Menuju Titik Temu Hisab Wujudul Hilal dan Hisab Imkan Rukyat


T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI

Jalan menuju persatuan terbuka lebar. Titik temu harus terus kita upayakan, walau awalnya terasa berat. Ego organisasi harus sama-sama kita tanggalkan demi ummat. Keseragaman  mengawali Ramadhan dan mengakhirinya dengan Idul Fitri, serta dalam melaksanakan Idul Adha merupakan syiar yang luar biasa untuk menunjukkan bahwa ummat Islam bisa bersatu.  Keseragaman Idul Fitri dan Idul Adha bukan hanya bermakna ketenteraman dalam beribadah, tetapi juga punya makna sosial yang sangat penting. Sebab utama perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha di Indonesia saat ini hanyanya pada masalah kriteria hisab rukyat, khususnya perbedaan implementasi kriteria wujudul hilal (bulan sabit di atas ufuk) dan imkan rukyat (kemungkinan terlihatnya bulan sabit). Sementara kita abaikan dulu sebab-sebab perbedaan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil yang pada dasarnya terjadi karena ketidakfahaman aspek teknis hisab rukyat.

Penentuan awal bulan qamariyah menjadi dasar dimulainya shaum (puasa) Ramadhan dan mengakhirinya dengan Idul Fitri serta dalam penentuan hari Idul Adha. Metodenya bisa dengan rukyat (pengamatan) dan bisa pula dengan hisab (perhitungan). Hisab tidak cukup sekadar menghasilkan angka posisi bulan dan matahari serta data lainnya, tetapi perlu adanya kriteria (batasan) untuk menentukan masuk atau belumnya awal bulan. Kriteria itu merupakan interpretasi sains astronomis atas dalil syar’i (hukum agama).

Secara umum kriteria hisab yang saat ini digunakan terbagi dua:  kriteria wujudul hilal (bulan sabit di atas ufuk) dan kriteria imkan rukyat (kemungkinan bisa dirukyat). Sebagian besar ormas Islam sudah menggunakan hisab kriteria imkan rukyat dalam pembuatan kalendernya yang juga menjadi dasar rukyat bila diperlukan. Muhammadiyah yang menganut hisab kriteria wujudul hilal di dalam “Pedoman Hisab Muhammadiyah” menyatakan “… karena tulis baca sudah berkembang dan pengetahuan hisab astronomi sudah maju, maka rukyat tidak diperlukan lagi dan tidak berlaku lagi”. Pernyataan yang cenderung “anti rukyat” itu sebenarnya tidak tepat karena sesungguhnya kriteria wujudul hilal bergantung pada konsep rukyat. Ya, memang hisab tidak mungkin meninggalkan rukyat sama sekali. Hisab disempurnakan dengan hasil rukyat yang terus menerus dilakukan. Dalam sains tidak boleh ada klaim kesempurnaan. Hisab dan rukyat terus saling membutuhkan untuk penyempurnaan. Tingkat keusangan dalam sains semakin cepat, sehingga kita harus bersiap dengan perubahan dan tidak boleh memutlakkan satu kriteria.

Secara astronomi, kriteriaawal bulan yang disebut “newmoon” (bulan baru) adalah saat konjungsi atau ijtimak yaitu bersatunya bulan dan matahari pada satu garis bujur ekliptika dilihat dari pusat bumi (geosentris). Garis bujur ekliptika adalah garis yang tegak lurus terhadap ekliptika, yaitu lintasan semu matahari di antara rasi-rasi bintang. Orbit bulan selalu berada di sekitar ekliptika, paling jauh hanya sekitar 5 derajat dari ekliptika. Bila saat ijtimak bulan berada tepat di ekliptika, saat itulah terjadi gerhana matahari sentral, baik gerhana matahari total maupun cincin. Itulah ijtimak yang teramati. Selain gerhana, ijtimak tidak mungkin teramati. Ijtimak (newmoon) merupakan informasi dasar astronomi bulan yang paling mudah diperoleh. Tetapi tidak ada fuqaha (ahli fikih hukum Islam) atau ahli hisab yang menjadikan “bulan baru” astronomis itu sebagai batas awal bulan qamariyah, terutama dalam penentuan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.

Mengapa tidak menggunakan saja “bulan baru” astronomis tersebut, kalau alasannya hanya demi konsistensi dan kemudahan? Jawabnya sederhana, untuk ibadah harus didasarkan pada dalil syar’i (hukum agama). Hukum dasar yang dijadikan rujukan adalah penggunaan hilal (QS 2:185) dan perintah rukyat yang hanya terjadi sesaat setelah matahari terbenam. Itulah sebabnya generasi awal ahli hisab sekadar menambahkan kriteria waktu matahari terbenam pada kriteria bulan baru astronomis, dengan rumusan “ijtimak qablal ghurub”, yaitu ijtimak sebelum matahari terbenam.

Dalam perkembangan selanjutnya, ahli hisab menambahkan kriteria bulan masih berada di atas ufuk saat matahari terbenam yang dikenal sebagai kriteria “wujudul hilal”. Jadi, kriteria wujudul hilal mensyaratkan tiga hal: (1) telah terjadi ijtimak, (2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan (3) pada saat terbenamnya matahari bulan berada di atas ufuk.

