T. Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama
Ada suatu kerisauan karena ummat Islam belum mempunyai kalender Islam yang mapan. Perbedaan penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha yang sering menimbulkan kebingungan ummat bermula dari belum adanya kalender Islam yang mapan. Apakah demikian sulitnya? Menurut saya tidak. Konsep astronomisnya sangat mudah. Asal ada kemauan untuk bersatu, dengan upaya menuju kesepakatan bersama. Contoh-contoh “best practice” kalender mapan menyatakan untuk menjadi kalender mapan perlu tiga syarat: (1) ada otoritas tunggal yang menjaga sistem kalender, (2) ada kriteria yang disepakati, dan (3) ada batas wilayah yang jelas. (Baca https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/11/16/dengan-menyamakan-kriteria-mereka-bisa-bersatu-kita-pun-semestinya-bisa/ ).
Di Indonesia, dua syarat sudah ada, yaitu otoritas tunggal Menteri Agama umumnya sudah disepakati dan batas wilayah NKRI. Konsep wilayatul hukmi (menganggap NKRI sebagai satu wilayah hukum) diterima oleh semua ormas Islam pelaksana hisab rukyat. Tinggal satu langkah lagi yang diperlukan, yaitu menyepakati kriteria bersama.
Pada 1998 sudah ada kesepakatan ormas-ormas Islam dengan kriteria “2-3-8”, yaitu ketinggian hilal minimal 2 derajat dan jarak bulan-matahari minimal 3 derajat, atau umur bulan 8 jam. Kesepakatan itu kemudian ditegaskan lagi pada September 2011. Sayangnya Muhammadiyah memisahkan diri, tidak mau menerima kesepakatan itu. Dulu, pada 1998 Muhammadiyah beralasan kriteria “2-3-8” tidak ilmiah. Namun, alih-alih menawarkan kriteria yang lebih ilmiah astronomi, Muhammadiyah malah mempertahankan terus kriteria wujudul hilal yang secara astronomi keliru.
Sebenarnya kerisauan juga dirasakan oleh Muhammadiyah. Setidaknya Prof. Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah mempertanyakannya: apakah kita akan membiarkan peradaban Islam terus dalam keadaan tanpa kalender unifikatif? Inikah pilihan kita? http://www.muhammadiyah.or.id/muhfile/download/Peradaban%20Tanpa%20Kalender.pdf . Sayangnya kerisauan itu tampaknya hanya sekadar apologi atas keenganan untuk meninggalkan wujudul hilal. Ada sikap tafarruq (memisahkan diri dari persatuan), enggan untuk bersatu bersama ormas-ormas Islam lainnya untuk menyepakati kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal), baik yang saat ini ada maupun kriteria baru berbasis astronomi yang diusulkan pada pertemuan September 2011 lalu. Seolah mewujudkan kalender unifikasi itu sesuatu yang sulit sekali yang tidak mungkin dibangun dari kesepakatan nasioanal dulu dan seolah wujudul hilal yang bisa mewujudkan unifikasi kalender.
Pembelaan wujudul hilal cenderung mencari pembenaran dengan mendukung rukyat yang tidak terpercaya secara astronomis, tidak mu’tabar. Berikut ungkapan dalam tulisan tersebut:
Ada yang berpendapat seandainya tidak ada pembatasan 2º sebagai kriteria untuk menerima rukyat, maka perbedaan awal Ramadan dan hari raya dapat diminimalisir. Dengan tiadanya pembatasan 2º, klaim rukyat kurang dari 2º seperti klaim rukyat Cakung Kamis 19 Juli 2012 lalu dapat saja diterima sehingga tidak akan menimbulkan perbedaan.
…
Pada sisi lain kriteria ketinggian 2º memperbesar peluang terjadinya perbedaan dengan Arab Saudi karena kecenderungan klaim terjadinya rukyat di Arab Saudi lebih cepat. Di Arab Saudi klaim rukyat pada nol derajat pun akan diterima. Hal ini menyebabkan negara itu memasuki bulan kamariah seperti Ramadan, Syawal, dan Zulhijah dalam sejumlah kasus selalu lebih dahulu dari penetapan resmi awal bulan di Indonesia.
