Penyatuan Kalender Islam

T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

Anggota Tim Hisab Rukyat, Kementeria Agama

[Ini naskah asli tulisan yang dimuat di Republika 22 Mei 2017]

Setelah beberapa tahun lalu ummat Islam Indonesia mengalami beberapa kali perbedaan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, kini selama delapan tahun sampai 1442 H/2021 M akan merasakan keseragaman. Bukan karena telah tercapai persatuan umat secara hakiki, tetapi karena posisi bulan yang memungkinkan keputusan pemerintah dan ormas-ormas Islam bersepakat. Selama ini sumber perbedaan bukan karena perbedaan antara hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan) hilal (bulan sabit pertama). Penyebab utamanya adalah perbedaan kriteria awal bulan.

Kriteria awal bulan adalah batasan ketinggian bulan dan parameter lainnya pada saat maghrib 29 bulan qamariyah (seperti Sya’ban) yang menjadi petunjuk bahwa hilal sudah dianggap dapat diamati atau menjadi pertanda masuknya awal bulan (seperti Ramadhan). Dua kriteria utama yang digunakan adalah kriteria Wujudul Hilal dan imkan rukyat (kemungkinan rukyat) ketinggian bulan 2 derajat. Kriteria Wujudul Hilal digunakan oleh Muhammadiyah, yaitu bulan dianggap telah di atas ufuk ketika bulan terbenam lebih lambat daripada matahari. Kriteria imkan rukyat 2 derajat digunakan oleh Pemerintah yang merupakan hasil kesepakatan ormas-ormas Islam (termasuk NU).

Ketika posisi bulan berada pada ketinggian antara 0 (wujudul hilal) dan 2 derajat sudah pasti terjadi perbedaan, seperti saat penentuan Idul Fitri 1432 M/2011 M. Pada kasus seperti itu, Muhammadiyah yang menggunakan kriteria Wujudul Hilal mengumumkan keesokan harinya sudah memasuki Idul Fitri. Tetapi pemerintah dan beberapa ormas Islam lainnya memutuskan Idul Fitri pada hari berikutnya. Perbedaan seperti itu menimbulkan ketidaknyamanan di masyarakat.

Pada saat “masa tenang” sampai 1442 H/2021 M Kementerian Agama bersama pakar-pakar hisab rukyat dari berbagai Ormas Islam dan lembaga astronomi terus berupaya untuk mencari titik temu. Menteri Agama telah menjalin komunikasi dengan ormas-ormas Islam, terutama Muhammadiyah dan NU, untuk mengupayakan titik temu. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun membentuk Tim Pakar Astronomi untuk merumuskan kriteria baru yang diarahkan untuk memberi solusi perbedaan kriteria, sebagai implementasi rekomendasi dalam Fatwa MUI Nomor 2 tahun 2004. Adakah hasilnya? Ada indikasi rumusan baru kriteria akan memberi solusi. Penyatuan kalender Islam nasional selangkah lagi, bahkan bisa diperluas untuk tingkat regional (ASEAN) dan global.

 

Kriteria Baru

Tim pakar astronomi dari LAPAN, ITB, BIG, Planetarium, dan UPI yang dibentuk oleh MUI Agustus 2015 lalu telah mengkaji data astronomi kesaksian hilal secara global. Tim berpendapat kriteria Wujudul Hilal dan kriteria ketinggian 2 derajat tidak sesuai dengan data astronomis. Jadi perlu diganti dengan kriteria baru yang didasarkan pada data sahih astronomis. Kriteria baru juga harus memperhatikan ketentuan syar’i (ketentuan agama Islam), yaitu awal bulan dimulai bila saat maghrib bulan telah memungkinkan bisa dirukyat.

Data astronomi menunjukkan bahwa ketampakan hilal secara global tidak mungkin ketika posisi bulan terlalu dekat dengan matahari, karena hilal masih terlalu tipis. Batas minimal jarak bulan-matahari berdasarkan data astronomi adalah 6,4 derajat. Analisis data astronomi posisi bulan menunjukkan juga bahwa bila jarak bulan-matahari kurang dari 6,4 derajat, pada saat maghrib umumnya masih berada di bawah ufuk. Data kesaksian hilal global juga menunjukkan bahwa tidak ada kesaksian hilal bila beda tinggi bulan-matahari kurang dari 4 derajat. Hal ini beralasan, karena bila terlalu dekat dengan ufuk, cahaya senja masih cukup terang sehingga akan mengganggu ketampakan hilal.

Atas dasar analisis data astronomi tersebut, diusulkan kriteria baru: jarak bulan-matahari minimal 6,4 derajat dan beda tinggi bulan-matahari minimal 4 derajat. Kriteria itu adalah batas minimal agar hilal cukup tebal untuk mengalahkan gangguan cahaya senja. Sayangnya, kriteria belum bisa ditetapkan oleh MUI pada saat Munas 2015 di Surabaya. Padahal kalau kriteria itu ditetapkan akan menyempurnakan fatwa MUI Nomor 2 tahun 2004 sehingga bisa menjadi menjadi pedoman bersama pemerintah dan ormas-ormas Islam.

Upaya lain yang dilakukan oleh Kementerian Agama adalah menindaklanjuti keinginan forum negara-negara MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) untuk mengubah kriteria lamanya. Kriteria lama MABIMS adalah tinggi bulan minimal 2 derajat dan jarak bulan-matahari minimal 3 derajat atau umur bulan minimal 8 jam. Kriteria MABIMS tersebut yang juga menjadi rujukan pemerintah sampai saat ini.