Mengapa syarat (2) dan (3) wajib ditambahkan pada syarat (1) sebagai “bulan baru” astronomis? Syarat rukyat yang dikehendaki dalil syar’i tidak boleh ditinggalkan. Itulah yang secara tegas dinyatakan juga di dalam “Pedoman Hisab Muhammadiyah” dengan ungkapan lugas “Keberadaan bulan di atas ufuk itu penting mengingat ia adalah inti makna yang dapat disarikan dari perintah Nabi SAW melakukan rukyat dan menggenapkan bulan 30 hari bila tidak dapat dilakukan rukyat”. Bulan yang terlihat pastilah di atas ufuk saat matahari terbenam dan bulan pasti berada di atas ufuk saat matahari terbenam apabila bulan qamariah berjalan digenapkan 30 hari.

Kalau kita cermati, kriteria wujudul hilal yang dirumuskan dalam “Pedoman Hisab Muhammadiyah” tersebut pada hakikatnya adalah kriteria “imkan rukyat” (kemungkinan bisa dirukyat) juga. Namun, itu masih sangat sederhana, baru mensyaratkan keberadaan di atas ufuk. Dalam bahasa matematika, itu baru “syarat perlu” yang terpenuhi. Untuk lengkapnya perlu “syarat cukup” untuk imkan rukyat.

Syarat cukup kriteria imkan rukyat adalah “cahaya hilal bisa mengalahkan cahaya syafak (cahaya senja)” sehingga hilal nyata terlihat. Agar ada kontras cahaya hilal relatif terhadap cahaya senja perlu syarat-syarat tertentu yang menjadi topik menarik penelitian astronomis terkait visibilitas hilal (ketampakan hilal). Jadi, kriteria wujudul hilal bisa menjadi kriteria imkan rukyat dengan menambahkan syarat visibilitas hilal agar “syarat perlu dan cukup” terpenuhi.

Kriteria visibilitas hilal itu sangat beragam parameternya. Ada yang mendasarkan pada ketinggian hilal, jarak bulan-matahari, umur hilal, lebar sabit, atau beda waktu terbenam bulan-matahari. Ada yang didasarkan penelitian sederhana hanya beberapa bukti pengamatan. Ada pula yang berdasarkan analisis komprehensif atas kompilasi data tertentu.

Kriteria MABIMS atau kriteria “2,3,8” (ketinggian minimal 2 derajat, jarak bulan-matahari minimal 3 derajat, dan umur bulan minimal 8 jam) yang saat ini digunakan di Indonesia adalah contoh kriteria yang didasarkan data sederhana. “Kriteria LAPAN” yang merevisi kriteria “2,3,8” adalah contoh kriteria yang didasarkan pada data terbatas di Indonesia yang dikompilasi dari data dokumentasi sidang itsbat Departeman Agama (sekarang Kementerian Agama) sejak 1962 – 1996. Kriteria Ilyas, Yallop, SAAO, Odeh, dan usulan saya “Kriteria Hisab Rukyat Indonesia” adalah contoh kriteria yang didasarkan pada kompilasi data internasional yang komprehensif. Untuk membuat kriteria tidak harus mengamatinya sendiri, karena dapat memanfaatkan data yang dikompilasi dari banyak pengamat di seluruh dunia.

Kriteria mana yang akan dipilih dalam mencari titik temu wujudul hilal dan imkan rukyat? Dalam implementasinya, kita harus memperhatikan kelaziman praktek hisab rukyat yang dilakukan di Indonesia. Dari sekian pilihan kriteria, perlu ada kesepakatan ahli hisab rukyat. Kalau sampai saat ini disepakati kriteria “2,3,8”, terimalah dulu kriteria itu untuk persatuan ummat. Nantinya, setelah kemampuan dan pemahaman hisab rukyat makin canggih, kita bisa tingkatkan menuju kriteria imkan rukyat yang benar-benar berdasarkan kriteria visibilitas hilal secara astronomis. Kriteria yang disepakati menjadi pedoman bersama yang memberikan kepastian dan konsistensi. Dengan kriteria imkan rukyat yang disepakati, kita bisa membuat kalender sampai sekian puluh  tahun ke depan yang insya-allah akan konsisten dengan hasil rukyat. Namun, kita harus ingat bahwa kriteria itu perlu terus disempurnakan, sehingga perlu ada kesepakatan-kesepakatan baru yang memperhatikan juga perkembang terbaru hasil penelitian astronomi tentang visibilitas hilal.

Jadi, selangkah lagi kita bisa menuju titik temu antara hisab wujudul hilal dan hisab imkan rukyat. Selanjutnya kriteria imkan rukyat itu akan menjadi titik temu antara metode rukyat dan metode hisab sehingga hasil hisab yang tercantum di dalam kalender akan bersesuaian dengan hasil rukyat. Hisab dan rukyat akan benar-benar setara dan saling menguatkan. Kalau itu bisa tercapai, kita akan mempunyai satu kalender hijriyah yang mapan yang memberikan kepastian beribadah dan bermuamalah (bisnis umum).

