Konsep Geosentrik yang Usang Menginspirasi Wujudul Hilal


T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI

(Sumber gambar Geocentric: Wikipedia)

Awal Ramadhan 1433 berpotensi terjadi perbedaan, karena posisi bulan sudah di atas ufuk (sudah wujud) tetapi masih di bawah kriteria imkan rukyat (kemungkinan bisa dirukyat). Perbedaan itu terjadi karena masih ada pengguna kriteria Wujudul Hilal. Berdasarkan hisab (perhitungan astronomi) 1433 sudah dapat diprakirakan awal Ramadhan 1433 menurut kriteria Wujudul Hilal akan jatuh pada 20 Juli 2012, sedangkan berdasarkan kriteria imkan rukyat jatuh pada 21 Juli 2012. Perbedaan serupa juga terjadi saat penentuan Idul Fitri 1432 lalu.  Hal ini sudah saya ulas dalam beberapa tulisan di blog saya ini.

Ada teman dari Muhammadiyah meminta saya tidak menggunakan kata “usang” yang dianggap melecehkan Muhammaduyah. Saya jelaskan, kata “usang” adalah kata netral untuk mengungkapkan teori atau hipotesis lama yang sudah tidak digunakan lagi. Bukan melecehkan, tetapi menyatakan fakta sesungguhnya agar pengguna wujudul hilal sadar bahwa itu memang usang. Mengapa usang? Karena wujudul hilal dibangun dengan inspirasi konsep geosentrik (konsep lama bahwa bumi sebagai pusat alam semesta) yang memang mewarnai tafsir lama, termasuk konsep tujuh langit. Berikut ini saya kutipkan “asal-usul” konsep Wujudul Hilal yang dianut Muhammadiyah yang sangat jelas terinspirasi konsep geosentrik dalam memahami QS 36:40 “tidaklah mungkin matahari mengejar bulan” dalam buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah”  (halaman 79-82). Inspirasi geosentrik pada kutipan itu saya tebalkan.

Dan telah Kami tetapkan bagi Bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan Bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya [Yaasin (36) : 39-40]

Pertanyaannya adalah kapan bulan baru dimulai? Apa kriterianya? Ayat 39 dan 40 surat Yaasin ini dapat menjadi sumber inspirasi untuk menentukan kriteria bulan baru tersebut.

Dalam kedua ayat ini terdapat isyarat mengenai tiga hal penting, yaitu (1) peristiwa ijtimak, (2) peristiwa pergantian siang ke malam (terbenamnya matahari), dan dari balik pergantian siang ke malam itu terkait (3) ufuk, karena terbenamnya matahari artinya berada di bawah ufuk. Peristiwa ijtimak diisyaratkan dalam ayat 39 Yaasin dan awal ayat 40. Pada ayat itu ditegaskan bahwa Allah swt telah menetapkan posisi-posisi tertentu bagi Bulan dalam perjalanannya. Dari astronomi dapat dipahami bahwa posisi-posisi itu adalah posisi Bulan dalam perjalanannya mengelilingi bumi. Pada posisi akhir saat Bulan dapat dilihat dari bumi terakhir kali, Bulan kelihatan seperti tandan tua dan ini menggambarkan sabit dari Bulan tua yang terlihat di pagi hari sebelum menghilang dari penglihatan. Kemudian dalam perjalanan itu Bulan menghilang dari penglihatan dan dari astronomi diketahui bahwa pada saat itu Bulan melintas antara matahari dan bumi. Saat melintas antara bumi dan matahari itu ketika ia berada pada titik terdekat dengan garis lurus antara titik pusat matahari dan titik pusat bumi adalah apa yang disebut ijtimak (konjungsi). Perlu diketahui bahwa Bulan beredar mengelilingi bumi rata-rata selama 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik (atau 29,5 hari). Matahari juga, tetapi secara semu, berjalan mengelilingi bumi [Sesungguhnya bumilah yang mengelilingi matahari]. Dalam perjalanan keliling itu Bulan dapat mengejar matahari sebanyak 12 kali dalam satu tahun, yaitu saat terjadinya ijtimak, yaitu saat Bulan berada antara matahari dan bumi. Saat terjadinya ijtimak menandai Bulan telah cukup umur satu bulan karena ia telah mencapai titik finis dalam perjalanan kelilingnya. Oleh karena itu kita dapat memanfaatkannya sebagai kriteria mulainya bulan baru. Namun ijtimak saja tidak cukup untuk menjadi kriteria bulan baru karena ijtimak bisa terjadi pada sembarang waktu atau kapan saja pada hari ke-29/30: bisa pagi, bisa siang, sore, malam, dini hari, subuh dan seterusnya. Oleh karena itu diperlukan kriteria lain di samping kriteria ijtimak. Untuk itu kita mendapat isyarat penting dalam ayat 40 surat Yaasin.

Pada bagian tengah ayat 40 itu ditegaskan bahwa malam tidak mungkin mendahului siang, yang berarti bahwa sebaliknya tentu siang yang mendahului malam dan malam menyusul siang. Ini artinya terjadinya pergantian hari adalah pada saat terbenamnya matahari. Saat pergantian siang ke malam atau saat terbenamnya matahari itu dalam fikih, menurut pandangan jumhur fukaha, dijadikan sebagai batas hari yang satu dengan hari berikutnya. Artinya hari menurut konsep fikih, sebagaimana dianut oleh jumhur fukaha, adalah jangka waktu sejak terbenamnya matahari hingga terbenamnya matahari berikut. Jadi gurub (terbenamnya matahari) menandai berakhirnya hari sebelumnya dan mulainya hari berikutnya. Apabila itu adalah pada hari terakhir dari suatu bulan, maka terbenamnya matahari sekaligus menandai berakhirnya bulan lama dan mulainya bulan baru. Oleh karenanya adalah logis bahwa kriteria kedua bulan baru, di samping ijtimak, adalah bahwa ijtimak itu terjadi sebelum terbenamnya matahari, yakni sebelum berakhirnya hari bersangkutan. Apabila bulan baru dimulai dengan ijtimak sesudah terbenamnya matahari, itu berarti memulai bulan baru sebelum Bulan di langit menyempurnakan perjalanan kelilingnya, artinya sebelum bulan lama cukup usianya.

Berbicara tentang terbenamnya matahari, yang menandai berakhirnya hari lama dan mulainya hari baru, tidak dapat lepas dari ufuk karena terbenamnya matahari itu adalah karena ia telah berada di bawah ufuk. Oleh karena itu dalam ayat 40 surat  Yaasin itu sesungguhnya tersirat isyarat tentang arti penting ufuk karena kaitannya dengan pergantian siang dan malam dan pergantian hari. Dipahami juga bahwa ufuk tidak hanya terkait dengan pergantian suatu hari ke hari berikutnya, tetapi juga terkait dengan pergantian suatu bulan ke bulan baru berikutnya pada hari terakhir dari suatu bulan. Dalam kaitan ini, ufuk dijadikan garis batas untuk menentukan apakah Bulan sudah mendahului matahari atau belum dalam perjalanan keduanya dari arah barat ke timur (perjalanan semu bagi matahari). Dengan kata lain ufuk menjadi garis penentu apakah Bulan baru sudah wujud atau belum. Apabila pada saat terbenamnya matahari, Bulan telah mendahului matahari dalam gerak mereka dari barat ke timur, artinya saat matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk, maka itu menandai dimulainya bulan kamariah baru. Akan tetapi apabila Bulan belum dapat mendahului matahari saat gurub, dengan kata lain Bulan berada di bawah ufuk saat matahari tenggelam, maka bulan kamariah baru belum mulai; malam itu dan keesokan harinya masih merupakan hari dari bulan kamariah berjalan.

Menjadikan keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam sebagai kriteria mulainya bulan kamariah baru juga merupakan abstraksi dari perintah-perintah rukyat dan penggenapan bulan tiga puluh hari bila hilal tidak terlihat. Hilal tidak mungkin terlihat apabila di bawah ufuk. Hilal yang dapat dilihat pasti berada di atas ufuk. Apabila Bulan pada hari ke-29 berada di bawah ufuk sehingga tidak terlihat, lalu bulan bersangkutan digenapkan 30 hari, maka pada sore hari ke-30 itu saat matahari terbenam untuk kawasan normal Bulan sudah pasti berada di atas ufuk. Jadi kadar minimal prinsip yang dapat diabstraksikan dari perintah rukyat dan penggenapan bulan 30 hari adalah keberadaan Bulan di atas ufuk sebagai kriteria memulai bulan baru. Sebagai contoh tinggi Bulan pada sore hari ijtimak Senin tanggal 29 September 2008 saat matahari terbenam adalah – 00° 51′ 57″, artinya Bulan masih di bawah ufuk dan karena itu mustahil dirukyat, dan oleh sebab itu bulan berjalan digenapkan 30 hari sehingga 1 Syawal jatuh hari Rabu 1 Oktober 2008. Pada sore Selasa (hari ke-30) Bulan sudah berada di atas ufuk (tinggi titik pusat Bulan 09º 10′ 25″).

 

Dalam kutipan (khususnya bagian yang ditebalkan) dari buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah” tersebut, konsep “bulan mengejar matahari” (atau “matahari mengejar bulan”) menjadi dasar pemikiran wujudul hilal. Bila bulan telah mendahului matahari dalam pergerakannya dari Barat ke Timur, itulah pertanda awal bulan qamariyah. Itu merupakan tafsir geosentrik atas ayat QS 36:40 “…tidak mungkin matahari mengejar bulan…”.  Seolah matahari dan bulan berkejaran di orbitnya mengelilingi bumi seperti dalam faham geosentrik (lihat gambar pada awal tulisan ini).

(Sumber gambar: internet)

Mari kita baca ayat lengkap QS Yaasin (36):38-40:

Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.  Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS 36:38-40)

Secara astronomi modern ayat itu difahami bahwa  memang sampai kapan pun tidak mungkin matahari mengejar bulan, karena memang orbitnya berbeda (lihat gambar skema orbit matahari dan bulan). Ayat 38 menjelaskan bahwa matahari punya orbitnya sendiri, mengelilingi pusat galaksi sekali dalam 240 juta tahun. Lalu ayat 39 menjelaskan bahwa bulan mempunyai orbitnya sendiri sehingga menampakkan manzilah-manzilah (fase-fase bulan) dari sabit, menjadi purnama, lalu kembali menjadi sabit. Ayat itu secara tidak langsung menjelaskan tentang orbit bulan mengeliling bumi sekali dalam sebulan. Kesimpulannya diberikan pada akhir ayat 40: masing-masing beredar pada garis edarnya. Jadi, bukan dalam makna geosentrik yang kemudian menginspirasi konsep wujudul hilal.

(Gambar dari internet)

“Malam tidak dapat mendahului siang” ditafsirkan bahwa saat pergantian siang ke malam sebagai pergantian hari, yang diperkuat dengan pendapat jumhur ulama (kebanyakan ulama) bahwa saat maghrib itulah sebagai batas hari. Tanpa menggunakan ayat itu, jumhur ulama memang berpendapat maghrib sebagai awal hari karena mendasarkan pada konsep rukyat bahwa awal tanggal ditentukan sejak rukyatul hilal (tampaknya bulan sabit pertama) saat maghrib. Jadi rukyatlah yang jadi penentu awal hari. Kalau mau ditafsirkan secara astronomi, ayat itu bermakna bahwa malam terus menerus berkejaran (kalau kita lihat dari antariksa) karena bumi berotasi (lihat animasi di atas).

187 Tanggapan

  1. ——he..he..he.. Kembali ke Laptop.. Kata si tukul.
    Kata usang?? ​ƗƗɑƗƗɑƗƗɑƗƗɑ.. ☺​☺ ndak ada yg terlalu merisaukan kata2 itu pak lek.. Justru malah bangga, coba baca dgn jelas dibawah ini:
    USANG : sudah lama, kuno
    Hisab Wujudul Hilal yg usang (SUDAH LAMA) TERBUKTI meyakinkan sbg suatu metoda penentuan kalender qomariah diikuti Mekkah dan nyaris seluruh dunia termasuk juga sampeyan ( Hisab Wujudul Hilal Ummul Quro’ meski ngeles utk referensi saja)
    Sampeyan itu ibarat “Esok kedelai sore Tempe” betapa tidak….
    Dulu bilang:…. KRITERIA YG LEBIH BAIK adalah KRITERIA HUKUM IMKAN RUKYAT DAN LEBIH MODERN”. ==> dari HISAB saja dan RUKYAT saja
    Sekarang “nggowezzz” : “….Jadi rukyatlah yang jadi penentu awal hari”. Statement ini masih mending dan sekalian saja ke default rukyatul hilal 7 derajat… (Biar jelas berbeda dgn Hisab Wujudul Hilal Ummul Quro’)
    Btw, konsep penyatuan hari raya di Indonesia masih jauh dari kesepakatan bahkan dari sekadar wacanapun. Ibarat pungguk merindukan bulan.
    Kenapa bisa demikian?? Karena penganut madzab Syafei akan selalu menggunakan Rukyat, rukyat yang “Terlokalisasi”…

  2. Wujudul Hilal tidak ‘usang’ Prof… PBNU mengumumkan bahwa 1 Rajab Jatuh pada hari Rabu 23 Mei 2012 karena pada saat rukyatul hilal senin 21 Mei 2012 hilal tidak terlihat sehingga digenapkan menjadi 30 hari, padahal telah memenuhi kriteria imkanur rukyat, untuk markaz Jakarta, hilal pada saat matahari terbenam nanti sudah berada di ketinggian 3,27 derajat dengan posisi miring ke utara, dan akan berada di ufuk selama 18 menit 20 detik. kenyataannya Semalam 23 Mei 2012 Hilal dapat dilihat dengan mata telanjang

    terima kasih

    • Wujudul hilal memang usang dan perlu ditinggalkan. Sementara kesepakatan imkan rukyat “2-3-8” pun tidak sesuai dengan kriteria astronomi, juga harus disesuaikan. Silakan baca https://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/05/24/kriteria-imkan-rukyat-kesepakatan-2-3-8-perlu-diubah-disesuaikan-dengan-kriteria-astronomis/

      • Qiqiqiq.. ​ƗƗɑƗƗɑƗƗɑƗƗɑ.. ☺​☺
        Alhamdulillah, sampeyan akhirnya mengakui juga.. Baca lagi dgn jelas;
        “Wujudul Hilal memang ‘usang’ (SUDAH LAMA) TERBUKTI meyakinkan (tdk berubah-ubah) sbg suatu metoda penentuan kalender qomariah diikuti Mekkah dan nyaris seluruh dunia termasuk juga sampeyan ( Hisab Wujudul Hilal Ummul Quro’ meski ngeles utk referensi saja) dan perlu ditinggalkan imkan rukyat yg terbukti tdk meyakinkan dan cenderung berbau bid’ah

      • prof klo udah usang (tua) INSYA ALLAH akan dtinggalkn…….
        metode prof n kritik prof jg udah usang…….
        sejak 2011 gitu loh…..
        hanya terus dmuat jd terkesan update…..
        padahal tema nya udah out of date…….

    • menurut kalener NU 1 rajab = tgl 22 tapi krn hilal tidak terlihat pd tgl 21 maka digenapkan atau esok 22 mei msh tgl 30 Djumadil Akhir. Nah pada sore harinya msh tgl 22 anda pasti dpt melihat hilal dg sangat jelas krn sudah tinggi.

      kl anda lihat hilal pada 23 mei 2012 pasti sangat terlihat jangankan mata telanjang, mata yg sudah minus aja bs lihat krn itu bulan tanggal 2 dan itu sudah sangat tinggi. tgl 23 ba’da maghrib itu sudah tgl 2 atau tgl 24 pagi itu jg tanggal 2 😀

      • @Argres: diikuti bukan berarti benar lho, diikuti bisa hanya krn kesepakatan saja tanpa reserve pengetahuan. Banyak negara2 yg tidak memiliki ahli falaq maupun laboratorium yg mendukung termasuk di beberapa negara eropa sekalipun yg mengikuti penanggalan saudi, krn islam msh minoritas disana saatnya berkembang mereka jg akan mengetahui dan memiliki lembaga yg terakreditasi untuk falaqiyah.

        Penanggalan dan penentuan 1 syawal ataupun 10 Dzulhijah oleh saudi bahkan sangat memungkiri realita alam/mustahil scr astronomi, lihat saja catatan sejarah. bahkan untuk syawal terakhir kemarin muslim di jepang jg mengakui scr astronomi tidak tepat tp dg alasan persatuan ya mereka mengikuti saudi saja untuk itu kedepan mereka berniat menghadirkan ahli dibidang ini. agar persatuan dpt terwujud berdasarkan ilmu.

      • @jadul gunawan (wah jadi pingin makan kepiting cak gun dul sby nich..) Ada betulnya juga pendapat sampeyan..
        Bahkan dari kutipan pak Susiknan di musiumastronomi.com beliau menegaskan: “Sebetulnya jika hasil rukyat di Saudi Arabia otentik maka akan membantu umat Islam se dunia dalam merumuskan Kalender Islam Internasional. Hasil penelitian Ayman Kordi salah seorang ahli falak dari King Saud University menyimpulkan bahwa selama 40 tahun hasil rukyatul hilal yang diumumkan pemerintah Saudi Arabia 87 % salah dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara keilmuan (Bangla Post, London 18 September 2008).”
        Lantas kenapa demikian adakah yg salah?? Dari sudut pandang yg berbeda sy berpendapat bahwa itu salah satu “trilogi” dari penentuan bulan2 ibadah
        Yg diakomodasi oleh Arab saudi dan mekkah. Kalau sy lihat alurnya sbb:
        1. “Melihat” Hisab Wujudu hilal ummul quro’
        2. “Mendengar” Laporan rukyat global negara2 di dunia
        3. “Menerima” laporan rukyatul hilal murni ala nabi di arab saudi.
        Kenapa poin 3 ~ rukyat lokal (yg banyak salahnya scr astronomi) dilaksanakan juga? Itu tdk lain selain mengakomodasi pendapat imam syafei juga dlm rangka menteladani cara nabi dlm menentukan “d-day” hari raya. Perlu diingat bahwa nabi tdk pernah merukyat, beliau hanya menerima laporan rukyat saja. Tdk mempertanyakan a sampai Z. Beliau hanya meminta si perukyat bersumpah, BERSUMPAH DEMI ALLAH!. Dan cara ini masih diteruskan oleh Mekkah dan ASaudi.
        Dengan demikian pendapat imam hanafi, maliki dan muridnya, imam syafei pun demikian dgn pendapat ibnu taymiah semua diakomodasi dlm mencari keridhoan Allah Ta’ala semata. Bukankah ini sangat bijak dan lebih sejuk dlm bersatu?
        Lantas kenapa IR tdk dimasukan dlm variabel keputusan di arab saudi dan mekkah? Selain tdk ada satupun pendapat para IMAM besar (meski IR sdh ada sejak jaman JAHIL LIYAH Mesopotamia) yg membenarkan IR juga IR berpotensi bid’ah dan memecah belah umat, salah satunya menistakan perukyat yg sdh bersumpah demi Allah melihat hilal hrs ditolak krn tdk sesuai kriteria IR.
        Saran saya utk indonesia bersatu adalah….

        Bersambung……

      • konsep perhitungan awal bulan didasari kepada rukyat plus hisab, tidak kepada besar atau kecilnya bulan ketika terlihat, logikanya:”apakah anak yang baru lahir dengan berat badan 5 kg dikatakan lahirnya sudah 2 hari yg lalu, krn alasan berat badannya?????

  3. Argres: kok maksa ya wkwkwwk

  4. Yaaa Lantas dimana salah nya ????? Atau Jika p Thomas berbeda dalam memahami tafsir nya, dimana salah nya ?

    • Ya, salahnya karena WH tidak punya lagi landasan syr’i yang dapat diterima. Konsep WH tidak pernah menggunakan dalil hadits rukyat. Hadits yang digunakan hanya sebatas bolehnya hisab (dengan mengambil dalil “faqdurulah”). Sementara WH dikaitkan dengan dalil QS 36:39-40 yang tafsir astronomisnya merujuk pada konsep usang geosentris. Artinya, tafsir yang katanya dianggap berlandaskan astronomi itu sebenarnya keliru. Lalu, apa lagi landasan syr’inya untuk WH? Padahal untuk ibadah, kita tahu kaidah ushul fiqihnya, bahwa dalam urusan ibadah semua terlarang, kecuali yang diperintahkan. Untuk rukyat jelas haditsnya. Untuk hisab IR merujuk pada bolehnya hisab dan dalil rukyat. Adalah dalil yang memerintahkan WH untuk penentuan awal bulan qamariyah?

      • Alasan yg sama diulang-ulang. Model dan jawabannya pun ya itu-itu saja. Naif bin dhoif dech..
        Ingatlah sebagai peneliti haram hukumnya “colong playu tinggal gelanggang”. Mosok habis nggacor ngalor ngidul di depannya pak susiknan saat lokakarya lantas menghilang.. Dimana pertanggung jawaban ilmiahnya bos?
        Yang alasan waktu yg diberikan segitulah, ini dan itulah… Weleh22

      • Jawaban pak thomas sudah sangat saya lihat dan baca yang seperti ini berkali-kali, dengan hadits versi pemahaman beliau dan QS. 36 : 39-40 pun (mungkin) versi pemahaman beliau,,,,!!!!

      • Perlu diingat, WH dijadikan landasan penentuan waktu ibadah bagi Muhammadiyah. Untuk ibadah harus ada dalil yang memerintahkan. Kalau dalil dari QS 36:40 yang terang benderang mengacu pada konsep geosentris yang usang dan tak mungkin dijadikan rujukan sebagai perintah penentuan awal waktu ibadah, lalu dasar apa lagi yang menjadi pegangan untuk mempertahankan WH? Kalender Ummul Qura di Arab Saudi memang menggunakan WH, tetapi itu byukan untuk penentuan waktu ibadah. Hanya Muhammadiyah yang menggunakan WH untuk rujukan penentuan waktu ibadah.

