Perjalanan Panjang Menuju Kesepakatan Kriteria Kalender Hijriyah

Thomas Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, Pusat Riset Antariksa, BRIN

Anggota Tim Unifikasi Kalender Hijriyah, Kemenag RI

Usulan kriteria baru MABIMS atau Kriteria Rekomendasi Jakarta 2017 (tinggi bulan minimal 3 derajat dan elongasi bulan minimal 6,4 derajat) dirumuskan dan dibahas cukup lama, lebih dari sepuluh tahun sampai akhirnya ditetapkan. Pakar astronomi dan pengambil kebijakan bekerja secara sistematis dan tertahap, jadi tidak tiba-tiba dalam memutus kriteria baru tersebut:

Paparan delegasi RI pada MUzakarah MABIMS 2014
Usulan kriteria baru pada Muzakarah MABIMS 2014
  • Naskah Akademik tersebut sesungguhnya disiapkan untuk diajukan ke Munas MUI pada 2015. Namun Munas MUI saat itu belum menerima kriteria baru yang diusulkan.
  • Konsep kriteria baru tersebut dibawa delegasi RI ke pertemuan teknis MABIMS pada 2016. Dengan masukan dari semua delegasi, akhirnya disepakati draft kriteria baru MABIMS, yaitu tinggi bulan minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat.
  • Dalam berbagai kesempatan, kriteria baru tersebut ditawarkan untuk dikritisi oleh para pakar, tetapi tidak ada respons berupa tawaran alternatif kriteria lain.
  • Pembahasan draft kriteria baru berlanjut dibahas di tingkat MABIMS: mulai tingkat teknis, tingkat pejabat tinggi (SOM), sampai tingkat Menteri (2016 – 2021).
  • Pada tahap awal implementasi, ketika beberapa ormas Islam masih menggunakan kriteria lama, perbedaan penetapan Ramadhan dan hari raya tidak terhindarkan. Misalnya potensi perbedaan pada penetapan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha 1443.
  • Jalan masih panjang, tetapi dengan semangat fastabiqul khayrat (berlomba berbuat kebajikan) kita semua mesti berubah menjadi lebih baik. Unifikasi Kalender Hijriyah yang memberikan kepastian dan kenyamanan dalam beribadah menjadi dambaan kita semua.

Memaknai Kriteria Baru MABIMS dalam Kerangka Unifikasi Kalender Hijriyah Indonesia

Thomas Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, Pusat Riset Antariksa, BRIN

Anggota Tim Unifikasi Kalender Hijriyah, Kemenag RI

Ada tiga prasyarat mewujudkan sistem kalender yang mapan, termasuk untuk unifikasi kalender hijriyah. Tiga syarat itu adalah adanya kriteria tunggal, adanya otoritas tunggal, dan ada kesepakatan batas tanggal. Sudah sekitar tiga dekade pembahasan kriteria kalender hijriyah di Indonesia belum tuntas. Pada 1994 disepakati kriteria MABIMS (forum Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yang dikenal sebagai kriteria [2-3-8] (tinggi bulan 2 derajat, elongasi 3 derajat atau umur bulan 8 jam). Tetapi kesepakatan itu tidak bulat. Ada ormas yang tetap bertahan dengan kriteria WH (Wujudul Hilal) atau tinggi bulan sekitar 0.

Pada 2004 ada fatwa MUI yang di dalamnya ada rekomendasi untuk mengupayakan kriteria tunggal. Namun setelah lebih dari sepuluh tahun juga belum terwujud. Pada 2015 dicoba diusulkan kriteria berbasis astronomi, namun usulan itu belum dapat diterima oleh Munas MUI di Surabaya. Konsep usulan kriteria itu terus dibahas secara langsung atau pun tidak langsung. Alhamdulillah pada 2016 konsep itu bisa diterima dalam pertemuan teknis MABIMS, walau tidak secara langsung merujuk konsep Indonesia. Pada 2017 kriteria [3-6,4] juga diusulkan masuk dalam Rekomendasri Jakarta 2017 (RJ2017). Pembahasan kriteria baru MABIMS untuk menggantikan kriteria [2-3-8] terus berlanjut. Sampai akhirnya disepakati pada 8 Desember 2021.