Pada pertemuan teknis MABIMS pada Agustus 2016 akhirnya dirumuskan usulan perubahan kriteria MABIMS. Usulan kriteria baru MABIMS tersebut adalah tinggi bulan minimal 3 derajat dan jarak bulan-matahari minimal 6,4 derajat. Usulan kriteria tersebut pada dasarnya identik dengan dengan usulan kriteria Tim Pakar Astronomi tersebut di atas. Karena ketinggian matahari saat terbenam adalah minus 50 menit, maka dengan beda tinggi bulan-matahari 4 derajat identik dengan tinggi bulan 3 derajat 10 menit yang dibulatkan menjadi 3 derajat.

Jadi, usulan kriteria baru untuk diterapkan secara nasional Indonesia dan regional di negara-negara MABIMS adalah jarak bulan-matahari minimal 6,4 derajat dan ketinggian bulan minimal 3 derajat.

 

Penyatuan Kalender

Suatu sistem kalender dibangun atas dasar kesepakatan dengan tiga syarat: ada otoritas tunggal yang menjaganya, ada kriteria yang disepakati, dan ada batas wilayah keberlakuanya. Tiga syarat itu berlaku juga berlaku pada sistem kalender Masehi yang saat ini menjadi kalender internasional. Otoritas awal kalender Masehi adalah Paus di Roma. Kriteria yang digunakan adalah kriteria Gregorius, yaitu adanya tahun kabisat setiap 4 tahun yang angkanya kelipatan 4, kecuali pada tahun yang kelipatan 100, seperti 1700, 1800, dan 1900.

Kalender Islam pun kalau ingin menjadi kalender yang mapan harus memenuhi tiga syarat tersebut. Saat ini otoritas tunggal belum terwujud. Di tingkat nasional pemerintah belum menjadi otoritas tunggal, masih ada otoritas pimpinan ormas Islam. Kriteria pun belum tunggal, setidaknya saat ini ada kriteria wujudul hilal dan kriteria ketinggian 2 derajat. Untungnya batas wilayah sudah disepakati, yaitu seluruh wilayah Indonesia dianggap sebagai satu wilayah yang utuh.

Bagaimana mewujudkan kalender Islam yang mapan? Kita mulai dari tingkat nasional. Semua pihak, terutama ormas-ormas Islam, harus menyatukan tekad menentukan otoritas tunggal nasional. Posisi yang tepat untuk otoritas tunggal adalah Pemerintah. Dengan otoritas nasional adalah Pemerintah, itu juga memudahkan dalam menentukan otoritas di tinggat regional yang saat ini lebih tepat diserahkan kepada otoritas kolektif forum MABIMS. Untuk tingkat global, otoritas global juga berupa otoritas kolektif antar-pemerintah dalam wadah OKI (Organisasi Kerjasama Islam).

Kriteria yang sudah disepakati oleh pertemuan teknis MABIMS bisa dijadikan sebagai kriteria nasional dengan kesepakatan seluruh ormas Islam dan diperkuat dengan fatwa MUI yang memperkuat fatwa nomor 2 tahun 2004. Kriteria nasional menjadi rujukan Menteri Agama sebagai wakil Pemerintah untuk menetapkan kalender Islam, termasuk dalam penetapan (itsbat) awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Adopsi kriteria tersebut, sekaligus bisa ditindaklanjuti untuk menetapkan kriteria baru MABIMS di tingkat regional. Dalam hal ini, batas wilayah di tingkat regional adalah seluruh wilayah Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Kriteria MABIMS tersebut juga diusulkan untuk diterima menjadi kriteria global, menyempurnakan kriteria hasil Kongres Kalender Islam Internasional di Turki Juni 2016. Kriteria Kongres Turki adalah tinggi bulan minimal 5 derajat dan jarak bulan-matahari 8 derajat. Kriteria itu bisa diberlakukan di mana pun di dunia selama waktu di Selandia Baru belum terbit fajar. Tetapi kriteria Turki tersebut akan sulit diterima, karena pada saat kriteria tersebut terpenuhi di benua Amerika, posisi bulan di wilayah Asia Tenggara masih berada di bawah ufuk.

Bila menggunakan kriteria baru MABIMS dengan rujukan wilayah (markaz) Indonesia sebagai negara MABIMS yang merentang paling Barat, maka bulan di wilayah paling Timur (Samoa) secara umum sudah di atas ufuk. Kondisi seperti itu sejalan juga dengan kalender Islam global yang diusulkan Muhammadiyah dengan kriteria Wujudul Hilal global. Jadi, kriteria baru juga sekaligus mempersatukan ormas-ormas Islam yang sebelumnya berbeda kriteria, karena kriteria baru juga sekaligus mengakomodasi para pengamal rukyat karena didasarkan pada data-data rukyat yang sahih dan bisa dijadikan sebagai rujukan kegiatan rukyat.

Batas tanggal kalender Islam global bisa merujuk hasil kongres Turki yang mengusulkan kalender Islam global menggunakan batas tanggal internasional. Penggunaan batas tanggal internasional akan menjamin kesamaan hari untuk tanggal kalender Islam yang sama. Misalnya, 1 Ramadhan 1438 di Indonesia jatuh pada Sabtu, maka diseluruh dunia juga jatuhnya pada Sabtu.

Jadi rumusan kalender Islam nasional, regional, dan global menggunakan tiga syarat: (1) otoritas tunggal pemerintah (tingkat nasional), MABIMS (regional), dan OKI (global), (2) kriteria jarak bulan-matahari 6,4 derajat dan tinggi bulan 4 derajat, (3) batas tanggal kalender Islam sama dengan batas tanggal internasional.

Khutbah Jumat: Penyatuan Kalender Islam

T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

Anggota Tim Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI

 

Khutbah Jumat di Masjid Salman ITB, 19 Mei 2017

Baca juga Catatan tentang Hisab Rukyat dan Kalender Global  (Bagian 1 dan Bagian 2) .