      • Benar2 profesor prekethek sampeyan ini..
        Bukankah penjelasan maupun landasan dalil WH Muhammadiyah sdh dipaparkan dgn gamblang dan terang benderang oleh teman2 MU terdahulu?? Bahkan ketika Prof. Syamsul Anwar menanggapi anda di FB. Persyarikatan Muhammadiyah (Agt. 2011) dgn penjelasan yg sopan dan tegas lalu dgn pongahnya anda menjawab “SAYA MENUNGGU TANGGAPAN TEMAN2 MUHAMMADIYAH YG BERLATAR BELAKANG ASTRONOMI BUKAN SEKADAR AHLI SYARIAH”. Cara berkelit yg tolol semacam ini dr anda dgn jelas dipahami para pembaca yg awam sekalipun.
        Pun ketika ada kesempatan duduk semeja berdiskusi scr “orang” astronomi dgn pak Susiknan di lokakarya jg sama saja. Habis mbacot ngalor-ngidul lari termehek-mehek tdk mau mempertanggung jawabkan bacotannya scr keilmuan. Betul kiranya ketika di Padang anda dikatai GOBLOK karena memang anda ini Profesor GOBLOK, pas mantap utk anda GUOBLOK PUOL.
        Perlu diingat!! Bawa WH Muhammadiyah adalah methoda kalenderisasi bulan2 Qamariyah yg TERATUR dan konsisten, bahkan bulan ibadah sdh diketahui dikemudian hari, OTOMATIS lagi. Beda dgn IR yg hanya digunakan utk 2 kali pemakaian waktu ibadah hari raya, tdk ada bedanya dgn TEA CELUP!!! Penjelasan ini perlu sy ulang lagi krn sampeyan ini benar2 PROFESOR GOTOL (Goblok Total)
        Perlu diingat, tdk ada satupun pendapat dr para IMAM besar di ke-4 Madzab yng membenarkan IMKAN RUKYAT kecuali imam dari penganut SYI’AH.
        Perlu diingat, di Arab Saudi justru Hisab WH ummul quro’ lah yg menjadi landasan utama atau barometer bagi “tri logi” penentuan waktu ibadah yaitu:
        1. WH ummul Quro’
        2. Rukyat Global
        3. Rukyat Lokal
        Perlu diingat, berita kemarin rabu 23 mei 2012 menunjukkan IR sdh mulai ditinggalkan oleh penganut Madzab Syafei. Artinya apa???
        Pembaca budiman bisa mengartikan apapun.., kecuali satu hal yaitu KEYAKINAN….

      • Saya sangat heran dengan tanggapan dari seseorang yang bergelar Profesor seperti ini:

        tdjamaluddin, on 26 Mei 2012 at 22:52 said:
        “Kalau dalil dari QS 36:40 yang terang benderang mengacu pada konsep geosentris yang usang”

        anda menganggap bahwa dalil AlQuran itu usang, justru saya merasa bahwa anda yang salah menafsirkan ayat tersebut,,, AlQuran adalah sebaik-baik petunjuk,,

      • Pasi tidak baca lengkap, hanya memotong. Dalil dari QS 36:40 itu apa? Ya, wujudul hilal. WH itu memaknai QS 36:40 dengan pemahaman geosentrik yang jelas usang. QS 36:40 terkait dengan QS 36:38-39, bukan dalam makna geosentrik, tetapi dalam makna bahwa bulan dan matahari punya orbit sendiri-sendiri seprti ditegaskan pada akhir ayat QS 36:40. Jadi “matahari tidak mungkin mendapti bulan” bukan dalam makna wujudul hilal.

      • landasan syar’i ????
        la wong astronom kok ngomongin syar’i…..
        salah kamar prof…..

      • Islam mengajarkan sains dan ajaran Islam tidak bertentangan. Saya belajar fikih. Ulama fikih pun perlu belahar sains astronomi. Kalau tidak saling belajar tidak akan ada pemahaman yang benar. Jadwal shalat adalah hasil pertemuan ilmu fikih dan astronomi.

      • ngeri…. klo orang2 pinter udah debat begini

  5. …..makanya perlunya duduk bersama……syuuro bainahum…..antara madzhab wujuudul hilal dan imkaanur ru’yah…….mumpung masi ada waktu.yang cukup…….was

  6. dalam komunike bersama seperti yang ada di blog bapak https://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/01/19/kritik-pakar-astronomi-muslim-dari-timur-tengah-dan-amerika-atas-penetapan-idul-fitri-1432-dan-penggunaan-wujudul-hilal/
    , fuqaha punya 3 pilihan yang ilmiah dan mengikuti syar’i:

    1. Untuk mendasarkan diri pada keberadaan (bukan ketampakan) bulan di langit pada ketinggian tertentu pada suatu lokasi dan memutuskan awal Syawal pada Selasa 30, ini adalah prinsip kriteria yang digunakan oleh negara-negara seperti Turki dan Malaysia.
    2. Untuk menerima kemungkinan ketampakan (imkan al-ru’yah) dari hilal di Afrika Selatan atau Amerika Selatan, baik menunggu konfirmasi ketampakan atau tidak, kemudian memutuskan Idul Fitri untuk Selasa 30. Ini dilakukan Dewan Eropa untuk Fatwa dan Penelitian.
    3. Untuk bersikeras pada ketampakan lokal atau regional dan kesaksian (seperti negara-negara seperti Oman dan Maroko lakukan). Dalam hal ini Idul Fitri hanya mungkin pada Rabu 31 Agustus. Ini dilakukan Oman yang mengumumkan sepekan sebelumnya dan Maroko setelah menerima kesaksian pada tanggal 30.
    Kalau menurut Prof Thomas, apakah point pertama menunjukkan kriteria wujudul hilal, karena point kedua menunjukkan kriteria imkanur rukyat, point ke tiga rulyatul hilal, kalau point pertama tidak menunjukkan kriteria wujudul hilal, lalu point pertama menunjukkan kriteria apa? mohon pencerahannya prof!

    • Butir 2 kriteria imkan rukyat global, dengan melihat garis tanggal yang memungkinkan adanya rukyat di Afrika Selatan dan Amerika Selatan. Butir 1 kriteria IR lokal tanpa bukti rukyat. Turki menggunakan kriteria ketinggian minimal 5 derajat dan jarak bulan-matahari minimal 8 derajat. Malaysia menggunakan kriteria umur bulan lebih dari 8 jam. Jadi, tidak satu pun yang menyinggung WH, karena itu hanya pemikiran Muhammadiyah. Ummul Qura memenag menggunakan WH, tetapi hanya untuk kelender sipil, bukan untuk penetapan waktu ibadah. Jelasnya ada di blog saya https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/10/04/wujudul-hilal-tidak-ada-dasar-pembenaran-empiriknya/

      • “Butir 1 kriteria IR lokal tanpa bukti rukyat” ​
        ƗƗɑƗƗɑƗƗɑƗƗɑ.. ☺​☺, kegoblokan mana lagi yg hendak disampaikan? Mas Djamal.., mas Djamal…
        Mending saya pesan Empal Genthonk aja dech.. Hemmmmh

      • makasih prof tanggapannya, kalo menurut Pak Thomas, maksud dari kalimat mendasarkan pada keberadaan (bukan ketampakan), kira -kira artinya apa? lalu kriteria mana sajakah yang bisa masuk IR lokal tanpa bukti rukyat, tinggi bulan minimal berapa? umur bulan minimal berapa? elongasi minimal berapa?

      • Ungkapan penganut WH “keberadaan (bukan ketampakan)” hanya untuk menafikkan perlunya rukyat.Padahal secara astronomi hisab dan rukyat itu setara. Keberadaannya sudah jelas ada dan dapat dihisab, namun ketampakannya juga diperlukan untuk memenuhi syarat syar’i. Di Indonesia belum ada kasus penggunaan kriteria IR tanpa bukti rukyat. Di negara lain yang sudah menerapkannya, setahu saya baru Turki dan Malaysia. Untuk kriteria IR, silakan baca blog saya https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/08/02/analisis-visibilitas-hilal-untuk-usulan-kriteria-tunggal-di-indonesia/

      • Ini lhooh kamsud pertanyaannya:
        “Lalu kriteria mana sajakah yang bisa masuk IR lokal tanpa bukti rukyat, tinggi bulan minimal berapa? umur bulan minimal berapa? elongasi minimal berapa?
        Ada nggak di kitab primbon anda ?!?
        Jawab aja yg benar,, mosok guoblok koq terus-terusan..

  7. Tanya: Mana yang benar, konsep geosentris atau heliosentris? Jika geosentris, dalil Qur’an hadisnya mana? Jika heliosentris, dalil Qur’an hadisnya juga mana … ???

    • Keduanya saat ini sudah tidak tepat lagi. Matahari hanyalah pusat tata surya, bukan pusat alam semesta. Lagi pula hipotesis heliosentrik menganggap matahari tetap. Padahal QS 36:40 jelas mengungkapkan matahari dan bulan masing-masing beredar pada orbitnya. Itu dijelaskan dengan konsep modern bahwa bulan mengorbit bumi, sementara matahari pun tidak diam, tetapi mengorbit pusat galaksi.

      • Benar2 hebat WH Muhammadiyah kalau hanya WH yang menggunakan konsep pergerakan Geosentrik. Matahari sebagai pusat sumber energi kehidupan, kehidupan jadwal harian dan kehidupan jadwal keagamaan.
        Disaat yg lainya hanya memaknai konsep rukyat yang harus bisa DILIHAT/DITERAWANG ternyata WH jauh lebih kedepan, mampu menghitung keberadaan bulan terhadap matahari dlm hitungan 0,0001…
        Ngomong2 kalau IR tdk mendasarkan konsep pada azas geosentrik memangnya pakai azas apa??? Katanya mengaku-ngaku HISAB??? Apa memperhitungkan juga tata surya yang lain bos?????
        Jawabnya: BELUM ADA KONSEP khan? Berarti “kemungkinan” jawaban yang benar adalah konsep yang MENGANUT ILMU GOTHAK – GATHUK – MATHUK.. Kayak kalender jawa itu lhoo…

  8. Pak Djamaluddin,

    Seharusnya semua sadar, bahwa keyakinan memang tidak bisa dipaksakan. Juga bahwa segala klaim kebenaran yang berdasar keyakinan sebagai hasil interpretasi agama tidak bisa memberikan landasan logis (apalagi ilmiah) untuk bisa menyalahkan keyakinan yang lain. Bagaimanapun Pak Djamaluddin mengeluarkan argumentasi melawan WH yang saya amati dari tahun lalu, saya tidak melihat adanya hal yang benar-benar murni logis dan ilmiah dari argumentasi tersebut. Berulang-ulang, selalu diwarnai tendensi tertentu, dan semua berawal dari sikap bahwa hanya keyakinan golongan sendiri saja yang paling benar.

    Dari segi ilmiah, bagi saya tidak perbedaan yang signifikan antara WH dengan IM. Dengan kacamata yang sama, saya justru menilai sumber permasalahan adalah betapa kuno dan primitifnya praktek rukyatul hilal sebagai metode warisan Nabi, tapi para pemeluknya selalu tutup mata dengan fakta tersebut. Diskusi mengenai ini akan kembali ke masalah keyakinan, oleh karena segala klaim ilmiah tanpa mau melihat ke masalah dasar ini tidak akan lebih dari pseudosains.

    • Matur nuwun Pak Agus, panjenengan kerso rawuh juga.

      • Maaf pak agus, kali ini saya berbeda dengan anda.
        Bagi saya IR tidak ada benarnya dari segi apapun baik dari segi ilmiah maupun segi keagamaan sepanjang itu didalam koridor berkeyakinan.
        Dari segi ilmiah, belum ada satupun wahana astronomi yg mampu mendeteksi hilal di derajat 3 bahkan 4, jk itu diartikan sbg “harus TERLIHAT”. Spt yg ditegaskan oleh pak Syamsul Anwar, di derajat 6 pun, oleh teman2 perukyat beliau katanya susah bukan main.
        Apalagi dr segi keagamaan, tdk ada satupun dalil Al Qur’an, Alhadist maupun pendapat para imam besar di ke-4 madzab untuk mencampur adukan HISAB RUKYAT dng batas minimal tertentu menurut kacamata keilmuwan astronomi. Konsep inilah yg akan menjurus kedalam perilaku penganut SCIENTOLOGY. Salam

      • Pak Argres,

        Perbedaan selalu ada, mungkin sejak dari awal, hanya saja saya tidak pernah mencoba mencari-cari ataupun ‘meluruskan’ komentar lain yang tidak sesuai dengan apa yang cenderung saya pegang, kecuali ketika diminta. Sebagai klarifikasi, saya lahir dari keluarga Muhammadiyah, terbuka dengan dengan pikiran-pikiran non-tradisional, dan dewasa di lingkungan non-muslim yang maju. Apa yang saya tulis mewakili apa yang saya imani, tidak selalu mencerminkan ide atau keyakinan dari Muhammadiyah. Saya memberikan komentar di blog Pak Djamaluddin karena melihat banyaknya klaim-klaim ‘ilmiah’ yang saya nilai cenderung menyesatkan (tidak sesuai dengan judul blog ini), terlebih karena Pak Djamaluddin adalah seorang ilmuwan yang bergelar profesor dan mendapat doktor dari universitas ternama di Jepang.

        Buat saya, WH adalah ijtihad dengan mengedapankan bentuk lebih ideal dengan meninggalkan konsep keterlihatan hilal secara fisik dengan mata (tetapi tidak berani membuang secara total nilai-nilai dari praktek rukyat), sedang IR adalah ijtihad lain dengan cara mencari landasan teknis agar metode yang dilakukan tidak berlawanan dengan praktek rukyat. Perbedaan yang mendasar bagi saya adalah, WH adalah konsep, sedang IR lebih dekat dengan teori yang diturunkan dari hasil observasi. Kriteria dari IR bisa lebih akurat ketika observasi lebih dari cukup dengan segala parameter yang terkontrol, tidak sebatas angka-angka astronomi mengenai posisi bulan, matahari, dan bumi, tapi juga terhadap atmosfer, dan juga definisi objektif apa yang dimaksud dengan terlihat itu sendiri (sampai sekarang pun ‘terlihat’ hanyalah sebuah presepsi subjektif dari pengamat). Sepertinya tidak semua ilmuwan puas dengan data observasi yang melandasi kriteria IR sekarang ini.

        Dan mengenai hilal “harus terlihat” di sekitar nilai batas kriteria IR, saya kira IR tidak pernah bisa memastikan tersebut, kecuali sekedar memberi perkiraan keterlihatan hilal tersebut. Saya kira ini tidak ada masalah secara ilmiah (sekali lagi, IR adalah teori), walaupun nilai akurasinya (dibandingkan dengan fakta observasi) masih membutuhkan diskusi yang lain.

      • Assalamu’alaikum Pak Agus.
        Matur nuwun tanggapan anda.

        Bagi saya, kalau itu menyangkut “Beryakin” dlm keyakinan maka kultur ilmiah dan kultur ilahiyah dari suatu hipotesa hrs mensinkronkan diri kedalam dalil2 yg terkandung di Al Qur’an, Al Hadist sambil merujuk pendapat para madzab yg diakui kesahihannya. Tdk bisa sebaliknya.

        Perspective keyakinan dan sains, bagi saya dua hal yng berbeda. Seharusnya tdk bertolak belakang memang, namun ada ranah keyakinan yng tdk bisa dimasuki ranah sains. Sebaliknya justru ranah keyakinanlah yg bisa memasuki ke dlm ranah sains.

        Ketentuan “menghisab” hilal dan ketentuan “melihat” hilal, bisa dimaknai sebagai konsep unlimited krn scr tekstual tdk dalil Ilahiyah yg membatasi itu namun terlimitasi oleh nilai keyakinan itu sendiri. Yakni hisab itu sendiri maupun rukyat itu sendiri. Jika konsep unlimited dimaknai sbg cara pandang sains maka itu berarti memasuki domain halusinasi.

        Nah, ketika unsur sains mencoba (teori) utk masuk kedalam ranah hisab maupun rukyat dgn mengkolaborasi keduanya pada batasan tertentu justru membuat keduanya menjadi limited terbelenggu oleh keyakinan yg tdk ada batasnya. Tdk ada dalil satupun yng mendukung itu.. Malah akan mematikan dalil2 yng mendukung keyakinan rukyat itu sendiri. Itulah pada kesempatan pertama saya dulu (agt 2011) mengatakan pd pak Djamal sbg seorang yg overdosis.

        Beda kalau dipandang dari sudut sains yng oleh manusia sbg cara belajar yg unlimited. Berasumsi apapun boleh.

        Dlm riwayat hadist legendaris, selalu berpola pada “lihatlah – kadarkanlah (hitunglah) – bersaksilah atas nama tuhanmu” tdk ada timbangan yng merujuk pd “set point” berapa timbangan itu seharusnya namun dibatasi oleh keyakinan yg (hanya) bersaksi demi Allah.

        Terlihat primitif memang cara rukyat murni ala nabi. Namun disitulah kelebihan Rasul pilihan yang waskito, tahu sebenarnya akan pilihan yng lebih presisi di kemudian hari. Sbgmana diucapkan beliau ” umatku (bukan saya dan umatku) td pandai berhitung ini dan itu..”.
        Tahu akan konsep “melihat” hilal yng tdk terbatasi hanya oleh kemampuan sains manusia saat ini dan akan datang. Tahu bahwa konsep “melihat” hilal yng tdk terbatas akan mampu menyamakan diri dgn konsep menghitung hilal manusia saat ini. Sekali lagi itu dalam koridor keyakinan.

        Karena itulah sy menyarankan utk mengikuti cara Mekkah dlam perspective dan konsep. Jika pengikut madzab syafie di indonesia sadar dan kembali ke “khittah” cara murni ala nabi, insya Allah akan terjadi hari raya yg bersamaan dng pengikut hisab haqiqi WH di indonesia karena smua mencari keridhoan Allah Ta’ala semata. Sebagaimana yg terjadi di mekkah saat ini. Amien

      • Pak Argres,
        wa’alaikumsalam.
        Terima kasih atas penjelasannya, meskipun terus terang ada sebagian yang kurang saya pahami maksudnya. Tentang iman dan sains, saya tetap menanggap mereka dalam domain yang berbeda, dan seseorang harus sadar batas-batasnya ketika keduanya dipakai secara bersamaan. Hanya saja, keduanya bisa saling memberi pencerahan (sains terhadap iman dan juga iman terhadap sains), ketika batas-batas ini tidak dilanggar secara semena-mena.
        wassalamu’alikum.

      • سُبْحَانَ اللّهُ, sy sependapat.
        Iman dan sains berada dlm domain yg berbeda memang. Namun sains hrs mampu menyelaraskan diri (sinkronisasi) kedalam harmoni kehidupan keimanan kita. Sebab kalau itu dibalik maka teori ketuhanan kita akan tinggal nama saja dan munculah agama baru bernama scienthology yg mementingkan keselarasan sains dlm kehidupan diri manusia atas dasar kedigdayaan pikir ras manusia. Salam

  9. Perhitungan hari, yang sehari ada 24 jam itu berdasarkan teori geosentrik atau heliosentrik?

    • bahkan sampai detik ini, kita masih mengucapkan matahari terbit, matahari terbenam, … berarti kita geosentrik donk … matahari kan diam …

      • Jangan terlalau naif dengan konsep-konsep dalam perkembangan sains, karena konsep matahari terbit dan terbenam saat ini dijelaskan dengan rotasi bumi, bukan konsep geosentrik yang usang. Konsep geosentrik seperti dijelaskan di Wikipedia yang memang mempengaruhi pemikiran ilmuwan Muslim dan ilmuwan lainnya pada generasi awal perkembangan astronomi, yang sering kaji masih dirujuk oleh ilmuwan Muslim saat ini http://en.wikipedia.org/wiki/Geocentric_model

  10. Kalau saya sih sampai sekarang masih mengusulkan untuk memakai Imkanur Rukyat, hanya saja ukurannya dengan Hisab yang kira-kira Hilal saat itu memang kemungkinan terlihat.. Kalau saja ketemunya 8 derajat atau sembilan, ya pakai Hisab murni plus berapa derajat ketinggian kemungkinan hilal terlihat. Jadi ada penggabungan antara Hisab murni dan ketinggian derajat Imkanur rukya.

    • dan itu artinya, semakin jauh meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw …

      • Saya tidak tahu dan tidak merasa bahwa saya semakin jauh meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Kalau visibilitas Hilal (imkanur rukyah) itu saya pegang karena Nabi saw selalu menggunakan Kriteria Rukyah. Kalau data rukyah yang valid sudah terkumpul, maka itu dijadikan patokan. Sehinngga kaum muslimin sudah bisa menentukan berdasar data rukyah dengan memakai hisab kapan memulai puasa atau mengakhirinya, dan juga bisa bikin kalender. Kenapa, saya mengusulkan juga pakai hisa? Karena al-Qur’an banyak berbicara tentang hisab.

        Untuk Mas Thomas, saya mohon untuk menghindari kata-kata sifat seperti “usang” dll. Juga untuk peserta diskusi ini yang memakai kata “goblok” dll. Kita ini mau apa? Niyat kita kan untuk mencari kebenaran dalam rang untuk beribadah.

        Saya dulu sering terhubung dengan Mas Thomas sewaktu beliau masih kuliah di Jepang. Kesan saya dulu adalah “low profile”.

      • Pernahkah kita berpikir, mengapa Nabi saw memerintahkan sahabat untuk merukyat … ??? Apakah perintah rukyat itu bersifat ta’abbudi atau ta’aqquli? Kalau ta’abbudi, maka mau nggak mau ya harus rukyat, tapi kalau ta’aqquli, tidak mungkin perintah rukyat itu muncul begitu saja tanpa ada sebab musabab.
        Nah, dalam penelisikan saya, alasan Nabi saw memerintahkan sahabat melakukan rukyat adalah untuk memastikan bahwa esok pagi benar-benar sudah masuk tanggal 1 atau belum. Mengapa harus dengan rukyat? Ya, karena dengan metode lain dipastikan tidak akan bisa memastikan (mengandung ketidakpastian). Apakah metode lain yang berkembang masa itu? Hisab wujudul-hilal-kah? Tentu saja bukan. Yang paling mungkin berkembang di saat itu, adalah hisab imkanur-rukyat, atau sering disebut orang-orang pintar sebagai visibility of new moon. Kok bisa begitu? Ya, visibilitas hilal ini merupakan warisan orang-orang Babylonia, ribuan tahun silam.
        Jadi, visibilitas hilal inilah sesungguhnya yang “dimansukh” dengan perintah rukyat dari Nabi saw. Visibilitas hilal, kala itu, dianggap tidak dapat memberi kepastian karena hanya berdasar kemungkinan/ perkiraan keberadaan hilal yang mungkin terlihat. So, rukyatlah yang dianggap lebih bisa memberi kepastian.

      • Satu lagi, dan ini yang tampaknya tidak bisa dipahami oleh Mr TDj, yakni makna hadis-hadis mengenai peirntah rukyat. Sampai kapanpun, jika dipahami secara tekstual, ya artinya begitu-begitu saja, tidak bisa diartikan lain. Tetapi, coba ditelisik semangatnya, apa spirit yang dibawa oleh hadis Nabi saw yang memerintakan rukyat itu? Tidak lain dan tidak bukan, adalah untuk memberi kepastian masuknya tanggal 1 bulan baru. Dan karena perintah rukyat itu bersifat ta’aqquli, maka dapat saja rukyat diganti dengan metode lain yang lebih bisa memberi kepastian. Jatuhlah pilihan pada hisab wujudul-hilal.

