Tertutupnya Kalbu

T. Djamaluddin

(Dimuat di  Republika, Hikmah, 15 Feb 2000)

Upaya mendapatkan cahaya (petunjuk) Allah memang ibarat astronom yang berupaya menangkap cahaya alam dengan sistem teleskop besar yang sangat peka, manusia pun harus menggunakan kalbu (qalbu) yang sangat peka.

Kalbu manusia memang merupakan detektor yang sangat peka. Namun sering kali kepekaannya bisa berkurang atau bahkan menghilang ketika kalbu itu mulai tertutup debu-debu dosa dan tak ada upaya membersihkannya. Perilaku kalbu itu pun memang mirip dengan fungsi teleskop dan detektornya.

Bayangkan astronom yang bekerja dengan teleskopnya menangkap cahaya alam. Malam cerah tak berawan, cahaya bintang begitu cemerlang menembus teleskop dan direkam detektor kamera CCD.

Berpuluh megabite data dapat terekam semalaman siap untuk diolah. Namun upaya itu percuma ketika analisis citra menunjukkan adanya “ghost image”, gambar aneh yang merusakkan kecemerlangan cahaya bintang.

Ternyata detektor peka itu terselubung titik-titik embun. Walaupun sekadar embun tipis, hal itu cukup untuk menghilangkan makna cahaya bintang. Apalagi bila debu tebal yang menutupinya, pasti cahaya tak mungkin masuk.

Kalbu pun demikian, bila debu-debu dosa menyelimutinya, kepekaannya makin hilang. Jangankan berfungsi sebagai detektor yang bisa membimbing manusia, untuk sekadar menangkap cahaya Allah pun mustahil. Padahal kalbu berfungsi sebagai detektor pembeda yang baik dan yang buruk. Rasulullah SAW telah berpesan, “Mintalah fatwa pada kalbumu; kebajikan adalah segala yang menentramkan jiwa dan kalbu sedangkan dosa adalah segala yang meragukan dalam jiwa dan hati, walaupun orang lain membenarkannya” (HR Ahmad & Addarimi).

Kemunafikan dapat menutup kalbu (QS 63:3), apalagi kekafiran (QS 2:7, 2:88). Kalbunya tidak dapat dibersihkan lagi (5:41). Bahkan kalbunya menjadi sangat keras, tanpa celah yang dapat ditembus (QS 2:74). Kalbu yang demikian sama sekali tak dapat lagi menerima cahaya Allah, termasuk cahaya Alquran (QS 6:25).

Dan sesungguhnya Kami jadikan (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai kalbu, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS 7:179).

Walau pun mata dan telinga berfungsi juga sebagai detektor fisis, tetapi dalam hal menangkap cahaya Allah kalbu lah yang paling berperan. Pokok pangkal kesesatan itu bukan karena butanya mata atau tulinya telinga, tetapi karena tidak berfungsinya kalbu (QS 22:46).

Kalbu yang tidak berfungsi baik, karena telah tertutup atau mengeras, cenderung membentuk perilaku manipulatif. Korupsi, kolusi, dan segala ketidakadilan bersumber dari tidak berfungsinya kalbu. Pembenaran atas segala tindakan dosa selalu dilakukannya, termasuk bila memungkinkan menggunakan ayat-ayat yang tak tegas maknanya (mutasyabihat) (QS 3:7).

Hanya dengan iman dan dzikir kalbu dapat dipelihara kepekaannya (QS 64:11) dan menjadi tentram (QS 13:28) hingga mampu bergetar setiap cahaya Allah menyentuhnya (QS 8:2).

Tidak ada Perubahan Arah Kiblat

T. Djamaluddin

Profesor riset astronomi astrofisika, LAPAN

Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI

Saat terbaik untuk mengoreksi arah kiblat dengan bayangan matahari sekitar 16 Juli  serta revisi fatwa MUI tentang arah kiblat pada awal Juli 2010 ini diwarnai kesimpangsiuran informasi di beberapa media massa dan berimbas pada kebingungan masyarakat. Ada persepsi keliru di beberapa media massa dan di masyarakat yang  perlu diuruskan terkait arah kiblat.

Pertama, persepsi seolah arah kiblat berubah. Tidak ada mekanisme di bumi yang menyebabkan perubahan atau pergeseran arah kiblat. Gempa bumi yang terkait dengan pergeseran lempeng bumi tidak menyebabkan perubahan atau pergeseran arah kiblat. Banyaknya masjid yang arahnya tidak tepat mengarah ke Masjidil Haram di Mekkah bukan disebabkan oleh perubahan arah kiblat, tetapi disebabkan oleh ketidakakuratan pengukuran saat awal pembangunannya. Pengetahuan tentang saat-saat posisi matahari di atas Mekkah dan penggunaan internet berbasis data satelit (www.qiblalocator.com) sangat membantu masyarakat dalam penyempurnaan arah kiblat. Saat ini penentuan arah kiblat yang akurat sangat mudah dilakukan oleh siapa pun.

Kedua, persepsi seolah MUI menganjurkan masjid-masjid mengubah arah kiblatnya dari arah Barat ke Barat Laut. Ada media elektronik yang menayangkan seolah semua masjid arah kiblatnya ke Barat dan disarankan diubah ke Barat Laut, sehingga menimbulkan penolakan. Sesungguhnya fatwa MUI nomor 3/2010 (tertanggal 1 Februari 2010) hanya disempurnakan redaksionalnya dengan fatwaMUI nomor 5/2010 (tertanggal 1 Agustus 2010).

Dalam fatwa nomor 3/2010 disebutkan bahwa “Letak geografis Indonesia yang berada di bagian timur Ka’bah/Mekkah maka kiblat umat Islam Indonesia  adalah menghadap ke arah barat”. Dalam fatwa nomor 5/2010 disempurnakan menjadi “Kiblat umat Islam Indonesia  adalah menghadap ke barat laut dengan posisi bervariasi sesuai dengan letak kawasan masing-masing”.

Masjid yang sudah benar arahnya (antara lain Masjid Istiqlal di Jakarta), yaitu mengarah ke arah 25 derajat dari Barat ke Barat Laut, tidak perlu diubah arahnya. Masjid-masjid yang arahnya belum tepat bisa disempurnakan dengan cara melihat matahari dan bayangannya sekitar 28/29 Mei pukul 16.18 WIB dan sekitar 15/16 Juli pukul 16.27 atau menggunakan fasilitas internet di http://www.qiblalocator.com atau dengan pengukuran oleh ahli falak/astronomi. Penyempurnaan arah kiblat cukup dengan mengubah arah shaf.

Berapa toleransi akurasi pengukuran arah kiblat? Perhitungan saya berdasarkan garis pada qiblalocator, penyimpangan arah qiblat bangunan perluasan di Masjid Nabawi sekitar 4 derajat. Masjid aslinya kalau dilihat dari sisi Timur bilik Rasulullah (yang sekarang menjadi makam Rasulullah) arah qiblatnya sangat tepat. Definisi akurasi memang relatif, tergantung rujukannya. Akurasi matematis adalah 0,5 skala terkecil alat ukurnya. Menurut saya, akurasi praktis sepanjang penyimpangannya tidak tampak pada barisan shaf jamaah atau sikap tubuh. Untuk masjid baru yang sedang dibangun, sangat disarankan untuk menggunakan definisi akurasi matematis. Untuk mengevaluasi masjid lama dan memutuskan toleransi penyimpangan, saya sarankan gunakan definisi akurasi praktis agar tidak menyulitkan ummat.