Catatan tentang Hisab Rukyat dan Kalender Islam (Bagian 2 dari 2)

T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

Anggota Tim Hisab Rukyat, Kementerian Agama

(Catatan ini dibuat untuk WA Group, ditulis menjelang Ramadhan 1438)

Menyambut Ramadhan, sebagian ummat Islam kembali ingat soal hisab rukyat terkait dengan penentuan awal Ramadhan (dan nanti idul fitri). Penentuan awal Ramadhan pada zaman Rasul dengan rukyat. Dalilnya merujuk beberapa hadits terkait perintah puasa Ramadhan dan beridulfitri dengan merujuk hasil rukyat hilal (bulan sabit pertama). Setelah ilmu hisab berkembang, digunakan juga penentuan awal bulan dengan cara hisab, baik secara mandiri maupun dikombinasikan dengan hasil rukyat. Hasil rukyat perlu ditetapkan (itsbat) oleh hakim/Pemerintah. Hasil hisab bisa secara langsung digunakan sebagai penetapan jauh harinya. Hisab memerlukan kriteria awal bulan sebagai batasan masuknya awal bulan Ramadhan.

 

Potensi Seragam Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah

Kriteria hisab (perhitungan astronomis) yg digunakan Pemerintah dan dua ormas besar (NU dan Muhammadiyah) adalah imkan rukyat (kemungkinan teramatinya hilal) 2 derajat dan wujudul hilal (tinggi hilal positif). Analisis paling cepat awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah adalah dengan analisis garis tanggal berbasis kriteria tersebut.

Garis tanggal Ramadhan menunjukkan bahwa secara hisab awal Ramadhan 1438 akan seragam jatuh pada 27 Mei 2017.

Potensi seragam juga akan terjadi pada penentuan 1 Syawal (Idul Fitri) dan 10 Dzulhijjah (Idul Adha). Garis tanggal awal Syawal (👇) pada saat matahari terbenam 24 Juni 2017 menunjukkan bahwa Indonesia berada di sebelah Barat (kiri) garis tanggal Wujudul Hilal dan imkan rukyat 2 derajat. Jadi disimpulkan, secara hisab awal Syawal (Idul Fitri) jatuh pd 25 Juni 2017 menurut dua kriteria tersebut.

Keseragaman juga terjadi pd penentuan awal Dzulhijjah 1438 (👇). Awal Dzulhijjah jatuh pada 23 Agustus 2017, sehingga Idul Adha (10 Dzulhijjah) 1438 jatuh pada 1 September 2017.

Keseragaman seperti itu utk Ramadhan akan terjadi sampai 1442/2021. Demikian juga keseragaman Syawal dan Dzulhijjah akan terjadi sampai 1443/2022.

 

Potensi Perbedaan Awal Ramadhan dan Hari Raya serta Cara Menyikapi

Perberdaan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah seperti terjadi beberapa tahun lalu disebabkan oleh perbedaan penggunaan kriteria. Bukan karena perbedaan penggunaan metode hisab dan rukyat. Sampai saat ini Pemerintah dan NU menggunakan kriteria tinggi hilal 2 derajat, sementara Muhammadiyah menggunakan kriteria Wujudul Hilal (tinggi bulan positif di atas ufuk). Ketika posisi bulan berada di antara 0 – 2 derajat (seperti saat Idul Fitri 1432/2011) pasti terjadi perbedaan. Menurut kriteria Wujudul Hilal sdh dianggap masuk bulan baru, tetapi menurut kriteria imkan rukyat 2 derajat saat itu belum masuk awal bulan.

Alhamdulillah, posisi bulan saat ini di luar rentang 0-2 derajat sampai 1442/2021 untuk awal Ramadhan dan sampai 1443/2022 utk awal Syawal dan Dzulhijjah. Tetapi, ada juga ormas yg menggunakan kriteria lain, yaitu Persis (Persatuan Islam) yg berpotensi berbeda dlm penentuan Idul Fitri 1438/2017. Persis menggunakan kriteria: beda tinggi bulan-matahari 4 derajat (atau tinggi bulan 3 derajat 10′) dan elongasi (jarak sudut bulan-matahari) 6,4 derajat. Kriteria itu didasarkan pada analisis astronomis. Pada saat maghrib 29 Ramadhan 1438/24 Juni 2017 ketinggian bulan sudah lebih dari 3 derajat, tetapi elongasinya kurang dari 6,4 derajat. Garis tanggalnya (👇) menunjukkan di Indonesia bulan belum memenuhi kriteria imkan rukyat astronomis yg digunakannya. Maka di kalender Persis dinyatakan 1 Syawal jatuh pada hari berikutnya, 26 Juni 2017.

Bagaimana menyikapi potensi perbedaan tersebut? Pilihan terbaik adalah mengikuti keputusan Pemerintah untuk mewujudkan persatuan ummat. Pada bagian berikutnya akan dibahas pentingnya otoritas tunggal dalam mewujudkan penyatuan kalender Islam. Untuk skala nasional, otoritas tunggal itu mestinya Pemerintah.

 

Awal Hari pada Kalender Islam

Sebelum membahas konsep kalender Islam pemersatu ummat, perlu difahami dulu awal hari pada kalender Islam. Awal hari ditandai dengan kondisi fisik objek rujukannya. Awal hari pada kalender matahari (syamsiah, solar calendar) didasarkan posisi matahari di titik nadirnya (titik terbawah), yaitu tepat saat tengah malam. Jadi pukul 00.00 tengah malam adalah awal hari pada kalender Masehi atau kalender internasional. Kalender Islam berbasis bulan (qamariyah, lunar calendar). Awal hari dimulai saat maghrib. Alasannya, pergantian hari terkait dg pergantian tanggal awal bulan. Rasul SAW mengajarkan berpuasalah (pada awal Ramadhan) dan berbukalah (pada awal Syawal) dg melihatnya (hilal). Jadi, pergantian tanggal bergantung pada pengamatan hilal (bulan sabit pertama) yg ditentukan saat maghrib.