      • Ya, saat ini rukyat bisa saja digantikan hisab, tetapi tidak harus berarti meninggalkan rukayt. Secara astronomi hisab dan rukyat setara. Lagi pulan, hisab itu bukan hanya wujudul hilal. Saat ini hisab yang berkembang secara astronomis adalah hisab imkan rukyat, yaitu mengikuti kriteria visibilitas hilal. Hisab imkan rukyat pun bisa memberikan kepastian, bila semua bersepakat dengan kriterianya.

      • imkan rukyat itu usang, bahkan jauh lebih usang dari rukyat itu sendiri … apa ya masih mau dipakai … imkan rukyat dulu sudah populer, saking populernya, bangsa Arab pun menggunakannya … tapi Nabi saw meragukan itu, maka beliau perintahkan sahabat untuk rukyat, biar lebih pasti …

    • Memang kakangmoe itu goblok… Goblok poool..
      Masih toeri sdh berkoar-koar setinggi langit..
      Janganlah sampeyan terbelenggu oleh kegoblokan kakangmoe lagi..

      • Komentar Agres ini mencerminkan seseorang yang tidak berakhlaq mulia, mempunyai good manner atau berbudi pekerti. Mengolok-ngolok fisik makhluk Allah dan kebanyakan berserapah. Nauzubillahi min dzalik. Istigfarlah.

      • argres contoh wong muhammadiyah ya? hii… ngeri ternyata

  11. yang komentar kontra dengan pendapat profesor kok ga berani mencantumkan link blog pribadinya ya.?

    cemen banget ahh..

    • Tidak semua orang merasa membutuhkan sebuah blog, dan tidak semua sependapat sejauh mana sebuah identitas pribadi perlu dijaga. Untuk komentar di blog ini mencantumkan alamat email (tidak diperlihatkan karena privasi), kalau perlu Pak Djamaluddin masih bisa melakukan kontak dengan peninggal pesan. Jadi tidak sepenuhnya anonymous.

    • Bikin blog?? Kayak nggak ada kerjaan aja tho cak.. Cak..

    • elo jg cemen…..
      cemen banget ahh..

      • Silahkan, tinggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat ini. Kecuali kalau mau pengin nambah dosa teruuuussss.

  12. “Animasi (dalam link) ini membuktikan bahwa kriteria imkan-rukyat sebetulnya tidak tepat sebagai kriteria untuk awal bulan Islam”
    Coba pelajari ini:
    1. http://www.youtube.com/watch?v=xddqf2VNhs0
    2. http://www.screencast-o-matic.com/watch/clh32HE8y

    • Saya sudah menyimaknya. Catatan saya, men-generalisasi imkan rukyat = kriteria “2-3-8” sangat keliru. Itu hanya kesepakatan sementara antar-ormas Islam di Indonesia. Kriteria imkan rukyat yang sebenarnya adalah kriteria visibilitas hilal yang berbedasarkan data-data atsronomis yang saat ini sedang diupayakan kesepakatan di antara ormas-ormas Islam. Tentang kriteria imkan rukyat/visibilitas hilal astronomis, silakan baca https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/08/02/analisis-visibilitas-hilal-untuk-usulan-kriteria-tunggal-di-indonesia/

      • // Tdjamaluddin, 4 September 2011 said:
        “Ibadah didasarkan pada keyakinan. Keyakinan harus didasarkan pada ilmu. Silakan pilih mana yang diyakini berdasarkan ilmu yang dimiliki” //

        Utk sdr Djamaluddin, yg dimaksud ILMU itu ilmu apa? Agamakah? Sainskah? Atau dua2nya? Atau apalah… Mana yg harus diutamakan?
        Pertanyaan yg pendek dan sederhana, namun cukup utk menjawab siapa anda sebenarnya.

      • He he he pertanyaan tajam di sebuah tikungan yang tajam. Bisa terpeleset /slip. Pertanyaan bagus.

      • Mudah. Ilmu tidak harus di-dikhotomikan. Untuk ibadah, ilmu agama (diinul Islam) dan sains kita gunakan bersama. Untuk beribadah kita harus tahu dalil syar’i-nya, lalu didukung dengan sains dalam penetapan waktu, arah, dan hal-hal yang terkait lainnya. Keyakinan kita dapatkan dari ilmu tersebut, bukan sekadar taqlid.

      • Kalau ummat Islam menginginkan kalender qomariyah yang satu, maka
        1. Tinggalkan saja hadits, atau ayat Al-Qur-an sebagai dasar penentuan pergantian bulan termasuk 1 Ramadlan.
        Hadits tersebut bukan perintah untuk merukyat, nabi hanya menjelaskan kapada sahabat bahwa jika sudah ada yang melihat hilal berarti menurut sistem qomariyah sudah berganti bulan dari Sya’ban ke Ramadlan atau dari Ramadlan ke Syawwal, maka puasalah atau berbukalah. Tidak mempedomani hadits ru’yat bukan inkarus-sunnah, hanya lantaran tidak pas kalau hadits tersebut sebagai satu-satunya penentu tanggal 1 qomariyah termasuk 1 Ramadlan dan 1 Syawal.
        2. Tinggalkan kegiatan merukyat hilal, percayalah kepada hasil hisab. Kegiatan merukayat tidak ada sandaran dari sunnah, Para sahabat adalah orang-orang yang peka terhadap perintah nabi, tapi walaupun hadits itu teksnya perintah, tetapi tidak ada tindak lanjut. Hadits-hadits berkenaan dengan ru’yah tersebut Nabi bersifat pasip, Nabi hanya mereaksi sebuah laporan adanya orang melihat hilal, kegiatan merukyat hanya tabdzir dan bahkan menyebabkan orang tidak percaya kepada hisab.
        3. Fenomena Ijtima’ lebih pas sebagai batas awal dan akhir bulan qomariyah. Sehingga suatu peristiwa yang terjadi sesaat setelah ijtima’ adalah peristiwa yang terjadi pada bulan baru qomariyah. Kalau diimplementasikan pada zona waktu, maka daerah belahan timur “batas tanggal” adalah bulan lama sedangkan daerah-daerah di belahan barat dari “batas tanggal” sudah masuk bulan baru. Maka batas tanggal menurut sistem qomariyah dinamis dan selalu berubah-ubah. Silakan para ahli hasab menghitung daerah di belahan bumi, ini dengan kriteria Ijtima’ sebagai awal dan akhir bulan qomariyah.

      • Jangan berfikir dikhotomis. Al-Quran dan hadits bisa diterapkan untuk mendapatkan kalender hijriyah tunggal yang setara dengan kalender Masehi. https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/01/06/kalender-hijriyah-bisa-memberi-kepastian-setara-dengan-kalender-masehi/

      • @Pak Djamaluddin
        Jangan menjual mimpi dengan mengatakan kalender hijriyah bisa setara dengan kalender masehi. Kalender masehi adalah kalender global, sedang kalender hijriyah yang berdasar garis tanggal dinamis masih tetap kalender lokal, serta hari yang dimulai dari waktu maghrib tidak pernah bisa kompatibel dengan standar waktu yang manapun.

      • Dengan pesimisme, hal yang mudah pun orang tak akan sanggup mengerjakannya. Tetapi dengan optimisme, banyak hal sulit akan terselesaikan. Saya termasuk orang yang optimis.

      • Manur tuwun tanggapannya pak prof..
        Yang bilang dikotomi2 an anda sendiri lho yaa..
        “Untuk ibadah, ilmu agama (diinul Islam) dan sains kita gunakan bersama.” OK, hrs ada skala prioritas khan? Dilanjutkan dgn kalimat…
        “Untuk beribadah kita harus tahu dalil syar’i-nya (red: pertama-tama, duluan), (red: baru kemudian) lalu didukung dengan sains….”
        Berarti yg diutamakan dalil syar’i-nya dulu khan? Setubuh?? Eh setujukah?? Bisa dikonfirmasi koq kampesnya ehh maksudnya, tp ingat ini kalimat anda sendiri lho.. Ingat juga anda profesor lhoo..
        Sy belum masuk ke kunci jawabannya lhoo.. Meski unas sudah selesai lhoo..

      • Semoga mudah lhooo..

      • Semoga mudah aja lhoo…

      • Semoga mudah-mudahan aja lhoo..

      • @Pak Djamaluddin
        Anda boleh optimis, tapi bukan dengan cara menutup mata terhadap adanya “cacat” kalender hijriyah ketika digunakan untuk keperluan sipil. Apa yang anda ungkapkan dengan bentuk kesetaraan adalah sebatas manifestasi dari keyakinan subjektif, bukan bentuk optimisme yang didukung oleh fakta-fakta yang objektif.
        Agar sebuah kalender hijriyah bisa digunakan keperluan sipil yang benar-benar setara dengan kalender masehi, diperlukan adanya perubahan dan kesepakatan yang cenderung non-syar’i, yang bertolak belakang dengan apa yang Pak Djamaluddin perjuangkan melalui IR: sebuah kalender lokal hijriyah tradisional berdasar penampakan hilal yang anda yakini sebagai satu-satunya kalender hasil hisab astronomi yang berdasar syar’i.

      • Kalender Hijriyah (qamariyah) dan Masehi (syamsiah) bisa digunakan untuk keperluan sipil secara setara. Masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan. Untuk kepentingan sipil yang dikaitkan dengan musim, kalender syamsiah lebih baik. Untuk keperluan sipil yang terkait dengan ritual keagamaan yang mengharuskan penentuan hari dari fenomena alam, maka kalender qamariyah yang digunakan. Masing-masing sistem kalender mempunyai kriterianya. Untuk kepentingan yang terkait ritual, kalender Konghuchu (khususnya penentuan Imlek), Hindu (khususny penentuan Nyepi), Budha (khususnya penentuan Waisak), dan Kritiani (dalam penentuan Paskah) sudah mempunyai kriteria yang disepakati sehingga memberikan kepastian. Kalender Hijriyah pun bisa memberikan kepastian bila kriterianya telah kita sepakati. Ya, tinggal selangkah lagi, menujuk kesepakatan kriteria. Astronomi menawarkan kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal) berdasarkan analisis ilmiah atas data astronomis.

      • @Pak Djamaluddin,
        Silakan lihat kembali komentar saya sebelumnya. Jawaban anda sudah diluar konteks “kesetaraan” yang saya permasalahkan. Dua masalah yang saya ajukan adalah:

        (1) garis tanggal dinamis menjadikan ketidakadaan kepastian hubungan tanggal yang erat antara dua wilayah bersebelahan yang dalam wilayah hukum berbeda. Sebagai contoh, coba bayangkan jadwal pesawat terbang atara dua wilayah tersebut: setiap jadwal perjalanan harus menggunakan 2 kalender yang berbeda. Dengan bertambahnya tujuan penerbangan, bertambah pula kalender yang harus perhatikan. Ini sama halnya mengatakan kalau kalender hijriyah tersebut adalah benar-benar sekedar kalender lokal.
        (2) memulai hari dari waktu maghrib membuat definisi hari sebagai waktu rata-rata rotasi bumi menjadi tidak berguna lagi. Dengan start dan panjang hari yang selalu berubah-ubah, bagaimana menentukan sistem waktu (jam, menit, dan detik) dalam hari tersebut?

        Dengan contoh dua masalah di atas, buat saya sudah sangat jelas kalender hijriyah dalam konsep sekarang belum layak untuk dipakai untuk mengatur kehidupan manusia yang kompleks di zaman modern ini.

      • Islam memandang dua sistem kalender setara. Setara tidak berarti sama. Jelas basisnya beda, yang satu matahari dan satu lainnya bulan. Satu hari matahari = 24 jam, tidak harus 1 hari kalender bulan = 24 jam, karena basis hari dari maghrib ke maghrib. Kalender matahari punya batas tanggal tetap, karena basis matahari bermakna semata merujuk pada rotasi bumi. Sedangkan garis tanggal Hijriyah mempunyai garis tanggal dinamis karena bukan hanya merujuk rotasi bumi, tetapi juga posisi bulan. Tetapi, kedua kalender tetap sama dalam aplikasinya, memperhatikan garis tanggal dan loakalitasnya. Tidak bisa sama di seluruh permukaan bumi. Sekadar contoh, kapan hari penyerahan Jepang kepada Sekutu (V-J day)? Menurut waktu Amerika 14 Agustus 1945, tetapi menurut waktu Indonesia 15 Agustus. Contoh lain, mungkin orang bingung membaca penjelasan gerhana matahari cincin 2012 lalu, bermula di Cina pagi 21 Mei 2012 dan berakhir di Amerika maghrib 20 Mei 2012, seolah waktu berjalan mundur. Hal yang sama wajar terjadi juga pada kalender Hijriyah. Jika Indonesia dan Arab terpisah garis tanggal qamariyah, Idul Fitri di Arab Senin, di Indonesia Selasa. Kuncinya, kita harus tahu posisi garis tanggal qamariyah. Ribet? Tidaklah. Dengan teknologi informasi, kalau kita sudah mempunyai kriteria yang disepakati, mudah saja membuat konversi kalender seperti itu. Programnya mudah dibuat dan aplikasininya bisa dilakukan secara on-line di internet, sama seperti program-program astronomi yang kini ada baik on-line, maupun stand-olone. Garis tanggal mudah ditampilkan secara grafis atau cukup hasilnya saja. Sekadar contoh, dengan kriteria IR, program astronomi bisa membuat garis tanggal untuk kalender sejak zaman Nabi sampai kapan pun. Untuk kriteria Odeh, program accurate time bisa dipakai http://www.icoproject.org/accut.html.

      • @Pak Djamaluddin,
        Jawaban anda justru menguatkan penyataan saya sebelumnya:
        (1) bahwa kalender hijriyah berdasar garis tanggal dinamis adalah benar-benar kalender lokal. Satu tanggal di tempat satu tidak cukup untuk menentukan tanggal di tempat lain, karena harus menghitung garis tanggal di awal bulan. Panjang bulan yang tidak sama juga akan membuat kerancuan dalam penanggalan untuk pencatatan event-event di masa lampau (sejarah): dua event dengan tanggal yang sama di tempat yang berbeda yang berdekatan tidak berarti bahwa dua event tersebut terjadi di hari yang sama! Orang harus kembali ke komputer untuk memastikannya. Contoh Pak Djamaluddin tentang tanggal di Indonesia dan Amerika sepertinya mirip tapi secara mendasar itu sangat berbeda: keduanya terdefinisi menurut standar waktu yang dipakai, hubungan standar waktu ini sangat jelas dan konsisten. Sedang kalender hijriyah tidak bisa mengunakan standar waktu ini karena awal hari saja tidak didefinisikan melalui sebuah standar waktu, tapi oleh faktor lain, yaitu tempat dan posisi matahari.
        (2) masalah standar waktu akan mejadi semakin kompleks ketika hari baru dimulai dari waktu maghrib tidak tetap. Contohnya: anggap Jakarta sebagai standar perhitungan, dari salah satu sumber, waktu Magrib di Jakarta tanggal 26 dan 27 Juni 2012 masing-masing 17:44:50 WIB dan 17:45:05 WIB. Itu berarti 26 Juni 2012 17:45:00 WIB dan 27 Juni 2012 17:45:00 WIB ada dalam satu hari kalender hijriyah. Sekarang ketika ada sebuah transaksi ekonomi dilaksananan jam 17:45:00 di “hari” tersebut (baca: 2 hari dalam kalender masehi), bagaimana menuliskan pencatatannya agar representasinya tetap unik?
        Seperti yang saya nyatakan, kalender hijriyah tidak layak untuk kalender sipil di zaman modern kalau masalah seperti di atas tidak bisa dijawab. Dan seperti yang saya coba tegaskan, jawaban terhadap permasalahan tersebut hanya bisa dilakukan dengan kesepakatan-kesepakatan dalam pendefinisian kalender yang cenderung menjauh dari dasar syar’i, dimana ini justru bertolak belakang dengan kerangka berfikir pengusung imkan-rukyat.

      • Manfaatkan teknologi IT. Itu mudah diprogram. Hisabnya disesuaikan dengan makna dalil syar’i. Semuanya mudah kok. Jangan mempersulit hal yang mudah.

      • “Manfaatkan teknologi IT. Itu mudah diprogram. Hisabnya disesuaikan dengan makna dalil syar’i. Semuanya mudah kok. Jangan mempersulit hal yang mudah.”
        ​• ƗƗɑƗƗɑƗƗɑƗƗɑ.. ☺​☺, habis ML tho? Kok asal njeplak..

      • Pak Djamaluddin,
        Ketika saya menuliskan “harus kembali ke komputer” saya menandaskan kalau ini adalah bagian dari permasalahan, bukan sebuah penyelesaian. Saya menggeluti dunia komputer sejak SMP, dan sekarang bekerja di perusahaan yang masuk list 10 terbesar di dunia di bidang IT, jadi saya lumayan paham mana yang susah dan mana yang tidak dalam software engineering. Ketika kesepakatan sudah ada (catatan: sekarang IR jelas belum punya, dan saya kira masih hal yang sulit untuk di dapat), membuatnya dan menjadikannya alat yang mudah dijangkau bukan hal yang sulit, tetapi “harus menggunakannya” bahkan untuk hal yang sangat sepele adalah sebuah permasalahan. Terutama kalau ternyata sudah ada cara yang lebih mudah, lebih bermanfaat, lebih konsisten, dan mengandung lebih sedikit kekurangan: kalender Gregorian. Sekali lagi ini berbicara tentang kalender untuk keperluan sipil, bukan untuk urusan agama dimana unsur iman dan kepercayaan bermain lebih dominan.

      • Kalau untuk sekadar kalender sipil, yang tidak terkait dengan ibadah, kalender Ummul Quro Arab Saudi sudah menerapkannya. Microsoft pun sudah memasukkan aplikasi kalender ummul Quro. Itu sangat praktis dan sudah digunakan di negara-negara Arab. Kalau untuk digunakan juga dalam keperluan ibadah, harus ada kesepakatn dulu kriterianya. Itu pun mudah dilakukan, karena tinggal mengubah kriterianya. Seorang programmer yang mengenal penerapan krietria itu mudah saja menyusun program kalender semacam itu. Salah satunya http://www.icoproject.org/res.html.

      • @Pak Djamaluddin,
        Maaf, terus terang saya tidak bisa memahami bagaimana anda masih bisa dengan nyaman menjawab dengan kata-kata di atas. Kalau Pak Djamaluddin memang menulis dengan kesengajaan (seperti pengalaman tahun lalu), saya anggap ini sebagai salah satu bagian dari agenda pembodohan anda terhadap pembaca blog anda. Atau mungkin saya harus berprasangka baik: anda bermasalah dengan reading comprehension. Untuk kesekian kalinya saya menyesalkan sikap anda yang seperti ini.

      • Kalau beum faham, saya ajak untuk memperdalam astronomi dulu. Kalau dianggap pembodohan, silakan cari pembanding astronom di mana pun di dunia. Carilah astronom yang mendukung WH. Pasti tidak ada.

      • Sepertinya saya harus kembali mempertanyakan kejujuran Pak Djamaluddin dalam berdikusi. Yang tidak saya pahami bukan masalah IM itu sendiri (yang sebenarnya perkara mudah), tapi motivasi anda menjawab dengan kata-kata tersebut di atas. Anda boleh mengajak saya memperdalam astronomi, tapi saya juga akan mengajak anda untuk meninggikan standar etika dan moral dalam berdiskusi dan berpendapat.

  13. Betul Mas Thomas, Hisab Imkanur Rukyah itu bisa memberi kepastian, dan bahkan juga bisa untuk bikin kalender. Hanya saja data valid-nya untuk menentukan posisi Hilal berapa derajat untuk mungkin bisa dirukyat itu yang perlu terus dicari dan ditambahkan dari masa ke masa. Dari banyak data yang masuk memungkinkan para ahli berembuk dan sepakat. Sehingga tidak perlu lagi sidang itsbat dan tepuk tangan lagi.

    • Ya, kita belajar dari kesepakatan kriteria jadwal shalat. Jadwal shalat juga pakai kriteria ketinggian matahari sekian untuk menggantikan rukyat tanda masuk waktu shalat. Kini keduanya bisa saling menggantikan. Dengan kesepakatan kriteria jadwal shalat, kita bisa membuat jadwal yang pasti. Dengan kesepakatan kriteria imkan rukyat yang mempersatukan hisab dan rukyat, kita pun bisa membuat kalender yang pasti sampai ratusan tahun ke depan (selama kriterinya belum berubah). Dan itu bisa berlaku global.

    • sy orang awam. sedikit demi sedikit mulai memahami dan mulai terkuak apa yg saya sering pertanyakan dalam hati. Menurut pemahaman saya (mhn dikoreksi) tinggi hilal pada setiap malam dan daerah tertentu berbeda-beda tergantung posisi bulan pada orbitnya waktu itu. Dengan demikian tdk selamanya awal bulan qamarih antara suatu negara dgn negara lain akan jatuh di hari yg sama tergantung posisi garis (imajiner) bulan terhadap garis batas (imajiner) penentuan hari syamsiah (London). Mohon pencerahannya.

  14. Selama kita ummat Islam berkutat dengan kriteria “imaknur-rukyah”, kita pesimis bersatu dalam mentukan tanggal 1, padahal merukyat hilal sebagai bukti telah masuk tanggal 1 bulan qomariyah itu hanya kebenaran ilmiyah yang terjadi tahun 600 M yang lalu. Sekarang telah ada ilmu hisab yang kita percayai sebagaimana jadwal imsakiyah yang dibuat oleh para ahli hisab, mengapa ketika membuat kalender khususnya ketika menentukan tanggal 1 Ramadlan ummat Islam menjadi hiruk pikuk.
    Hadits ru’yat itu shaheh, tetapi tidak harus dipegangi secara tekstual begitu. Tugas menentukan tanggal 1 Ramadlan atau lainnya, bukan tugas kerasulan. Untuk menentukan tanggal 1 Ramadlan itu tidak perlu wahyu, tidak perlu dalil, tidak perlu Al-Qu-an juga tidak perlu hadits. Itu domain ilmu pengetahuan (antum a’lamu biumuri dunyakum) silahkan ilmuwan hisab merumuskan atas dasar-dasar ilmiyah supaya mendapat dukungan ilmuwan yang lain.
    Menurut saya fenomena Ijtima’ adalah saat yang paling tepat menentukan pergantian bulan pomariyah. Karena pergantian hari menurut qomariyah kita sepakati adalah saat ghurub. maka daerah-daerah yang ghurubnya bersamaan dengan saat ijtima adalah batas, tanggal. Contoh kota Makassar tanggal 29 Sya’ban ghurub jam 17.55′.32″. WITA. ; Ijtima’ akhir Sya’ban terjadi jam 17.55′.32″, maka hanya kota Makassar yang menjadi batas tanggal, kota timurnya (Bone, Bulukumba, Bantaeng) masih bulan lama, barat kota Makassar (Maros, Sungguminasa dll) sudah masuk tanggal 1 bulan baru. karena mempunyai waktu yang berbeda dengan Makassar.
    Jika ini disetujui maka pendapat ini lebih mirip pendapat Ijtima’ Qoblal Ghurub. sebagai awal bulan.

