Thomas Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, BRIN
Anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama
Perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia. Sebab utamanya bukan karena beda metode rukyat (pengamatan) dan hisab (perhitungan), tetapi karena perbedaan kriteria. Kriteria awal bulan bermakna syarat minimal posisi bulan untuk menyatakan hasil hisab (tinggi bulan, elongasi — jarak pisah bulan-matahari –, umur bulan, beda waktu terbenam matahari-bulan, atau parameter lainnya) telah terpenuhi untuk dimulainya bulan baru. Bagi pengamal rukyat, kriteria itu untuk mengonfirmasi keyakinan kesaksian hilal agar tidak keliru mengindentifikasi hilal.
Wapres Jusuf Kalla pada 2007 pernah menginisiasi upaya mencari titik temu antara dua ormas besar Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Saat itu menjelang terjadinya perbedaan idul fitri 1428 H/2007. Wapres saat itu (Pak Jusuf Kalla) berencana mempertemukan antara Ketua Umum PBNU dan Ketua Umum PP Muhammadiyah. Untuk bahan masukan bagi Wapres, Menteri Agama saat itu (Pak Maftuh Basuni) mengundang saya (T. Djamaluddin) pada 2 Ramadhan 1428 (14 September 2007) menanyakan penyatuan seperti apa yang bisa diupayakan antara Muhammadiyah (berdasarkan hisab) dan NU (berdasarkan rukyat). Saya sarankan untuk mengupayakan penyatuan kriteria hisab rukyat yang merupakan titik temu antara hisab dan rukyat yang juga sudah menjadi rekomendasi fatwa MUI nomor 2/2004.
Pertemuan antara Wapres dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Ketua Umum PBNU terlaksana pada 24 September 2007 dan disepakati untuk menyamakan persepsi. Kemudian pertemuan itu ditindaklanjuti dengan dua kali pertemuan teknis antara Lajnah Falakiyah PBNU dan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Pertama di PBNU Jakarta dan kedua di PP Muhammadiyah Yogyakarta. Sayang pertemuan teknis ke-3 yang direncanakan di UIN Jakarta belum juga terwujud. Rekaman pernyataan-pernyataan indah dalam upaya mencari titik temu tersebut saya dokumentasikan di blog saya.
Ada pernyataan yang menarik untuk menjadi perhatian kita bersama. Dalam pertemuan terakhir di kantor PP Muhammadiyah di Yogyakarta, 6 Desember 2007, Ketua PP Muhammadiyah mengingatkan bahwa perbedaan penentuan awal bulan hijriyah difahami sebagai konflik. Masyarakat menilainya tidak ada ukhuwah Islamiah.
Namun sudah lebih dari 15 tahun sejak pertemuan itu, dialog yang difasilitasi Kementerian Agama itu untuk menuju titik temu itu tidak ada hasilnya. Perbedaan masih terus berlanjut. Ketika sebagian besar ormas Islam bersepakat dengan kriteria baru MABIMS pada 1443 H/2022, masih ada pihak yang enggan untuk ikut pada kesepakatan demi ummat tersebut. Bahkan, langkah yang dilakukan justru makin menjauh dengan wacana mengubah kriteria mulai 1446 H dari Wujudul Hilal menjadi kriteria Kalender Hijriyah Global Tunggal (KHGT) atau Kalender Hijriyah Global ala Turki (KHGT). KHGT akan makin sering menimbulkan perbedaan. Berikut contoh perbedaan yang terjadi pada 1445 H/2024.
Perbedaan penetapan awal bulan karena kriteria Wujudul Hilal
Perbedaan makin sering dengan kriteria KHGT
Filed under: 1. Astronomi & Antariksa, 2. Hisab-Rukyat |
[…] KHGT, wilayah yang tidak mungkin bisa merukyat (karena posisi bulan rendah atau di bawah ufuk) dipaksa untuk memulai bulan baru. Jelas itu tidak mungkin […]