Baca tulisan terkait:

https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/05/25/arah-kiblat-tidak-berubah/

https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/12/10/arah-qiblat-masjid-nabawi-dan-masji-kobe/

https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/04/15/menyempurnakan-arah-kiblat-dari-bayangan-matahari/

https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/12/14/program-arah-qiblat/

Problematika Arah Kiblat

T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika LAPAN, Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama

Penentuan arah kiblat adalah wilayahnya ilmu falak yang menginterpretasikan dalil fikih dalam formulasi astronomi untuk kemudahan ummat, tanpa meninggalkan ketentuan syar’i. Perbedaan persepsi seringkali muncul ketika menganggap persoalan arah kiblat sekadar persoalan fikih, tanpa pemahaman aspek fisik di alam. Kita tidak bisa lagi kembali ke cara pandang lama ketika kompas, komputer, GPS, dan internet belum ada. Kecanggihan teknologi yang memudahkan ummat tersebut perlu disertai dengan pemahaman ilmu falak agar umat lebih tentram melaksanakan ibadah sesuai dalil syar’i yang dibantu teknologi.

Pengurukuran arah kiblat dianggap seolah sesuatu yang sulit, yang memberatkan umat, sehingga umat cukup diberi fatwa paling sederhana bahwa ”Letak geografis Indonesia yang berada di bagian timur Ka’bah/Mekkah maka kiblat umat Islam Indonesia  adalah menghadap ke arah barat”. Padahal di era informasi saat ini ummat semakin cerdas dan mempunyai akses informasi yang sangat luas. Penentuan arah kiblat bukan hanya masalah di Indonesia, tetapi masalah global umat Islam yang ingin menerapkan syariat secara benar dalam shalat.

Alhamdulillah, kemudian MUI merevisi fatwanya menjadi “Kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke barat laut dengan kemiringan bervariasi sesuai dengan posisi kawasan masing-masing”. Saya kira ungkapan “Barat Laut” masih dapat diterima untuk memberi gambaran kepada awam arahnya Barat serong ke Utara, tetapi diperjelas dengan ungkapan “dengan kemiringan bervariasi sesuai dengan posisi kawasan masing-masing”.

Sains Mendampingi Hukum Syar’i

Dalam pertimbangannya, Komisi Fatwa MUI menyatakan bahwa ”akhir-akhir ini beredar informasi di tengah masyarakat tentang adanya  ketidakakuratan arah kiblat sebagian masjid/musholla di Indonesia, berdasarkan temuan hasil penelitian dan pengukuran dengan menggunakan metode ukur satelit”. Kenyataan itu benar adanya, karena masyarakat kita semakin cerdas dan semakin terbuka dengan informasi dengan adanya internet. Setiap orang kini dapat memeriksa arah kiblat bangunan rumahnya atau musholla atau masjid. Sangat mudah karena cukup membuka internet yang memuat citra satelit kita bisa langsung menentukan arah kiblat. Informasi di media massa tentang posisi matahari yang bisa digunakan untuk menyempurnakan arah kiblat semakin memperluas wawasan banyak orang.

Banyak orang kemudian sadar ternyata arah kiblat selama ini yang mereka gunakan kurang tepat. Pengukuran awal yang kurang akurat atau sekadar mengikut bentuk lahan yang menyebabkan arah kiblat kurang tepat. Arah kiblat tidak berubah sejak dulu sampai sekarang. Gempa yang dipicu pergeseran lempeng bumi tidak menyebabkan perubahan arah kiblat. Keresahan yang timbul umumnya ditanggapi positif oleh mereka sendiri dengan upaya  meluruskan arah kiblat tersebut. Sangat sederhana, cukup dengan mengubah arah shafnya tanpa harus membongkar bangunannya.

Keresahan berkepanjangan umunya terjadi ketika mengetahui arah kiblatnya keliru tetapi pengurus masjid enggan mengubah arah shaf. Bagaimana pun ibadah harus didasari keyakinan. Yakin waktunya telah masuk, yakin arah kiblatnya telah benar, yakin badan dan tempatnya bersih dari najis, yakin tidak batal wudhunya. Keyakinan itu mesti didasari ilmu. Bukan sekedar ilmu terkait dalil syar’i-nya, tetapi juga ilmu terkait implementasi dalil syar’i tersebut. Dengan ilmu, kita lebih berhati-hati dan lebih takut berbuat kesalahan, lebih takut kepada Allah (QS 35:28). Ketika berdasarkan ilmu yang diketahui ternyata arah kiblatnya keliru, tentu keyakinan dalam beribadah menjadi terganggu. Fatwa ulama tidak akan dapat menentramkan, karena sudah ada keyakinan bahwa arah tersebut keliru.

Sains membantu memberikan keyakinan dalam menerapkan dalil syar’i. Kita semua umumnya sudah mempercayakan pada jadwal shalat, karena sains yang dikembangkan dalam ilmu falak telah merumuskan dalil syar’i tentang waktu shalat dalam rumusan waktu setempat. Ketika akan shalat tidak harus setiap saat melihat bayangan matahari atau tanda fajar dan syafak, terutama dalam keadaan mendung atau berada di dalam ruangan. Demikian juga ilmu falak telah membantu merumuskan penentuan arah kiblat sehingga bisa menjadi pedoman dalam membangun masjid atau musholla.

Dalil yang digunakan dalam ibadah adalah dalil syar’i. Kita tidak bisa berdalil di luar dalil syar’i. Walau pun dalam masalah ijtihadiyah nalar manusia berperan besar, tetapi tetap harus dalam kerangka syar’i. Dalam banyak kasus, implementasi dalil syar’i memerlukan sains agar memudahkan manusia melaksanakannya dan memberikan keyakinan. Tetapi ketika kita menggunakan sains, kita tidak mengatakan berdalil dengan sains. Tetap berdalil syar’i dengan penjelasan dari kajian sains.

Dalam penentuan arah kiblat, dalil syar’i menyatakan kita harus menghadap ke arah Masjidil Haram di mana saja kita berada (QS 2:144, 2:149-150). Maka sedapat mungkin, dengan sains yang kita pelajari, kita upayakan menghadap ke arah Masjid Haram. Namun dalil syar’i pun memberikan kelonggaran ketika kita tidak bisa menentukan arah secara tepat, karena kemanapun kita menghadap pada dasarnya kita menghadap kepada Allah (QS 2:115). Jadi, ketika kita sudah berupaya sunguh-sungguh untuk menentukan arah kiblat, tetapi ternyata arah kiblat kita keliru (setelah mendapat informasi arah yang benar),  kita tidak dianggap melakukan kesalahan, shalat kita tetap sah.

Pengukuran Arah Kiblat Mudah

Penentuan arah kiblat adalah pengetahuan paling dasar yang diberikan pada kuliah ilmu falak. Pemahaman tentang bumi yang berbentu bola dan penentuan arah di permukaan bumi dengan menggunakan segitiga bola selalu diaplikasikan pada penentuan arah kiblat. Ilmu falak sebagai bagian astronomi termasuk ilmu tertua yang dikembangkan para ilmuwan Muslim dahulu awalnya untuk keperluan ibadah. Penentuan arah dan waktu menjadi perhatian ilmu falak, karenanya sangat berperan dalam memahami dalil syar’i terkait dengan arah dan waktu.

