Melbourne-Jakarta: Mengamati Awan dari Pesawat

T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi Astrofisika, LAPAN

Mantan Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN

Perjalanan pulang dari Melbourne, Australia, menuju Jakarta pada siang hari 27 November 2010 tidak saya sia-siakan untuk mengamati dan memotret awan dari dekat. Terbang dengan pesawat Garuda Airbus A330-200, saya memilih kursi di samping jendela dan mendapatkan deretan kanan, artinya saya akan menghadap sisi Timur Laut. Menguntungkan, karena sinar matahari tidak langung menyinari jendela seperti di sisi kiri, tetapi justru membantu menyinari awan dari sisi samping-belakang saya.

Untuk perbandingan, gambar di atas adalah potret awan dari satelit MTSAT yang menunjukkan Australia Tenggara diliputi awan, demikian juga di sekitar Pulau Jawa. Perjalanan diawali dalam kondisi hujan. Awan stratokumulus (Sc) dan Nimbostratus (Ns, awan hujan yang merata) menyelimuti langit Melbourne. Awan rendah sekitar 2.000 m menggumpal (kumulus) dan membentuk satu lapisan (stratus) yang rapat. Sulit membedakan awan Sc dan Ns dari segi bentuknya, namun awan yang menyebabkan hujan itulah yang disebut nimbus (awan hujan). Awan kumulus terbentuk akibat konveksi, yaitu naiknya uap air hangat ke udara lalu berkondensasi (menggumpal) membentuk awan saat suhunya mulai dingin.

Beginilah suasana menembus awan. Di luar jendela hanya tampak putih, kadang sayap pesawat pun tak tampak. Pesawat sedikit berguncang, mirip naik mobil yang melalui jalan berbatu-batu. Ya, kerapatan awan yang tidak merata menyebabkan ada sedikit guncangan-guncangan. Selepas itu langit biru menyambut. Dari atas, lapisan awan nimbostratus terlihat seperti hamparan salju putih dan stratokumulus tampak lebih tipis dengan bentuk menggumpal tak merata.

Di atas wilayah gurun Australia tampak awan-awan kumulus yang menggumpal-gumpal seperti kapas. Baik bergerombol maupun terpisah-pisah. Awan itu masih tergolong rendah, terlihat dari bayangan awan yang tampak masih dekat dengan awannya.

Semakin tinggi (walau tergolong awan menengah), ada kumpulan awan altostratus (awan berlapis yang tinggi) dan altokumulus (awan bergumpal yang tinggi) pada ketinggian sekitar 6.000 meter. Perhatikan dua ketinggian awan dari jarak awan dan bayangannya (citra hitam di tanah). Gumpalan kecil awan yang bayangannya terlihat dekat adalah awan rendah. Sedangkan altostratus berderet lebih tinggi yang terlihat dari bayangannya lebih jauh. Bila di lihat dari atas tampak gumpalan-gumpalan rapat yang membentang. Ada juga altokumulus, gumpalan-gumpalan awan tinggi yang bergerombol.

Di atas awan altokumulus, ada awan tipis. Itulah awan tinggi yang disebut awan Cirrus. Dalama kondisi tertentu awan cirrus yang terdiri dari kristal es bisa menyebabkan fenomena halo, cincin cahaya di sekitar matahari.

Menjelang memasuki wilayah dekat ekuator Indonesia, aktivitas konveksi makin menguat. Awan Cumulonimbus (Cb, awan bergumpal bertumpuk-tumpuk penyebab hujan) mulai tampak. Dasar awannya halus, namun gelap.

Ada juga fenomena menarik yang sempat saya potret: peristiwa hujan dari awan Cumulonimbus (tampak seperti alur kabur ke arah kanan bawah) dan di bawahnya ada pelangi (perhatikan gambar di bagian tengah, walau kurang jelas) akibat pembiasan cahaya matahari oleh titik-titik air hujan. Pelangi terbentuk karena posisi matahari tepat berada di arah belakang pengamat.