf . Sayangnya kerisauan itu tampaknya hanya sekadar apologi atas keenganan untuk meninggalkan wujudul hilal. Ada sikap tafarruq (memisahkan diri dari persatuan), enggan untuk bersatu bersama ormas-ormas Islam lainnya untuk menyepakati kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal), baik yang saat ini ada maupun kriteria baru berbasis astronomi yang diusulkan pada pertemuan September 2011 lalu. Seolah mewujudkan kalender unifikasi itu sesuatu yang sulit sekali yang tidak mungkin dibangun dari kesepakatan nasioanal dulu dan seolah wujudul hilal yang bisa mewujudkan unifikasi kalender.

Pembelaan wujudul hilal cenderung  mencari pembenaran dengan mendukung rukyat yang tidak terpercaya secara astronomis, tidak mu’tabar.  Berikut ungkapan dalam tulisan tersebut:

Ada yang berpendapat seandainya tidak ada pembatasan 2º sebagai kriteria untuk menerima rukyat, maka perbedaan awal Ramadan dan hari raya dapat diminimalisir. Dengan tiadanya pembatasan 2º, klaim rukyat kurang dari 2º seperti klaim rukyat Cakung Kamis 19 Juli 2012 lalu dapat saja diterima sehingga tidak akan menimbulkan perbedaan.

Pada sisi lain kriteria ketinggian 2º memperbesar peluang terjadinya perbedaan dengan Arab Saudi karena kecenderungan klaim terjadinya rukyat di Arab Saudi lebih cepat. Di Arab Saudi klaim rukyat pada nol derajat pun akan diterima. Hal ini menyebabkan negara itu memasuki bulan kamariah seperti Ramadan, Syawal, dan Zulhijah dalam sejumlah kasus selalu lebih dahulu dari penetapan resmi awal bulan di Indonesia.

Tulisan itu beropini, semestinya kesaksian seperti di Cakung bisa diterima agar keputusannya sama dengan hisab wujudul hilal. Padahal kesaksian di Cakung bukanlah kesaksian rukyat murni, tetapi rukyat yang terpengaruh hisab taqribi (pendekatan) yang sangat tidak akurat. Hisab taqribi menentukan ketinggian hilal berdasarkan pendekatan dari umur hilal. Karena ijtimak terjadi sekitar pukul 11.00, maka pada saat maghrib umur bulan sekitar 7 jam. Maka ketinggiannya adalah 7/2 = 3,5 derajat. Karena dianggap lebih dari 2 derajat, para perukyat yakin betul bahwa hilal bisa teramati lalu mengaku melihat hilal. Padahal ketinggian hilal dalam hisab hakiki (sebenarnya), termasuk yang dilakukan Muhammadiyah, tinggi hilal di Cakung hanya sekitar 1,5 derajat. Demi membela wujudul hilal, rukyat berbasis hisab taqribi yang bertentangan dengan hisab hakiki yang dianutnya, ingin diakui karena hasilnya sama dengan hisab wujudul hilal.

Kesaksian di Arab Saudi yang tidak pernah dikonfirmasi dengan data astronomi juga didukung untuk diterima agar hasilnya sama dengan hisab wujudul hilal. Jelas, logika semacam itu bukanlah logika ilmiah, justru bertentangan dengan logika astronomi. Bagaimana pun kesaksian hilal yang sangat rendah tidak mungkin terjadi karena hilal yang sangat redup tidak mungkin mengalahkan cahaya syafak (cahaya senja) yang masih kuat di ufuk saat matahari baru saja terbenam. Keberhasilan rukyat memerlukan syarat tertentu agar kontras hilal dan cahaya syafak cukup untuk memunculkan ketampakan hilal. Pendapat untuk menerima kesaksian hilal rendah disebabkan ketidakfahaman Muhammadiyah akan konsep rukyat, karena selama ini konsep wujudul hilal adalah konsep anti-rukyat.

Pembelaan akan wujudul hilal juga diopinikan hanya berdasarkan kasus parsial yang tidak bisa digeneralisasi, seolah dengan wujudul hilal kesamaan hari Arafah lebih terjamin. Berikut ungkapan dalam tulisan itu:

Contohnya adalah penetapan Pemerintah Indonesia tentang 1 Zulhijah 1431 H yang menjatuhkannya pada hari Senin 8 Nopember 2010 M karena tinggi bulan di Indonesia pada hari Sabtu 6 Nopember 2010 M belum mencapai 2º. Sementara itu Arab Saudi menjatuhkannya pada hari Ahad 7 Nopember 2010 M. Akibatnya terjadilah perbedaan jatuhnya hari Arafah antara Indonesia dan Arab Saudi. Ini menimbulkan masalah ibadah. Dalam konteks ini mereka yang menggunakan hisab wujudul hilal lebih realistis karena sistem mereka lebih mampu memperkecil potensi terjadinya perbedaan hari Arafah antara Mekah dan Indonesia.

Benarkah wujudul hilal bisa memperkecil perbedaan hari Arafah antara Mekkah dan Indonesia? TIDAK BENAR.  Perbedaan penetapan bisa terjadi karena masalah garis tanggal atau karena rukyat Arab Saudi yang tidak mengkonfirmasi kesaksian hilal yang kontroversial. Berikut ini contoh empat kasus garis tanggal wujudul hilal bulan Dzulhijjah yang justru memisahkan Arab Saudi dengan Indonesia, yaitu pada 1411 H/1991, 1417 H/1997,  1423H/2003, dan 1445H/2024. Garis batas arsir merah dan putih adalah garis tanggal wujudul hilal. Terlihat bahwa di Arab Saudi hilal sudah wujud (dan berpotensi ada yang mengaku melihat hilal), sementara di Indonesia bulan belum wujud. Artinya, dengan kriteria wujudul hilal dipastikan awal Dzulhijjah lebih awal di Arab Saudi daripada di Indonesia.