Kalau hilal terlihat, itulah awal tanggal dan awal hari pada kalender Islam. Konsep awal hari dimulai saat maghrib sudah lazim dikenal masyarakat dengan sebutan “malam Jumat” untuk Kamis malam dan Jumat dini hari. Konsep awal hari berawal dari maghrib berkonsekuensi pada pelaksanan ibadah. Misalnya, shalat tarawih awal Ramadhan dimulai sejak malam terlihatnya hilal (termasuk terlihat menurut kriteria hisab — perhitungan astronomi).

 

Kalender Mapan

Untuk mewujudkan kalender mapan yg mempersatukan dan memberi kepastian diperlukan 3 syarat:
– Ada otoritas tunggal yg menjaganya.
– Ada kriteria tunggal yg disepakati.
– Ada batas wilayah keberlakuannya.

Kalender Masehi yg saat ini jadi kalender internasional dulu pun berbeda-beda. Bahkan hari natal di Roma dan Inggris pada tahun 1790 berbeda 12 hari. Sebabnya, karena ada 2 otoritas dengan kriteria berbeda. Raja di Inggris masih pakai kriteria lama, kriteria Julius. Paus di Roma sdh menggunakan kriteria baru, kriteria Gregorius. Kalender Islam saat ini belum menjadi kalender mapan dan masih berbeda-beda karena 3 syarat tersebut belum terpenuhi. Masing2 ormas (secara nasional) dan masing2 negara punya otoritas sendiri2. Kriterianya pun berbeda-beda. Alhamdulillah di Indonesia batas wilayah sdh disepakati, yaitu seluruh wilayah Indonesia dijadikan satu wilayah hukum (wilayatul hukmi).

Saat ini sedang diupayakan agar ada otoritas tunggal. Di Indonesia, Pemerintah pantas dijadikan sebagai otoritas tunggal nasional utk menjaga kalender Islam. Posisi Pemeritah juga akan memudahkan utk menentukan otoritas regional, yaitu MABIMS (Forum Menteri2 Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Otoritas global diusulkan otoritas kolektif antar-pemerintah dalam wadah OKI (Organisasi Kerjasama Islam). Kriteria baru pun perlu disepakati, menggantikan kriteria Wujudul Hilal dan kriteria tinggi hilal 2 derajat. Dengan kriteria tunggal yg disepakati, perbedaan dapat dihilangkan.

 

Kriteria Baru

Fatwa MUI No.2/2004 tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah merekomendasikan agar MUI mengusahakan kriteria penentuan awal bulan utk jadi pedoman. Rekomendasi tersebut baru ditindaklanjuti Agustus 2015 dg membentuk Tim Pakar Astronomi dari LAPAN, ITB, BIG, Planetarium, dan UPI. Tim Pakar Astronomi mengkaji data kesaksian hilal global dan data hisab posisi bulan jangka panjang. Data tersebut diperlukan untuk menentukan batas minimal ketampakan hilal.

Data astronomi menunjukkan bahwa jarak bulan-matahari minimal 6,4 derajat agar sabit bulan cukup tebal utk bisa dilihat. Data hisab juga menunjukkan jarak bulan-matahari 6,4 derajat menjamin bulan sdh di atas ufuk. Selain itu, data rukyat global juga menunjukkan tdk ada kesaksian hilal bila beda tinggi bulan-matahari kurang dari 4 derajat. Hal itu beralasan, karena hilal yg tipis tdk mungkin mengalahkan cahaya senja yg cukup kuat di dekat ufuk. Dengan sedikit modifikasi, kriteria tersebut diterima dalam pertemuan teknis forum MABIMS (Menteri2 Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) pada Agustus 2016. Karena ketinggian matahari saat terbenam minus 50′, maka kriteria beda tinggi bulan-matahari 4 derajat identik dengan tinggi bulan 3 derajat 10′, dibulatkan 3 derajat. Jadi kriteria baru yg diusulkan untuk penetapan kalender Islam: (1) jarak bulan-matahari (elongasi) minimal 6,4 derajat dan (2) tinggi bulan minimal 3 derajat.

 

Kalender Islam Global Pemersatu Ummat

Konsep kalender global harus memenuhi 3 syarat kalender mapan. Ada otoritas tunggal yg menjaga, ada kriteria yg disepakati, dan ada batas wilayah keberlakuannya. Kalender tersebut juga harus bisa menjadi kalender pemersatu di tingkat nasional dan regional. Kriteria yg dibahas sebelumnya akan digunakan sebagai kriteria baru, menggantikan kriteria lama yg digunakan ormas-ormas Islam. Kriteria tersebut merupakan titik temu pengamal rukyat dan hisab.