Awalnya cara menghitung arah kiblat dianggap rumit, karenanya hanya ahli falak yang dapat melakukannya. Tetapi kini, dengan berkembangkan komputer dan bahasa pemrograman, hitungan tersebut mudah dibuat dalam bentuk program aplikasi sehingga setiap orang dapat menghitung arah kiblat. Tinggal diajarkan cara menentukan arah sekian derajat itu menggunakan kompas atau bayangan matahari. Adanya GPS untuk menentukan koordinat tempat dan berfungsi pula sebagai kompas makin memberikan kemudahan.

Ahli falak memberikan alternatif lain yang paling mudah. Kalau di Masjidil Haram ada menara sangat tinggi dengan lampu sangat terang di puncaknya sehingga semua orang di banyak negara bisa melihatnya, maka kita akan sangat mudah menentukan arah kiblat. Cukup dengan melihat lampu di atas Masjidil Haram itu. Nah, ahli falak mengetahui ada lampu alami yang sangat terang yang pada saat-saat tertentu tepat berada di atas Mekkah, sekitar Masjidil Haram. Itulah matahari.

Pada sekitar tanggal 28 Mei dan sekitar 15/16 Juli tiap tahunnya pada saat tengah hari di Mekkah, matahari tepat berada di atas kepala. Pada saat itulah orang di Mekkah tidak melihat bayangan mereka sendiri karena matahari tegak lurus di atas mereka. Tetapi di tempat lain di dunia yang bisa melihat matahari itu, ada bayangan benda yang bisa dijadikan pemandu arah kiblat. Pada saat itulah seolah kita sedang melihat lampu sangat terang di atas Masjidil Haram dan garis bayangan kita  menjadi petunjuk arah Masjidil Haram. Maka, berdasarkan dalil syar’i, hadapkanlah wajah kita saat shalat ke arah itu. Itulah arah kiblat. Sangat-sangat mudah. Tinggal lihat matahari dan bayangan sekitar pukul 16.18 WIB (28 Mei) atau 16.27 WIB (15/16 Juli).

Kalau kita ingin melaksanakan dalil syari’i QS 2:144, itulah saat yang paling tepat. Tak perlu rumus perhitungan segitiga bola. Tak perlu komputer. Tak perlu kompas. Cukup melihat matahari, kita saat itu menghadap ke arah Masjidil Haram. Kalau pun pada hari tersebut terganggu awan, plus minus 2 hari dari tanggal tersebut dan plus minus 5 menit dari waktu tersebut masih cukup akurat untuk menentukan arah kiblat karena perubahan posisi matahari relatif lambat.

Dengan berkembangnya teknologi satelit dan internet, maka kita sekarang bisa menentukan arah kiblat langsung dengan melihat citra satelit di lokasi yang kita kehendaki. Situs http://www.qiblalocator.com memberikan tanda garis merah yang mengarah ke arah ka’bah di Masjidil Haram. Kalau kita menggunakan laptop, cukup bentangkan layar laptop sesuah arah bangunan atau jalan di sekitar kita yang terekam pada citra satelit. Arah yang ditentukan dengan qiblalocator telah dibuktikan sama dengan hasil perhitungan menggunakan segitiga bola atau dengan bayangan matahari pada saat istimewa tersebut di atas.

Ketika implementasi dalil syar’i QS 2:144 dapat dilaksanakan secara tepat dan mudah dengan bantuan sains (ilmu falak) dan teknologi, haruskah kita mundur ke belakang sekadar ”menghadap ke arah barat”? Mestinya tidak, kecuali dalam kondisi kita tidak bisa menentukannya secara tepat. Masyarakat kita semakin cerdas. ”Arah Barat” dalam bahasa fisis-teknis mudah diartikan sekitar titik matahari terbenam, sekitar azimut 270 derajat. Kalau benar fatwa ”menghadap barat” itu dilaksanakan, berarti fatwa menuntun orang untuk menghadap ke arah Afrika. Dengan pengetahuan geografi sederhana pun, orang mudah melihat arah Barat Indonesia mengarah ke Afrika. Bukankah itu justru mengingkari QS 2:144 yang memerintahkan menghadap ke arah Masjidil Haram di Mekkah?

Mengarah ke titik Ka’bah atau Masjidil Haram kini bukan lagi masalah dengan bantuan ilmu falak dan teknologi. Apakah kalau menghadap ke titik Ka’bah berarti shaf kita melengkung? Ibarat kita membuat lingkaran, di dekat titik pusatnya garis lingkaran tersebut sangat melengkung. Itulah yang terjadi pada garis shaf di dalam lingkungan Masjidil Haram. Semakin jauh dari titik pusat lingkaran, garis lingkaran tampak semakin lurus, nyaris tidak dikenali lagi bentuk lengkungnya. Demikianlah garis shaf di tempat-tempat yang jauh dari Mekkah.

Kita sering terbawa pada kerumitan matematis (yang sebenarnya tidak perlu) ketika menginginkan akurasi tinggi dalam penentuan arah kiblat. Kesalahan satu derajat di Indonesia (yang berjarak sekitar 8000 km untuk Jawa Barat) bisa menyebabkan penyimpangan besar di Mekkah (sekitar 140 km pada jarak tersebut). Hal serupa bisa kita balikkan. Kalau di Indonesia ada shaf sangat panjang sepanjang 140 km (sekitar jarak Jakarta-Bandung), untuk menghadap ke titik ka’bah arahnya akan sama dengan deretan orang memanjang ke belakang sampai jarak 40 meter dari ka’bah, dengan sudut hanya sekitar 1 derajat. Jadi jangan membayangkan bila menghadap ke titik Ka’bah atau masjidil haram seolah garis shaf akan melengkung.

Baca tulisan terkait:

https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/12/10/arah-qiblat-masjid-nabawi-dan-masji-kobe/

https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/04/15/menyempurnakan-arah-kiblat-dari-bayangan-matahari/

https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/12/14/program-arah-qiblat/

Memahami Kemarau Basah 2010

T. Djamaluddin

Prefesor Riset Astronomi-Astrofsika, Peneliti Hubungan Matahari-Bumi, Mantan Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN

Banyak orang bertanya mengapa kemarau tak kunjung datang, sampai pertengahan Juli 2010 hujan masih sering turun, kadang sangat lebat, di beberapa daerah. Data satelit (dari NOAA) menunjukkan bahwa liputan awan yang diindikasi dari pancaran inframerah dari bumi (OLR: outgoing longwave radiation, lihat gambar atas) secara rata-rata selama Juni 2010 sebagian besar Indonesia bagian Selatan masih diliputi awan tebal (warna biru).

Mengapa  Juni-Juli 2010 masih banyak awan di Indonesia yang menyebabkan kecenderungan kemarau tahun ini menjadi kemarau basah (banyak hujan)?

Dari sekian banyak parameter iklim, salah satu yang dapat memberi penjelasan secara umum kondisi seperti itu adalah gambaran anomali suhu permukaan laut di sekitar Indonesia dan kondisi regional Pasifik dan Lautan Hindia. Suhu permukaan laut dapat memberi gambaran umum pembentukan awan dan dinamika atmosfernya.

Suhu permukaan laut yang lebih hangat dari rata-rata bisa menggambarkan secara umum kecenderungan aktifnya pembentukan awan di wilayah Indonesia, yang berarti juga meningkatnya peluang hujan. Perbedaan suhu permukaan laut secara regional juga memberikan gambaran dinamika atmosfernya yang terkait dengan kecenderungan pengalihan daerah konveksi pembentukan awan.