    • Bapak yang terhormat, saya pernah baca ada yang lebih radikal lagi, … yaitu konjungsi sebagai kriteria awal masuk bulan baru, dengan syarat konjungsi terjadi antara jam 00.00-18.00 wkt GMT, maka hari itu sudah masuk bulan baru, sementara konjungsi terjadi antara jam 18.00-24.00 GMT, maka hari itu masih hari terakhir bulan berjalan, baru esoknya bulan baru.
      Contoh, Ramadan 1433 H, Ijtimak Kamis, 19 Juli pkl 11.25 WIB (04.25 GMT), maka hari itu juga sudah masuk bulan Ramadan. Syawal 1433 H, Ijtimak Jum’at, 17 Agustus pkl 22.55 WIB (15.55 GMT), maka hari itu juga sudah masuk bulan Syawal 1433 H.

      • Konjungsi itu sama dengan ijtima’.
        Contoh yang bapak/mas buat tersebut ada benarnya, Tetapi sebenarnya keberadaan ijtima’ sebagai awal dan akhir bulan qomariyah tidak harus dikaitkan dengan jam GMT. sebab perubahan hari sistem qomariyah dan syamsiyah berbeda.
        Dengan diketahuianya jam/saat ijtima’, maka kita sudah dapat membuat garis tanggal/garis batas bulan. Daerah sebelah timur garis tanggal adalah masih bulan lama. Dearah sebelah/belahan barat garis tanggal masuk bulan baru. Oleh karena itu sistem qomariyah ini dinamis, berubah-ubah tidak sama dengan sistem matahari (solar sistem)
        Paradigma Ijtima’ sebagai awal dan akhir bulan mempunyai kelebihan luar biasa, sebab kita punya alasan pemutus dengan limit detik;
        Di era digital ini sering kita mencantumkan saat maghrib itu dengan detiknya. Misal maghrib makasar tanggal 11 Juni jam 17:57′.22″.
        Waktu menghitung Ijtima pun sering dicantumkan jam, menit dan detiknya contoh jam 22.55’32”; Dengan demikian hal-hal yang terjadi 1 detik sebelum ijtima’ hakikatnya adalah terjadi detik terakhir pada bulan lama, sebaliknya peristiwa yang terjadi 1 detik setelah jam ijtima’ hakikatnya terjadi pada detik pertama bulan baru.
        Dalam perspektif daerah/wilayah juga akan lebih jelas, kalau daerah A maghribnya 1 detik sebelum ijtima’ maka dearah itu adalah masih bulan lama. Daerah yang maghribnya 1 detik setelah ijtima’ maka dia telah memasuki bulan baru.
        Kita sering

    • Memang dulu orang menganggap hisab dan rukyat berbeda, karena kriteria hisabnya dibuat sekehendanya sendiri, antara lain dengan kriteria WH. WH bukan produk astronomi, tetapi konsep penyederhanaan yang dianggap punya pembenaran dari QS 36:40. Dengan astronomi yang makin berkembang, hisab dan rukyat bisa disatukan, dengan kriteria imkan rukyat atau visibilitas hilal. Riset visibilitas hilal terus berlangsung. Suatu saat nanti hisab dan rukyat bisa saling menggantikan secara setara.

      • Ya.., boleh2 saja anda ngomong begitu..
        Mudah.. Mudah sekali utk dipatahkan koq..

        Ini lhoo.. Anda sdh kontrasepsi ehh konfirmasi dari tanggapan anda sendiri apa belum?? Mudah lhoo..
        // Argres, 4 juni 2012 said:
        Yang bilang dikotomi2 an anda sendiri lho yaa..
        “Untuk ibadah, ilmu agama (diinul Islam) dan sains kita gunakan bersama.” OK, hrs ada skala prioritas khan? Dilanjutkan dgn kalimat…
        “Untuk beribadah kita harus tahu dalil syar’i-nya (red: pertama-tama, duluan), (red: baru kemudian) lalu didukung dengan sains….”
        Berarti yg diutamakan dalil syar’i-nya dulu khan? Setubuh?? Eh setujukah?? Bisa dikonfirmasi koq kampesnya ehh maksudnya, tp ingat ini kalimat anda sendiri lho.. Ingat juga anda profesor lhoo..
        Sy belum masuk ke kunci jawabannya lhoo.. Meski unas sudah selesai lhoo..//

      • Bagaimana pun ibadah harus mendahulukan dalil syar’i. Sains digunakan dalam mempermudah prakteknya. Itulah integrasi syar’i dan sains, tidak mendikhotomikan.

      • Dalil syar’i lah yg utama utk merefleksikan sebuah nilai ibadah. Ketika suatu ibadah tdk di support scr holistik dlm kaitannya dgn dalil syar’i, apalagi sekadar unsur sains saja sbg nilai pembenarannya maka sesungguhnya hanya masuk pada kajian kontemplasi belaka jauh dari moralitas agama scr universal.
        Rupanya stigma integrasi syar’i dan sains yg mjd dasar kejumudan anda, bisakah anda sebutkan dalil syar`i sbg representasi IR yg mengisyaratkan definisi batas spt yg anda dengung2kan selama ini? Boleh satu saja

      • ” Minim sekali pengambilan dalil dari Al-Quran dalam hal operasionalisasi penentuan awal bulan tersebut, karena memang Al-Quran tidak secara eksplisit mengungkapkan tata caranya seperti dalam hadits.”
        • Banyak sekali Al Qur’an berbicara ttg konsep hisab, spt yg pernah dibicarakan sblm ini baik dr teman2 MU maupun dr anda sendiri spt dibawah ini. Jelas saja, menjadi minim, bahkan tdk ada sama sekali dalil2 Al Quran mengisyaratkan hisab sbg sesuatu yg terbatasi scr definitif dilihat dari kriteria IR spt yg anda usung!

        “Ya, kalau sekadar menggunakan ilmu tafsir yang selama ini digunakan oleh para ulama, kita sulit menemukan isyarat operasionalisasi penentuan awal bulan qamariyah di dalam Al-Quran.”
        • Anda benar2 meremehkan “arti sebuah pendapat” dari para ulama besar di keempat madzab yg banyak diikuti pendapatnya oleh ratusan juta umat muslim didunia. Kurang ajar betul anda!

        Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang salah). Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (datangnya) bulan (Ramadhan) itu maka berpuasalah. (QS 2:185)

        Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah ketika Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (QS 9:36).

        Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat kedudukan bulan), supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan haq (benar). Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. 10:5).

        • Inikah yg anda maksudkan perlu adanya kriteria batasan berdasarkan IR yg multi pendapat (Oudeh, ilyas, syi’ah, ala Djamal dll) itu?

        Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia seperti pelapah yang tua. (QS 36:39).

        Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah penentu waktu bagi manusia dan (bagi penentuan waktu ibadah) haji. (QS 2:189).

        “Jadi, syahru (bulan) Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah ditentukan dengan hilal. Hilal adalah bulan sabit yang tampak, yang merupakan fenomena rukyat (observasi). Tetapi ayat-ayat tersebut juga tegas menyatakan bahwa manzilah-manzilah (termasuk manzilah awal, yaitu hilal) bisa dihitung (hisab).”

        • Isyarat hisab berdasarkan nash2 Al Qur’an mana yg menganggap bahwa hilal “belum masuk” krn hrs terkonfirmasi dgn rukyat? Jika mampu dijelaskan scr IR (anda bilang scr “Ilmu Pasti” astronomi), kenapa di IR sendiri terjadi banyak perbedaan interpretasi thd IR itu sendiri jk diukur dari bidang astronomi? Tidak kah ini inkonsisten dan inkonstitusional dari dalil hisab yg berasal dari kitabullah? Banyak anomali ttg IR meski tdk perlu dicocok-cocokkan dng dalil syar`i (krn memang td ada dalil syar`i nya) sekadar penjelasan sainspun nampak sekali bersifat absurd! Ya karena karena banyaknya kriteria2 dari masing2 pendapat pengusung keranda mayat IR yg cenderung egois keilmuwan!

        “Jadi, rukyat dan hisab setara, bisa saling menggantikan atau saling melengkapi.”
        • Korelasi ini bisa didapatkan karena keduanya sdh dikebiri kriteria batas oleh pengusung keranda mayat IR.

        “Tanda-tanda awal bulan yang berupa hilal bisa dilihat dengan mata (rukyat)”
        • Lha ini, inilah pembodohon, penyesatan, pengkebirian dalil rukyat murni ala nabi spt yg di pahami penganut madzab syafei! Dng kriteria batas yg belum terbukti scr astronomi meyakinkan sekaligus menafikan tauladan nabi dlm menerima hasil rukyat maka patutlah kiranya jika pengusung IR telah mendiskresikan suatu dalil yg scr syar`i syah, diubah menurut sekehandak maunya berdasarkan pendapat orang per orang astronom pengusung keranda mayat IR

        “Data kemungkinan hilal bisa dirukyat itu yang dikenal sebagai kriteria imkanur rukyat atau visibilitas hilal”.
        • Menjadi jelas terang benderang, krn hanya bersifat kemungkinan saja sudah selayaknya para pengusung keranda mayat IR utk segera memakamkan IR dgn tenang. Kasihan simayat IR digotong kesana-kemari tanpa ada KEPASTIAN…

    • Istigfar Pak Salam,… segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah mesti berpedoman pada hadist dan Alqur’an,…. madorakaki lao dipuang allah taalah sibawa Nabitta

  15. Prof. Puasa romadlan memang ibadah. penetuan tanggal 1 Ramadlan bukan ibadah, sama dengan penetuan tanggal 1 lainnya.
    Hadits “shumuu liru’yatih.. substansinya tidak menunjukkan bahwa puasa itu harus dimulai kalau kita telah melihat hilal.
    Yang jelas puasa itu harus kita mulai kalau sudah masuk 1 Ramadlan. Dengan apa 1 Ramadlan itu kita tandai, dahulu dengan ru’yat hilal karena belum ada ilmu hisab.
    Bahwa setelah ditemukannya hisab, malah tambah kacau balau, karena dalam menentukan tanggal 1 Ramadlan itu para ahli ingin menggabungkan 2 sistem tersebut. Disitulah muncul permasalahan saat hilal kurang dari 2 derajat. Karena aliran ru’yat takut berdosa kalau kata “ru’yati dalam hadits tersebut diabaikan, maka dibuatlah kriteria imkanur ru’yah yang sudut ketinggiannya berubah-ubah.
    Hisabpun ngotot yang penting hilal wujud dan ada juga aliran ijtima qoblal ghurub.
    Selama para pemegang kewenangan masih berkeinginan mengakomodasi/menggabungkan 2 madzhab tersebut, selamanya dalam ketinggian hilal kritis akan kesulitan mempersatukan.
    Solusinya adalah buang salah satunya,, !
    Kalau mau mebuang salah satu, maka harus ada alasan ilmiyah:
    Kita benar-benar bosan dengan perbedaan hari raya. Seakan-akan cendekiawan muslim tidak dapat mengatasi masalah yang sepele ini.

    • Mudah digabungkan dengan menggunakan kriteria imkan rukyat atau visibilita hilal. Salah satu hisab dengan kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal) silakan lihat di http://www.icoproject.org/res.html.

      • Kalau pembodohan semacam ini terus saja anda lakukan, anda akan berhadapan tdk hanya dgn MU saja melainkan juga dgn penganut Madzab Syafei yg sadar bahwa anda sedang menggiring keyakinan ke jurang penistaan hakekat bermadzab!

      • Pembodohan yg dilakukan scr sistematis dan terencana sambil melontarkan fitnahan keji terhadap keyakinan hisab dan keyakinan rukyat maka sesungguhnya anda, sdr Djamaluddin telah melakukan pekerjaan iblis dgn sesadar-sadarnya!!

  16. Ass wr wb. Sesungguhnya penyusunan kalender global berbasis Lunar Sistem (komariah) sangat sederhana karena jumlah hari pd setiap bln adalah tetap 30hr. Kendala yg ada adalah pd tahap penggunaan kalender tsb, karena keunikan dan sifat dinamis dr ILDL (International Lunar Date Line) menyebabkan wilayah ILDL bln ini ke barat hingga ILDL bln lalu yg masih berada pd hr ke 29 sdh hrs memasuki tgl 1 bln berikutnya mendahului wilayah2 yg sdh berada pd hr ke 30. Wass wr wb.

  17. Ass wr wb. Oleh krn itu, yg jadi pertanyaan adalah bagaimana cara mensiasati kendala yg ada agar kalender global tsb dpt digunakan. Salah satu cara mensiasatinya adalah sbb : PERTAMA: pemikiran kita hrs berada dlm wawasan global dimana tdk ada satupun kalender yg berlaku, KEDUA: wilayah dimuka bumi yg hanya sampai di hr ke 29 pd suatu bln dianggap meloncati (kehilangan) hari dan tanggal ke 30, KETIGA: pd hr ke 29 setiap bln semua negara melakukan rukyat hilal utk menentukan posisinya. Wass wr wb

  18. @sdr TDjamaluddin, kali ini saya mempunyai saran yg konstruktif utk IR bahkan sy namai NEW IR. Baru, karena belum ada satupun kriteria IR yg saya baca yg mendasarkan apa yg akan sy kemukakan nantinya.

    Keastronomian, insya Allah tidak menyalahi dalil bahkan mempertegas dalil itu sendiri. Sederhana, bersifat SCADA(supervisory control and data acquisition) tentunya memanfaatkan IT.

    Namun sy mempersyaratkan anda utk berjanji dan bersumpah menjunjung tinggi ukhuwah islamiyah. Bersediakah? Kalau tidak bersedia ya tidak apa2, kalau bersedia konfirmasi dgn dua kata dulu ==> siaapp bersedia-

    • Tidak perlu komitmen dari saya. Bila ada usulan IR, silakan publikasikan, nanti komunitas astronomi yang akan menilainya. Untuk penerapannya, nanti ormas-ormas Islam yang akan menilainya. Do your best!

      • Komitmen dari anda itu penting! Mengingat andalah satu2 komunitas astronomi di indonesia bahkan didunia yang berani menyombongkan diri superioritas “IR lama” terhadap keyakinan Hisab dan keyakinan Rukyat

        Saya kutip dulu penjelasan dari Prof. Susiknan, musiumastronomi.com:
        “Pada prinsipnya hasil hisab tidak ada artinya tanpa adanya kriteria, di Indonesia sekurang-kurangnya ada dua kriteria untuk menentukan awal bulan kamariah yaitu hisab wujudul hilal dan hisab imkanur rukyat. Bagi hisab wujudul hilal awal bulan kamariah terjadi apabila memenuhi tiga unsur, yaitu telah terjadi peristiwa ijtimak (konjungsi), ijtimak terjadi sebelum ghurub (Ijtima’ qabla al-ghurub), dan matahari terbenam terlebih dahulu dibandingkan bulan (moonset after sunset). Bila ketiga unsur ini terpenuhi maka keesokan harinya dianggap masuk tanggal baru. Sementara itu, imkanur rukyat yang dipedomani Departemen Agama RI awal bulan kamariah terjadi apabila memenuhi empat unsur, yaitu telah terjadi peristiwa ijtimak, ijtimak terjadi sebelum ghurub, tinggi hilal pada saat matahari terbenam minimal 2 derajat, dan umur bulan minimal 8 jam. Bila keempat unsur ini terpenuhi maka keesokan harinya dianggap masuk tanggal baru.”

        Jika melihat penjelasan diatas, ada perbedaan dan persamaan. Beda, karena WH tdk memakai kriteria batas (istilah sampeyan “asal hilal sdh diatas ufuk”). IR memakai kriteria batas krn alasan astronomi dan adanya penyamaan persepsi dgn rukyat hilal.
        Sama, WH dan IR berorientasi tunggal yaitu sama2 menghisab hilal dalam satu kamar alias lokal.

        Mari kita renungkan dulu, polemik yg terjadi selama ini adalah adanya kriteria batas yg menyebabkan terjadinya pembiasan hisab. Bias scr astronomi bias pula scr syar`i. Diperkuat pula dgn banyak negara2 pengusung IR yg kriteria batasnya lebih tinggi dari RI justru mengikuti Mekkah dlm ber iedul fitri 2011.
        Scr astronomi lucu nggak? Kalau bagi saya lucu sekali.. ​ƗƗɑƗƗɑƗƗɑƗƗɑ.. ☺​☺

        Namun harus saya akui secara jujur, ingat lho pak djamal jangan “besar kepala” dulu ya.., dgn KRITERIA BARU dan bukan kriteria batas spt selama ini maka IR yg baru justru bisa dipakai utk penyatuan kalender qomariyah internasional dan insya Allah, scr spesifik akan terjadi penyamaan dgn festival ibadah kalender hisab wujudul hilal ummul quro’.

        Bagi saya New IR sangat support untuk Rukyat Global, scr syar`i tdk menyalahi dan didukung imam Hanafi, imam Maliki dan Imam Hambali. Sy “terpaksa” tdk menamai new WH karena WH menghitung jika ketiga unsur sdh memenuhi maka berlaku hukum positif yg harus disegerakan, scr lokal ini saya yakini kebenarannya. Meski begitu sy haqqul yakin secara empiris nantinya koheren dgn keyakinan WH. IR lama tdk cocok utk rukyat lokal maupun global karena interferensi kriteria batas ketampakan hilal, sekaligus tdk didukung unsur syar`i.

        Lalu bagaimana dgn kampoeng halaman kita?

        Bagi saya, kalau tetap berpegang teguh pada madzab Syafei, MARI kita hormati keyakinan ini. Kita hormati pula teladan Nabi dlam menerima hasil rukyat. Jangan mendholimi saksi yg telah bersumpah atas nama Allah!!. Spirit ini masih diteruskan oleh arab saudi dan Mekkah sampai saat ini walau scra astronomi aneh. Bahkan Gus Dur(Alm) pun pernah melakukan ini ketika menerima kesaksian rukyat kyai falakiyah asal jombang tahun 80-an.

        Pak Djamal yang ngganthenk, sy hanyalah seorang biasa2 saja, berdiri bebas horisontal diantara persaudaraan NU dan persaudaraan MD. Jika ada forum diskusi panel yng juga melibatkan pihak Muhammadiyah apalagi kalau ada pak Susiknan disitu , “ide” ini akan sy kirimkan lewat email atau anda bisa mengkonfirmasi kehadiran pak Susiknan atau pak Makrifat atau pak Sriyatin di lapak ini. Maklum link ke MD tdk ada. Mungkin lebih baik publisitas scr terbatas dulu karena “ide” ini tdk cocok utk keyakinan rukyat lokal.

        Saya memohon ampun kepada Allah jika bermaksud menyombongkan diri, astagfirullah.

      • Komentar Agres tidak mencerminkan seseorang yang tidak berakhlaq mulia, mempunyai good manner atau berbudi pekerti. Mengolok-ngolok fisik makhluk Allah dan kebanyakan berserapah. Nauzubillahi min dzalik. Istigfarlah.

    • Pak Argres,

      Kenapa tafsir dari hisab muhammadiyah kok ke Wujudul hilal kok ke ijtimak saja.

      Katanya MD mau yang pasti dengan hisab, kalau masih ke hilal kan banyak factor ketidak pastiannya, dalil2 yang jadi dasar WH kayaknya gatuk juga dengan Ijtimak sebagai awal bulan.

      Ingin tahu kenapa lebih milih WH daripada ijtimak

  19. Ass wr wb. Pak Prof, terima kasih atas tanggapannya. Utk kalender lokal memang tdk sulit menentukan bulan2 yg berumur 29hr melalui rukyat hilal. Namun utk kalender global sulit menentukan bulan2 mana yg berumur 29hr, karena bulan2 yg berumur 29hr pd satu tahun yg sama dlm kalender2 lokal tdk seragam. Oleh krn itu salah satu solusinya adalah semua bulan dalam kalender global dibuat berumur s.d. tgl.30 dan lokal2 yg hanya sampai di hr ke 29 dpt ditentukan dg rukyat hilal. Wass wr wb.

  20. Ass wr wb. Memperjuangkan kalender hijriah global memang butuh kerja keras dan waktu yg panjang, namun jika jauh2 hari sudah ada konsep yg pasti, jelas dan dpt dipertanggungjawabkan maka beban jadi lebih ringan krn semua berada pd satu pijakan dan menuju ke arah yg sama. Semua kalender yg berbasis lunar sistem pasti terkendala oleh keunikan dan sifat dinamis ILDL. Krn itu konsep kalender hijriyah hrs bisa mensiasati kendala tsb dg tetap berlandaskan pd yg tersurat dlm Al Qur’an dan Hadist. Wass ww

  21. Saya membaca komen saudara Argress, ngeri,takut dan bergidik ., saya bayangkan Pak Thomas menjawab dengan kaidah ilmiah, bahasa santun, tidak pernah menggoblok saudara Argres. Sebaliknya saudara Argress, yang dari tulisannya menunjukkan bahwa dia lebih pintar dari Pak Thomas, bahkan secara implisit, saudara Argres “merasa” lebih pantas sebagai Profesor Astronomi.
    Saya orang awam masalah astronomi, masalah ilmu falaq, barangkali, bisa saja Pak Thomas sebagai manusia biasa, bisa salah. Ini persoalan perbedaan pendapat, tidak perlu disajikan dengan kasar.
    Yang pasti dalam sejarah, ilmu hisab dalam penentuan 1 ramadhan atau 1 syawal, 10 dhulhijah, di jaman Rasul belum ada, Diwaktu itu yang dipakai, rukyat berdasarkan hilal. Kalau ada orang yang sudah melihat hilal, sekalipun dia seorang badui, kulit hitam, Rasul pun ikut.
    Untuk Indonesia bagaimana? Kericuhan di Indonesia, dikarenakan keputusan di tetapkan oleh Kementrian Agama, dari hasil suara terbanyak dalam sidang itsbat.
    Allah Satu, Rasul Muhammad saw, Satu, Alquran Satu, Hadist Shahih Satu ( dari Rasul Muhammad saw ), Indonesia Satu, Kementrian agama Satu, MUI satu, penafsiran dalil penentuan awal bulan banyak, saya usulkan kedepannya biar umat Islam tidak ” bingung “, sebaiknya keputusan tentang awal cukup satu, yaitu dari MUI. Terlepas dari madzhab Syafei, Hanafi, Hambali, Maliki, kalau MUI mengeluarkan fatwa. Umat tinggal ikuti saja. Karena apa?, Ulama adalah pewaris nabi. Insya Allah fatwa MUI mencerminkan sebagai pewaris Nabi. Mohon maaf kalau tulisan ini tidak berbobot, karena saya orang awam dan bodoh.