Kementerian Agama sudah menerapkan kriteria baru MABIMS (Forum Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura),  yaitu tinggi bulan minimal 3 derajat dan elongasi (jarak sudut bulan-matahari) minimal 6,4 (biasa disebut juga kriteria [3-6,4]). Hal itu menimbulkan kekhawatiran semakin seringnya terjadi perbedaan pada tiga bulan khusus: Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Alasannya sederhana, karena masih ada ormas Islam yang menggunakan kriteria Wujudul Hilal (WH) atau ketinggian hilal sekitar 0 derajat. Ya, memang kriteria [3-6,4] dengan kriteria WH sering terjadi perbedaan seperti yang terjadi pada 1443 H.

Namun kita harus bergerak maju setelah sekian lama berjalan di tempat. Jangan saling menunggu terus. Kementerian Agama telah mengambil langkah strategis, memecahkan kebuntuan dengan mengadopsi kriteria baru MABIMS. Tentunya setelah pembahasan panjang di forum MABIMS dan diskusi di forum antarpakar hisab rukyat dalam berbagai pertemuan yang difasilitas Kemenag.

Kebuntuan itu beralasan. Pengamal rukyat mengkhawatirkan perbedaan dengan pengamal hisab WH makin sering terjadi bila beralih ke kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal) yang lebih tinggi, seperti kriteria [3-6,4]. Padahal pengamal hisab WH sebenarnya sudah berfikir jauh akan meningggalkan kriteria WH dan juga kriteria 2 derajat. Mereka sudah mewacanakan beralih ke kriteria [5-8] (tinggi bulan minimal 5 derajat dan elongasi minimal 8 derajat) ala Kalender Islam Global (KIG) Turki. Sementara sebagian pengamal rukyat pun mulai berfikir meningkatkan kualitas rukyatnya dengan kriteria imkan rukyat yang lebih baik. Kriteria lama [2-3-8] sering dikritik di forum MABIMS karena terlalu rendah dan tidak ada dukungan data astronomi yang sahih.

Perubahan kriteria itu sebenarnya pertanda positif. Kriteria [3-6,4] dengan markaz negara-nagara MABIMS di Asia Tenggara sesungguhnya setara dengan kriteria [5-8] kalau markaznya Turki. Artinya, kalau di Asia tenggara memenuhi kriteria [3-6,4], di Tukrki bakal memenuhi kriteria [5,8]. Bagaimana pun kriteria [5-8] terinspirasi dari data-data lokal Turki. Setelah perubahan kriteria disepakati secara bertahap, diskusinya nanti bakal beralih. Bukan lagi diskusi hisab WH vs rukyat berbasis imkan rukyat 2 derajat, tetapi beralih ke diskusi KIG.  Diskusinya akan bergeser pada pilihan terbaik antara KIG ala Turki vs KIG ala MABIMS/RJ2017 (Rekomendasi Jakarta 2017) atau pilihan konsep KIG lainnya.

Dengan gebrakan Kemenag mengubah kriteria dengan kriteria baru MABIMS, semua ormas diajak untuk maju. Diajak meninggalkan kriteria lama (WH atau ketinggian 2 derajat) menuju kriteria baru yang lebih berdasarkan kajian astronomi. Kementerian Agama sudah maju dulu untuk membangkitkan diskusi yang progresif. Resistensi pasti ada. Tetapi kita yakin, semua pihak mau berubah untuk maju menuju yang lebih baik.

Diskusi Pilihan KIG

Sebenarnya diskusi di kalangan pakar hisab rukyat tentang potensi pilihan KIG sudah berjalan pada pertemuan yang difasilitasi Kemenag atau secara informal di WAG. Di blog ini juga pernah dibahas prospek KIG ala Turki dan KIG RJ2017 dari sudut pandang lain. Berikut ini pendapat saya tentang pilihan KIG ala Turki atau KIG ala MABIMS/RJ2017 dari sudut pandang fikih.

