Khutbah Jumat: Penyatuan Kalender Islam

T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

Anggota Tim Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI

 

Khutbah Jumat di Masjid Salman ITB, 19 Mei 2017

Baca juga Catatan tentang Hisab Rukyat dan Kalender GlobalΒ  (Bagian 1 dan Bagian 2) .

Catatan tentang Hisab Rukyat dan Kalender Islam (Bagian 2 dari 2)

T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

Anggota Tim Hisab Rukyat, Kementerian Agama

(Catatan ini dibuat untuk WA Group, ditulis menjelang Ramadhan 1438)

Menyambut Ramadhan, sebagian ummat Islam kembali ingat soal hisab rukyat terkait dengan penentuan awal Ramadhan (dan nanti idul fitri). Penentuan awal Ramadhan pada zaman Rasul dengan rukyat. Dalilnya merujuk beberapa hadits terkait perintah puasa Ramadhan dan beridulfitri dengan merujuk hasil rukyat hilal (bulan sabit pertama). Setelah ilmu hisab berkembang, digunakan juga penentuan awal bulan dengan cara hisab, baik secara mandiri maupun dikombinasikan dengan hasil rukyat. Hasil rukyat perlu ditetapkan (itsbat) oleh hakim/Pemerintah. Hasil hisab bisa secara langsung digunakan sebagai penetapan jauh harinya. Hisab memerlukan kriteria awal bulan sebagai batasan masuknya awal bulan Ramadhan.

 

Potensi Seragam Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah

Kriteria hisab (perhitungan astronomis) yg digunakan Pemerintah dan dua ormas besar (NU dan Muhammadiyah) adalah imkan rukyat (kemungkinan teramatinya hilal) 2 derajat dan wujudul hilal (tinggi hilal positif). Analisis paling cepat awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah adalah dengan analisis garis tanggal berbasis kriteria tersebut.

Garis tanggal Ramadhan menunjukkan bahwa secara hisab awal Ramadhan 1438 akan seragam jatuh pada 27 Mei 2017.

Potensi seragam juga akan terjadi pada penentuan 1 Syawal (Idul Fitri) dan 10 Dzulhijjah (Idul Adha). Garis tanggal awal Syawal (πŸ‘‡) pada saat matahari terbenam 24 Juni 2017 menunjukkan bahwa Indonesia berada di sebelah Barat (kiri) garis tanggal Wujudul Hilal dan imkan rukyat 2 derajat. Jadi disimpulkan, secara hisab awal Syawal (Idul Fitri) jatuh pd 25 Juni 2017 menurut dua kriteria tersebut.

Keseragaman juga terjadi pd penentuan awal Dzulhijjah 1438 (πŸ‘‡). Awal Dzulhijjah jatuh pada 23 Agustus 2017, sehingga Idul Adha (10 Dzulhijjah) 1438 jatuh pada 1 September 2017.

Keseragaman seperti itu utk Ramadhan akan terjadi sampai 1442/2021. Demikian juga keseragaman Syawal dan Dzulhijjah akan terjadi sampai 1443/2022.

 

Potensi Perbedaan Awal Ramadhan dan Hari Raya serta Cara Menyikapi

Perberdaan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah seperti terjadi beberapa tahun lalu disebabkan oleh perbedaan penggunaan kriteria. Bukan karena perbedaan penggunaan metode hisab dan rukyat. Sampai saat ini Pemerintah dan NU menggunakan kriteria tinggi hilal 2 derajat, sementara Muhammadiyah menggunakan kriteria Wujudul Hilal (tinggi bulan positif di atas ufuk). Ketika posisi bulan berada di antara 0 – 2 derajat (seperti saat Idul Fitri 1432/2011) pasti terjadi perbedaan. Menurut kriteria Wujudul Hilal sdh dianggap masuk bulan baru, tetapi menurut kriteria imkan rukyat 2 derajat saat itu belum masuk awal bulan.