    • Kok tanggung mas Bersatunya ?…
      Sekalian seluruh dunia dong… 🙂

      Solusi dari saya :
      Seluruh dunia berpatokan kepada Koordinat Ka’bah Baitullah di Mekah Al Mukaromah…
      Tinggal musyawarahkan, Kriteria awal bulannya mau pakai apa ?…
      Apakah WH MD, WH Ummul Quro, IR Odeh, IR Lapan, atau kriteria yang lain ?…

      Penetapan hari dan tanggal itu JANGAN DISAMAKAN dengan Penetapan jadwal shalat…
      – Jadwal shalat bersifat lokal
      – Hari dan Tanggal bersifat global

      Dahulu, Muawiyah di Syam (Suriah) dengan Ibnu Abbas ra di Medinah pernah berbeda idul fitri, LEBIH DISEBABKAN KARENA FAKTOR SULITNYA HUBUNGAN KOMUNIKASI…
      Berita Hilal Ramadhan dari Syam baru sampai di Medinah pada saat umat Islam sedang akan mengenapkan puasa menjadi 30 hari…

      Saya berharap, setelah Muhammadiyah tidak ikut Sidang Istbat kali ini, untuk selanjutnya tidak usah ikut sama sekali… Menghabiskan anggaran saja…

      Kita ini sekarang seperti umat terbelakang saja…
      Mengurus masalah Kalender Hijriyah saja, puluhan tahun tidak kelar-kelar..

      Kalender adalah cerminan kemajuan peradaban. Umat Islam Mau maju dan bersatu bagaimana kalau Kalender yang ada sifatnya Lokal (nasional), terus makin parah kalau Kalender nya tetap dikondisikan bersifat dadakan…

      Berbeda dengan zaman para Sahabat, memecahkan masalah waris yang sangat sulit saja hanya butuh musyawarah sebentar, langsung ada solusi permanen yang dipakai oleh umat Islam sampai sekarang…

    • sependapat. biar islam jadi kuat. kalau belakangan dianggap kurang sempurnah tinggal disempurnahkan.

    • setuju pendapatnya pak herman…., klo dari coment sdr argres kliatannya dia pinter tapi.. ga mencerminkan kepintarannya n ga islami

  22. untuk pak T.Djamaluddin semoga anda tetap tegar dan terus berjuang untuk memberikan pemahaman yg begitu urgent ini kepada masyarakat, tidak usah berkecil hati menghadapi pedasnya komentar dari orang seperti argres/ karena beliau sedang memperjuangkan keyakinannya( semoga Allah menjaga saya,anda,pak agres dan pembaca semuanya dari buruknya lisan,buruknya persangkaan & buruknya pemahaman) ,semoga semakin hari semakin banyak oang yg tersadarkan setelah menelaah tulisan tulisan yg bapak, untuk pak agres bukankah latarbelakang pendirian muhammadiyyah adalah memurnikan ajaran islam dari segala bentuk kemusyrikan, TAQLID, bid’ah, dan khurafat.maka pesen saya pak agres “JANGANLAH ANDA BERTAQLID kepada muhammadiyyah untuk hal hal yg sifatnya ijtihadiyyah, karena muhammadiyyah sendiri melarang taqlid, tetapi hendaklah anda menggunakan akal sehat anda untuk memahami dalil dalil dengan banyak membaca referensi kitab kitab para ulama dalam mendudukkan masalah2 agama seperti kasus ru’yah ini,dengan memahami kaidah yg benar insyaaLLAH anda bisa berjalan diatas pemahaman yg lurus.. ini saya kasih contoh artikel yg semoga bermanfaat

    Puasa Ramadhan Bersama Pemerintah

    Posted by Admin pada 18/08/2009

    Taat kepada pemerintah dalam perkara kebaikan. Inilah salah satu prinsip agama yang kini telah banyak dilupakan dan ditinggalkan umat. Yang kini banyak dilakukan justru berupaya mencari keburukan pemerintah sebanyak-banyaknya untuk kemudian disebarkan ke masyarakat. Akibat buruk dari ditinggalkannya prinsip ini sudah banyak kita rasakan. Satu di antaranya adalah munculnya perpecahan di kalangan umat Islam saat menentukan awal Ramadhan atau Hari Raya.

    Bulan suci Ramadhan merupakan bulan istimewa bagi umat Islam. Hari-harinya diliputi suasana ibadah; shaum, shalat tarawih, bacaan Al-Qur`an, dan sebagainya. Sebuah fenomena yang tak didapati di bulan-bulan selainnya. Tak ayal, bila kedatangannya menjadi dambaan, dan kepergiannya meninggalkan kesan yang mendalam. Tak kalah istimewanya, ternyata bulan suci Ramadhan juga sebagai salah satu syi’ar kebersamaan umat Islam. Secara bersama-sama mereka melakukan shaum Ramadhan; dengan menahan diri dari rasa lapar, dahaga dan dorongan hawa nafsu sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, serta mengisi malam-malamnya dengan shalat tarawih dan berbagai macam ibadah lainnya. Tak hanya kita umat Islam di Indonesia yang merasakannya. Bahkan seluruh umat Islam di penjuru dunia pun turut merasakan dan memilikinya.

    Namun syi’ar kebersamaan itu kian hari semakin pudar, manakala elemen-elemen umat Islam di banyak negeri saling berlomba merumuskan keputusan yang berbeda dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan. Keputusan itu terkadang atas nama ormas, terkadang atas nama parpol, dan terkadang pula atas nama pribadi. Masing-masing mengklaim, keputusannya yang paling benar. Tak pelak, shaum Ramadhan yang merupakan syi’ar kebersamaan itu (kerap kali) diawali dan diakhiri dengan fenomena perpecahan di tubuh umat Islam sendiri. Tentunya, ini merupakan fenomena menyedihkan bagi siapa pun yang mengidamkan persatuan umat.

    Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin anda akan berkata: “Itu karena adanya perbedaan pendapat di antara elemen umat Islam, apakah awal masuk dan keluarnya bulan Ramadhan itu ditentukan oleh ru`yatul hilal (melihat hilal) ataukah dengan ilmu hisab?”. Bisa juga anda mengatakan: “Karena adanya perbedaan pendapat, apakah di dunia ini hanya berlaku satu mathla’ (tempat keluarnya hilal) ataukah masing-masing negeri mempunyai mathla’ sendiri-sendiri?”

    Bila kita mau jujur soal penyebab pudarnya syi’ar kebersamaan itu, lepas adanya realita perbedaan pendapat di atas, utamanya disebabkan makin tenggelamnya salah satu prinsip penting agama Islam dari hati sanubari umat Islam. Prinsip itu adalah memuliakan dan menaati penguasa (pemerintah) umat Islam dalam hal yang ma’ruf (kebaikan).

    Mungkin timbul tanda tanya: “Apa hubungannya antara ketaatan terhadap penguasa dengan pelaksanaan shaum Ramadhan?”

    Layak dicatat, hubungan antara keduanya sangat erat. Hal itu karena:

    1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam, dan suatu kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa.

    2. Penentuan pelaksanaan shaum Ramadhan merupakan perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan bukan kemaksiatan. Sehingga menaati penguasa dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam. Terlebih ketika penentuannya setelah melalui sekian proses, dari pengerahan tim ru‘yatul hilal di sejumlah titik di negerinya hingga digelarnya sidang-sidang istimewa.

    3. Realita juga membuktikan, dengan menaati keputusan penguasa dalam hal pelaksanaan shaum Ramadhan dan penentuan hari raya ‘Idul Fithri, benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya, ketika umat Islam berseberangan dengan penguasanya, perpecahan di tubuh mereka pun sangat mencolok. Maka dari itu, menaati penguasa dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam.

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَىاللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي

    “Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah. Barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah. Barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barangsiapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

    -Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)

    Mungkin ada yang bertanya, “Adakah untaian fatwa dari para ulama seputar permasalahan ini?” Maka jawabnya ada, sebagaimana berikut ini:

    Fatwa Para Ulama Seputar Shaum Ramadhan Bersama Penguasa

    -Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juz 25, hal. 117)

    -Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini1 dengan ucapan (mereka): ‘Sesungguhnya shaum dan berbukanya itu (dilaksanakan) bersama Al-Jama’ah dan mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi juz 2, hal. 37. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)

    -Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, berbuka puasa/Iedul Fithri dan Iedul Adha, -pen.) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada penguasa dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan sabit) namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Hasyiyah ‘ala Ibni Majah, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)

    -Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata: “Dan selama belum (terwujud) bersatunya negeri-negeri Islam di atas satu mathla’ (dalam menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, -pen.), aku berpendapat bahwa setiap warga negara hendaknya melaksanakan shaum Ramadhan bersama negaranya (pemerintahnya) masing-masing dan tidak bercerai-berai dalam perkara ini, yakni shaum bersama pemerintah dan sebagian lainnya shaum bersama negara lain, baik mendahului pemerintahnya atau pun belakangan. Karena yang demikian itu dapat mempertajam perselisihan di tengah masyarakat muslim sendiri. Sebagaimana yang terjadi di sebagian negara Arab sejak beberapa tahun yang lalu. Wallahul Musta’an.” (Tamamul Minnah hal. 398)

    -Beliau juga berkata: “Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran, yang di antara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu perpecahan. Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski menurut yang bersangkutan benar– dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti; shaum, Ied, dan shalat berjamaah. Tidakkah engkau melihat bahwa sebagian shahabat radhiallahu ‘anhum shalat bermakmum di belakang shahabat lainnya, padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu, sementara yang lainnya tidak berpendapat demikian?! Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna (4 rakaat) dalam safar dan di antara mereka pula ada yang mengqasharnya (2 rakaat). Namun perbedaan itu tidaklah menghalangi mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam (walaupun berbeda pendapat dengannya, -pen.) dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah. Hal itu karena adanya pengetahuan mereka bahwa bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk daripada sekedar berbeda pendapat. Bahkan sebagian mereka mendahulukan pendapat penguasa daripada pendapat pribadinya pada momen berkumpulnya manusia seperti di Mina. Hal itu semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia tetap mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat di Mina 4 rakaat (Zhuhur, ‘Ashar, dan Isya’ -pen). Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengingkarinya seraya berkata: “Aku telah shalat (di Mina/hari-hari haji, -pen.) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan di antara kalian (sebagian shalat 4 rakaat dan sebagian lagi 2 rakaat, -pen.), dan harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”

    Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, (mengapa) kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!” Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhu.

    Maka dari itu, hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang (hobi, -pen.) berpecah-belah dalam urusan shalat mereka serta tidak mau bermakmum kepada sebagian imam masjid, khususnya shalat witir di bulan Ramadhan dengan dalih beda madzhab. Demikian pula orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri, baik mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun mengakhirkannya dengan dalih mengerti ilmu falaq, tanpa peduli harus berseberangan dengan mayoritas kaum muslimin. Hendaknya mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini. Dan semoga ini bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Dengan harapan agar mereka selalu dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-Jama’ah.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 444-445)

    -Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu pernah ditanya: “Jika awal masuknya bulan Ramadhan telah diumumkan di salah satu negeri Islam semisal kerajaan Saudi Arabia, namun di negeri kami belum diumumkan, bagaimanakah hukumnya? Apakah kami bershaum bersama kerajaan Saudi Arabia ataukah bershaum dan berbuka bersama penduduk negeri kami, manakala ada pengumuman? Demikian pula halnya dengan masuknya Iedul Fithri, apa yang harus kami lakukan bila terjadi perbedaan antara negeri kami dengan negeri yang lainnya? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas engkau dengan kebaikan.”

    Beliau menjawab: “Setiap muslim hendaknya bershaum dan berbuka bersama (pemerintah) negerinya masing-masing. Hal itu berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

    الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ، وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

    “Waktu shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.”

    Wabillahit taufiq. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 112)

    -Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu ditanya: “Umat Islam di luar dunia Islam sering berselisih dalam menyikapi berbagai macam permasalahan seperti (penentuan) masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, serta saling berebut jabatan di bidang dakwah. Fenomena ini terjadi setiap tahun. Hanya saja tingkat ketajamannya berbeda-beda tiap tahunnya. Penyebab utamanya adalah minimnya ilmu agama, mengikuti hawa nafsu dan terkadang fanatisme madzhab atau partai, tanpa mempedulikan rambu-rambu syariat Islam dan bimbingan para ulama yang kesohor akan ilmu dan wara’-nya. Maka, adakah sebuah nasehat yang kiranya bermanfaat dan dapat mencegah (terjadinya) sekian kejelekan? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufiq dan penjagaan-Nya kepada engkau.”

    Beliau berkata: “Umat Islam wajib bersatu dan tidak boleh berpecah-belah dalam beragama. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

    شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوْحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى أَنْ أَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوا فِيْهِ

    “Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepadamu, Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu:’ Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya’.” (Asy-Syura: 13)

    وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا

    “Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)

    وَلاَ تَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

    “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah keterangan datang kepada mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih.” (Ali ‘Imran: 105)

    Sehingga umat Islam wajib untuk menjadi umat yang satu dan tidak berpecah-belah dalam beragama. Hendaknya waktu shaum dan berbuka mereka satu, dengan mengikuti keputusan lembaga/departemen yang menangani urusan umat Islam dan tidak bercerai-berai (dalam masalah ini), walaupun harus lebih tertinggal dari shaum kerajaan Saudi Arabia atau negeri Islam lainnya.” (Fatawa Fi Ahkamish Shiyam, hal. 51-52)

    -Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal-Ifta`: “…Dan tidak mengapa bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal (bulan tsabit) di tempat tinggalnya pada malam ke-30, untuk mengambil hasil ru`yatul hilal dari tempat lain di negerinya. Jika umat Islam di negeri tersebut berbeda pendapat dalam hal penentuannya, maka yang harus diikuti adalah keputusan penguasa di negeri tersebut bila ia seorang muslim, karena (dengan mengikuti) keputusannya akan sirnalah perbedaan pendapat itu. Dan jika si penguasa bukan seorang muslim, maka hendaknya mengikuti keputusan majelis/departemen pusat yang membidangi urusan umat Islam di negeri tersebut. Hal ini semata-mata untuk menjaga kebersamaan umat Islam dalam menjalankan shaum Ramadhan dan shalat Id di negeri mereka. Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wasallam.”

    Pemberi fatwa: Asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 117)

    Demikianlah beberapa fatwa para ulama terdahulu dan masa kini seputar kewajiban bershaum bersama penguasa dan mayoritas umat Islam di negerinya. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan ibrah bagi orang-orang yang mendambakan persatuan umat Islam.

    Mungkin masih ada yang mengatakan bahwasanya kewajiban menaati penguasa dalam perkara semacam ini hanya berlaku untuk seorang penguasa yang adil. Adapun bila penguasanya dzalim atau seorang koruptor, tidak wajib taat kepadanya walaupun dalam perkara-perkara kebaikan dan bukan kemaksiatan, termasuk dalam hal penentuan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan ini.

    Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini, jika umat dihadapkan pada polemik atau perbedaan pendapat, prinsip ‘berpegang teguh dan merujuk kepada Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam’ haruslah senantiasa dikedepankan. Sebagaimana bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kalam-Nya nan suci:

    وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا

    “Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)

    Al-Imam Al-Qurthubi berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan Sunnah Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi perselisihan. Sebagaimana Dia (juga) memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas Al-Qur`an dan As-Sunnah baik secara keyakinan atau pun amalan…” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/105)

    Para pembaca yang mulia, bila anda telah siap untuk merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah maka simaklah bimbingan dari Al-Qur`an dan As-Sunnah berikut ini:

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    يَا أَيَّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ

    “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kalian.” (An-Nisa`: 59)

    -Al-Imam An-Nawawi berkata: “Yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir dan fiqih serta yang lainnya.”(Syarh Shahih Muslim, juz 12, hal. 222)

    Adapun baginda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau seringkali mengingatkan umatnya seputar permasalahan ini. Di antaranya dalam hadits-hadits beliau berikut ini:

    1. Shahabat ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu berkata:

    يَا رَسُوْلَ اللهِ! لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ اتَّقَى، وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ- فَذَكَرَ الشَّرَّ- فَقَالَ: اتَّقُوا اللهَ وَاسْمَعُوا وَأَطِيْعُوا

    “Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan (terhadap penguasa) yang bertakwa. Yang kami tanyakan adalah ketaatan terhadap penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan kejelekan-kejelekannya).” Maka Rasulullah bersabda: “Bertakwalah kalian kepada Allah, dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitab As-Sunnah, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah Fitakhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)

    2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ، لاَيَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ، وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ، وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ، قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِيْ جُثْمَانِ إِنْسٍ. قَالَ (حُذَيْفَةُ): قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلأَمِيْرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ!

    “Akan ada sepeninggalku nanti para imam/penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada di antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan namun berbadan manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas olehnya, maka dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, 3/1476, no. 1847)

    3. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهُ! أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

    “Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.” Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya dan jangan mencabut/meninggalkan ketaatan (darinya).” (HR. Muslim, dari shahabat ‘Auf bin Malik, 3/1481, no. 1855)

    Para ulama kita pun demikian adanya. Mereka (dengan latar belakang daerah, pengalaman dan generasi yang berbeda-beda) telah menyampaikan arahan dan bimbingannya yang amat berharga seputar permasalahan ini, sebagaimana berikut:

    -Shahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata: “Urusan kaum muslimin tidaklah stabil tanpa adanya penguasa, yang baik atau yang jahat sekalipun.” Orang-orang berkata: “Wahai Amirul Mukminin, kalau penguasa yang baik kami bisa menerimanya, lalu bagaimana dengan yang jahat?” Ali bin Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu jahat namun Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memerankannya sebagai pengawas keamanan di jalan-jalan dan pemimpin dalam jihad…” (Syu’abul Iman, karya Al-Imam Al-Baihaqi juz 13, hal.187, dinukil dari kitab Mu’amalatul Hukkam, karya Asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas hal. 57)

    -Al-Imam Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafi berkata: “Adapun kewajiban menaati mereka (penguasa) tetaplah berlaku walaupun mereka berbuat jahat. Karena tidak menaati mereka dalam hal yang ma’ruf akan mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar dari apa yang ada selama ini. Dan di dalam kesabaran terhadap kejahatan mereka itu terdapat ampunan dari dosa-dosa serta (mendatangkan) pahala yang berlipat.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 368)

    -Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidaklah menghapuskan kewajiban (menaati mereka, -pen.) yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan melalui lisan Nabi-Nya. Kejahatannya akan kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan kebaikan-kebaikan yang engkau kerjakan bersamanya akan mendapat pahala yang sempurna insya Allah. Yakni kerjakanlah shalat berjamaah, shalat Jum’at dan jihad bersama mereka, dan juga berpartisipasilah bersamanya dalam semua jenis ketaatan (yang dipimpinnya).” (Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la, 2/36, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah, hal. 14)

    -Al-Imam Ibnu Baththah Al-Ukbari berkata: “Telah sepakat para ulama ahli fiqh, ilmu, dan ahli ibadah, dan juga dari kalangan Ubbad (ahli ibadah) dan Zuhhad (orang-orang zuhud) sejak generasi pertama umat ini hingga masa kita ini: bahwa shalat Jum’at, Idul Fitri dan Idul Adha, hari-hari Mina dan Arafah, jihad, haji, serta penyembelihan qurban dilakukan bersama penguasa, yang baik ataupun yang jahat.” (Al-Ibanah, hal. 276-281, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah hal. 16)

    -Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Aku telah bertemu dengan 1.000 orang lebih dari ulama Hijaz (Makkah dan Madinah), Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam dan Mesir….” Kemudian beliau berkata: “Aku tidak melihat adanya perbedaan di antara mereka tentang perkara berikut ini –beliau lalu menyebutkan sekian perkara, di antaranya kewajiban menaati penguasa (dalam hal yang ma’ruf)–.” (Syarh Ushulil I’tiqad Al-Lalika`i, 1/194-197)

    -Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini (riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah di atas, -pen.) terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)

    Para pembaca yang mulia, dari bahasan di atas dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya:

    1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam yang harus dipelihara.

    2. Syi’ar kebersamaan tersebut akan pudar manakala umat Islam di masing-masing negeri bercerai-berai dalam mengawali dan mengakhiri shaum Ramadhannya.

    3. Ibadah yang bersifat kebersamaan semacam ini keputusannya berada di tangan penguasa umat Islam di masing-masing negeri, bukan di tangan individu.

    4. Shaum Ramadhan bersama penguasa dan mayoritas umat Islam merupakan salah satu prinsip agama Islam yang dapat memperkokoh persatuan mereka, baik si penguasa tersebut seorang yang adil ataupun jahat. Karena kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa. Terlebih manakala ketentuannya itu melalui proses ru‘yatul hilal di sejumlah titik negerinya dan sidang-sidang istimewa.

    5. Realita membuktikan, bahwa dengan bershaum Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas umat Islam) benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya ketika umat Islam berseberangan dengan penguasanya, suasana perpecahan di tubuh umat pun demikian mencolok. Yang demikian ini semakin menguatkan akan kewajiban bershaum Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas umat Islam).

    Wallahu a’lam bish-shawab.

    1 Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

    الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

    “Shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/ Iedul Adha di hari kalian berkurban.”

    2 Beliau merupakan salah satu ulama yang berpendapat bahwasanya pelaksanaan shaum Ramadhan dan Idul Fithri di dunia ini hanya dengan satu mathla’ saja, sebagaimana yang beliau rinci dalam kitab Tamamul Minnah hal. 398. Walaupun demikian, beliau sangat getol mengajak umat Islam (saat ini) untuk melakukan shaum Ramadhan dan Iedul Fithri bersama penguasanya, sebagaimana perkataan beliau di atas.

