Profesor Riset dan Profesor (Akademik)


T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

profesor-riset

Ada teman yang bertanya, apa beda Profesor Riset dengan Profesor (akademik) di perguruan tinggi? Ada perbedaan, tetapi ada juga persamaannya. Sejenak kembali ke sejarah munculnya profesor riset. Keberadaan profesor riset diawali dari gagasan Pak Habibie saat menjadi Menristek tahun 1990-an untuk menghargai profesi peneliti. Gagasan itu baru terwujud dengan keluarnya SK Menpan  2004 tentang Jabatan Fungsional Peneliti serta SK bersama BKN dan Kepala LIPI yang mengatur pelaksanaannya. Profesor Riset adalah gelar yang diberikan kepada Peneliti Utama IVe berpendidikan S3 yang telah menyampaikan orasi ilmiah dalam suatu upacara pengukuhan.

Jadi perbedaan profesor riset dengan profesor akademik di perguruan tinggi adalah perbedaan jalur profesi. Profesor akademik  diberikan kepada pemegang jabatan fungsional dosen yang tertinggi (yaitu Guru Besar), sedangkan profesor riset diberikan kepada pemegang jabatan fungsional peneliti tertinggi (yaitu Peneliti Utama IVe). Tentu perbedaan profesi menyebabkan unsur yang dinilai ada perbedaan, tetapi ada beberapa unsur yang sama.

Pada keduanya, kemampuan meneliti dan mempublikasikan karya tulis terkait penelitiannya, membina kader ilmiah, serta pengabdian masyarakat merupakan unsur-unsur yang dinilai. Penilaian seperti itu lazim disebut angka kredit kumulatif. Berdasarkan Keppres 87/1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional, saat ini ada kesetaraan jabatan dan pangkat untuk semua jabatan fungsional keahlian, termasuk jabatan fungsional dosen dan peneliti.

Berikut ini kesetaraan jabatan fungsional tersebut:

Angka Kredit

Pangkat

Jabatan Dosen

Jabatan Peneliti

1050

IVe

Guru Besar

Peneliti Utama

850

IVd

Guru Besar

Peneliti Utama

700

IVc

Lektor Kepala

Peneliti Madya

550

IVb

Lektor Kepala

Peneliti Madya

400

IVa

Lektor Kapala

Peneliti Madya

300

IIId

Lektor

Peneliti Muda

200

IIIc

Lektor

Peneliti Muda

150

IIIb

Asisten Ahli

Peneliti Pertama

100

IIIa

Asisten Ahli

Peneliti Pertama

Pertanyaan kemudian, “Profesor” itu gelar atau jabatan? Merujuk pada UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 23 disebutkan  “Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi”. Pada penjelasannya ditegaskan bahwa jabatan Guru Besar identik dengan profesor, “Guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan perguruan tinggi”. Sedangkan di aturan jabatan fungsional dosen (Keputusan Menko Wasbangpan nomor 38/KEP/MK.WASPAN/8/1999 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya) tidak ada terminologi “Profesor”, yang ada hanya “Guru Besar”. Jadi, profesor akademik adalah jabatan, bukan gelar. Berarti ada batas waktunya.

Tetapi, merujuk pada aturan jabatan fungsonal peneliti, “Profesor Riset” adalah gelar kehormatan, artinya  tetap melekat tidak ada batas waktunya, seperti halnya gelar Doktor. Keputusan Menpan Nomor Kep/128/M.PAN/9/2004 tentang Jabatan Fungsional Peneliti dan Angka Kreditnya pasal 25 ayat 2 menyatakan “Bagi Peneliti Utama yang telah menduduki pangkat Pembina Utama golongan ruang IV/e, disamping memenuhi ayat (1) wajib melakukan orasi ilmiah di depan Majelis pengukuhan Peneliti Utama untuk mendapatkan gelar Profesor Riset”.

Rupanya disinilah akar masalah kontroversi gelar atau jabatan “Profesor”. Kita semua tahu, jabatan fungsional Guru Besar atau Peneliti Utama bisa saja berhenti karena tidak terpenuhinya angka kredit pemeliharaan atau karena pensiun/berhenti. Bagi peneliti, SK pemberhentian yang ada adalah SK pemberhentian jabatan fungsionalnya sebagai Peneliti Utama IVe, bukan penghentian profesornya, karena penetapannya berbeda. Keluarnya SK Peneliti Utama IVe tidak berarti  langsung dikukuhkan sebagai profesor, perlu waktu untuk menyiapkan orasi dan upacara pengukuhannya. Sedangkan bagi prosefor akademik, tampaknya SK jabatan jabatan fungsionalnya sama dengan surat pengangkatan profesornya, sehingga dengan berhentinya jabatan fungsional Guru Besar berakhir pula profesornya.

Bagaimana membedakannya, karena keduanya menggunakan gelar “Prof.” yang sama? Lihat saja instansi asalnya. Pada surat pengukuhan di atas, Prof. Dr. Umar Anggara Jenie, M.Sc. Apt adalah profesor akademik karena berasal dari UGM. Sedangkan Prof. Dr. Lukman, M.Sc. adalah profesor riset karena berasal dari LIPI. Tetapi, perlukah dibedakan hanya karena asal instansi dan jalur profesi yang sedikit berbeda, walau sesungguhnya setara? Pada awalnya dipermasalahkan, tetapi karena sudah jadi keputusan pemerintah yang jelas, kini sudah bisa difahami.