Konsep “keterlihatan hilal (rukyat) bagi penduduk di kawasan barat berlaku bagi penduduk kawasan timur” biasanya kita kenal dalam konsep “wilayatul hukmi” (satu wilayah hukum). Misalnya rukyat atau imkan rukyat di Aceh berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia sampai Papua. Satu wilayah hukum dimaknai ada satu otoritas. Dulu ada khalifah, sekarang tidak ada. Dalam RJ2017 diusulkan otoritas global adalah otoritas kolektif antar-pemerintahan, yaitu OKI yang bisa memberlakukan “wilayatul hukmi” global. Otoritas regional bisa menggunakan MABMIS dan otoritas nasional adalah Pemerintah yang diwakili Menteri Agama.

Lalu konsep KIG mana yang dipakai? Saat ini ada tawaran konsep KIG Turki dan KIG RJ2017.

– Konsep KIG Turki: Markaz (titik rujukan) di mana saja. Ketika wilayah terbarat (benua Amerika) yang imkan rukyat, di wilayah timur  mungkin saja bulan masih di bawah ufuk atau posisinya terlalu rendah dekat ufuk.

– Konsep RJ2017: Markaz di wilayah barat Asia Tenggara. Ketika wilayah timur (Asia Tenggara) dipastikan imkan rukyat, maka itu berlaku global.

Keduanya bersifat ijtihadiyah yang bersifat dzhonni (dugaan kuat).

Kita timbang dengan dalil lain.

– Rasul melarang puasa pada hari meragukan (yaumusy syak). Pilihan KIG Turki memberikan keraguan masuknya awal bulan, khususnya Ramadhan di wilayah timur seperti Indonesia. Apalagi bila secara hisab diyakini  hilal masih di bawah ufuk atau terlalu rendah di wilayah timur. Sedangkan pilihan KIG RJ2017 tentu saja tidak memberi peluang yaumusy syak, karena imkan rukyat di timur sudah pasti wilayah baratnya juga imkan rukyat.

– Dari bobot dalilnya, imkan rukyat global menggunakan keumuman dalil. Sedangkan markaz lokal, bagi pengamal rukyat, menggukan dalil spesifik tentang rukyat yang dimaknai ta’abudi (ketaatan dengan perintah Rasul shuumuu li ru’yatihi – berpuasalah bila melihat hilal …) yang bisa dibuktikan secara lokal atau regional.

– Dari segi pendekatan ukhuwah dan unifikasi kalender hijriyah, pilihan markaz lokal atau regional lebih dekat untuk mewujudkan titik temu pengamal rukyat dan pengamal hisab. Artinya, kondisi bulan yang secara hisab sudah memenuhi kriteria imkan rukyat, berpeluang besar untuk terbukti secara rukyat secara lokal atau regional. Sehingga hal itu dapat mewujudkan keseragaman pengamal hisab dan pengamal rukyat, tanpa mempermasalahkan lagi aspek dalil hisab atau rukyat.

Konsep wilayatul hukmi terkait dengan keberadaan otoritas (khalifah, raja, sultan, presiden, mufti, atau pimpinan Islamic Center) yang mengumumkan masuknya awal bulan, khususnya Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Itu berarti cakupan wilayahnya adalah wilayah hukum yang dikuasai otoritas tsb. Pemerintah RI memberlakukan di seluruh wilayah RI. Pernah juga digagas rukyat atau imkan rukyat di mana pun di negara-negara MABIMS berlaku untuk seluruh wilayah MABIMS. Kalau konsep RJ2017 diterima secara global, OKI yang mengumumkan awal bulan berlaku untuk seluruh negara Islam di bawah koordinasi OKI. Kalau itu berlaku, ummat Muslim minoritas di manca negara pasti juga merujuk keputusan OKI.