Alhamdulillah, posisi bulan saat ini di luar rentang 0-2 derajat sampai 1442/2021 untuk awal Ramadhan dan sampai 1443/2022 utk awal Syawal dan Dzulhijjah. Tetapi, ada juga ormas yg menggunakan kriteria lain, yaitu Persis (Persatuan Islam) yg berpotensi berbeda dlm penentuan Idul Fitri 1438/2017. Persis menggunakan kriteria: beda tinggi bulan-matahari 4 derajat (atau tinggi bulan 3 derajat 10′) dan elongasi (jarak sudut bulan-matahari) 6,4 derajat. Kriteria itu didasarkan pada analisis astronomis. Pada saat maghrib 29 Ramadhan 1438/24 Juni 2017 ketinggian bulan sudah lebih dari 3 derajat, tetapi elongasinya kurang dari 6,4 derajat. Garis tanggalnya (πŸ‘‡) menunjukkan di Indonesia bulan belum memenuhi kriteria imkan rukyat astronomis yg digunakannya. Maka di kalender Persis dinyatakan 1 Syawal jatuh pada hari berikutnya, 26 Juni 2017.

Bagaimana menyikapi potensi perbedaan tersebut? Pilihan terbaik adalah mengikuti keputusan Pemerintah untuk mewujudkan persatuan ummat. Pada bagian berikutnya akan dibahas pentingnya otoritas tunggal dalam mewujudkan penyatuan kalender Islam. Untuk skala nasional, otoritas tunggal itu mestinya Pemerintah.

 

Awal Hari pada Kalender Islam

Sebelum membahas konsep kalender Islam pemersatu ummat, perlu difahami dulu awal hari pada kalender Islam. Awal hari ditandai dengan kondisi fisik objek rujukannya. Awal hari pada kalender matahari (syamsiah, solar calendar) didasarkan posisi matahari di titik nadirnya (titik terbawah), yaitu tepat saat tengah malam. Jadi pukul 00.00 tengah malam adalah awal hari pada kalender Masehi atau kalender internasional. Kalender Islam berbasis bulan (qamariyah, lunar calendar). Awal hari dimulai saat maghrib. Alasannya, pergantian hari terkait dg pergantian tanggal awal bulan. Rasul SAW mengajarkan berpuasalah (pada awal Ramadhan) dan berbukalah (pada awal Syawal) dg melihatnya (hilal). Jadi, pergantian tanggal bergantung pada pengamatan hilal (bulan sabit pertama) yg ditentukan saat maghrib.

Kalau hilal terlihat, itulah awal tanggal dan awal hari pada kalender Islam. Konsep awal hari dimulai saat maghrib sudah lazim dikenal masyarakat dengan sebutan “malam Jumat” untuk Kamis malam dan Jumat dini hari. Konsep awal hari berawal dari maghrib berkonsekuensi pada pelaksanan ibadah. Misalnya, shalat tarawih awal Ramadhan dimulai sejak malam terlihatnya hilal (termasuk terlihat menurut kriteria hisab — perhitungan astronomi).

 

Kalender Mapan

Untuk mewujudkan kalender mapan yg mempersatukan dan memberi kepastian diperlukan 3 syarat:
– Ada otoritas tunggal yg menjaganya.
– Ada kriteria tunggal yg disepakati.
– Ada batas wilayah keberlakuannya.

Kalender Masehi yg saat ini jadi kalender internasional dulu pun berbeda-beda. Bahkan hari natal di Roma dan Inggris pada tahun 1790 berbeda 12 hari. Sebabnya, karena ada 2 otoritas dengan kriteria berbeda. Raja di Inggris masih pakai kriteria lama, kriteria Julius. Paus di Roma sdh menggunakan kriteria baru, kriteria Gregorius. Kalender Islam saat ini belum menjadi kalender mapan dan masih berbeda-beda karena 3 syarat tersebut belum terpenuhi. Masing2 ormas (secara nasional) dan masing2 negara punya otoritas sendiri2. Kriterianya pun berbeda-beda. Alhamdulillah di Indonesia batas wilayah sdh disepakati, yaitu seluruh wilayah Indonesia dijadikan satu wilayah hukum (wilayatul hukmi).

Saat ini sedang diupayakan agar ada otoritas tunggal. Di Indonesia, Pemerintah pantas dijadikan sebagai otoritas tunggal nasional utk menjaga kalender Islam. Posisi Pemeritah juga akan memudahkan utk menentukan otoritas regional, yaitu MABIMS (Forum Menteri2 Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Otoritas global diusulkan otoritas kolektif antar-pemerintah dalam wadah OKI (Organisasi Kerjasama Islam). Kriteria baru pun perlu disepakati, menggantikan kriteria Wujudul Hilal dan kriteria tinggi hilal 2 derajat. Dengan kriteria tunggal yg disepakati, perbedaan dapat dihilangkan.