Pada saat suhu permukaan laut di Pasifik menghangat cukup tinggi selama beberapa bulan, maka terjadilah fenomena El Nino, dengan kecenderungan daerah konveksi pembentukan awan bergeser ke wilayah sekitar Pasifik Timur  (di Benua Amerika). Di Indonesia cenderung miskin awan dan berpotensi kekeringan, seperti tahun 1997.  Sebaliknya bila suhu permukaan laut di Pasifik  cenderung menurun cukup rendah selama beberapa bulan, maka terjadilah fenomena La Nina, dengan kecenderungan wilayah konveksi pembentukan awan bergeser ke wilayah Indonesia. Tentunya itu berdampak banyaknya hujan di Indonesia. Kondisi El Nino-La Nina terkait juga dengan kondisi dinamika atmosfer Pasifik Selatan, sehingga fenomenanya sering digabung sebagai ENSO (El Nino-Southern Oscillation).

Hal yang sama terjadi di Lautan Hindia dengan fenomena Dipole Mode Positif atau Negatif.  Bila suhu permukaan laut di sekitar Indonesia lebih hangat daripada di sekitar Afrika, maka daerah konveksi pembentukan awan wilayah Lautan Hindia  bergeser ke arah Indonesa. Itu berarti bertambahnya peluang hujan dari pengaruh Lautan Hindia. Kondisi tersebut dinamakan Dipole Mode Negatif. Sebaliknya bila suhu permukaan laut di wilayah Indonesia lebih dingin daripada di sekitar Afrika, maka daerah konveksi pembentukan awan menjauh dari Indonesia. Itu dinamakan Dipole Mode Positif dengan potensi berkurangnya peluang hujan di Indonesia.

Efek ENSO sering diperkuat atau diperlemah oleh Dipole Mode, terkait dengan dinamika peralihan daerah konveksi pembentukan awan. Sering pula kondisi lokal suhu permukaan laut di sekitar Indonesia menjadi faktor penentu, karena aktifnya konveksi pembentukan awan di wilayah Indonesia sendiri. Nah, fenomena suhu permukaan laut di sekitar Indonesia tersebut bisa memberikan penjelasan umum tentang kecenderungan kemarau basah 2010 saat ini. Untuk memahaminya, mari kita bandingkan suhu permukaan laut di sekitar Indonesia dan liputan awannya sekitar Juni 2008, 2009, dan 2010.

Inilah kondisi Juni 2008:

Suhu permukaan laut di sekitar Indonesia (khususnya sekitar Jawa-Sumatera) cenderung mendingin (warna biru, panel SST), sementara secara regional relatif tidak ada perbedaan suhu permukaan laut antara Pasifik atau Lautan Hindia Barat dan Indonesia. Kondisi ini yang menyebabkan wilayah Indonesia pun miskin awan (warna coklat-merah, pada panel OLR). Wilayah perairan sekitar Jawa-Sumatera yang paling dingin (warna paling biru di panel SST) cenderung berasosiasi dengan wilayah yang paling miskin awan (warna paling merah di panel OLR). Inilah kondisi kemarau normal.

Kondisi Juni 2009:

Suhu permukaan laut wilayah Indonesia agak menghangat (warna coklat muda, pada panel SST), namun suhu permukaan laut di Pasifik lebih hangat (warna merah). Dipole mode dalam kondisi normal. Dampaknya  di Indonesia cenderung miskin awan (warna coklat-merah, di panel OLR) terkait dengan kondisi normal awal kemarau dan tanda-tanda awal El Nino. Kondisi ini kemarau dengan pengaruh awal El Nino.

Kondisi Juni 2010:

Suhu permukaan laut sekitar Indonesia cenderung menghangat (warna coklat-merah, pada panel SST) dengan  suhu permukaan laut di Pasifik cenderung mendingin (warna biru).  Sementara Dipole Mode dalam kondisi normal. Ini menyebabkan banyaknya liputan awan (dan tentunya potensi hujan) di Indonesia. Jadi kemarau tahun ini cenderung basah dengan pengaruh awal La Nina. Ini berpotensi mengundurkan masuknya musim kemarau dan mempercepat masuknya musim hujan. Sebagian besar model memperkirakan akan terjadinya La Nina tahun 2010-2011.

Baca juga: https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/04/16/mari-membaca-alam-untuk-mewaspadai-potensi-bencana/

Isra’ Mi’raj: Inspirasi Mengintegrasikan Sains dalam Aqidah dan Ibadah

T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

Anggota Tim Tafsir Kauni Kementerian Agama-LIPI

Isra’ mi’raj bukanlah kisah perjalanan antariksa. Aspek astronomis sama sekali tidak ada dalam kajian isra’ mi’raj. Namun, Isra’ mi’raj mengusik keingintahuan akal manusia untuk mencari penjelasan ilmu. Aspek aqidah dan ibadah berintegrasi dengan aspek ilmiah dalam membahas isra’ mi’raj. Inspirasi saintifik Isra’ Mi’raj mendorong kita untuk berfikir mengintegrasikan sains dalam aqidah dan ibadah.

Mari kita mendudukkan masalah isra’ mi’raj sebagai mana adanya yang diceritakan di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih. Kemudian sekilas kita ulas kesalahpahaman yang sering terjadi dalam mengaitkan isra’ mi’raj dengan kajian astronomi. Hal yang juga penting dalam mengambil hikmah peringatan isra’ mi’raj adalah menggali inspirasi saintifik yang mengintegrasikan sains dalam memperkuat aqidah dan menyempurnakan ibadah.

Kisah dalam Al-Qur’an dan Hadits

Di dalam QS. Al-Isra’:1 Allah menjelaskan tentang isra’:  “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Dan tentang mi’raj Allah menjelaskan dalam QS. An-Najm:13-18:  “Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada surga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.”

Sidratul muntaha secara harfiah berarti ‘tumbuhan sidrah yang tak terlampaui’, suatu perlambang batas yang tak seorang manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur’an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha itu.

Kejadian-kejadian sekitar isra’ dan mi’raj dijelaskan di dalam hadits-hadits nabi. Dari hadits-hadits yang sahih, didapati rangkaian kisah-kisah berikut. Suatu hari malaikat Jibril datang dan membawa Nabi, lalu dibedahnya dada Nabi dan dibersihkannya hatinya, diisinya dengan iman dan hikmah.

Kemudian didatangkan buraq, ‘binatang’ berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan mata. Dengan buraq itu Nabi melakukan isra’ dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina. Nabi SAW salat dua rakaat di Baitul Maqdis, lalu dibawakan oleh Jibril segelas khamr (minuman keras) dan segelas susu; Nabi SAW memilih susu. Kata malaikat Jibril, “Engkau dalam kesucian, sekiranya kau pilih khamr, sesatlah ummat engkau.”

Dengan buraq pula Nabi SAW melanjutkan perjalanan memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang dikanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya baitul Ma’mur, tempat 70.000 malaikat salat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi.

Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam (‘pena’). Dari sidratul muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di surga, dua sungai fisik (dhahir) di dunia:  sungai Efrat dan sungai Nil. Lalu Jibril membawa tiga gelas berisi khamr, susu, dan madu, dipilihnya susu. Jibril pun berkomentar, “Itulah (perlambang) fitrah (kesucian) engkau dan ummat engkau.” Jibril mengajak Nabi melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur’an surat An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang sebenarnya.

Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah salat wajib. Mulanya diwajibkan salat lima puluh kali sehari-semalam. Atas saran Nabi Musa, Nabi SAW meminta keringanan dan diberinya pengurangan sepuluh-sepuluh setiap meminta. Akhirnya diwajibkan lima kali sehari semalam. Nabi enggan meminta keringanan lagi, “Aku telah meminta keringan kepada Tuhanku, kini saya rela dan menyerah.” Maka Allah berfirman, “Itulah fardlu-Ku dan Aku telah meringankannya atas hamba-Ku.”