Sebelum konsep global berlaku dengan otoritas OKI, sangat realistis diberlakukan otoritas regional seperti MABIMS. Kesepakatan bersama menteri-menteri agama dalam penetapan kriteria baru MABIMS dan diadopsi Indonesia menjadi awal untuk unifikasi kalender Islam di negara-negara MABIMS. Semoga itu diikuti juga dengan unifikasi kalender Islam Indonesia dengan kesepakatan bersama semua ormas Islam tentang kriteria dan otoritas nasional.

Sekali Lagi, Bersiap Potensi Perbedaan Awal Ramadhan 1443

Thomas Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, Pusat Riset Antariksa BRIN

Anggota Tim Unifikasi Kelender Hijriyah, Kemenag

Garis tanggal pada saat maghrib 1 April 2022. Dengan kriteria Wujudul Hilal (antara arsir merah dan putih), Muhammadiyah sudah memutuskan 1 Ramadhan 1443 = 2 April 2022. Namun, garis tanggal tinggi 2 derajat (antara arsir biru dan putih) sedikit di sebelah barat wilayah Indonesia. Artinya, sangat tidak mungkin akan terlihat hilal pada 1 April di wilayah Indonesia, sehingga 1 Ramadhan 1443 berpotensi 3 April 2022.

Sebenarnya peringatan akan potensi perbedaan awal Ramadhan 1443 sudah saya tuliskan di blog saya tentang Kalender 1443 dengan berbagai kriteria. Juga ketika membandingkan dengan kondisi Rajab 1443. Namun perlu ditambahkan pertimbangan terbaru terkait dengan kebijakan Kementerian Agama yang mengadopsi Kriteria Baru MABIMS.

Dengan melihat garis tanggal awal Ramadhan 1443 (gambar di atas), terlihat jelas potensi perbedaannya. Dengan kriteria Wujudul Hilal, Muhammadiyah sudah memutuskan 1 Ramadhan 1443 = 2 April 2022. Namun hilal terlalu rendah untuk diamati. Umumnya di wilayah Indonesia tinggi bulan kurang dari 2 derajat. Itu artinya, rukyatul hilal (pengamatan hilal) pada saat maghrib 1 April berpotensi tidak terlihat. Kalau pun ada yang melaporkan menyaksikan, itu sangat meragukan sehingga berpotensi ditolak saat sidang itsbat. Sehingga berdasarkan rukyat, 1 Ramadhan 1443 kemungkinan besar pada 3 April 2022.

Pada Takwim Standar (kalender Islam rujukan) oleh Kementerian Agama memang tercantum 1 Ramadhan 1443 = 2 April 2022 berdasarkan ketinggian bulan (dengan perhitungan lain) di Pelabuhan Ratu sedikit di atas 2 derajat. Dengan menggunakan kriteria lama, memang kondisi itu sudah dianggap masuk tanggal baru. Tetapi, dengan perhitungan yang lebih akurat, misalnya dari Accurate Times, memang di kawasan barat Indonesia pun tinggi bulan pada 1 April 2021 umumnya di bawah 2 derajat. Ini data hisab (perhitungan astronomi) di Surabaya, Jakarta, dan Medan yang menunjukkan tinggi bulan (Topographic Moon Altitude) kurang dari 2 derajat.

Sejak awal 2022 Kementerian Agama mengadopsi Kriteria Baru MABIMS, yaitu tinggi bulan minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat. Dengan kriteria baru tersebut, posisi bulan di wilayah Indonesia dan negara-negara Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura (negara-negara MABIMS) belum memenuhi kriteria. Berikut ini gambar garis tanggal dengan kriteria baru MABIMS.

Dengan kriteria baru MABIMS, pada 1 April posisi bulan tidak mungkin teramati. Jadi 1 Ramadhan 1443 = 3 April 2022

Jadi sangat mungkin Sidang Itsbat pada 1 April 2022 akan memutuskan 1 Ramadhan 1443 jatuh pada 3 April, berbeda dengan Muhammadiyah yang mengumumkan 1 Ramadhan 1443 jatuh pada 2 April 2022.