Tulisan itu beropini, semestinya kesaksian seperti di Cakung bisa diterima agar keputusannya sama dengan hisab wujudul hilal. Padahal kesaksian di Cakung bukanlah kesaksian rukyat murni, tetapi rukyat yang terpengaruh hisab taqribi (pendekatan) yang sangat tidak akurat. Hisab taqribi menentukan ketinggian hilal berdasarkan pendekatan dari umur hilal. Karena ijtimak terjadi sekitar pukul 11.00, maka pada saat maghrib umur bulan sekitar 7 jam. Maka ketinggiannya adalah 7/2 = 3,5 derajat. Karena dianggap lebih dari 2 derajat, para perukyat yakin betul bahwa hilal bisa teramati lalu mengaku melihat hilal. Padahal ketinggian hilal dalam hisab hakiki (sebenarnya), termasuk yang dilakukan Muhammadiyah, tinggi hilal di Cakung hanya sekitar 1,5 derajat. Demi membela wujudul hilal, rukyat berbasis hisab taqribi yang bertentangan dengan hisab hakiki yang dianutnya, ingin diakui karena hasilnya sama dengan hisab wujudul hilal.
Kesaksian di Arab Saudi yang tidak pernah dikonfirmasi dengan data astronomi juga didukung untuk diterima agar hasilnya sama dengan hisab wujudul hilal. Jelas, logika semacam itu bukanlah logika ilmiah, justru bertentangan dengan logika astronomi. Bagaimana pun kesaksian hilal yang sangat rendah tidak mungkin terjadi karena hilal yang sangat redup tidak mungkin mengalahkan cahaya syafak (cahaya senja) yang masih kuat di ufuk saat matahari baru saja terbenam. Keberhasilan rukyat memerlukan syarat tertentu agar kontras hilal dan cahaya syafak cukup untuk memunculkan ketampakan hilal. Pendapat untuk menerima kesaksian hilal rendah disebabkan ketidakfahaman Muhammadiyah akan konsep rukyat, karena selama ini konsep wujudul hilal adalah konsep anti-rukyat.
Pembelaan akan wujudul hilal juga diopinikan hanya berdasarkan kasus parsial yang tidak bisa digeneralisasi, seolah dengan wujudul hilal kesamaan hari Arafah lebih terjamin. Berikut ungkapan dalam tulisan itu:
Contohnya adalah penetapan Pemerintah Indonesia tentang 1 Zulhijah 1431 H yang menjatuhkannya pada hari Senin 8 Nopember 2010 M karena tinggi bulan di Indonesia pada hari Sabtu 6 Nopember 2010 M belum mencapai 2º. Sementara itu Arab Saudi menjatuhkannya pada hari Ahad 7 Nopember 2010 M. Akibatnya terjadilah perbedaan jatuhnya hari Arafah antara Indonesia dan Arab Saudi. Ini menimbulkan masalah ibadah. Dalam konteks ini mereka yang menggunakan hisab wujudul hilal lebih realistis karena sistem mereka lebih mampu memperkecil potensi terjadinya perbedaan hari Arafah antara Mekah dan Indonesia.
Benarkah wujudul hilal bisa memperkecil perbedaan hari Arafah antara Mekkah dan Indonesia? TIDAK BENAR. Perbedaan penetapan bisa terjadi karena masalah garis tanggal atau karena rukyat Arab Saudi yang tidak mengkonfirmasi kesaksian hilal yang kontroversial. Berikut ini contoh empat kasus garis tanggal wujudul hilal bulan Dzulhijjah yang justru memisahkan Arab Saudi dengan Indonesia, yaitu pada 1411 H/1991, 1417 H/1997, 1423H/2003, dan 1445H/2024. Garis batas arsir merah dan putih adalah garis tanggal wujudul hilal. Terlihat bahwa di Arab Saudi hilal sudah wujud (dan berpotensi ada yang mengaku melihat hilal), sementara di Indonesia bulan belum wujud. Artinya, dengan kriteria wujudul hilal dipastikan awal Dzulhijjah lebih awal di Arab Saudi daripada di Indonesia.
Konsep penyatuan atau unifikasi kalender sebenarnya sangat sederhana. Tiga syarat haruslah terpenuhi untuk mendapatkan penyatuan di tingkat nasional, regional, maupun global: (1) ada otoritas yang bersepakat, (2) ada kriteria yang disekapati, dan (3) ada batas wilayah yang juga disepakati. Bergantung kesepakatan yang dicapai. Tentu kesepakatan tingkat nasional relatif lebih mudah daripada kesepakatan tingkat regional dan global. Pentahapan tetap diperlukan, mulai tingal nasional, regional, sampai global. Tidak mungkin kita mengupayakan kesepakatan global, sementara di tingkat nasional dan regional belum ada kesepakatan.Karena kesepakatan regional dan global adalah kesepakatan antar-negara, sehingga prasyarat kesepakatan nasional harus sudah tercapai. Pendapat ormas atau pakar suatu negara haruslah sudah bulat untuk disuarakan oleh perwakilan pemerintah. Kesepakatan yang mengikat antarnegara bukanlah seperti kesepakatan konferensi internasional, karena itu hanyalah kesepakatan pakar yang belum tentu implementatif dalam kesepakatan negara dan sama sekali tidak mengikat.