Untuk kalender global, kriteria tersebut menggunakan rujukan (markaz) Indonesia dan menggunakan garis batas tanggal internasional. Artinya, kalau awal Ramadhan di Indonesia jatuh pada Sabtu, seluruh dunia juga Sabtu. Kriteria baru dengan Markaz Indonesia mengakomodasi gagasan yg berkembang secara global. Pada saat di Indonesia ketinggian bulan 3 derajat, di Timur Tengah (termasuk Saudi Arabia dan Turki) ketinggian bulan 5 derajat. Itulah kriteria yg diusulkan Turki pada Kongres Kalender Islam Internasional 2016. Dg kriteria itu juga rukyat di Saudi Arabia dapat diterima secara astronomi, sehingga keputusan Saudi Arabia akan sama dengan kalender. Dengan ketinggian 3 derajat di Indonesia, di wilayah paling Timur zona waktu (Samoa), ketinggian bulan secara umum sudah wujud di atas ufuk. Kondisi Wujudul Hilal tsb bisa mengakomodasi gagasan kalender Islam global Muhammadiyah. Otoritas Pemerintah harus kita sepakati bersama utk menjaga kalender Islam. Secara regional ada otoritas kolektif MABIMS. Otoritas global kita manfaatkan OKI (Organisasi Kerjasama Islam).

Jadi, konsep kalender global yg sedang diupayakan: (1) otoritas kolektif OKI yg menjaga kalender, (2) kriteria yg digunakan jarak bulan-matahari (elongasi) minimal 6,4 derajat dan tinggi bulan minimal 3 derajat di wilayah Indonesia, (3) mathla’ (batas wilayah keberlakuan) global dg garis tanggal internasional. Semoga prakarsa baru yg akan diajukan Kementerian Agama tersebut bisa segera direalisasikan mewujudkan kalender Islam global yang mempersatukan ummat.

Catatan tentang Hisab Rukyat dan Kalender Islam (Bagian 1 dari 2)

T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

Anggota Tim Hisab Rukyat, Kementerian Agama

(Catatan ini dibuat untuk WA Group, ditulis menjelang Ramadhan 1438)

Menyambut Ramadhan, sebagian ummat Islam kembali ingat soal hisab rukyat terkait dengan penentuan awal Ramadhan (dan nanti idul fitri). Penentuan awal Ramadhan pada zaman Rasul dengan rukyat. Dalilnya merujuk beberapa hadits terkait perintah puasa Ramadhan dan beridulfitri dengan merujuk hasil rukyat hilal (bulan sabit pertama). Setelah ilmu hisab berkembang, digunakan juga penentuan awal bulan dengan cara hisab, baik secara mandiri maupun dikombinasikan dengan hasil rukyat. Hasil rukyat perlu ditetapkan (itsbat) oleh hakim/Pemerintah. Hasil hisab bisa secara langsung digunakan sebagai penetapan jauh harinya. Hisab memerlukan kriteria awal bulan sebagai batasan masuknya awal bulan Ramadhan.

Rukyat

Rasul SAW mengajarkan rukyat (pengamatan) hilal (bulan sabit pertama) sesaat setelah maghrib sebagai penentu awal bulan karena itulah cara paling sederhana dan paling meyakinkan datangnya bulan baru. Menjelang akhir bulan ditandai dg terlihatnya bulan sabit pagi hari (QS 36:39). Setelah itu tdk terlihat apa pun, baik pagi maupun malam. Itu dinamakan bulan mati atau bukan gelap. Setelah itu barulah muncul hilal. Karena itu QS 2:189 mengisyaratkan hilal sbg penentu waktu (awal bulan).

Dulu orang melakukan rukyat hanya dg mata telanjang. Kemudian pengamatan visual dg teleskop utk memperkuat cahaya hilal yg tipis dan redup. Saat ini dibantu dengan kamera digital yg citranya bisa diolah lagi utk meningkatkan kontras antara hilal dan cahaya syafak (senja).

Utk kepentingan ummat, hasil rukyat tdk begitu saja diumumkan. Rasul mengajarkan, pengamat melaporkan kepada Rasul, lalu Rasul memeriksa saksi, setelah diyakini sahih lalu Rasul yg mengumumkan. Contoh Rasul itu kini diikuti dg itsbat (penetapan) oleh oleh Menteri Agama sebagai wakil Pemerintah setelah memeriksa kesahihan kesaksian hilal dg mendengar pertimbangan para ahli hisab rukyat.

Hisab

Hisab (perhitungan astronomis) utk penentuan awal bulan qamariyah sesungguhnya sdh dikenal sejak zaman Nabi. Rasul di dalam hadits pernah menyatakan, “Kami ummat yg ummiy, yg tdk bisa membaca dan menulis. Bulan itu sekian dan sekian (dg memberi isyarat jari yg menunjukkan 29 dan 30 hari)”. Hadits itu bukan menyatakan ketidakpahaman Rasul pd hisab, tetapi justru menunjukkan bahwa hisab sdh dikenal, tetapi masih sangat sederhana.

Hisab diperlukan utk membuat kalender. Umar bin Khattab memelopori kalender Islam dg menetapkan Hijrah Rasul sebagai acuan tahun (disebut Tahun Hijriyah). Kriterianya mengunakan kriteria sederhana yg dikenal pd zaman Nabi. Kriterianya dikenal sebagai kriteria hisab urfi (kebiasaan, periodik), yaitu jumlah hari setiap bulan berganti-ganti: 29 dan 30. Muharram 29 hari, Shafar 30 hari, Rabbiul Awal 29, Rabbiul Akhir 30 hari, dan seterusnya. Ramadhan selalu 29 hari.

Dzulhijjah mestinya 30 hari, tetapi saat2 tertentu 29 hari utk penyesuaian dg hasil rukyat. Kriteria itu perkembangan lanjut, bahwa dalam 30 tahun, 19 tahun panjang (Dzulhijjah 30 hari) dan 11 tahun pendek (Dzulhijjah 29 hari). Secara astronomis, itu beralasan karena satu bulan rata2 (dari hasil rukyat) adalah 29,53 hari.

Perkembangan Rukyat

Rukyat (pengamatan) hilal (bulan sabit pertama) awalnya hanya menggunakan mata telanjang. Pada tanggal 29 bulan qamariyah (lunar calendar) rukyat dilakukan dg mencari keberadaan hilal di sekitar titik terbenamnya matahari.