    Sumber : http://www.asysyariah.com, dinukil dari http://www.ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=368 Oleh Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc, Judul: Puasa Ramadhan Bersama Pemerintah

    Diarsipkan pada: http://qurandansunnah.wordpress.com/

  23. Dasar Hukum Hisab Imkanur-rukyat
    Selain didasarkan pada ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan Hisab, Hadits yang dijadikan pijakan hisab imkanur-rukyat antara lain:
    اِذَا رَأيْتُمُ الـهِلاَلَ فَصُوْمُوا واِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَاِن غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا (رواه مسلم)
    Apabila kalian melihat hilal, maka shaumlah dan jika kalian melihatnya (kembali) maka ahirilah shaum. Tetapi jika terhalang (yang menyebabkan hilal tidak tampak) shaumlah 30 hari (Muslim 1808)
    صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
    Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh”. (Bukhori 1776)
    صُوْمُوا لِرُؤيَتِهِ وَافطِرُوا لِرُؤيَتِهِ فَاِنْ غَبِيَ عَلَيكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلآثِينَ (متفق عليه)
    Berpuasalah bila kalian melihatnya (hilal) dan ahirilah shaum bila kalian melihatnya (hilal). Tetapi jika terhalang maka genapkanlah bilangan Sya’ban 30 hari.
    لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ (رواه مسلم)
    Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat Hilal dan jangan pula berbuka hingga melihatnya kembali. Namun, jika tertutup dari pandanganmu, maka hitunglah/ tetapkanlah (30 hari) . (Muslim 1795)
    صُوْمُوا لِرُؤيَتِهِ وَافطِرُوا لِرُؤيَتِهِ فَاِنْ حَالَ بَبْنَكُم وَبَيْنَهُ سَحَابٌ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلآثِينَ (رواه أحمد بن حنبل)
    Berpuasalah bila kalian melihatnya (hilal) dan ahirilah shaum bila kalian melihatnya.Tetapi jika antara kalian dengan hilal terhalang awan, maka genapkanlah bilangan Sya’ban 30 hari.
    صُوْمُوا لِرُؤيَتِهِ وَافطِرُوا لِرُؤيَتِهِ فَاِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُم فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلآثِينَ (رواه مسلم)
    Berpuasalah bila kalian melihatnya (hilal) dan ahirilah shaum bila kalian melihatnya (hilal). Tetapi jika terhalang maka tetapkanlah (shaum) 30 hari. (Muslim 1796)
    Lafadz-lafadz : فَاِنْ غَبِيَ عَلَيكُمْ- فَاِنْ حَالَ بَبْنَكُمء وَبَيْنَهُ سَحَابٌ – فَاِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُم – فَاِن غُمَّ عَلَيْكُمْ dalam hadits di atas terkandung makna bahwa jika hilal tidak terlihat atau terhalang (walaupun di atas ufuq) maka hilal tersebut dianggap tidak/belum wujud. Artinya posisi hilal zaman Rasulullah yang dijadikan patokan awal bulan tidak cukup bulan hanya berada di atas ufuq mar-i saja, tetapi harus juga memperhitungkan faktor cuaca atau harus memperhitungkan posisi bulan yang memungkinkan bulan dapat terlihat sebagai hilal, karena hilal adalah cahaya pertama yang dipantulkan bulan setelah ijtima atau qomar mar-i. Agar bulan menjadi hilal (saat maghrib setelah ijtima) tidak cukup hanya berada di atas ufuk saja, tetapi bulan (yang berada di atas ufuk) tersebut harus memungkinkan untuk diamati/dirukyat (Imkan-rukyat).
    Berdasarkan dalil di atas jelas kriteria WH bertentangan dengan hadits-hadits tersebut di atas,

  24. Kelemahan Kriteria Wujudul Hilal

    Walaupun kriteria wujudul-hilal sangat sederhana dan relatif mudah, tetapi tidak didukung argumen ilmiah dan dalil yang qath’i, tetapi hanya berdasarkan ijtihadiyah. Tidak ada dalil yang menyatakan dengan tegas bahwa awal bulan ditetapkan jika setelah ijtima matahari terbenam mendahului bulan atau bulan masih berada di atas ufuk pada waktu ghurub (matahari terbenam). Quran Surat Yasin ayat 39-40 yang dijadikan dalil wujudul hilal sebenarnya menegaskan bahwa matahari dan bulan masing-masing memiliki peredaran yang berbeda (kullun fi falakin yasbahun) tidak ada kaitan dengan awal bulan (hilal). Kelemahan lain dari kriteria wujudul-hilal adalah variabelnya terlalu disederhanakan, yaitu hanya mengandalkan variabel ijtima & irtifa saja serta mengabaikan faktor/variabel lain yang berpengaruh pada penampakan hilal. Agar bulan bisa tampak sebagai hilal tidak hanya ditentukan oleh irtifa/ketinggian bulan saat ghurub saja, tetapi tergantung pula pada jarak busur-bulan matahari, umur bulan, iluminasi bulan (ketebalan hilal), kecerlangan langit, faktor cuaca dan variabel lainnya. Sehingga kriteria tersebut kurang tepat menggunakan istilah ‘wujudul hilal’ tapi lebih tepat istilahnya wujudul qomar, karena hanya menghisab hisab posisi bulan wujud di atas ufuk saat maghrib setelah terjadinya ijtima. Dalam astronomi pun tidak dikenal bahwa bulan dalam posisi tersebut sebagai hilal.

  25. […] Tulisan terbanyak dibaca 2 hari terakhir Konsep Geosentrik yang Usang Menginspirasi Wujudul HilalMuhammadiyah Terbelenggu Wujudul Hilal: Metode Lama yang Mematikan Tajdid HisabAnalisis Garis […]

  26. Assalamu’alaikum Wr. Wb. @ Pak Profesor T. JAMALUDIN : Apakah Hari Kamis besok tanggal 19 Juli 2012 ketika saat Matahari terbenam secara Hisab ilmu Falaq ( Astronomi ) Bulan sudah diatas ufuk apa belum ….. ?

    • Pada sa’at matahari terbenam hari Kamis, 19 Juli 2012 (malam Jumat), di seluruh Indonesia bulan sudah positif berada di atas ufuk (tinggi hilal kurang dari 2°)
      Tetapi posisi bulan tersebut belum wujud menjadi hilal, karena berada dalam wilayah hamburan cahaya matahari, sehingga tidak visibel untuk terlihat sebagai hilal atau bulan belum wujud menjadi hilal

      • Tapi anehnya itu orang-orang pintar dan berpendidikan, sudah tahu hilal kondisinya begitu tapi tetap saja mengirim Tim Rukyat…

        Orang-orang pintar memang punya selera humor yang tinggi… 😀

      • @ ivan : Lebih aneh lagi, orang2 pintar dan berpendidikan lainnya berkoar-koar si anu atau golongan anu membodohi/memecahbelah umat. Padahal dia (golongannya) sendirilah yang telah memulai memecahbelah.

      • @Ornie,
        Tergantung kita melihatnya dengan kacamata siapa…

        Dahulu, usaha KH Ahmad Dahlan mengkoreksi arah kiblat menjadi arah yang benar sesuai iptek, dipandang oleh orang yang memakai kacamata orang jumud, adalah sebagai usaha pemecah belah…

  27. Assalamu’alaikum Wr. Wb. Saya awam di bidang astronomi, Prof. Untuk itu mohon penjelasan anda. Dalam pemaparan anda diatas dikatakan keberadaan bulan diatas ufuk sebagai pertanda masuknya bulan baru. Pertanyaan saya, adakah metode hisab (perhitungan) murni yang terjamin keakuratannya untuk mengetahui keberadaan bulan diatas ufuk sehingga secara astronomi tidak terlalu diperlukan konfirmasi visibility? Apakah selama ini pemenuhan aspek visibilitynya lebih untuk memenuhi segi syar’inya saja? Sebelumnya terima kasih untuk jawaban anda. Wassalam

  28. mampir bentar,kalo dipikir pikir menentukan sesuatu terjadi di masa yang akan datang itu namanya ngramal walaupun dengan data yang akurat atau apa(beda tipis menghitung untuk nanti sama ngramal) la biar hitungan itu ga jadi ramalan ( ngramal itu ga boleh loh) harus ada kejadian pendudkung otentik..mungkin ilmu dan alat astronimi itu lah sarananya…soalnya sapa tau ada kejadian diluar kebiasaan misalnya rotasi bulan sedikit melambat karna kejadian alam pemuluran dan dan kejadian astronomi lainya bisa jadikan terjadi mohon diluruskan klo kliru huallah hua.lam bswb ….selamat bekerja proff

    • idem. Apalagi disebutkan suatu saat nanti matahari akan terbit dari barat, jadi tentu kemungkinan pemoloran itu oleh sebab entah apa bisa saja terjadi.

  29. Argres, on 26 Mei 2012 at 10:01 said:
    Maksa??? Maksa goendoelmoe kinclong ituu

    Argres, on 27 Mei 2012 at 19:30 said:
    Benar2 profesor prekethek sampeyan ini..

    Argres, on 27 Mei 2012 at 20:48 said:
    “Butir 1 kriteria IR lokal tanpa bukti rukyat” ​
    ƗƗɑƗƗɑƗƗɑƗƗɑ.. ☺​☺, kegoblokan mana lagi yg hendak disampaikan? Mas Djamal.., mas Djamal…
    Mending saya pesan Empal Genthonk aja dech.. Hemmmmh

    dari komen bung sampeyan (sebut saha Argres), terlihat kualitas yang dari bung sampeyan. sarkas, ashobiyah

    • blm pantas menyandang gelar ustadz apatah lagi ulama. Sama dengan preman pinggir jalan. Sayang padahal ilmunya cukup tinggi bagi saya.

  30. Asik baca komentar orang pinter2 … sehingga org awam gk bisa faham2… alias semakin terpuruk … kasihan ya org awam apalagi saat baca komentar2 org pinter yg tidak punya tata keramah, maaf ya bapak2 yg pinter2 anda semua sangat mudah mematahkan komentar saya ini bahkan bisa menghina2 komentar saya ini…. tunggu aja kami org awam akan mempunya faham sendiri dan menjauh dari faham anda2… semoga kiamat cepat datang sehingga kami org awam gk repot2 pusing dengan ego dan emosi anda2 semua… Ya Allah ampunilah diri saya yg bodoh ini…. dan berilah hidayah buat org2 berilmu diantara kami…

  31. @Djamaluddin
    Sedikit saran: ketika anda mengupdate konten blog sejak pertamakali dipublish, tolong cantumkan catatan kalau anda telah merubah sebagian isi tulisan. Hal ini agar anda tetap adil terhadap pembaca yang meninggalkan pesan terhadap tulisan lama, dan juga bentuk kejujuran bahwa tulisan dalam blog ini memang tambal-sulam.

    Mari kita baca ayat lengkap QS Yaasin (36):38-40:

    Kalau anda bersedia untuk lebih objektif, seharusnya anda tidak perlu dengan sengaja meninggalkan satu ayat sebelumnya:

    QS 36:37 “Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan.”

    Jadi ayat 38 tidak berdiri sendiri, masih dalam konteks pergantian siang dan malam. Menuliskan ayat 37 sebagai permulaan dari ilustrasi Alquran terhadap perubahan siang-malam dan manzilah-manzilah bulan adalah bentuk argumentasi kasar yang terlalu dipaksakan. Dan seperti yang sudah ditunjukkan oleh seorang pembaca di entri blog “Hanya karena Membela Bid’ah ….”, banyak ayat Alquran yang mendeskripsikan perjalanan matahari secara geosentrik. Mengapa anda masih tutup mata terhadap fakta ini?

    • Sedikit kesalahan tulisan tapi cukup fatal:

      Menuliskan ayat 37 sebagai permulaan dari ilustrasi Alquran …

      Seharusnya ditulis:
      Menuliskan ayat 38 sebagai permulaan dari ilustrasi Alquran …

    • Interpretasi perjalanan matahari secara geosentrik hanyalah tafsir lama yang tidak didukung fakta ilmiah astronomis. Matahari itu ukurannya 1,3 juta kali bumi, tidak mungkinlah matahari mengelilingi bumi.

      • Saya tidak berbicara tentang fakta astronomi, tapi berbicara bagaimana ayat-ayat Alquran menggambarkan tentang matahari dan bulan beserta perjalanan / peredaraanya. Silakan berargumentasi secara objektf dengan menjawab beberapa komentar di tulisan yang saya sebut di atas. Seperti yang anda tulis sendiri “tafsir terbaik Al-Quran adalah dengan ayat Al-Quran juga”, maka silakan buktikan kalau penafsiran heliosentrik adalah tafsiran paling logis terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan matahari, bulan, serta fenomena siang dan malam.

    • Tanpa mengubah substansi, tambahan penjelasan QS 36:38-40 untuk memperkuat argumentasi bahwa interpretasi tunggal QS 36:40 yang dikaitkan dengan wujudul hilal sangat tidak berdasar.

      • Anda salah. Saya tidak membela bagaimana WH dirumuskan, tetapi mengritik bagaimana anda menyalahkan WH hanya dengan alasan tafsir yang bernuansa geosentrik. Argumentasi anda lemah karena pada dasarnya Alquran banyak menggambarkan fenomena alam dari sudut pandang pengamatan manusia. Contoh lain yang mudah ditemui (karena sering dibaca):

        (91:1) Demi matahari dan cahayanya di pagi hari,
        (91:2) dan bulan apabila mengiringinya,

        Sekali lagi ayat seperti ini hanya mempunyai arti ketika perjalanan matahari dan bulan dilihat relatif terhadap pengamat di bumi. Bagaimana anda bisa menghubungkan dua ayat tersebut dengan memaksaan bahwa orbit matahari dan orbit bulan sangat berbeda?

        Sekali lagi, saya hanya berharap agar Pak Djamaluddin benar-benar ilmiah, jujur, dan adil dalam mengemukakan fakta dan pendapat.

      • Setiap orang berhak menafsirkan sendiri. Tetapi ilmu pendukung perlu untuk melandasinya. Saya menjelaskan dengan pemahaman sains-astronomi, karena peredaran bulan dan matahari dipelajari dengan rinci dalam astronomi.

      • Saya tidak tahu ilmu apa yang Pak Djamaluddin ingin sebutkan di sini. Ilmu astronomi yang mendasari peredaran matahari, bumi, dan bulan bisa dimengerti dengan baik oleh anak SMA, atau mungkin juga anak SD yang berbakat. Saya tidak melihat kepakaran anda tentang astronomi memberi perbedaan yang berarti dalam konteks ini.

        Pak Djamaluddin sedang berbicara menggunakan iman Pak Djamaluddin bahwa Alquran adalah Firman Allah SWT yang harus sesuai dengan ilmu pengetahuan, ditambah keyakinan atas salah satu penafsiran, bukan sebagai seorang ilmuwan yang ilmiah dan objektif.

  32. Yth. Djamal
    Saya punya usulan, salah satu solusi untuk dapat menyatukan persepsi yang dapat dipakai untuk menyusun kalender hijriyah global bagaimana jika kriteria imkan rukyat adalah mekah tetapi berlaku global?

    Pak Djamal, pengetahuan saya tentang falak sangat terbatas. Yang saya ingin tahu lebih jauh dan ini sangat penting untuk menuju persepsi yang sama dalam penentuan awal bulan hijriyah, apakah berdasarkan dari data empirik, jika di Mekah posisi bulan baru sudah imkan rukyat berarti seluruh dunia posisi bulan sebelum maghrib minimal sudah di atas ufuk atau paling tidak 0 derajat? Jika memang demikian, maka ada hikmah di balik hadits nabi tentag hilal, sehingga jika kita mempunyai mimpi adanya kelender hijriyah global maka kriteria hadits nabilah yang seharusnya kita jadikan acuan, yaitu posisi bulan di salah satu belahan bumi (dalam hal ini di mekah) sudah imkan rukyat sedangkan di belahan bumi lain posisi bulan sebelum maghrib sudah ijtima’,

    Saya tidak antipati terhadap kriteria Wujudul Hilal tetapi kriteria WH tersebut jika akan diberlakukan secara global akan banyak menghadapi tantangan. Jika pun yang dijadikan patokan adalah Mekah, maka hampir dapat dipastikan terjadi jika pada akhir bulan Hijriyah tertentu posisi bulan di Mekah pada saat sebelum terbenam matahari sudah berada di atas ufuk dengan posisi sangat rendah, maka di belahan dunia posisinya masih berada di bawah ufuk.

    Konsep wilayatul hukmi kriteria WH di Indonesia saja sebenarnya mudah diperdepatkan. Contohnya yang terjadi dalam penentuan (saya lupa, bulan ramadhan atau syawal) beberapa tahun lalu, ketika posisi bulan sebelum sebelum matahari terbenam di belahan selatan Indonesia sudah sekitar < 0,5 derajat tetapi di bagian utara Indonesia masih ada yang di bawah ufuk. Apalagi jika kriteria Wujudul Hilal tersebut akan diperlakukan secara global?

    Sekedar wacara usulan bagi Pak Thomas, sekali lagi saya tanyakan apakah ketika pada akhir bulan Hijriyah posisi bulan di belahan bumi sudah Imkan Rukyat (dalam hal ini bisa saja yang dijadikan patokan adalah mekah) berarti diseluruh belahan bumi posisi bulan sudah ijtima' sebelum maghrib? Jika memang demikian, itulah salah satu hikmah Hadits Nabi SAW tentang hilal, sehingga Nabi memakai kriteria tersebut.

    Kadang-kadang banyak di antara kita dalam menyikapi ketentuan dalam Al-Quran maupun Hadits kurang memperhatikan atau minimal belum mengetahui hikmah yang terkandung di dalamnya.
    Wassalam.

    • Kalender bukan hanya konsep, tetapi dalam implementasinya perlu kesepakatan para penggunanya. Menjadikan Mekkah sebagai rujukan bisa saja, tetapi untuk menacapi itu perlu kesepakatan global. Itu tidak mundah. Lebih baik kita bangun kesepakatan nasional dulu untuk persatuan tingat nasional dulu, kemudian ditingkatkan ke regional, dan global. Tidak ada gunanya kita menggagas kalender global kalau tak diimplemtasikan,sementara di sekitar kita perbedaan tak diselesaikan dahulu.

  33. Memang apa yang saya kemukakan ini adalah baru suatu konsep, tetapi konsep tersebut belum pernah saya dengar sebelumnya, dan mudah-mudahan bisa menjadikan solusi dalam penentuan awal bulan hijriyah.

    Supaya pembaca tidak rumit memikirkan konsep yang saya usulkan maka secara mudahnya konsep saya adalah “Awal bulan hijiriyah dimulai ketika pada saat tertentu di seluruh permukaan bumi sudah terjadi ijtima’ sebelum maghrib dengan tidak memandang berapa ketinggiannya, karena tentunya akan berbeda ketinggian bulan antara wilayah yang dan lainnya”. Jadi kriteria yang saya tawarkan bukan Wujudul Hilal, Imkanur Rukyat, maupun Rukyat.

    Dengan konsep ini maka:
    1. Kriteria Wujudul Hilal tidak bisa dipakai, karena sangat bisa terjadi suatu kasus dimana disalah satu belahan bumi posisi bulan sudah Ijtima’ sebelum magrib sementara dibelahan bumi posisi bulan pada saat magrib belum terjadi ijtima’:
    2. Kriteria Imkan Rukyat di belahan bumi tertentu (misalnya rujukannya Mekah, namun tidak harus) berpotensi bisa dipakai sebagai kriteria penentuan awal bulan Hijriyah, namun masih memerlukan kajian selanjutnya.

    Wassalam

    • Susah pak Hasan,
      Kalau orang sudah terbelenggu konsep Visibilitas Hilal dan Konsep Turunannya (contohnya Konsep Matlak Lokal)… Solusi yang dihasilkan oleh orang-orang terbelenggu tsb HANYA AKAN TERLIHAT BAGUS DAN ILMIAH DI ATAS KERTAS, TAPI AKAN BIKIN SUSAH KALAU DITERAPKAN…

      Coba saja lihat, sudah bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun Para Pakar Islam sibuk bikin seminar dll, sampai saat ini tidak ada satu solusi pun bagaimana seharusnya Kalender Hijriyah itu agar bisa dipakai mudah dan multi fungsi baik urusan administrasi dunia dan ibadah di seluruh dunia…

      • Ya, memang jika terbelenggu terhadap kriteria yang menjadi keyakinannya (wujudul hilal, imkan rukyat, dan rukyat atau lainnya) tanpa mau mengakomodir kriteria lainnya maka sampai kapanpun akan sulit untuk mencapai kesepakatan satu kriteria penentuan awal bulan hijriyah secara global. Dan alangkah lebih bijaksananya, jika para ahli falak dalam membuat konsep kriteria awal bulan hijriyah dalam rangka menuju penyatuan kalender hijriyah global maka konsepnya tersebut juga harus bisa diimplementasikan secara global. Jadi tidak hanya konsep regional apalagi lokal.

        Saya pikir semua ahli falak sepakat bahwa fase dimulainya bulan baru hijriyah adalah ketika terjadi konjungsi. Dan jika mengikuti sebagian besar pendapat fuqaha, maka pergantian hari hijriyah adalah pada saat maghrib. Dengan demikian fase bulan baru dimulai ketika terjadi konjungsi sebelum magrib. Cuma masalahnya yang menjadi perbedaan adalah sejak kapan setelah terjadinya konjungsi tersebut kemudian dihitung sebagai bulan baru? Apakah asalkan sudah terjadi konjungsi sebelum maghrib (Wujudul Hilal), apakah persyaratan konjungsi sebelum maghrib tersebut harus disertai syarat tambahan berupa hilal diperkirakan sudah dapat dilihat (Imkan Rukyat), ataukah persyaratan konjungsi sebelum maghrib tersebut harus disertai syarat tambahan berupa hilal terbukti dapat dilihat (Rukyat)?

        Dalam rangka mencapai kesepakatan penyatuan kriteria penentuan awal bulan hijriyah secara global, sebenarnya baik kriteria Wujudul Hilal, Imkan Rukyat, dan Rukyat ada lebih dan ada kurangnya.

        Pada kriteria Wujudul Hilal, misalnya: dapat terjadi pada suatu saat di belahan bumi tertentu sudah terjadi konjungsi sebelum maghrib tetapi di belahan bumi lainnya pada saat itu juga konjungsi baru terjadi setelah maghrib. Jika konsep Wujudul Hilal akan diimplementasikan secara global, maka hampir dapat dipastikan akan terjadi pertanyaan yang memunculkan perbedaan pendapat, alasan apa sehingga pada saat itu sudah dihitung sebagai bulan baru secara global padahal fase bulan baru (konjungsi sebelum maghrib) hanya terjadi di sebagian wilayah bumi?

        Pada kriteria Imkan Rukyat, misalnya: dapat terjadi pada suatu saat di seluruh belahan bumi sudah terjadi konjungsi sebelum maghrib tetapi sesuai kriteria Imkan Rukyat yang ditetapkan, maka pada saat itu diperkirakan hilal belum dapat dilihat secara kasat mata. Jika konsep Imkan Rukyat akan diimplementasikan secara global, maka hampir dapat dipastikan akan terjadi pertanyaan yang memunculkan perbedaan pendapat, alasan apa sehingga pada saat itu secara global belum dihitung sebagai bulan baru padahal fase bulan baru (konjungsi sebelum maghrib) di seluruh belahan bumi sudah terjadi?

        Pada kriteria Rukyat, misalnya: dapat terjadi pada suatu saat di seluruh belahan bumi sudah terjadi konjungsi sebelum maghrib dan diperkirakan tetapi hilal belum dapat dilihat secara kasat mata, namun pada kenyatannya hilal belum dapat dirukyat secara kasat mata. Jika konsep Rukyat akan diimplementasikan secara global, maka hampir dapat dipastikan akan terjadi pertanyaan yang memunculkan perbedaan pendapat, alasan apa sehingga pada saat itu secara global belum dihitung sebagai bulan baru padahal fase bulan baru (konjungsi sebelum maghrib) di seluruh belahan bumi sudah terjadi dan diperkirakan hilal sudah dapat dilihat?