Urutan kejadian sejak melihat Baitul Ma’mur sampai menerima perintah salat tidak sama dalam beberapa hadits, mungkin menunjukkan kejadian-kajadian itu serempak dialami Nabi. Dalam kisah itu, hal yang fisik (dzhahir) dan non-fisik (bathin) bersatu dan perlambang pun terdapat di dalamnya. Nabi SAW yang pergi dengan jasad fisik hingga bisa salat di Masjidil Aqsha dan memilih susu yang ditawarkan Jibril, tetapi mengalami hal-hal non-fisik, seperti pertemuan dengan para Nabi yang telah wafat jauh sebelum kelahiran Nabi SAW dan pergi sampai ke surga. Juga ditunjukkan dua sungai non-fisik di surga dan dua sungai fisik di dunia. Dijelaskannya makna perlambang pemilihan susu oleh Nabi Muhammad SAW, dan menolak khamr atau madu. Ini benar-benar ujian keimanan, bagi orang mu’min semua kejadian itu benar diyakini terjadinya. Allah Maha Kuasa atas segalanya.

“Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: “Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia”. Dan Kami tidak menjadikan pemandangan yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi  manusia….” (QS. 17:60).

“Ketika orang-orang Quraisy tak mempercayai aku (kata Nabi SAW), aku berdiri di Hijr (menjawab berbagai pertanyaan mereka). Lalu Allah menampakkan kepada saya Baitul Maqdis, aku dapatkan apa yang aku inginkan dan aku jelaskan kepada mereka tanda-tandanya, aku memperhatikannya….” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya).

Hakikat Tujuh Langit

Peristiwa isra’ mi’raj yang menyebut-nyebut tujuh langit mau tak mau mengusik keingintahuan kita akan hakikat langit, khususnya berkaitan dengan tujuh langit yang juga sering disebut-sebut dalam Al-Qur’an.  Bila kita dengar kata langit, yang terbayang adalah kubah biru yang melingkupi bumi kita. Benarkah yang dimaksud langit itu lapisan biru di atas sana dan berlapis-lapis sebanyak tujuh lapisan?

Warna biru hanyalah semu, yang dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari oleh partikel-partikel atmosfer. Langit (samaa’ atau samawat) berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak ada.

Bilangan ‘tujuh’ sendiri dalam beberapa hal di Al-Qur’an  tidak  selalu menyatakan  hitungan  eksak  dalam  sistem desimal. Di dalam Al-Qur’an ungkapan ‘tujuh’ atau ‘tujuh  puluh’ sering mengacu  pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al-Baqarah:261 Allah menjanjikan: “Siapa  yang  menafkahkan  hartanya di  jalan  Allah  ibarat  menanam  sebiji benih yang menumbuhkan tujuh tangkai  yang masing-masingnya     berbuah    seratus    butir. Allah  melipatgandakan pahala orang-orang yang dikehendakinya….” Juga di dalam Q.S. Luqman:27: “Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai  pena dan  lautan  menjadi tintanya dan  ditambahkan tujuh lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah….” Jadi  ‘tujuh langit’ lebih mengena bila  difahamkan  sebagai  tatanan  benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.

Lalu, apa hakikatnya langit dunia, langit ke dua, langit ke tiga, … sampai langit ke tujuh dalam kisah isra’ mi’raj?  Mungkin ada orang mengada-ada penafsiran, mengaitkan dengan astronomi. Para penafsir dulu ada yang berpendapat bulan di langit pertama,  matahari di langit ke empat, dan planet-planet lain di lapisan lainnya. Kini ada sembilan planet yang sudah diketahui, lebih dari tujuh. Tetapi, mungkin masih ada orang yang ingin mereka-reka. Kebetulan, dari jumlah planet yang sampai saat ini kita ketahui, dua planet dekat matahari (Merkurius dan Venus), tujuh lainnya –termasuk bumi– mengorbit jauh dari matahari.

Pengertian langit dalam kisah isra’ mi’raj bukanlah  pengertian langit secara fisik. Karena, fenomena yang diceritakan Nabi pun bukan fenomena fisik, seperti perjumpaan dengan para Nabi yang hakikatnya telah wafat. Langit dan Sidratul Muntaha dalam kisah isra’ mi’raj adalah alam ghaib yang tak bisa kita ketahui hakikatnya dengan keterbatasan ilmu manusia. Hanya Rasulullah SAW yang berkesempatan mengetahuinya. Isra’ mi’raj adalah mu’jizat yang hanya diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.

Perjalanan Keluar Dimensi Ruang Waktu

Isra’ mi’raj jelas bukan perjalanan seperti dengan pesawat terbang antarnegara dari Mekkah ke Palestina dan penerbangan antariksa dari Masjidil Aqsha ke langit ke tujuh lalu ke Sidratul Muntaha. Isra’ Mi’raj adalah perjalanan keluar dari dimensi ruang waktu. Tentang caranya, iptek tidak dapat menjelaskan. Tetapi bahwa Rasulullah SAW melakukan perjalanan keluar ruang waktu, dan bukan dalam keadaan mimpi, adalah logika yang bisa menjelaskan beberapa kejadian yang diceritakan dalam hadits shahih. Penjelasan perjalanan keluar dimensi ruang waktu setidaknya untuk memperkuat keimanan bahwa itu sesuatu yang lazim ditinjau dari segi sains, tanpa harus mempertentangkannya dan menganggapnya sebagai suatu kisah yang hanya dapat dipercaya saja dengan iman.

Kita hidup di alam yang dibatas oleh dimensi ruang-waktu (tiga dimensi ruang –mudahnya kita sebut panjang, lebar, dan tinggi –, serta satu dimensi waktu ). Sehingga kita selalu memikirkan soal jarak dan waktu. Dalam kisah Isra’ mi’raj, Rasulullah bersama Jibril dengan wahana “buraq” keluar dari dimensi ruang, sehingga dengan sekejap sudah berada di Masjidil Aqsha. Rasul bukan bermimpi karena dapat menjelaskan secara detil tentang masjid Aqsha dan tentang kafilah yang masih dalam perjalanan. Rasul juga keluar dari dimensi waktu sehingga dapat menembus masa lalu dengan menemui beberapa Nabi. Di langit pertama (langit dunia) sampai langit tujuh berturut-turut bertemu (1) Nabi Adam, (2) Nabi Isa dan Nabi Yahya, (3) Nabi Yusuf, (4) Nabi Idris, (5) Nabi Harun, (6) Nabi Musa, dan (7) Nabi Ibrahim. Rasulullah SAW juga ditunjukkan surga dan neraka, suatu alam yang mungkin berada di masa depan, mungkin juga sudah ada masa sekarang sampai setelah kiamat nanti.

Sekadar analogi sederhana perjalanan keluar dimensi ruang waktu adalah seperti kita pergi ke alam lain yang dimensinya lebih besar. Sekadar ilustrasi, dimensi 1 adalah garis, dimensi 2 adalah bidang, dimensi 3 adalah ruang. Alam dua dimensi (bidang) dengan mudah menggambarkan alam satu dimensi (garis). Demikian juga alam tiga dimensi (ruang) dengan mudah menggambarkan alam dua dimensi (bidang). Tetapi dimensi rendah tidak akan sempurna menggambarkan dimensi yang lebih tinggi. Kotak berdimensi tiga tidak tampak sempurna bila digambarkan di bidang yang berdimensi dua.