Berikut ini diberikan konsep penyatuan tingkat nasional dengan contoh kasus garis tanggal Dzulhijjah 1445/2024 (gambar ke-4): Bila kita berhasil menyepakati kriteria imkan rukyat astronomis, misalnya kriteria Odeh yang digambarkan dengan arsir biru, dengan batas wilayah NKRI dan otoritas tunggal Menteri Agama, maka terlihat pada saat maghrib 6 Juni 2024, hilal masih di bawah ufuk. Tidak mungkin ada rukyatul hilal. Maka 1 Dzulhijjah di Indonesia disepakati jatuh pada hari berikutnya, 8 Juni 2024.Karena kriterianya berbasis imkan rukyat, maka hasil hisab para pengamal rukyat juga insya-allah akan seragam, sama dengan hasil hisab imkan rukyat.
Berikut ini konsep penyatuan tingkat regional ASEAN (minimal negara-negara MABIMS – Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) dengan contoh kasus garis tanggal Dzulhijjah 1445/2024 (gambar ke-4). Kesepakatan kriteria harus dicapai ditingkat pemerintahan regional, termasuk kesepakatn implementasinya. Batas wilayahnya tentu saja wilayah regional, dengan otoritas regional, misalnya Menteri-menteri Agama seperti yang sekarang berlaku di MABIMS. Analisis garis tanggal menyimpulkan, pada saat maghrib 6 Juni di wilayah ASEAN hilal masih di bawah ufuk, sehingga tidak mungkin ada rukyatul hilal. Maka 1 Dzulhijjah di wilayah ASEAN akan jatuh pada hari berikutnya, 8 Juni 2024.
Berikut ini konsep penyatuan tingkat global untuk kasus garis tanggal Dzulhijjah 1445/2024 (gambar ke-4). Otoritasnya mungkin perwakilan negara di OKI (organisasi Konferensi Islam). Kesepakatan kriteria dan batas wilayah perlu dicapai. Misalnya disepakati kriteria Odeh, maka arsir biru menjadi perhatian. Lalu perlu disepakati batas wilayahnya, menggunakan garis batas tanggal internasional (agar sama harinya di seluruh dunia) atau menggunakan garis batas visibilitas hilal yang dinamis (agar lebih sesuai dengan tuntunan syar’i). Mana yang terbaik? Tergantung hasil kesepakatan dengan mempertimbangkan banyak faktor, termasuk aspek syar’i dan kepraktisan. Kalau kesepakatan menggunakan batas wilayah atas dasar garis tanggal internasional, maka pada saat maghrib 6 Juni 2024 sudah ada wilayah yang mungkin merukyat, yaitu di wilayah Amerika Utara dan Amerika Tengah. Maka, seperti konsep wilayayatul hukmi (seluruh negara dianggap sebagai satu wilayah hukum), 1 Dzulhijjah jatuh pada 7 Juni 2024 di seluruh dunia. Tetapi kalau disepakati batas wilayahnya adalah berdasarkan garis visibilitas sebenarnya, maka wilayah Amerika Utara (Amerika Serikat, Kanada,Meksiko, dan negara-negara Amerika Tengah) 1 Dzulhijjah jatuh pada 7 Juni 2024 dan wilayah lainnya (termasuk Arab Saudi dan Indonesia) jatuh pada 8 Juni 2024.
Begitulah, unifikasi atau penyatuan tingkat nasional, regional, maupun global mudah diwujudkan. Syaratnya, mau bersepakat di tingkat nasional, regional, maupun global. Kita tidak mungkin mengupayakan kesepakatan global, kalau kesepakatan nasional dan regional belum tercapai. Tahapan itu mesti dilalui. Kalau mengupayakan kesepakatan global, tanpa kesepakatan nasional, kesepakatan itu percuma saja, karena nantinya di tingkat nasional perbedaan tetap akan muncul.
Filed under: 2. Hisab-Rukyat | 53 Comments »