        Kesimpulannya adalah, demi tercapainya kesepakatan adanya satu kriteria penentuan awal bulan hijriyah dapat diwujudkan, maka semua perbedaan kriteria penentuan awal bulan hijriyah tersebut seyogyanya diakomodir semuanya. Dengan sebaiknya dibuat konsep kriteria baru yang dapat diterima oleh semua pihak.

        Sekedar wacana dan mudah-mudahan dapat menjadi bahan renungan/pemikiran bagi semua pihak, saya mempunyai konsep dalam penentuan awal bulan hijriyah yang berlaku secara global yang mudah-mudahan bisa mengakomodir beberapa kriteria yang ada, yaitu: “AWAL BULAN HIJRIYAH DIMULAI KETIKA PADA SAAT TERTENTU DI SELURUH PERMUKAAN BUMI SUDAH TERJADI KONJUNGSI (IJTIMA’) SEBELUM MAGHRIB DENGAN TIDAK MEMANDANG KETINGGIANNYA, KARENA TENTUNYA AKAN BERBEDA KETINGGIAN BULAN ANTARA BELAHAN BUMI YANG SATU DAN YANG LAINNYA”

        Sekian, Wasalaamu’alaikum.

      • Kriteria ijtimak bablal ghurub mirip dengan WH, merupakan penyederhanaan dari kriteria imkan rukyat dengan syarat minimal. Secara astronomi, itu juga keliru. Astronomi dalam mengkaji kalender Islam tetap karus mendasarkan pada ketentuan syariat yang mengaturnya. Astronomi tidak membuat kalender bulan sendiri. Astronomi bisa membantu membuat kalender semua agama dengan kriteria masing-masing. Kalender bulan Hindu, mungkin berbeda kriterianya dengan Budha, China, Islam, dan lainnya. Astronomi newmoon (ijtimak) hanyalah definisi ketika bulan dan matahari segaris bujur, tetapi tidak pernah dipakai sebagai batasan dalam pembuatan kalender.

      • 1. jika ketinggian hilal > 6* maka gunakan Imkanur Rukyat
        2. jika ketinggian hilal < 6* maka gunakan Wujudul Hilal
        pertimbangan:

        1. menggunakan Imkanur Rukyat
        a. “Berpuasalah kamu karena melihat dia [hilal] dan berbukalah kamu karena melihat dia [hilal].”
        b. dengan derajat 6* lebih mendekati kreteria astronomi untuk bisa melihat hilal dengan jelas tanpa keraguan sehingga tidak menimbulkan polemik

        2. menggunakan Wujudul Hilal
        a. “Jika kamu melihat dia (hilal) maka berpuasalah kamu, dan jika kamu melihat dia (hilal) maka berbukalah, jika pandangan kamu terhalang mendung maka perkirakanlah.”
        b. kreteria WH memastikan terlihatnya hilal muncul di 180* bujur barat meskipun belum terlihat di tempat lain sehingga lebih cocok dipakai untuk rukyat global atau kalender internasional

        meskipun begitu ini tetap tidak bisa digunakan untuk membuat kalender, namun bisa dipakai untuk sementara waktu,,

        from: mas Sterie

  34. Saya pernah baca buku AL KISAH No. 21/8-21 Okt 2007 Hal. 143-144 tentang Kisah Ulama “ K.H. Turaichan Adjuri “ Lahir di Kudus Tahun 1916, beliau pernah menentukan waktu I’dul Fitri Tahun 1990 yang berbeda dengan Pemerintah. Dan juga menentang Maklumat Pemerintah yang menyeru agar masyarakat bersembunyi di rumah-rumah ketika gerhana matahari, dan beliau juga menganjurkan umat melihat gerhana dan mendirikan sholat gerhana. KH. Turaichan adalah kisah kecil dari “ pembangkangan kaum” astronom dalam menghitung waktu, sebagaimana kisah besarnya adalah GALILEO yang terpenjara di Kota Arcetri ITALIA pada tahun 1632, karena menebar Mahdzhab HELIOSENTRISME – Bahwa Matahari adalah pusat semesta alam – seperti ditulisnya dalam Scrip Dialogue. .. GALILEO subversib terhadap doktrin Gereja di bawah otoritas PAUS URBANUS yang GEOSENTRISME. Adapun GALILEO adalah pendukung COPERNICUS, tetapi K.H. Turaichan adalah penyokong Kitab AL MATHLA’US SA’ID dari Mesir yang banyak mempengaruhi pemikiran beliau. Ilmu Falak adalah ilmu waktu. Dunia Bisnis mengenal waktu adalah uang Orang Jawa menyebutnya Pakuwon (Ilmu), sedang dalam islam waktu adalah Ibadah. Pak Prof. Djamaludin saya sempat lihat artikel 23 tahun dalam agenda Sidang Isbat Tahun 1991 M/1441 Hhttp://rukyatulhilal.org/artikel/23-tahun-isbat-indonesia.html, bahwa Ijtimak’/Konjungsi ( Posisi Bulan Segaris dengan Matahari dan Bumi / Tusuk Sate ) Tgl. 15-04-1991 terjadi pukul 02.40 wib dan hasil Ru’yat tanggal Tgl. 15-04-1991 adalah tinggi hilal 3° 35′ dan hasil sidang isbat Klaim rukyat Pelabuhan Ratu, Cakung, Klender diterima, “ Apakah Pak Prof. Mengalami / mengetahui Kejadian Waktu itu …….?

  35. Saya pernah baca buku AL KISAH No. 21/8-21 Okt 2007 Hal. 143-144 tentang Kisah Ulama “ K.H. Turaichan Adjuri “ Lahir di Kudus Tahun 1916, beliau pernah menentukan waktu I’dul Fitri Tahun 1990 yang berbeda dengan Pemerintah. Dan juga menentang Maklumat Pemerintah yang menyeru agar masyarakat bersembunyi di rumah-rumah ketika gerhana matahari, dan beliau juga menganjurkan umat melihat gerhana dan mendirikan sholat gerhana. KH. Turaichan adalah kisah kecil dari “ pembangkangan kaum” astronom dalam menghitung waktu, sebagaimana kisah besarnya adalah GALILEO yang terpenjara di Kota Arcetri ITALIA pada tahun 1632, karena menebar Mahdzhab HELIOSENTRISME – Bahwa Matahari adalah pusat semesta alam – seperti ditulisnya dalam Scrip Dialogue. .. GALILEO subversib terhadap doktrin Gereja di bawah otoritas PAUS URBANUS yang GEOSENTRISME. Adapun GALILEO adalah pendukung COPERNICUS, tetapi K.H. Turaichan adalah penyokong Kitab AL MATHLA’US SA’ID dari Mesir yang banyak mempengaruhi pemikiran beliau. Ilmu Falak adalah ilmu waktu. Dunia Bisnis mengenal waktu adalah uang Orang Jawa menyebutnya Pakuwon (Ilmu), sedang dalam islam waktu adalah Ibadah. Pak Prof. Djamaludin saya sempat lihat artikel 23 tahun dalam agenda Sidang Isbat Tahun 1991 M/1441 H, http://rukyatulhilal.org/artikel/23-tahun-isbat-indonesia.html
    bahwa Ijtimak’/Konjungsi ( Posisi Bulan Segaris dengan Matahari dan Bumi / Tusuk Sate ) Tgl. 15-04-1991 terjadi pukul 02.40 wib dan hasil Ru’yat tanggal Tgl. 15-04-1991 adalah tinggi hilal 3° 35′ dan hasil sidang isbat Klaim rukyat Pelabuhan Ratu, Cakung, Klender diterima, “ Apakah Pak Prof. Waktu itu sudah menjadi Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI …….?

  36. Saya orang awam, tapi membaca diskusi di atas, saya lebih condong menyepakati pendapat Bpk Thomas Djamaludin dan Bpk Iqbal Santoso. Semoga dapat mencerahkan lebih banyak lagi ummat Islam yang kebingungan di tengah perbedaan penetapan awal bulan qamariyah. Dan saya condong kepada keputusan Pemerintah RI sebagai satu-satunya pihak yang berhak menetapkan sesuatu urusan yang ditujukan untuk kemaslahatan seluruh rakyat….

    • bener sekali bapak Dadang, Pemerintah memang satu-satunya pihak yang berhak menetapkan sesuatu urusan yang ditujukan untuk kemaslahatan seluruh rakyat, seperti menaikkan harga BBM, impor beras, pengurangan subsidi, kenaikan TDL, menjual aset negara, dll.

  37. saya mengutip komentar pak Djamal dalam artikel yang lain

    tdjamaluddin, on 3 September 2011 at 23:17 said:
    Astronomi tidak boleh menggunakan perasaan, harus ada hitungannya. Untuk kesimpulan pribadi silakan, tetapi jangan dijadikan rujukan untuk publik,

  38. Baik Prof. Djamaluddin maupun Organisasi Muhammadiyah… Ketahuilah bahwa tidaklah penting penentuan awal Ramdhan antara Ru’yah dan Hisab, oleh karena persoalan tersebut adalah persoalan fiqiyyah, furu’iyyah dan khilafiyah. Yang jauh lebih penting adalah SIAPA yang kalian ikuti? Inilah persoalan aqidah yang menyebabkan puasa kalian -juga seulurh amal kebaikan- kalian akan terhapus. Barang siapa yang mengikuti keputusuan Pemerintah, makan ketahuilah bahwa dirinya telah tunduk patuh kepada thoghut. Ya … mereka memang thoghut. Pemerintah RI memang Thoghut, mereka besar-besarkan persoalan fiqiyyah sedangkan persoalan aqidah mereka anggap sampah. Hukum Jahiliyah Pancasila dan UUD biang kerusakan umat, Demokrasi barat demikian pula, Kapitalisme Ribawy brata tak ubahnya pula. Kalian NGOTOT mendasarkan kepada Al-Quran dan As-Sunnah terhadap 1 masalah saja: Penentuan awal dan akhir Ramdhan, sedangkan hampir 99% aspek kehidupan manusia lain kalian buta -atau pura-pura buta-. Akhirnya, baik Pemerintah (thoghut) maupun Muhammadiyah adalah kaum yang PALING LANCANG dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan. Iya… hak menentukan awal dan Ramadhan adalah hak KHALIFAH. Bukan hak pemerintah Thoghut (mereks menyesatkan umat dengan melebeli Ulil Amri?). Tentag hak Khil;afah ini, lihat: http://www.abubaseer.bizland.com tentang masailun wa ahkamun Ramadhaniyah

    • Kalo sekarang yang jadi Khalifah Pemimpin Seluruh Umat Islam di muka bumi siapa ?…
      Boleh tahu namanya dan tempat tinggalnya ?… Sudah diakui umat Islam dari negara mana saja ?…

      Janganlah kita terlalu naif, selalu menyandarkan semua solusi permasalahan yang ada di kalangan umat Islam sekarang dengan “Kunci Sakti” Kekhalifahan…
      Seakan-akan bila Kekhalifahan Terbentuk Kembali, Bereslah semua permasalahan…

      .

      Kekhalifahan Terbentuk Kembali pun (semoga Alloh swt memberi kemudahan agar umat Islam sedunia bisa mewujudkan ini, amin…), bila :

      – Garis Batas Penanggalan Hijriyah harus berubah-ubah mengikuti Garis Penampakan Hilal,
      – Metoda Penetapan Awal Bulan HARUS SELALU menggunakan Metoda Menunggu Laporan Rukyat,

      Maka PERMASALAH KALENDER HIJRIYAH INI TIDAK AKAN BERES-BERES JUGA…

  39. “Matahari juga, tetapi secara semu, berjalan mengelilingi bumi [Sesungguhnya bumilah yang mengelilingi matahari]. Dalam perjalanan keliling itu Bulan dapat mengejar matahari sebanyak 12 kali dalam satu tahun, yaitu saat terjadinya ijtimak, yaitu saat Bulan berada antara matahari dan bumi. Saat terjadinya ijtimak menandai Bulan telah cukup umur satu bulan karena ia telah mencapai titik finis dalam perjalanan kelilingnya. Oleh karena itu kita dapat memanfaatkannya”

    dalam kutipan itu sudah jelas bumi bukan sebagai pusat, dijelaskan secara semu matahari mengelilingi bumi. ini kan sangat jelas, bahkan ini adalah materi pelajaran SD, sangat tidak mungkin jika anda tidak memahami hal tersebut.

    Ada 2 kemungkinan :
    1. Anda tidak memahami hal tersebut
    2. Anda sengaja salah menafsirkan kalimat tersebut, untuk membodohi umat.
    saya sangat berharap ada kemungkinan yang lain…..

    • Ass wr wb.
      Matahari dan bulan sama2 bergerak semu ke barat, terbit ditimur dan terbenam dibarat adalah disebabkan karena rotasi bumi kearah timur.
      Karena matahari “relatif” tetap sedangkan bulan bergerak kebarat mengelilingi bumi, maka setiap hari posisi bulan akan selalu meninggalkan=mendekati posisi matahari sebesar 12 derajat kurang sedikit.
      Setiap bulan matahari akan kembali sejjajar dengan bulan dan saat itu disebut sebagai ijtimak/konjungsi dimana matahari, bumi dan bulan berada pada satu bidang bujur.
      Konjungsi sendiri ada dua macam yaitu :
      1. Geographic Conjungtion.
      2. Topographic Conjungtion yg terjadi dua kali yaitu sebelum dan sesudah Geographic Conjungtion.
      Bulan mati mempunyai jedah waktu yaitu dimulai saat menghilangnya hilal diufuk timur – saat topographic conjungtion sebelum geographic conjungtion – saat ijtimak/konjungsi(saat puncak bulan mati) – saat topographic conjungtion setelah geogrphic conjungtion sampai saat penampakan hilal diufuk barat.
      Dalil syar’i mengisyaratkan bahwa akhir bulan hijriyah bukan “tepat” saat ijtimak/konjungsi yg mana saat itu adalah saat puncak bulan mati., melainkan setelah berakhirnya bulan mati yg ditandai dg penampakan hilal diufuk barat.
      Dengan demikian, keseluruhan jedah waktu bulan mati adalah termasuk akhir bulan hijriyah sehingga awal bulan hijriyah dimulai saat penampakan hilal.
      Wass wr wb.

      • Ass wr br.
        Maaf ada kesalahan, yaitu :
        TERTULIS : Karena matahari “relatif” tetap sedangkan bulan bergerak kebarat mengelilingi bumi, ……………………………
        SEHARUSNYA : Karena matahari “relatif” tetap sedangkan bulan bergerak ketimur mengelilingi bumi, …………………….
        Wass wr wb.

      • Mungkin pak Bambang perlu lebih hati-hati ketika posting untuk mencoba menjelaskan sesuatu yang mungkin sebenarnya bapak sendiri kurang begitu paham terhadap hal tersebut.
        – tidak ada istilah geographic dan topographic conjunction, tapi geocentric dan topocentric conjunction.
        – “Puncak bulan mati” tentu saja adalah kondisi ketika sinar matahari yang dipantulkan oleh bulan ke bumi paling sedikit. Dengan logika jelas kalau ini terjadi ketika sudut elongasi bulan paling kecil, yaitu waktu di sekitar terjadinya topocentric conjunction, yang berbeda-beda tergantung titik pengamatan yang menjadi acuan. Saya menggunakan “sekitar” karena memang waktu ini tidak akan tepat pada saat topocentric conjunction kecuali pada saat gerhana bulan (dikarenakan bidang orbit bulan yang membentuk sudut 5.1 derajat terhadap ekliptika).

      • Maaf, ternyata saya juga termasuk yang salah juga menuliskan: bukan gerhana bulan tetapi seharusnya gerhana matahari.

      • Ass wr wb.
        Pak Agus, terimakasih atas “koreksinya”, sekalian buat ralat postingan saya tsb.
        Memang kesempurnaan adalah milik Allah SWT dan manusia adalah gudangnya salah dan dosa.
        Wass wr wb.

  40. bambang supriadi, on 20 Agustus 2012 at 13:38 said:
    Ass wr wb.
    Haqqulyaqin pd Al Qur’an dan Hadist (dalil2 syar’I) adalah bagian dari RUKUN IMAN bagi umat muslim, karena itu mengikuti tuntunan dalil syar’i adalah mutlak, sedangkan usaha mengkaji dalil syar’i dg mencari pembenarannya berdasarkan logika dan iptek adalah dakwah Islamiah.
    Mencari pembenaran atas dalil2 syar’i sudah tentu akan menggunakan “akal pikiran”, sehingga apabila akal pikiran yang “terbatas” belum mampu menguak tabir misteri dalil syar’i maka tetaplah pada jalur IMAN yaitu tetap haqqulyaqin pada kebenaran dalil syar’i dan berdoa semoga Allah SWT menurunkan hidayahNYA.
    Meninggalkan dalil syar”i akibat “keterbatasan” akal pikiran dlm memainkan logika, sama artinya dg tindakan putus asa dalam menjaga IMAN yang akan berujung pada “lunturnya” IMAN.
    IMAN memang “menuntut” agar umat muslim menyadari bahwa akal pikiran manusia itu “tidak ada apa2nya” dibandingkan dengan kebenaran yg datang dr Allah SWT.
    Komunitas astronom internasional boleh saja sepakat dengan Teori Newmoon yg diajarkan dibangku sekolah/kuliah yg menyatakan bahwa “akhir bulan” adalah saat konjungsi/ijtimak yaitu saat “puncak bulan mati”.
    Namun para astronom muslim harus sadar bahwa Teori Newmoon itu “tidak Islami” karena tidak sesuai dg dalil syar’i yang mengisyaratkan bahwa “akhir bulan hijriyah” adalah saat “berakhirnya bulan mati” yg ditandai dg adanya “penampakan hilal”. Disamping itu, diisyaratkan pula bahwa pergantian hari/tanggal dan bulan adalah pd saat magrib.
    Karena itu, tgl 19 Juli 2012 sebelum magrib adalah merupakan hari ke 29 bln Syakban 1433 dimana dilaksanakan rukyatul hilal. Dan karena saat itu tidak ada penampakan hilal, maka bulan Syakban 1433 digenapkan menjadi 30hr, sehingga tgl 19 Juli 2012 magrib sampai dengan tgl 20 Juli 2012 magrib adalah hari ke 30 bln Syakban 1433,.
    Dengan demikian, mulai tgl 20 Juli 2012 magrib hingga tgl 21 Juli 2012 magrib adalah tgl 1 Ramadhan 1433, sehingga sholat tarawih dilakukan mulai pd tgl 20 Juli 2012 malam hari dan makan sahur serta puasa dilakukan mulai tgl 21 Juli 2012 pagi hari.
    Mengenai Idul Fitri, tgl 18 Agustus 2012 sebelum magrib adalah merupakan hari ke 29 bln Ramadhan 1433 dimana akan dilaksanakan rukyatul hilal.
    Pd tgl 18 Agustus 2012 magrib ketika dilaksanakan rukyatul hilal ternyata ada penampakan hilal, maka tgl 18 Agustus 2012 magrib sampai 19 Agustus 2012 magrib adalah tgl 1 Syawal 1433 (Idul Fitri), sehingga takbir dilaksanakan mulai tgl 18 Agustus 2012 magrib dan sholat Ied dilaksanakan pagi hari tgl 19 Agustus 2012.
    Seandainya pada saat rukyatul hilal tgl 18 Agustus 2012 ternyata tidak ada penampakan hilal, maka bulan Ramadhan 1433 digenapkan menjadi 30hr sehingga tgl 18 Agustus 2012 magrib sampai dengan tgl 19 Agustus 2012 magrib adalah hari ke 30 bln Ramadhan 2012, sedangkan tgl 19 Agustus 2012 magrib s.d. 20 Agustus 2012 magrib adalah tgl 1 Syawal1433. Jika demikian, maka takbir dilaksanakan mulai tgl 19 Agustus 2012 magrib dan sholat Ied dilaksanakan pada pagi hari tgl 20 Agustus 2012.
    Jadi, rukyatul hilal “bukan penghalang” pembuatan kalender hijriyah, justru yang ada adalah kalender yg disusun dg menggunakan “metode hisab yg tidak akurat” sehingga awal bulannya tidak cocok dg hasil rukyatul hilal yaitu penampakan hilal.
    Kalau metode hisab yg digunakan menyusun kalender hijriyah benar2 akurat, maka awal bulannya tidak akan meleset dari hasil rukyatul hilal (penampakan hilal).
    Kenapa Umat Islam dalam usianya yang 1,5 millenium ini belum bisa membuat kalender internasional, adalah bukan karena umat Islam masih berpegang pada rukyat, melainkan karena banyaknya metode hisab yg digunakan menyusun kalender hijriyah yg berbeda2 dimana masing2 bersikukuh dg kebenarannya meskipun sering tidak cocok dg tuntunan dalil syar’i yaitu hasil rukyatul hilal (penampakan hilal)
    Karena kalender hijriyah adalah hasil kesepakatan maka tidak akan pernah ada kalender hijriyah selama pemikiran para penyusun kalender hijriyah tidak berada pada satu jalur keyakinan yaitu IMAN pd Al Qur’an dan Hadist (dalil2 syar’i).
    Wass wr wb.

    • Ass wr wb.
      Mas sirheningcipta9, terimakasih sudah meng-apresiasi dan me-reposting postingan saya.
      Wass wr wb.

    • …Kenapa Umat Islam dalam usianya yang 1,5 millenium ini belum bisa membuat kalender internasional, adalah bukan karena umat Islam masih berpegang pada rukyat, melainkan karena banyaknya metode hisab yg digunakan menyusun kalender hijriyah yg berbeda2 dimana masing2 bersikukuh dg kebenarannya meskipun sering tidak cocok dg tuntunan dalil syar’i yaitu hasil rukyatul hilal (penampakan hilal)
      Karena kalender hijriyah adalah hasil kesepakatan maka tidak akan pernah ada kalender hijriyah selama pemikiran para penyusun kalender hijriyah tidak berada pada satu jalur keyakinan yaitu IMAN pd Al Qur’an dan Hadist (dalil2 syar’i)…

      Umat Islam sudah pernah memiliki Kalender Hijriyah Global, yaitu Kalendar Hisab Urfi Umar bin Khattab ra…

      Kalendar Hisab Urfi ini digunakan untuk keperluan seluruh umat Islam di seluruh dunia yang ada pada waktu itu…
      Hanya untuk Penetapan Bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, masih mengandalkan Metoda Menunggu Laporan Rukyat sebab Perhitungan Hisab Urfi bukan Perhitungan Posisi Bulan secara Faktual, terkadang terjadi di kalender masih tgl 30 bulan lama sementara hilal awal bulan sudah jelas terlihat…

      .