Sekarang bayangkan ada alam berdimensi dua  (bidang) berbentuk U. Makhluk di alam “U” itu bila akan berjalan dari ujung satu ke ujung lainnya perlu menempuh jarak jauh. Kita yang berada di alam yang berdimensi lebih tinggi dengan mudah memindahkannya dari satu ujung ke ujung lainnya dengan mengangkat makhluk itu keluar dari dimensi dua, tanpa perlu berkeliling menyusuri lengkungan “U”.

Alam malaikat (juga jin) bisa jadi berdimensi lebih tinggi dari dimensi ruang waktu, sehingga bagi mereka tidak ada lagi masalah jarak dan waktu. Karena itu mereka bisa melihat kita, tetapi kita tidak bisa melihat mereka. Ibaratnya dimensi dua tidak dapat menggambarkan dimensi tiga, tetapi sebaliknya dimensi tiga mudah saja menggambarkan dimensi dua. Bukankah isyarat di dalam Al-Quran dan Hadits juga menunjukkan hal itu. Malaikat dan jin tidak diberikan batas waktu umur, sehingga seolah tidak ada kematian bagi mereka. Mereka pun bisa berada di berbagai tempat karena tak dibatas oleh ruang.

Rasulullah bersama jibril diajak ke dimensi malaikat, sehingga Rasulullah dapat melihat Jibril  dalam bentuk aslinya (baca QS 53:13-18). Rasul pun dengan mudah pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya, tanpa terikat ruang dan waktu. Langit dalam konteks istra’ mi’raj pun bukanlah langit fisik berupa planet atau bintang, tetapi suatu dimensi tinggi. Langit memang bermakna sesuatu di atas kita, dalam arti fisik maupun non-fisik.

Sains Terintegrasi dengan Aqidah dan Ibadah

Bagaimanapun ilmu manusia tak mungkin bisa menjabarkan hakikat perjalanan isra’ mi’raj. Allah hanya memberikan ilmu kepada manusia sedikit sekali (QS. Al-Isra: 85). Hanya dengan iman kita mempercayai bahwa isra’ mi’raj benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah SAW. Rupanya, begitulah rencana Allah menguji keimanan hamba-hamba-Nya (QS. Al-Isra:60) dan menyampaikan perintah salat wajib secara langsung kepada Rasulullah SAW.

“…dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: ‘Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia’ dan Kami tidak menjadikan penglihatan (saat isra’ mi’raj) yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia …”

Pemahaman dengan pendekatan konsep ektra dimensi sekadar pendekatan sains untuk merasionalkan konsep aqidah terkait isra’ mi’raj, walau belum tentu tepat. Tetapi upaya pendekatan saintifik sering dipakai sebagai dalil aqli (akal) untuk memperkuat keyakinan dalam aqidah Islam. Sains seharusnya tidak kontradiktif dengan aqidah dan aqidah bukan hal yang bersifat dogmatis semata, tetapi memungkinkan dicerna dengan akal. Mengintegrasikan sains dalam memahami aqidah dapat menghapuskan dikhotomi aqidah dan sains, karena Islam mengajarkan bahwa kajian sains tentang ayat-ayat kauniyah tak terpisahkan dari pemaknaan aqidah.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS 3:190-191).

Pada sisi lain isra’ mi’raj mengajarkan makna mendalam dalam hal ibadah. Makna penting isra’ mi’raj bagi ummat Islam ada pada keistimewaan penyampaian perintah salat wajib lima waktu. Ini menunjukkan kekhususan salat sebagai ibadah utama dalam Islam. Salat mesti dilakukan oleh setiap Muslim, baik dia kaya maupun miskin, dia sehat maupun sakit. Ini berbeda dari ibadah zakat yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang mampu secara ekonomi, atau puasa bagi yang kuat fisiknya, atau haji bagi yang sehat badannya dan mampu keuangannya.

Salat lima kali sehari semalam yang didistribusikan di sela-sela kesibukan aktivitas kehidupan, mestinya mampu membersihkan diri dan jiwa setiap Muslim. Allah mengingatkan:

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab  (Al  Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat  Allah  (shalat) adalah  lebih  besar  (keutamaannya  dari  ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut:45).

Isra’ dan mi’raj juga memberikan inspirasi untuk merenungi makna ibadah shalat, termasuk aspek saintifiknya. Umat Islam telah membuktikan bahwa sains pun bisa diintegrasikan dalam urusan ibadah, untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah. Demi kepentingan ibadah shalat, umat Islam mengembangkan ilmu astronomi atau ilmu falak untuk penentuan arah kiblat dan waktu shalat. Tuntutan ibadah mendorong kemajuan sains astronomi pada awal sejarah Islam. Kini astronomi telah menjadi alat bantu utama dalam penentuan arah kiblat dan waktu shalat. Konsepsi astronomi bola digunakan untuk penentuan arah kiblat. Perhitungan posisi matahari digunakan untuk mencari waktu istimewa dalam penentuan arah kiblat dan jadwal shalat harian. Kita cukup melihat jadwal shalat, tidak lagi direpotkan harus melihat langsung fenonema cahaya matahari atau bayangannya setiap akan shalat. Kini semua ummat Islam Indonesia, apa pun ormasnya, secara umum bisa bersepakat dengan kriteria astronomis dalam penyusunan jadwal shalat.

Inspirasi pemanfaatan sains dalam ibadah juga diperluas untuk ibadah-ibadah lainnya terkait dengan penentuan waktu. Penentuan awal Ramadhan dan hari raya kini sudah banyak memanfaatkan pengetahuan astronomi atau ilmu falak, baik untuk keperluan perhitungannya (hisab) maupun untuk pengamatannya (rukyat). Penentuan awal Ramadhan atau hari raya yang kadang berbeda saat ini bukan lagi disebabkan oleh perbedaan metode hisab dan rukyat, tetapi lebih disebabkan oleh perbedaan kriteria astronomisnya. Alangkah indahnya kalau pelajaran kesepakatan kriteria astronomis dalam penentuan jadwal shalat juga diterapkan untuk penentuan awal Ramadhan dan hari raya sehingga potensi perbedaan dapat dihilangkan. Tanpa kesepakatan kriteria itu, tahun ini dan beberapa tahun ke depan kita akan menghadapi lagi persoalan perbedaan awal Ramadhan dan hari raya.

Upaya menuju titik temu kriteria astronomi sudah mulai dilakukan. Tinggal selangkah lagi kita bisa mendapatkan kriteria hisab rukyat Indonesia yang mempersatukan umat. Isra’ mi’raj pun mengajarkan upaya menuju “titik temu” menurut cara pandang manusiawi antara Allah dan Rasullah terkait dengan jumlah shalat wajib yang semula 50 kali menjadi 5 kali sehari semalam. Satu sisi itu menunjukkan kemurahan Allah, tetapi pada sisi lain kita bisa mengambil pelajaran bahwa kompromi untuk mencapai titik temu adalah suatu keniscayaan. Kita tidak boleh memutlakkan pendapat kita seolah tidak bisa berubah, termasuk untuk mencapai titik temu. Kriteria astronomis hisab rukyat juga bukan sesuatu yang mutlak, mestinya bisa kita kompromikan untuk mendapatkan kesepakatan ada ada ketentraman dalam beribadah shaum Ramadhan dan ibadah yang terkait dengan hari raya (zakat fitrah, shalat hari raya, Shaum di bulan Syawal,  shaum Arafah)

Isra’ mi’raj memberikan inspirasi mengintegrasikan sains dalam memperkuat aqidah dan menyempurnakan ibadah, selain mengingatkan pentingnya shalat lima waktu.