Bentuk hilal itu sangat tipis. Lingkungannya mengarah ke arah matahari, karena hilal adalah bagian bulan yg tercahayai matahari. Bagian ujung (“tanduk”) lebih tipis dari bagian tengahnya, seringkali tidak terlihat. Jadi, hilal bisa jadi tampak hanya seperti goresan cahaya yg sangat tipis. Sangat sulit dilihat, apalagi oleh pemula.

Dengan perkembangan ilmu hisab (perhitungan astronomi), perukyat dibantu dengan hasil hisab. Dibuatlah “gawang lokasi” berupa penanda dari dua batang kayu atau logam utk memfokuskan pengamat pada posisi hilal.

Perkembangan teleskop (dan binokuler) membantu perukyat untuk mengenali hilal lebih baik lagi. Fungsi teleskop hanya mengumpulkan cahaya hilal yg redup. Masalahnya, cahaya senja (syafak) juga diperkuat. Jadi, dengan teleskop masalah kontras antar hilal dan cahaya syafak tdk dapat diatasi.

Perkembangan teknologi kamera digital (dan CCD) serta teknologi pengolah citra (image prosesing) berbasis komputer makin mempermudah pengamatan. Apalagi teleskopnya kini banyak yg sdh dilengkapi komputer utk memudahkan mengarahkan ke posisi hilal.

Kamera digital dan perangkat lunak pengolah citra bisa mempercepat menemukan hilal karena kontras hilal bisa sedikit ditingkatkan. Tetapi, masalah cahaya senja sebagai penggangu pengamatan hilal tdk bisa dihilangkan. Penggunaan filter tdk efektif utk meningkatkan kontras hilal karena sumber cahaya hilal dan cahaya syafak sama2 dari matahari dg cahaya dominan merah dan inframerah.

Masalah rukyat hilal yg utama adalah masalah kontras antara cahaya hilal yg tipis dan cahaya syafak yg masih cukup kuat di ufuk.

Perkembangan Ilmu Hisab

Ilmu hisab (perhitungan astronomis) penentuan awal bulan Hijriyah sesungguhnya menyertai perkembangan rukyat (pengamatan) hilal (bulan sabit pertama). Ilmu hisab dikembangkan dari analisis empirik data pengamatan jangka panjang, lalu diformulasikan utk prakiraan datangnya awal bukan masa yg akan datang.

Rasul SAW juga juga faham ilmu hisab, tetapi masih sangat sederhana. Dalam hadits, Rasul menyebut “… satu bulan itu sekian dan sekian (dengan memberi isyarat jari: 29 dan 30 hari). Itulah hisab awal yg digunakan oleh Umar bin Khattab ketika menetapkan kalender Hijriyah. Hisab generasi awal itu disebut hisab urfi.

Hisab urfi hanya menghitung siklus berulang 29 dan 30 hari. Muharram 29 hari, Shafar 30 hari, Rabbiul Awal 29 hari, Rabbiul Akhir 30 hari, Jumadil Ula 29 hari, Jamadal Akhirah 30 hari, Rajab 29 hari, Sya’ban 30 hari, Ramadhan 29 hari, Syawal 30 hari, Dzulqaidah 29 hari, dan Dzulhijjah 30 hari (utk tahun panjang) atau 29 hari (utk tahun pendek). Dzulhijjah dapat dikatakan sebagai bulan koreksi agar hisab kalender tdk jauh berbeda dg hasil rukyat.

Kemudian ilmu hisab mulai bisa menentukan waktu ijtimak (bulan baru, new moon, saat bulan-matahari segaris bujur, bulan mulai melewati matahari). Sejak itu awal bulan ditentukan dengan kriteria ijtimak qoblal ghurub (ijtimak sebelum maghrib). Artinya, bila ijtimak terjadi sebelum maghrib, sejak itu sdh memasuki bulan baru.

Perkembangan selanjutnya, ilmu hisab sudah dapat menentukan posisi matahari dan bulan serta saat terbenamnya. Pendekatan paling sederhana adalah menggunakan kriteria Wujudul Hilal. Kriteria WH pd awalnya didefinisikan bila bulan terbenam lebih lambat daripada matahari, maka bulan dianggap sdh wujud saat maghrib. Jadi, setelah hilal dianggap wujud, sejak saat itu awal bulan dimulai.

Hisab yg lebih kompleks mempertimbangkan posisi bulan (terutama ketinggian dan jarak sudut bulan-matahari) yg memungkinkan bulan dapat dirukyat. Itulah yg dinamakan kriteria imkan rukyat (kemungkinan bisa dirukyat) atau visibilitas hilal.

Ada beragam kriteria imkan rukyat. Saat ini kriteria imkan rukyat yg digunakan di Indonesia adalah tinggi bulan minimal 2, jarak sudut bulan-matahari minimal 3 derajat, dan umur bulan (sejak ijtimak sampai maghrib) minimal 8 jam. Tetapi kriteria ini saat ini segera disempurnakan.

Penentuan Awal Bulan

Dengan hisab, penentuan awal bulan qamariyah (lunar calender) dapat dilakukan jauh-jauh hari. Aplikasi astronomi mudah diperoleh, baik bersifat komersial maupun gratis. Aplikasi gratis yg bisa diunduh di internet antara lain Stellarium dan Accurate Time (silakan googling).

Hisab menentukan posisi bulan (ketinggian dan elongasi –jarak sudut bulan-matahari–) saat matahari terbenam. Hisab dilakukan utk masing2 lokasi, misalnya utk Bandung, Aceh, atau tempat lainnya.

