Shalat di Pesawat Terbang dan Shalatnya Astronot


T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

Anggota Tim Falakiyah, Kementerian Agama RI

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. [QS Al-Baqarah (2):115]

Shalat di pesawat terbang jelas tidak ada contohnya dalam sunnah Rasul. Para ulama fikih pun umumnya membahas dalam kondisi yang relatif masih normal. Bagaimana kalau penerbangan lama? Apalagi saat ini beberapa Muslim pun berkesempatan menjadi astronot, mengorbit bumi di Stasiun Antariksa Internasional (ISS). Jadi, perlu ijtihad berdasarkan dalil fikih yang shahih dengan mempertimbangkan kondisi nyata saat penerbangan atau saat mengorbit bumi. Tanpa merinci dalil-dalilnya, berikut pemahaman saya atas dalil-dalil fikih untuk praktek shalat di pesawat yang secara langsung saya alami dan praktekkan. Juga shalatnya astronot berdasarkan kondisi di orbit.

Biasanya ada lima persolan pokok terkait shalat di pesawat terbang:

  1. Mengapa harus shalat di pesawat terbang? Alasan utama, karena waktu shalat telah masuk dan tidak mungkin menunggu saat mendarat. Ada yang berpendapat, tidak sah shalat di ketinggian. Jadi shalat di pesawat terbang sekadar menghormati waktu, lalu meng-qadha (mengganti) setelah mendarat. Namun ada kasus yang akan saya tunjukkan, lima waktu shalat berada di pesawat terbang. Tidak ada contoh dalam fikih untuk meng-qadha lima shalat sekaligus. Jadi saya berpendapat, shalat di pesawat terbang adalah shalat yang dilaksanakan pada waktunya, tidak perlu meng-qadha.
  2. Bagaimana cara menentukan waktu shalatnya? Beberapa pesawat terbang (terutama maskapai Timur Tengah) kadang mengumumkan masuknya waktu shalat. Namun sebagian besar tidak memberikan informasi jadwal shalat. Maka kita harus memperkirakan posisi matahari atau ketampakan matahari dan cahayanya dari pesawat. Karena kita bisa melakukan shalat jamak (digabung), maka hanya tiga waktu yang perlu diperhatikan: dhuhur, maghrib, dan shubuh. (a) Waktu dhuhur ditandai setelah matahari mulai condong ke barat. Beberapa pesawat terbang memberikan informasi posisi matahari dan wilayah siang-malam di peta penerbangannya. Dengan informasi itu kita bisa mengetahui bahwa pesawat sudah memasuki waktu dhuhur. (b) Maghrib ketika matahari sudah terbenam atau pesawat mulai memasuki wilayah malam. (c) Shubuh ketika fajar mulai tampak di ufuk timur. Itu sebabnya kalau penerbangan malam saya sering memilih kursi dekat jendela yang menghadap timur. Cara lain, kalau duduk di kursi tengah, perkirakan ketika pesawat menjelang memasuki daerah siang, walau ini perkiraan sangat kasar. Yang penting sebelum pesawat memasuk wilayah siang.
  3. Bagaimana cara bersucinya? Jelas tidak mungkin dengan berwudhu. Walau pun di toilet pesawat terbang ada air, air itu sulit untuk berwudhu. Ada yang berpendapat, itu kan perjuangan, tetap harus diupayakan. Bayangkan, kalau penumpang pesawat terbang sebagian besar Muslim, seperti saat haji atau umroh. Sungguh memberatkan kalau semua harus berjuang untuk berwudhu dengan air. Jadi, saya berpendapat, lebih baik bertayum. Kan tidak ada tanah? Kita yakinkan saja bahwa di bagian kursi di depan kita atau dinding pesawat masih ada debu-debu yang menempel yang bisa kita gunakan untuk bertayamum. Caranya: (1) tepukkan tangan ke kursi di depan kita atau ke dinding pesawat, (2) usap wajah, (3) lanjutkan ke kedua tangan, cukup sampai pergelangan saja.
  4. Bagaimana menghadap kiblatnya? Walau di pesawat sering ada peta dan petunjuk arah terbang, sehingga bisa memperkirakan arah kiblat, seringkali posisi terbang membelakangi arah kiblat. Ada yang berpendapat, tetap harus diupayakan menghadap kiblat, setidaknya pada awalnya. Namun, itu kadang sangat menyulitkan. Ada solusinya yang diberikan Allah dalam QS 2:115: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”. Jadi, dalam kondisi kita tidak memungkinkan menghadap arah kiblat yang benar, hadapkanlah wajah ke arah yang memungkinkan.
  5. Bagaimana cara shalatnya? Sebagai orang dalam perjalanan (musafir) kita mendapat keringanan untuk menjamak (menggabungkan) shalat dhuhur dan asar serta shalat maghrib dan isya. Juga kita mendapat keringanan untuk meng-qashar (meringkas) shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Lalu bagaimana cara shalatnya? Ada yang berpendendapat bahwa harus diupayakan shalat sambil berdiri. Namun itu pun menyulitkan kalau harus dilakukan banyak orang. Tidak ada tempat yang memadai untuk menampung semua penumpang Muslim. Jadi, saya berpendapat, dalam kondisi seperti itu, shalatlah di kursi masing-masing. Caranya, sambil duduk bertakbiratul ihram. Lalu membaca Alfatihah dan surat pendek. Dilanjutkan ruku’ dengan sedikit membungkuk sambil baca bacaan ruku’. I’tidal dilakukan dengan kembali duduk tegak. Lalu sujud dengan membungukuk lebih rendah lagi atau sampai menyentuh kursi di depan kita. Demikian sampai selesai dengan salam sambil menengok ke kanan dan ke kiri.