 

Baca juga:

https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/06/22/isra-miraj-perjalanan-keluar-dimensi-ruang-waktu/

Hoax Lagi: Planet Segaris

Beberapa hari lalu seorang teman di FB menanyakan soal kabar superkonjungsi, tanpa menyertakan kabar yang dia terima. Saya jawab dengan tulisan lama saya  di blog saya

https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/07/01/superkonjungsi-bedakan-astronomi-dan-astrologi/

Saya sama sekali tidak menduga akan ada info yang lebih seru akan beredar di SMS dan BBM, serta media on-line lainnya. Selasa siang kemarin banyak wartawan menanyakan kebenaran berita berikut, termasuk pertanyaan ke LAPAN dari anggota DPR dan mantan menteri. Artinya, hoax tersebut sudah menyebar luas. Malamnya Elshinta minta penjelasan on-air.

Info hoax seperti ini: “Menurut NASA tepat pukul 5:00 pm waktu Greenwich atau pukul 12:00 tengah malam ini (tgl. 6 Juli 2010) planet Merkurius, Bumi, Venus, Uranus dan Neptunus berada tepat satu garis dgn Matahari. Hal ini terjadi 20.000 ribu tahun sekali. Akibatnya gaya gravitasi menjadi bertambah 6 kali lipat, pd saat itu akan terjadi fenomena luar biasa : 1. Laut akan mengalami pasang naik, kemungkinan laut akan meluap, 2. Berat benda akan meningkat 6 kali lipat (jika kita menimbang benda 1 kg akan jd 6 kg, jika berat badan 50 kg akan jadi 300 kg), 3. Semua benda akan tertarik ke permukaan bumi. Jika kita melempar sesuatu, maka benda tdk akan bergerak ke atas namun kebawah. Burung, kelelawar, dll yg terbang dlm jarak 1 km dr permukaan bumi akan lsg tertarik dan jatuh. NASA sdh memperingatkan semua persh penerbangan agar tdk take off pd jam tsb diatas. Fenomena ini akan berlangsung sekitar 10 menit. Silahkan broadcast berita rahasia ini, alami fenomena 20.000 thn sekali dan cegah musibah jgn  sampai terjadi.”

Info tersebut sudah saya bantah, intinya:
– Tidak mungkin NASA memberi warning mendadak soal fenomena astronomi yang bisa diperkirakan jauh-jauh hari.
– Tidak mungkin konfigurasi planet-planet berdampak buruk pada bumi, karena jaraknya jauh dan ukurannya relatif kecil. Efek pasang surut di bumi hanya disebabkan oleh Bulan (karena jaraknya dekat) dan matahari (karena ukurannya atau massanya sangat besar).
– Informasi segarisnya planet lebih banyak makna astrologinya (plus ramanan bencana) daripada makna astronomis. Secara astronomi fenomena itu hal biasa yang tidak berdampak apa pun.
– Hoax serupa pernah terjadi pada 1995 dan 5 Mei 2000 (lihat blog saya). Jadi bukan hal yang aneh. Maraknya SMS dan BBM memudahkan hoax tsb menyebar cepat. Untungnya media on-line dan media massa eletronik cepat mengkonfirmasikan ke LAPAN dan Bosscha sehingga cepat diklarifikasi.

Fakta astronomisnya, yang tampak segaris pada Juli 2010 ini adalah Saturnus, Mars, Venus, dan Merkurius (lihat gambar di atas), bukan seperti yang beredar di masyarakat. Konfigurasi segaris seperti itu wajar terjadi, karena semua planet berada di sekitar garis jelajah matahari di langit (ekliptika) sehingga planet yang berdekatan selalu tampak seperti segaris. Benarkan segaris? Kalau kita lihat konfigurasi sesungguhnya di tata surya, tidak tampak konfigurasi segaris tersebut.

Superkonjungsi: Bedakan Astronomi dan Astrologi

T. Djamaluddin, Peneliti  Matahari dan Antariksa, LAPAN Bandung

Orang awam kadang tidak bisa membedakan antara astronomi dan astrologi. Secara mudah kadang keduanya difahami sebagai ilmu bintang. Padahal jelas sekali bedanya, terutama dalam hal tafsir atas suatu fenomena langit. Nah, soal tafsir inilah yang sangat rawan dalam menimbulkan keresahan. Orang awam kadang tidak bisa membedakan mana tafsir astrologi dan mana tafsir astronomi.

Astrologi adalah ilmu yang mempelajari pergerakan planet, bulan, matahari, dan bintang-bintang yang diyakini berkaitan dengan nasib manusia, baik secara individu maupun masyarakat. Sedangkan astronomi adalah ilmu yang mempelajari kondisi fisik, kimiawi, dan evolusi benda-benda langit tanpa kaitan dengan nasib manusia saat ini. Pokoknya bila fenomena alam dikaitkan dengan nasib, itu pasti bukan tafsir astronomi, mungkin tafsir astrologi. Mitos tentang kaitan kemunculan komet dengan pergantian raja atau bencana atau kaitan gerhana dengan nasib calon bayi di kandungan bukanlah tafsir astronomi. Kepercayaan itu terkait dengan astrologi.

Masih ingat geger ramalan bencana 5 Mei 2000 lalu? Fenomena astronomi pengelompokan matahari, bulan, dan lima planet terang pada 5 Mei 2000 telah menghangatkan berita media massa dengan ramalan adanya bencana. Bencana tidak terjadi. Tetapi, ada satu hal penting yang luput dari perhatian awam: berita media massa telah mencampuradukkan fenomena astronomi dengan ramalan astrologi.

Istilah superkonjungsi tidak dikenal astronomi, tetapi hanya ada dalam terminologi astrologi. Konjungsi dalam pengertian astronomi adalah posisi dua benda langit yang segaris bujur dalam penampakannya di langit. Dalam bahasa hisab, dikenal ijtimak untuk konjungsi bulan dan matahari. Pada saat itu terjadi bulan baru dan mungkin juga terjadi gerhana matahari. Secara astronomi mustahil terjadi konjungsi yang melibatkan lebih dari dua benda langit.

Namun dalam pengertian astrologi, konjungsi tidak harus segaris bujur. Ada toleransi (disebut “orb”) antara 8-9 derajat, mungkin juga lebih. Karenanya pengelompokan dua planet atau lebih dalam sektor geosentik yang sempit sering dianggap konjungsi. Bila melibatkan banyak planet disebut superkonjungsi.

Tafsir Astrologi

Secara astrologi, pengaruh paling kuat benda-benda langit pada kehidupan manusia di bumi adalah pada saat terjadi konjungsi tersebut. Ramalan bencana 5 Mei 2000 akibat superkonjungsi sepenuhnya hasil tafsiran astrologi, bukan astronomi. Ramalan bencana alam atau bencana sosial, dilakukan oleh cabang astrologi yang disebut astrologi duniawi (mundane). Cabang astrologi ini memfokuskan perhatian pada pengaruh benda-benda langit pada kondisi bangsa, partai politik, serta aset-aset tak hidup (bangunan, kendaraan). Astrologi populer yang berkaitan dengan watak seseorang dan ramalan nasibnya (disebut astrologi natal), juga memperhatikan masalah konjungsi tersebut.