Dengan data tersebut lalu diputuskan secara hisab jatuhnya awal bulan berdasarkan kriteria yg digunakan. Misalnya, pada akhir 29 Sya’ban 1438 (maghrib 26 Mei 2017, gambar terlampir 👇) tinggi bulan utk lokasi Bandung 8 derajat 5′ 2″ dan elongasi 9 derajat 7′ 15″.
Kesimpulannya:
– Karena ketinggian sdh positif, berdasarkan kriteria Wujudul Hilal awal Ramadhan jatuh keesokan harinya (sejak maghrib malam Sabtu) 27 Mei 2017.
– Karena sdh cukup tinggi, berdasarkan kriteria 2 derajat, awal Ramadhan 1438 jatuh pada 27 Mei 2017 (sejak maghrib malam Sabtu).

Dengan program komputer bisa juga dibuat garis tanggal, yaitu di sebelah Barat garis tanggal bulan sdh memenuhi kriteria. Misalnya Garis Tanggal Awal Ramadhan 1438 utk waktu maghrib 26 Mei 2017 (lihat gambar terlampir 👇):
– Garis Tanggal Wujudul Hilal antara arsir merah dan putih.
– Garis Tanggal Kriteria tinggi 2 derajat antara arsir putih dan biru.
Terlihat posisi Indonesia berada di sebelah Barat (kiri) garis2 tanggal tersebut. Artinya, baik kriteria Wujudul Hilal maupun Imkan Rukyat 2 derajat sama2 menyimpulkan awal Ramadhan 1438 jatuh pada tanggal 27 Mei 2017.

Untuk pengamal rukyat, keputusan masih menunggu hasil sidang itsbat pada 26 Mei 2017 selepas maghrib.

Catatan Astronomis Perjalanan Tim Tafsir Ilmi (3): Piramid Giza dan Eksplorasi Paceklik Zaman Nabi Yusuf

T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika

Anggota Tim Tafsir Ilmi, LPMQ, Kementerian Agama

Catatan: Tim Tafsir Ilmi Lembaga Pentashihan Mushaf Al-Quran (LPMQ) Kementerian Agama RI melakukan kunjungan ke Yordania dan Mesir  20-27 April 2017 untuk memperkenalkan karya-karya tafsir ilmi Kemenag RI (termasuk seminar Sains-Quran di Universitas Al-Azhar, Kairo) sambil mengumpulkan bahan untuk tafsir ilmi dalam bentuk video dokumenter terkait ayat-ayat Al-Quran dan situs-situs sejarah.

Kisah Fir’aun disebut di dalam Al-Quran pada zaman Nabi Musa. Sebenarnya sebutan Fir’aun adalah sebutan umum untuk raja-raja Mesir kuno. Peninggalan para Fir’aun salah satunya adalah piramid, yaitu bangunan tempat penyimpanan mummi (pengawetan jenazah) Fir’aun. Dalam menjelajahi situs-situs peninggalan Mesir kuno, ada hal yang menarik secara astronomi, yaitu struktur tiga piramid Giza di Kairo, Mesir.

 

Struktur Tiga Piramid Giza Simbolisasi Rasi Orion

Piramid Giza di Kairo Mesir merupakan komplek tiga piramid besar yang dulunya berada di tepi sungai Nil saat banjir. Hal itu juga masih bisa dikenali dari peta Google Earth yang menampaknya piramid Giza berada di daerah gurun yang berbatasan dengan daerah subur yang mendapat pengairan dari sungai Nil. Struktur tiga piramid besar tersebut diduga kuat terkait dengan struktur tiga bintang di rasi Orion. Apa makna rasi Orion pada simbolisasi tiga piramid tersebut? Analisis astronomis sangat menarik terkait dengan struktur tiga piramid tersebut.

Google Earth menunjukkan kompleks piramid Giza berada di kawasan gurun yang berbatasan dengan daerah subur di tepi sungai Nil.

Peta tiga piramid Giza — dari Wikipedia

Piramid terbesar (Khufu). Dibelakangnya ada piramid Khafre.

Piramid tersusun dari batu-batu besar. Dulunya piramid dilapisi tembok halus, seperti yang tersisa di puncak piramid Khafre.

Piramid Khafre (terbesar ke dua) masih menyisakan puncak piramid yang masih tertutup tembok pelapis.

Piramid Menkaure (piramid terkecil di antara rangkaian tiga piramid Giza).

Tiga piramid Giza. Dari kiri Khufu, Khafre, dan Menkaure.

Tiga struktur piramid tersebut diduga kuat terkait dengan simbolisasi tiga bintang utama yang menjadi ciri rasi Orion.

Kalau dari sisi Barat kita lihat ke arah Timur (seperti halnya kita melihat ufuk Timur), struktur tiga piramid tersebut bentuknya mirip tiga bintang rasi Orion di langit Timur.

Mengapa simbolisasi rasi Orion yang digunakan? Saat shubuh, rasi Orion mulai meninggi di ufuk Timur pada Bulan Oktober-November. Itulah awal musim tanam pada zaman Mesir kuno. Musim pada saat itu secara umum terbagi menjadi tiga:

  • Juni – September adalah musim hujan di hulu yang menyebabkan banjir sungai Nil.
  • Oktober – Januari adalah masa surut banjir, saat mulai menanam.
  • Februari – Mei adalah musim kering, saatnya panen.

Jadi rasi Orion (seperti juga di Jawa) dijadikan sebagai pertanda awal musim tanam, ketika banjir sungai Nil mulai surut.