      Yang belum dimiliki Umat Islam selama ini adalah Kalender Hijriyah Global yang bisa dipergunakan untuk keperluan Ibadah dan Duniawi (Administrasi, Hubungan Antar Negara dll),

      Hal disebabkan :
      Belum ada satupun Solusi Kalender Hijriyah Untuk Segala Keperluan yang bisa digunakan untuk Seluruh Dunia…

      Solusi-solusi yang banyak itu pun Ternyata Hanyalah Solusi-solusi untuk Kalender Lokal saja, yang akan menyulitkan bila diperuntukkan untuk Kalender Global…

      .

      Selama ini, Para Ulama yang walaupun mereka memiliki pengetahuan Al Quran dan Hadist yang mendalam, sebagian dari para ulama ternyata kurang memiliki wawasan Iptek yang cukup, terbukti :

      – ada saja yang belum tahu tentang Fenomena Unik (yang cenderung menyusahkan) di wilayah Dekat Garis Batas Penanggalan Internasional, sehingga Tetap saja ngotot bahwa Penetapan Batas Tanggal Bulan Hijriyah untuk Kalender Hijriyah Global pun harus selalu berubah-ubah sesuai Garis Penampakan Hilal…

      – ada saja yang tetap berpendapat bahwa Penetapan Awal Bulan Hijriyah untuk Kalender Hijriyah Global pun harus dengan Metoda Menunggu Laporan Rukyat, yaitu Konsep Rukyat Global…

      Para Pakar Iptek yang terkait pun ternyata kebanyakan Terbelenggu dengan apa yang terSUrat, tanpa mau memerhatikan dengan apa yang terSIrat…
      Sehingga Solusi yang dikeluarkannya pun adalah Solusi yang belum pas yang hanya akan banyak mendatangkan kesulitan pada saat diaplikasikan untuk kehidupan sehari-hari…
      Berbeda Jauh dengan Solusi Metoda Aul untuk Perhitungan Waris yang dikeluarkan Para Sahabat zaman Khalifah Umar bin Khattab ra 1400AN TAHUN YANG LALU…

      • Ass wr wb.
        Pak Ivan, saya memahaminya dari sisi lain yaitu meskipun semua orang tahu tentang Fenomena Unik (yang cenderung menyusahkan) di wilayah Dekat Garis Batas Penanggalan Internasional, tetapi karena fenomena alam yg harus dipedomani adalah “pasti” sesuai tuntunan dalil syar’i maka Penetapan Batas Tanggal Bulan Hijriyah untuk Kalender Hijriyah Global pun harus selalu berubah-ubah sesuai Garis Penampakan Hilal…
        Dan mengenai pendapat bahwa Penetapan Awal Bulan Hijriyah untuk Kalender Hijriyah Global harus dengan Metoda Menunggu Laporan Rukyat, yaitu Konsep Rukyat Global, itu penafsiran pak Ivan saja, karena yg ada adalah bahwa Penetapan Awal Bulan Hijriyah Global dapat dibuat jauh hari sebelumnya dg metode hisab yg akurat, sedangkan Konsep Rukyat Global yg menghasilkan Laporan Rukyat hanyalah sebagai pelengkap yg membuktikan bahwa awal bulan hijriyah tepat jatuh pada saat penampakan hilal di ILDL pd waktu magrib sehingga metode hisab yg digunakan dapat dikatakan memang benar2 akurat.
        Oleh karena itu, kita semua harus sabar menunggu pihak yg sanggup membuat metode hisab yg benar2 akurat, dan selama dalam penantian kita harus tetap meng-Imani dalil syar’i serta jangan mencari solusi yg tdk sesuai atau bertentangan dg dalil syar’i.
        Perhitungan Aul-pun hanyalah melengkapi dalil syar’i agar bisa diterapkan, bukan merubah atau mengganti dalil syar’i.
        Wass wr wb.

  41. kutip https://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/05/23/konsep-geosentrik-yang-usang-menginspirasi-wujudul-hilal/ : ” Lalu ayat 39 menjelaskan bahwa bulan mempunyai orbitnya sendiri sehingga menampakkan manzilah-manzilah (fase-fase bulan) dari sabit, menjadi purnama, lalu kembali menjadi sabit. Ayat itu secara tidak langsung menjelaskan tentang orbit bulan mengeliling bumi sekali dalam sebulan.”

    ini adalah konsep Wujudul Hilal :),

    kutip buku pedoman hisab Muhammadiyah:
    “Saat terjadinya ijtimak menandai Bulan telah
    cukup umur satu bulan karena ia telah mencapai titik finis dalam
    perjalanan kelilingnya.”

  42. Muhammadiyah yang sangat jelas terinspirasi konsep geosentrik dalam memahami QS 36:40 “tidaklah mungkin matahari mengejar bulan” dalam buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah” (halaman 79-82)

    masih tetep,,,
    kutip pedoman hisab Muhammadiyah:
    “Pada bagian tengah ayat 40 itu ditegaskan bahwa malam
    tidak mungkin mendahului siang, yang berarti bahwa sebaliknya
    tentu siang yang mendahului malam dan malam menyusul siang.
    Ini artinya terjadinya pergantian hari adalah pada saat
    terbenamnya matahari. Saat pergantian siang ke malam atau saat
    terbenamnya matahari itu dalam fikih, menurut pandangan jumhur
    fukaha, dijadikan sebagai batas hari yang satu dengan hari
    berikutnya.”

    Muhammadiyah menafsirkan yang “malam pun tidak dapat mendahului siang” bukan yang “tidaklah mungkin matahari mengejar bulan”,,,,

  43. semakin jelas ketidak fahaman bapak terhadap Wujudul Hilal,,,

  44. Ass. Pak Prof. Thomas Kalau menurut perhitungan/hisab Imkanur ru’yat ( kemungkinan hilal bisa diru’yat ) Konjungsi ( pertanda bulan baru akan lahir ) untuk Hari Raya Qurban 1433 H jatuh pada tanggal berapa masehi 2012 dan pukul berapa ? Apabila diru’yat Jarak bulan dg garis horisontal dg bulan berapa derajat selanjutnya berapa derajat jarak bulan dan matahari ?

  45. kalau menurut bapak Ru’yat dan Hisab setara dan tidak boleh meninggalkan keduanya maka KRITERIA IMKANUR RU’YAT TIDAK SESUAI DENGAN YANG BAPAK KATAKAN,,,
    karena RU’YAT memperhitungkan ketika hilal tertutup awan, sementara IMKANUR RU’YAT tidak memperhitungkannya,,,,,

  46. kepada pak agres wa akhwatuha yg (maaf…) masih berfikiran sempit-dangkal dan belum memiliki sifat2 “ahsan” dlm bergaul, sharusnya lebih menjernihkan hati dan fikiran untuk belajar bersama memahami ilmu Allah…

    mari belajar, berdiskusi dalam majlis ta’lim blog-iyyah…

    Dalam pandangan saya, astronomi sebagai sains yang mencangkup disiplin ilmu yang sedemikian luasnya dan sangat memiliki potensi yang besar sekali dalam pengembangannya. ia telah memberi sumbangsih yang besar terhadap perkembangan pengetahuan lain dan temuan baru tentang sains dan teknologi di bumi. Seperti kemajuan teknologi sistem komunikasi dan informasi yang sangat erat oleh karenanya dibutuhkan instrumental astronomi seperti gelombang, penempatan satelit diangkasa. demikian juga pembahasan efek rumah kaca, manfaat sinar matahari untuk kehidupan, dan lain-lain maka disini tampak bahwa Astronomi sebagai sains telah mengkontribusi proses interpretasi al-ayat al-kauniyah.
    al-ayat al-kauniyah merupakan ayat-ayat al-qur’an yang menyinggung mengenai ilmu pengetahuan serta fenomena natur. Mnurut Harun Nasution jumlah al-ayat al-kauniyah ini tidak banyak, hanya berkisar sekitar 150 ayat. Al-ayat al-kauniyah yang jumlahnya hanya 150 ayat di dalam Alqur’an pada dasarnya memberi dorongan pada manusia untuk memikirkan dan memperhatikan alam sekitarnya yang bertujuan agar manusia dapat mengambil simpulan-simpulan bahwa stiap kejadian di alam semesta ini ada yang menggerakkan di balik alam materi ini, yakni zat yang disebut Allah Pencipta Penggerak alam semesta sehingga menjadikan tebal iman di hati seorang muslim. Namun demikian tidak disebutkan secara terperinci permasalahan ilmu pengetahuan di dalam al-Qur’an. Ayat-ayat tersebut hanya menyebut atau meyinggung hal-hal yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan fenomena nature agar dengan pedoman itu manusia mendapatkan petunjuk dalam menggunakan akalnya dalam memikirkan setiap kejadian alam semesta (Harun Nasution,1982:30). Disinilah urgensitas sains sebagai penjelas teks/nash yang tak bisa terpisah. Dalam hal ini data astronomis sebagai al-ilm falak ‘ilmy (Theoritical Astronomy) menenempati urgensitas dalam menyajikan output berupa al-‘ilm falaky ‘amaly (Practical Astronomy).
    Berpijak atas nilai-nilai universalitas al-Qur’an, sebagaimana Prof. Dr. Quraish Shihab, MA, dalam orasi ilmiahnya dalam acara Kuliah Umum yang digelar oleh Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta pada Selasa 4/01/2011 di Aula Utama Kampus IIQ disampaikan tentang nilai-nilai kebaikan universal (al-khair) dan nilai-nilai kebaikan lokal atau temporal (al-ma’ruf). Bahwa kebaikan yang universal adalah nilai-nilai yang tidak berubah, tidak akan berubah dan tidak boleh berubah. Inilah yang disebut dengan al-Tsawabit. Sementara ma’ruf atau nilai-nlai baik yang temporal dan mungkin saja lokal, itu bisa berubah tergantung perubahan yang ada di tiap-tiap tempat dan keadaan. Karena itulah, kebaikan yang temporal ini disebut sebagai al-Mutaghayirat.
    Membicara al-Mutaghayirat yang dikaitkan dengan al-ilm falak ‘ilmy (Theoritical Astronomy) sebagai ilmu pengetahuan (sains) yang memiliki sifat realisme empirisme sebagaimana dalam kajian epistemologi-ontologi filsafat ilmu, maka sesuai dengan sifat scientifiknya, perubahan berupa perkembangan atas temuan-temuan baru secara global merupakan suatu hal yang realistis. Sebagaimana dijelaskan lebih jauh oleh Prof. Dr. Quraish Shihab, MA, bahwa: “Untuk yang nilai-nilai yang ma’ruf ini, bisa saja pada suatu waktu, nilai-nilai itu dianggap baik, tetapi setelah masanya lewat, nilai-nilai itu kemudian dianggap tidak relevan lagi.” – لا ينكر تغير الاحكام بتغيرالازمنه و الامكنه و الاحوال – .
    Maka seiring berkembangnya disiplin ilmu yang smakin dewasa ini semakin mengerucut pada masing-masing bidangnya seperti perkembangan bidang-bidang ilmu matematika dan fisika rupanya telah mengkontribusi perubahan/perkembangan ilmu astronomi seperti halnya berbagai koreksi perhitungan yang mengarah kepada tingkat akurasi lebih tinggi. Hal semacam inilah yang dikenal dengan “taghayyur”, yakni perubahan terkini yang paling teruji validitasnya adalah hal yang dianggap paling shahih.
    Senada dengan QS. al-an’am(6):148; QS. Yunus (10): 36; dan QS. al-Ankabut (29): 20. Dari ketiga ayat tersebut dapat ditarik benang merah bahwa pada prinsipnya al-Qur’an telah mengisyaratkan urgensitas ke-ilmiyah-an dalam sebuah pengetahuan (baca: sains). Sementara ilmiyah sains adalah sesuatu yang dicapai dengan jalan metodologis, yakni sebuah sistem dan tata cara yang dipergunakan untuk memperoleh informasi/bahan materi suatu pengetahuan ilmiah dengan tujuan untuk menemukan hal-hal atau prinsip-prinsip yang baru atau pemecahan suatu masalah. ia merupakan proses, langkah-langkah yang ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Langkah tersebut adalah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis dan akhirnya menyimpulkan. Maka karakteristik yang mendasar dari Sains ialah kuantifikasi artinya gejala alam dapat berbentuk kuantitas.
    Berangkat dari sains (realism-empiris) sebagai dalil aqli bersama-sama dengan teks/nash sebagai dalil naqli tampaknya mengkompromikan kedua wacana “Astronomi” dan “Fikih” bukanlah sesuatu yang sulit. Disini Abdul Wahab Kallaf (1972:11) telah memberikan rumusan bahwa fiqh merupakan ilmu tentang hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang diperoleh dari dalil-dalil yang rinci. Ia juga diartikan sebagai kumpulan hukum yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalil yang rinci. Dalil sebagai suatu petunjuk yang dijadikan landasan berfikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang kedudukannya qath’i ( pasti ) atau Dhani (relatif). Atau dengan kata lain, dalil adalah segala sesuatu yang menunjukan kepada madlul. Madlul itu adalah hukum syara’ yang amaliyah dari dalil. Untuk sampai kepada madlul memerlukan pemahaman atau tanda penunjuknya ( dalalah ). Jadi prosesnya ialah : Dalil – dalalah – madlul.
    Ketika ditinjau bagaimana dalil aqli menyertai dalil naqli maka akan terlihat dalam fiqih bahwa dalil aqli/akal itu bukanlah dalil yang lepas sama sekali dari al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi justru prinsip-prinsip umumnya (kully) terdapat dalam Alquran dan Al-Sunnah. Maka kembali lagi menegaskan, disinilah letak urgensitas astronomi sebagai dalil aqli untuk bersama-sama dengan dalil naqli dapat menjelaskan sebuah ilmu pengetahuan dalam rangka mencapai universalitas tuntunan/”Fikih”, sebagaimana pembacaan sifat universalitas al-Qur’an.
    Dengan demikian, diskursus ini mematahkan pendapat Agus Mustofa yang mencoba mengkonfrontirkan “Astronomi” versus “Fikih”. Maka muncul pertanyaan selanjutnya, apakah Astronom disebut sebagai mujtahid sebagai dirinya sendiri atau mujtahid dari bagian mujtahid secara kolektif?. Maka dalam hal ini menurut hemat penulis, bahwa antara astronom dan mujtahid itu sendiri tidak dapat dipisahkan. Ibarat jika Mujtahid itu menjadi sampul, kulit atau casing, maka Astronom ini menjadi isi/ substansinya. Karena, mengingat kriteria yang diberikan oleh ulama’ Ushul Fikih Klasik yang sangat ketat menyebabkan justru di zaman ke-kinian, maka ijtihad semacam yang dicita-citakan mereka takan terwujud dan mustahil dilakukan. Maka yang harus difahami sekarang adalah bahwa kriteria yang diberikan bagi pribadi mujtahid itu tidak difahami sebagai “Taken for Granted” namun harus dimaknai sebagai sebuah metode untuk menjaga validitas istinbath hukum.
    Jika Ijtihad merupakan sebuah upaya penetapan status hukum, lalu siapa yang menetapkan?, bagaimana bunyi teks nash?, didekati dengan perangkat teknis apa?, dan pada akhirnya membatasi perangkat teknis ini agar tidak membedah secara liar terhadap teks, ini semua harus menjadi sebuah kesatuan yang terintegrasi. Maka dengan mengingat ke-pakar-an dengan tingkat kemajuan ilmu yang zaman ini semakin mengerucut pada spesialisasi di setiap bidang, maka benar mustahil jika seorang pribadi mujtahid memiliki kualifikasi menyeluruh seperti apa yang dikriteriakan oleh ulama’ Ushl Fikih masa klasik.
    Maka Yusuf Qaradlawi dalam hal ini memberikan problem solver yakni disebut dengan “Ijtihad Kolektif” yakni sebagai upaya ikhtiyar ulama’ untuk melahirkan sebuah hasil (hukum) yang valid. Demikian pula, pada dasarnya apa yang diramukan oleh Fazlurrahman, Syahrour, maupun Nasr Hamid Abu Zaid dalam pemikiran adalah sama, karena pembahasan makna mujtahid ini ialah untuk melahirkan sebuah hasil (hukum) yang valid. Hanya saja kriteria wilayah ijtihady-nya boleh atau tidak boleh dilakukan ijtihad yang berbeda, apakah Touch Able Area atau Untouch Able Area; apakah Muhkam atau Mutasyabihat; apakah qath’i atau Dzanny. Sebagaimana dalil: “tafakkaru fil khalqillah wa la tafakkaru fii dzatillah”.
    Disinilah urgensitas kepakaran disiplin ilmu tertentu menjadi mutlak diperlukan dalam melakukan sebuah proses ijtihady yang dilakukan secara metodologis untuk dapat menyajikan “the problem solver” yang bersifat universal dalam rangka melakukan konfrontasi terhadap permasalahan kasuistik (furu’iyyah). Sebagaimana dalam permasalahan ijtihady di bidang falaky yakni unifikasi sistem kalender Hijriyah Nasional di Indonesia, bahwa astronom mengambil peran ke-pakar-an dalam ranah ini.
    Dengan demikian, tidak perlu ada dikotomi antara astronom sebagai mujtahid. Keduanya menyatu berintegrasi dalam kepakarannya masing-masing. Perubahan “fatwa” atau “fikih” hanya dapat dipahami dan dijelaskan bila diletakkan dalam kesatuan hukum Allah secara universal: Takdir, Sunnatullah, dan Syari’ah (Cik Hasan Bisri, 2002;1-37). Seperti halnya Dr. Idris si ahli bedah outopsi yang melakukan ijtihad di bidangnya mengotopsi, lalu hakim pun menjadi mujtahid dibidangnya untuk mengeluarkan sebuah hukum berdasar mujtahid pertama.
    maka demikian pula seharusnya pembacaan kita terhadap peran astronom dalam masalah ijtihady.

    dengan demikian kita dapat mendasarkan diripada hal-hal tersebut diatas:
    1) bahwa kita haris berhati2 dalam mengambil/menetapkan sbuah hukum “fikih” agar tetap sesuai dengan konsep Takdir, Sunnatullah dan Syari’ah;
    2) dengan ini pula kita harus senantiasa berhati2 dengan pemikiran yang “Parsial” tanpa penggalian dalil-dalil secara terperinci, sehingga tidak senada dengan sifat universalitas al-Qur’an itu sendiri;
    3) kita harus mempelajari dg arif, bijaksana sesuai dengan kaidah2 keilmuan atas ragam metode yang tersaji; yakni sains dan ushul fiqh sebagai rangkaian metodologi untuk menguak hakikat penciptaan-NYA.
    4) ingat, mari sll berfikir konstruktif, agar jangan sampai kita terjebak dalam kesalahan2 pola fikir diantaranya:
    1) akar (fundamental): tidak melakukan Pemahaman dalil secara baik dan benar sebagai akar berpijaknya sebuah pemikiran fikih Islam (universal);
    2) batang (kultural): tidak memiliki metode dalam berfikir yang baik dan benar sebagai perangkat teknis pembedah permasalahan untuk dapat melakukan pembacaan atas permasalahan kasuistik secara holistik;
    3) buah (struktur): bahwa dengan kerangka yang benar, maka diharapkan membuahkan pemikiran yang benar. maka sebaliknya, dengan kerangka berfikir yang tdk metodologis dan sistemais, membuahkan output yg “tidak benar”, maka sudah menjadi konsekuensi logis ktka pemikiran seperti ini berkesan tidak universal.

    Maka dalam hal ini saya pribadi memberikan rekomendasi diantaranya: 1) Dihimbau kepada masyakat untuk meminta fatwa kepada orang atau lembaga yang memang telah memiliki atau dibekali dengan kompetensi materi terkait;
    2) Kepada institusi terkait, dalam hal ini tugas kementrian agama RI agar semakin meningkatkan pelayanan masyarakat akan kebutuhan pencerahan dalam segala aspek khususnya dalam kasus-kasus seperti ini, lebih menggiatkan sosialisasi tentang hal ini, agar dapat meretas pemikiran-pemikiran “liar” kian bermunculan di kalangan ummat, serta melakukan penertiban atas fatwa yang menyesatkan.

    demikian, mari kita mencari pencerahan bersama dgn belajar..
    jernihkan fikiran, jernihkan hati, buka mata, buka telinga…
    al’ilmu nurun… mboten usah mawi nesu, nopo malih ucap2 ingkang mboten sae,, monggo2 bismillah nyinau sesarengan… (^_^)’

  47. […] Kalau kita telusuri sejarahnya, WH itu muncul dari konsep penyederhanaan hisab. Saya menemukan penggunaan QS 36:39-40 bersumber dari Saadoeddin Djambek dalam buknuya “Hisab Awal Bulan”. Silakan teman-teman Muhammadiyah memeriksa ulang, kalau-kalau ada literatur lebih awal (misalkan Kyai Wardan) yang menyebutkan bahwa WH didasarkan pada QS 36:39-40. Kalau informasi saya benar, maka saya menyimpulkan QS 36:39-40 hanyalah pembenaran atas WH, bukan WH lahir dari interpretasi QS 36:39-40. Karena hanya sebagai pembenaran, maka ada kejanggalan kalau kita merujuk secara utuh QS 36:36 – 40. Ada suatu pemaksaan makna untuk pembenaran WH.  https://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/05/23/konsep-geosentrik-yang-usang-menginspirasi-wujudul-hila… […]

  48. Terima kasih pak Djamaluddin atas pencerahannya.

  49. Maaf pak, Di komentar atas anda menyebutkan “basis untuk kalender masehi adalah matahari, sementara basis untuk kalender Hijriyah adalah bulan”. Menurut saya basis untuk kalender hijriyah adalah bulan dan matahari, karena kedua basis ini kalau di normalisasi tidak akan ketemu menjadi satu basis saja. Hasil normalisasinya tetap akan menjadi 2 basis, yaitu bulan dan matahari.

    • Kalau mau mengaitkan dengan sumber cahaya yang menghasilkan hilal dan cahaya syafak yang mengganggu ketampakan hilal, boleh juga matahari dimasukkan. Tetapi basis periodisitas kalender Hijriyah adalah peredaran bulan yang tampak dari bumi dengan periode 29,53 hari, karennaya 1 bulan hanya mungkin 29 atau 30 hari. Sedangkan peridisitas kalender matahari atau peredaran bumi mengitari matahari yang tampak seolah matahari yang mengitari bumi sepanjang ekliptika, dengan periode 365,2422 hari.

  50. Sederhana saja, saya ikuti hasil keputusan sidang isbat yang hanya muhammadiyah saja yang tidak setuju. seingat saya yang mempelopori pedoman > 2 derajat saat menteri agamanya dari muhammadiyyah? kenapa kok justru ….sekarang. kapan ….? Muslim bersatu padu. sehingga wajar jumlah muslim indonesia menurun.

  51. […] masalah perbedaan keputusan awal Ramadhan Muhamadiyah dari ormas-ormas Islam lainnya adalah kriteria usang Wujudul Hilal (WH) pra-1970-an. WH + wilayatul hukmi Indonesia hanya ada di Muhammadiyah. ISNA (Islamic Society […]

Tinggalkan komentar