Di Indonesia pada tahun 1995 seorang tokoh paranormal risau dengan perhitungan astrologinya yang menyatakan posisi planet Uranus dan Neptunus dalam keadaan segaris. Katanya, keadaan ini bisa menyebabkan adanya chaos, kekacauan di alam dan masyarakat. Ramalan tentang chaos pada tahun 1995 didasarkan pada informasi astrologi bahwa  planet Saturnus-Uranus (pada bagian lain berita disebutkan Uranus-Neptunus) berada pada posisi segaris yang berlangsung selama lima tahun. Menurut data astronomi pernyataan itu tidak benar. Tahun 1995 ketiga planet itu tidak berada pada posisi segaris. Hanya planet Uranus dan Neptunus yang berdekatan, tetapi tidak segaris (berbeda sekitar 5 derajat). Planet Saturnus dan Uranus berada pada posisi segaris dengan matahari pada tanggal 9 Juni 1988 pada bujur 268o55′. Dan planet Uranus dan Neptunus berada pada  posisi segaris dengan matahari pada tanggal 21 April 1993 pada bujur 289o16′. Namun nalar astrologi berbeda dari argumentasi astronomi.

Tahun 1974 John R. Gribbin and Stephen H. Plagemann menerbitkan buku “The Jupiter Effect” yang meramalkan bakal terjadinya bencana pada tahun 1982 akibat berkelompoknya semua planet pada satu sektor yang sama. Memang pada saat itu semua planet dari Merkurius sampai Pluto berkumpul pada sektor dengan rentang 95 derajat, sektor paling sempit selama abad 20. Kemudian sekitar tahun 1997-an Richard Noone mempublikasikan buku “5/5/2000 Ice: the Ultimate Disaster” yang bercerita tentang ramalan bencana pada 5 Mei 2000. Tulisan Noone inilah yang tampaknya mewarnai cerita-cerita di media massa tahun lalu.

Ramalan astrologi mundane yang paling terkenal adalah karya Nostradamus. Dengan nama asli Michel de Nostradame (1503-1566), Nostradamus yang pernah menjadi dokter istana Raja Perancis Charles IX mempublikasikan bukunya “Les Centuries” pada 1555. Banyak peristiwa besar dikaitkan orang dengan ramalan Nostradamus, seperti perang dunia I dan II serta perang teluk Irak-Kuwait yang diduga bisa memicu perang dunia III.

Kepanikan massa akibat berita yang menyesatkan tentang segarisnya planet-planet pernah terjadi pada tahun 1962. Pada superkonjungsi 4 Februari 1962 (5 Februari waktu Indonesia) orang-orang berkumpul di Observatorium Griffith (Los Angeles) menunggu informasi apa yang akan terjadi. Mobil berderet hampir satu kilometer. Berita sensasional juga berkembang di Amerika pada tahun 1982. Superkonjungsi 1982 dikabarkan akan menghancurkan pantai barat Amerika dan memusnahkan jutaan orang. Bencana itu tidak terjadi, tetapi sekian banyak orang dibuatnya ketakutan dengan ramalan itu. Bahkan ada yang meminta nasihat astronom perlu tidaknya pindah ke daerah lain. Planetarium Denver menerima 130 telepon dalam lima jam dari orang-orang yang ketakutan.

Pada 1998 ramalan Nostradamus juga sempat merepotkan para astronom di Observatorium Griffith. Setelah penayangan  film “The Man Who Saw Tomorrow” yang bercerita tentang Nostradamus, banyak orang menelpon observatorium menanyakan kapan terjadinya planet-planet segaris yang akan menyebabkan gempa. Ternyata gempa memang tidak terbukti terjadi.

Tafsir astrologi tentang fenomena astronomi sering mengundang sensasi. Dengan makin mudahnya penyebaran informasi bila tanpa disertai rasionalitas berfikir, di negara maju sekali pun ramalan-ramalan bencana seperti itu cukup membuat panik banyak orang. Tidak tampaknya dampak sosial di Indonesia terhadap ramalan-ramalan bencana tersebut belum tentu berarti masyarakat telah berfikir rasional, tetapi mungkin karena penyebaran informasinya tidak seluas di negara-negara maju.

Tafsir Astronomi

Superkonjungsi dalam terminologi astronomi lebih tepat disebut pengelompokan planet-planet dalam suatu sektor tertentu. Pengelompokan planet-planet pada 5 Mei 2000 lalu telah dihitung oleh Jean Meeus, pakar matematika astronomi dari Belgia,  yang menuliskannya dalam majalah astronomi Sky and Teleskop (1961). Berkelompoknya matahari, bulan, dan 5 planet utama lainnya (dalam konsep lama semuanya dianggap planet) dalam rentang 100 tahun sebenarnya telah terjadi pada  5 Februari 1962 dan 5 Mei 2000, kemudian akan terjadi lagi pada 9 September 2040.

Dari segi astronomi, tidak ada hal yang istimewa dengan berkelompoknya planet-planet tersebut.  Mungkin satu-satunya hal yang menarik adalah bila kejadiannya malam hari. Pengelompokan banyak planet dalam satu wilayah langit yang sempit sangat menarik bagi penggemar astrofotografi. Selain hal itu, sama sekali tidak ada alasan logis yang bisa menjelaskan mekanisme kaitan antara susunan planet tersebut dengan bencana di bumi.

Ada tiga hal yang perlu dikaji sebelum menyimpulkan dampak benda langit pada bumi: efek pasang surutnya, radiasinya, dan pancaran partikelnya. Efek pasang surut (pasut) sudah kita kenal akibat gravitasi bulan dan matahari yang menyebabkan air laut pasang dan surut secara periodik. Radiasi matahari berdampak besar pada bumi, baik dalam kaitannya dengan komunikasi radio maupun fenomena cuaca dan iklim. Bila ada peningkatan radiasi energi tinggi dari matahari, komunikasi radio gelombang pendek bisa terputus. Pancaran partikel dari matahari berupa angin matahari atau debu komet berdampak pada satelit-satelit yang mengorbit bumi.

Adakah tiga hal tersebut terjadi bila planet-planet berkelompok? Efek pasut planet-planet amat sangat kecil dibandingkan dengan efek pasut bulan dan matahari.  Dengan memperhitungkan massa planet dan jaraknya pada suatu waktu, dapat dihitung gaya pasutnya di permukaan bumi. Matahari saja yang sekitar 27 juta kali massa bulan, gaya pasutnya pada 5 Mei 2000 hanya sepertiga gaya pasut bulan. Efek pasut matahari baru terasa pada saat bulan baru atau bulan purnama, ketika gaya pasut bulan dan matahari saling memperkuat yang menyebabkan pasang air laut menjadi lebih tinggi daripada biasanya.

Sedangkan efek pasut planet-planet sangat kecil. Gaya pasut yang terbesar saja dari planet Jupiter, hanya dua-per-sejuta kali gaya pasut bulan. Jadi efek pasut planet-planet tersebut sama sekali tidak berdampak pada bumi.

Planet-planet pun tidak memancarkan radiasinya sendiri. Radiasi dari planet-planet tergantung pancaran radiasi matahari. Demikian juga tidak ada pancaran partikel dari planet-planet yang mencapai bumi. Jadi, sama sekali tidak beralasan untuk mengaitkan pengelompokan planet-planet dengan bencana di bumi. Sama halnya tidak beralasan mengaitkan penampakan komet dan gerhana dengan nasib manusia.

Baca juga

https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/05/13/astronomi-membantah-astrologi/