Konsep penyatuan atau unifikasi kalender sebenarnya sangat sederhana. Tiga syarat haruslah terpenuhi untuk mendapatkan penyatuan di tingkat nasional, regional, maupun global: (1) ada otoritas yang bersepakat, (2) ada kriteria yang disekapati, dan (3) ada batas wilayah yang juga disepakati. Bergantung kesepakatan yang dicapai. Tentu kesepakatan tingkat nasional relatif lebih mudah daripada kesepakatan tingkat regional dan global. Pentahapan tetap diperlukan, mulai tingal nasional, regional, sampai global. Tidak mungkin kita mengupayakan kesepakatan global, sementara di tingkat nasional dan regional belum ada kesepakatan.Karena kesepakatan regional dan global adalah kesepakatan antar-negara, sehingga prasyarat kesepakatan nasional harus sudah tercapai. Pendapat ormas atau pakar suatu negara haruslah sudah bulat untuk disuarakan oleh perwakilan pemerintah. Kesepakatan yang mengikat antarnegara bukanlah seperti kesepakatan konferensi internasional, karena itu hanyalah kesepakatan pakar yang belum tentu implementatif dalam kesepakatan negara dan sama sekali tidak mengikat.

Berikut ini diberikan konsep penyatuan tingkat nasional dengan contoh kasus garis tanggal Dzulhijjah 1445/2024 (gambar ke-4): Bila kita berhasil menyepakati kriteria imkan rukyat astronomis, misalnya kriteria Odeh yang digambarkan dengan arsir biru, dengan batas wilayah NKRI dan otoritas tunggal Menteri Agama, maka terlihat pada saat maghrib 6 Juni 2024, hilal masih di bawah ufuk. Tidak mungkin ada rukyatul hilal. Maka 1 Dzulhijjah di Indonesia disepakati jatuh pada hari berikutnya, 8 Juni 2024.Karena kriterianya berbasis imkan rukyat, maka hasil hisab para pengamal rukyat juga insya-allah akan seragam, sama dengan hasil hisab imkan rukyat.

Berikut ini konsep penyatuan tingkat regional ASEAN (minimal negara-negara MABIMS – Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) dengan contoh kasus garis tanggal Dzulhijjah 1445/2024 (gambar ke-4). Kesepakatan kriteria harus dicapai ditingkat pemerintahan regional, termasuk kesepakatn implementasinya. Batas wilayahnya tentu saja wilayah regional, dengan otoritas regional, misalnya Menteri-menteri Agama seperti yang sekarang berlaku di MABIMS. Analisis garis tanggal menyimpulkan, pada saat maghrib 6 Juni di wilayah ASEAN hilal masih di bawah ufuk, sehingga tidak mungkin ada rukyatul hilal. Maka 1 Dzulhijjah di wilayah ASEAN akan jatuh pada hari berikutnya, 8 Juni 2024.

Berikut ini konsep penyatuan tingkat global untuk kasus garis tanggal Dzulhijjah 1445/2024 (gambar ke-4). Otoritasnya mungkin perwakilan negara di OKI (organisasi Konferensi Islam). Kesepakatan kriteria dan batas wilayah perlu dicapai. Misalnya disepakati kriteria Odeh, maka arsir biru menjadi perhatian. Lalu perlu disepakati batas wilayahnya, menggunakan garis batas tanggal internasional (agar sama harinya di seluruh dunia) atau menggunakan garis batas visibilitas hilal yang dinamis (agar lebih sesuai dengan tuntunan syar’i). Mana yang terbaik? Tergantung hasil kesepakatan dengan mempertimbangkan banyak faktor, termasuk aspek syar’i dan kepraktisan. Kalau kesepakatan menggunakan batas wilayah atas dasar garis tanggal internasional, maka pada saat maghrib 6 Juni 2024 sudah ada wilayah yang mungkin merukyat, yaitu di wilayah Amerika Utara dan Amerika Tengah. Maka, seperti konsep wilayayatul hukmi (seluruh negara dianggap sebagai satu wilayah hukum), 1 Dzulhijjah jatuh pada 7 Juni 2024 di seluruh dunia. Tetapi kalau disepakati batas wilayahnya adalah berdasarkan garis visibilitas sebenarnya, maka wilayah Amerika Utara (Amerika Serikat, Kanada,Meksiko, dan negara-negara Amerika Tengah) 1 Dzulhijjah jatuh pada 7 Juni 2024 dan wilayah lainnya (termasuk Arab Saudi dan Indonesia) jatuh pada 8 Juni 2024.

Begitulah, unifikasi atau penyatuan tingkat nasional, regional, maupun global mudah diwujudkan. Syaratnya, mau bersepakat di tingkat nasional, regional, maupun global. Kita tidak mungkin mengupayakan kesepakatan global, kalau kesepakatan nasional dan regional belum tercapai. Tahapan itu mesti dilalui. Kalau mengupayakan kesepakatan global, tanpa kesepakatan nasional, kesepakatan itu percuma saja, karena nantinya di tingkat nasional perbedaan tetap akan muncul.