 

Kriteria Baru

Fatwa MUI No.2/2004 tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah merekomendasikan agar MUI mengusahakan kriteria penentuan awal bulan utk jadi pedoman. Rekomendasi tersebut baru ditindaklanjuti Agustus 2015 dg membentuk Tim Pakar Astronomi dari LAPAN, ITB, BIG, Planetarium, dan UPI. Tim Pakar Astronomi mengkaji data kesaksian hilal global dan data hisab posisi bulan jangka panjang. Data tersebut diperlukan untuk menentukan batas minimal ketampakan hilal.

Data astronomi menunjukkan bahwa jarak bulan-matahari minimal 6,4 derajat agar sabit bulan cukup tebal utk bisa dilihat. Data hisab juga menunjukkan jarak bulan-matahari 6,4 derajat menjamin bulan sdh di atas ufuk. Selain itu, data rukyat global juga menunjukkan tdk ada kesaksian hilal bila beda tinggi bulan-matahari kurang dari 4 derajat. Hal itu beralasan, karena hilal yg tipis tdk mungkin mengalahkan cahaya senja yg cukup kuat di dekat ufuk. Dengan sedikit modifikasi, kriteria tersebut diterima dalam pertemuan teknis forum MABIMS (Menteri2 Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) pada Agustus 2016. Karena ketinggian matahari saat terbenam minus 50′, maka kriteria beda tinggi bulan-matahari 4 derajat identik dengan tinggi bulan 3 derajat 10′, dibulatkan 3 derajat. Jadi kriteria baru yg diusulkan untuk penetapan kalender Islam: (1) jarak bulan-matahari (elongasi) minimal 6,4 derajat dan (2) tinggi bulan minimal 3 derajat.

 

Kalender Islam Global Pemersatu Ummat

Konsep kalender global harus memenuhi 3 syarat kalender mapan. Ada otoritas tunggal yg menjaga, ada kriteria yg disepakati, dan ada batas wilayah keberlakuannya. Kalender tersebut juga harus bisa menjadi kalender pemersatu di tingkat nasional dan regional. Kriteria yg dibahas sebelumnya akan digunakan sebagai kriteria baru, menggantikan kriteria lama yg digunakan ormas-ormas Islam. Kriteria tersebut merupakan titik temu pengamal rukyat dan hisab.

Untuk kalender global, kriteria tersebut menggunakan rujukan (markaz) Indonesia dan menggunakan garis batas tanggal internasional. Artinya, kalau awal Ramadhan di Indonesia jatuh pada Sabtu, seluruh dunia juga Sabtu. Kriteria baru dengan Markaz Indonesia mengakomodasi gagasan yg berkembang secara global. Pada saat di Indonesia ketinggian bulan 3 derajat, di Timur Tengah (termasuk Saudi Arabia dan Turki) ketinggian bulan 5 derajat. Itulah kriteria yg diusulkan Turki pada Kongres Kalender Islam Internasional 2016. Dg kriteria itu juga rukyat di Saudi Arabia dapat diterima secara astronomi, sehingga keputusan Saudi Arabia akan sama dengan kalender. Dengan ketinggian 3 derajat di Indonesia, di wilayah paling Timur zona waktu (Samoa), ketinggian bulan secara umum sudah wujud di atas ufuk. Kondisi Wujudul Hilal tsb bisa mengakomodasi gagasan kalender Islam global Muhammadiyah. Otoritas Pemerintah harus kita sepakati bersama utk menjaga kalender Islam. Secara regional ada otoritas kolektif MABIMS. Otoritas global kita manfaatkan OKI (Organisasi Kerjasama Islam).

Jadi, konsep kalender global yg sedang diupayakan: (1) otoritas kolektif OKI yg menjaga kalender, (2) kriteria yg digunakan jarak bulan-matahari (elongasi) minimal 6,4 derajat dan tinggi bulan minimal 3 derajat di wilayah Indonesia, (3) mathla’ (batas wilayah keberlakuan) global dg garis tanggal internasional. Semoga prakarsa baru yg akan diajukan Kementerian Agama tersebut bisa segera direalisasikan mewujudkan kalender Islam global yang mempersatukan ummat.