 

Eksplorasi Paceklik Zaman Nabi Yusuf

Jauh sebelum Nabi Musa, di Mesir ada Nabi Yusuf yang mampu menafsirkan mimpi Raja Mesir untuk memberikan peringatan musim kering yang bakal melanda Mesir. Tentu saja mimpi dan tafsir mimpi oleh Nabi Yusuf adalah petunjuk yang diberikan Allah. Terkait dengan perilaku singai Nil dan musim di Mesir, menarik juga untuk mengkaji tafsir ilmi peristiwa anomali iklim pada zaman Nabi Yusuf tersebut.

Dengan memahami musim dan perilaku sungai Nil, diduga kuat tajuh tahun paceklik di Mesir pada zaman Yusuf terjadi karena pola banjir sungai Nil mengalami anomali. Kemungkinan yang terjadi, musim hujan lebih panjang dari biasanya sehingga musim tanam dan panen bergeser yang menyebabkan persediaan bahan makanan berkurang. Kemungkinan lainnya, musim hujan lebih pendek dan banjir tidak cukup menggenangi wilayah pertanian sehingga menggangu jadwal tanam atau bahkan menyebabkan tanaman mengalami kekeringan karena tidak cukup cadangan air tanahnya. Selama tujuh tahun dua kemungkinan tersebut bisa saja berturut-turut terjadi atau silih berganti. Dari sudut pandang anomali iklim di Mesir, perilaku musim hujan di hulu sungai Nil sangat terkait dengan perilaku pemanasan di Samudera Hindia. Ketika laut di pantai Timur Afrika lebih hangat dari rata-rata, curah hujan di hulu sungai Nil meningkat dan mungkin lebih panjang. Sebaliknya, saat laut di pantai Timur Afrika lebih dingin dari rata-rata, curah hujan di hulu sungai Nil menjadi berkurang dan lama musim hujan menjadi lebih pendek.

Catatan Astronomis Perjalanan Tim Tafsir Ilmi (2): Petra — Pahatan Bangunan di Bukit Pasir

T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika

Anggota Tim Tafsir Ilmi, LPMQ, Kementerian Agama

Catatan: Tim Tafsir Ilmi Lembaga Pentashihan Mushaf Al-Quran (LPMQ) Kementerian Agama RI melakukan kunjungan ke Yordania dan Mesir  20-27 April 2017 untuk memperkenalkan karya-karya tafsir ilmi Kemenag RI (termasuk seminar Sains-Quran di Universitas Al-Azhar, Kairo) sambil mengumpulkan bahan untuk tafsir ilmi dalam bentuk video dokumenter terkait ayat-ayat Al-Quran dan situs-situs sejarah.

Petra, situs arkeologi di Yordania menyimpan kisah ummat terdahulu. Di dalam Al-Quran surat Al-Hijr bercerita tentang kaum Al-Hijr, yang memahat gunung atau bukit pasir menjadi bangunan. Di Petra, bangunan yang dipahatkan di bukit pasir digunakan untuk berbagai fungsi, termasuk untuk penyembahan dan pemakaman.

Hasil penelitian astro-arkeologi tentang struktur bangunan di bukit-bukit pasir, mengindikasikan beberapa bangunan khusus terkait dengan ritual penyembahan, arahnya dibuat sedemikian rupa mengikuti posisi matahari pada saat matahari terbenam di titik paling Selatan pada musim dingin.

Catatan Astronomis Perjalanan Tim Tafsir Ilmi (1): Gua Ashabul Kahfi

T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika

Anggota Tim Tafsir Ilmi, LPMQ, Kementerian Agama

Catatan: Tim Tafsir Ilmi Lembaga Pentashihan Mushaf Al-Quran (LPMQ) Kementerian Agama RI melakukan kunjungan ke Yordania dan Mesir  20-27 April 2017 untuk memperkenalkan karya-karya tafsir ilmi Kemenag RI (termasuk seminar Sains-Quran di Universitas Al-Azhar, Kairo) sambil mengumpulkan bahan untuk tafsir ilmi dalam bentuk video dokumenter terkait ayat-ayat Al-Quran dan situs-situs sejarah.

Al-Quran surat Al-Kahfi menceritakan tentang tujuh (mungkin juga tiga atau lima) pemuda yang menjaga keimanannya pada awal Abad Masehi yang bersembunyi di dalam gua yang kemudian ditidurkan Allah selama 300 tahun syamsiah (solar calendar) atau 309 tahun qamariyah (lunar calendar). Di Amman, Yordania, ditemukan gua yang berdasarkan ciri-ciri fisik gua serta sisa-sisa barang dan tulang-belulang diyakini sebagai gua tempat para pemuda Ashabul Kahfi tersebut.

QS 18-17

20170421_113929

DSCN0071

Gua pemuda Al-Kahfi dicirikan dari arahnya. Sebelah kanannya arah matahari terbit (Timur) dan sebelah kirinya arah matahari terbenam (Barat). Pintu guanya sempit, tetapi ruangan di dalamnya cukup luas. DSCN0084

Barang-barang peninggalan di dalam gua

DSCN0078

Lubang berkaca untuk melihat tulang belulang manusia yang ditemukan di dalam gua

DSCN0083

Sisa tulang belulang manusia

QS 18-21

DSCN0090

Dulu orang-orang membangunkan masjid di atasnya

QS 18-25

“Tiga ratus tahun ditambah sembilan tahun” mengandung makna hitungan astronomis. Angka 300 tahun adalah menurut hitungan kalender matahari (syamsiah) dan 309 tahun adalah menurut hitungan kalender bulan (qamariyah, lunar calendar).

300 tahun syamsiah = 300 x 365,2422 hari = 109.573 hari.

309 tahun qamariyah = 309 x 12 x 29,53 hari = 109.497 hari.

Artinya, mereka ditidurkan Allah sekitar 109.500 hari. Itulah suatu mukjizat, untuk menunjukkan kekuasaan Allah.