Penerbangan panjang Tokyo (Jepang) – Dallas (AS), dengan lima waktu shalat.

Berikut ini catatan perjalanan panjang penerbangan dari Tokyo (Jepang) ke Dallas (AS) dan sebaliknya. Perjalanan panjang dari Tokyo ke Dallas (AS) selama 10,5 jam. Karena penerbangan ke arah timur jadi matahari terasa seolah bergerak cepat. Jadi sangat berpengaruh pada waktu shalat. Saya terbang 3 April 2019 pukul 11.00 waktu Jepang dan sampai di Dallas pada tanggal yang sama 3 April pagi sekitar pukul 07.30 waktu Dallas. Tanggal tidak berubah setelah melewati tengah malam, karena melewati batas Tanggal Internasional. Penerbangan siang sampai pagi, artinya lima waktu shalat saya berada di pesawat terbang. Lalu bagaimana waktu melaksanakan shalat di pesawat? Shalat dhuhur-ashar saya jamak qashar (digabung dan dirungkas) beberapa jam setelah meninggalkan Tokyo. Shalat maghrib-isya saya jamak-qashar  ketika berada di atas samudra Pasifik, menjelang memasuki daratan AS. Shalat shubuh saya laksanakan beberapa saat sebelum mendarat di Dallas. Supaya tidak terlewat waktu shubuh, saya upayakan sekali-sekali kalau terbangun saya periksa posisi pesawat pada peta malam-siang. Untuk memastikannya, saya lihat lewat jendala.

Penerbangan panjang Dallas (AS) – Tokyo (Jepang), hanya shalat dhuhur-asar.

Penerbangan kembali dari Dallas (AS) ke Tokyo (Jepang) lebih lama. Selain karena waktunya yang lebih lama, selama 12,5 jam, juga karena merasa pergerakan matahari lebih lambat. Hal itu terjadi karena pesawat melawan arah rotasi bumi dan pergerakannya mengikuti pergerakan semu matahari. Maka sepanjang penerbangan hanya merasakan siang terus. Saya terbang Jumat 12 April 2019 siang, tiba Sabtu 13 April sore. Tanggal berubah karena melewati Garis Tanggal Internasional. Karena siang yang panjang di pesawat, shalat di atas pesawat hanya dhuhur-asar dijamak-qashar.

Dengan contoh shalat dalam penerbangan panjang, lalu bagaimana para astronot Muslim melaksanakan shalatnya. Pertama, jelas shalat di wahana antariksa astronot tidak bisa lagi merujuk arah kiblat ke Mekkah. Jadi, dalil QS 2:115 yang digunakan. Shalatlah menghadap ke mana saja. Lalu bagaimana waktunya? Wahana antariksa mengorbit bumi sekitar 14 kali sehari. Artinya, setiap 90 menit mengalami malam dan siang bergantian. Waktu shalatnya adalah mengunakan jam. Rujukannya adalah jadwal shalat di lokasi peluncuran. Lalu bagaimana cara melakukannya? Dalam kondisi gravitasi mikro, astronot tampak melayang-layang di dalam wahana antariksa kalau kaki tidak mengait pada pijakan. Gerakan sedikit saja bisa memindahkan posisi astronot. Jadi, gerakan shalat dilakukan sesuai kemampuan yang bisa dilakukan.

Tinggalkan komentar