Baca juga catatan terkait:

https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/09/30/muhammadiyah-menuju-persatuan-semangat-kalender-unifikasi-didasarkan-pada-hisab-imkan-rukyat/

https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/08/25/menuju-kalender-hijriyah-tunggal/

https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/08/19/astronomi-memberi-solusi-penyatuan-ummat/

 

111 Tanggapan

  1. Salam utk pak djamal..
    Komentar saya… He..he..he..

  2. Bapak, dimana saya bisa mendapatkan buku tersebut di atas?

  3. Mohon maaf Prof., kalau sdh ditentukan kriteria visibiltas hilal yg secara astronomis hilal sdh dpt dilihat, kenapa menurut lokakarya di Bogor beberapa waktu yg lalu masih hrs lagi dilakukan rukyatul hilal? dan kenapa khusus utk awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah masih perlu juga dilakukan sidang itsbat? Bukankah dengan metode visibilitas hilal dg pendekatan astronomis, hilal sdh pasti tampak? Saya berpendapat, walaupun menggunakan metode visibilitas hilal secanggih apapun tetapi selama masih hrs dilakukan pembuktian dg rukyatul hilal dan hrs diputuskan dlm sidang itsbat seperti itu, maka selama itu pula kalender Hijriyah tdk dapat digunakan juga sbg pedoman muamalah (bisnis umum). Memang saya sangat sependapat bahwa metode visibilitas hilal merupakan metode titik temu antara metode hisab dan rukyat, tetapi dengan catatan sdh tidak perlu lagi dibuktikan dg rukyatul hilal. Rukyatul hilal memang perlu senantiasa dilakukan, tetapi hanya sebatas utk cek dan ricek ttg penetapan kriteria visibilitas hilal itu sendiri sesuai dg perkembangan ilmu astronomi, tetapi tidak lebih. Bagaimana tanggapan Profesor? Terimakasih.

    • Dalam mencari titik temu, kita harus menghargai semua pendapat. Ada yang menghendaki hisab dan ada yang menghendaki rukyat. Kalau hanya menggunakan kriteria imkan rukyat, berarti kita mengabaikan keyakinan saudara-saudara kita yang menghendaki rukyat. Kita tidak perlu fobia dengan rukyat. Dalam astronomi, rukyat (observasi) terus diperlukan untuk menyempurnakan kriteria. Kita tahu, tidak ada kriteria yang sempurna, karena karakteristik atmosfer itu sangta sulit dimodelkan karena sangat dinamis. Namun selain untuk kepentingan penyempurnaan kriteria, itu juga diperlukan untuk memberikan keyakinan kepada saudara-saudara kita yang menghendaki tetap rukyat. Jadi, kita akomodasi semua pendapat itu dengan kriteria yang menjadi titik temu. Semakin akurat kriterianya, insya-allah akan selalu tepat dengan hasil rukyat. Jadi, kalendernye tetap memberikan kepastian baik untuk muamalat maupun ibadah.

      • Terimakasih Prof. Saya bisa memakluminya.

        Kalau begitu, Pemerintah hrs membuat, mencetak, dan mempublikasikan Kalender Hijriyah berdasarkan kriteria visibilitas hilal itu secara luas ke masyarakat, walaupun di dalamnya masih ada catatan: untuk awal bulan Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah menunggu hasil sidang itsbat Pemerintah. Biarlah masyarakat memedomani Kalender Standar Taqwim Hijriyah versi Pemerintah tersebut. Yang penting bagi mereka adalah bisa membuat perencanaan kegiatan jauh-jauh hari secara pasti, termasuk kegiatan peribadatan, begitu juga bidang muamalah (transaksi sosial).

        Masalah sidang itsbat, dapatlah tetap dilaksanakan. Toh, hasil sidang itsbat akan selalu sama dengan Kalender Standar Taqwim Hijriyah Pemerintah karena memang kalender tsb sdh diperhitungkan dg visibilitas hilal.

        Ini sangat serius Prof., sebagian masyarakat “sangat amat sekali” membutuhkan Kalender Standar Taqwim Hijriyah versi Pemerintah. SEKALI LAGI, SEBAGIAN MASYARAKAT “SANGAT AMAT SEKALI” MEMBUTUHKAN KALENDER STANDAR TAQWIM HIJRIYAH VERSI PEMERINTAH. Kalau Kalender Standar Taqwim Hijriyah ini sdh terpublikasi secara luas, maka secara lambat laun masyarakat akan selalu merujuknya, tdk “menghiraukan” lagi hasil sidang itsbat. Sebagian masyarakat yg lain kiranya dapat tetap melakukan rukyatul hilal, toh hasilnya akan sama dg kalender standar taqwim tsb. Sebaliknya, siapa tahu para penganut wujudul hilal berpindah ke visibilitas hilal karena ternyata secara riil dan konkret ada kalender hijriyah lain yg juga sama-sama bisa memberikan kepastian penanggalan.

        Demikian, kami mohon tanggapan Profesor yg juga sbg Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI perihal penerbitan dan publikasi secara luas Kalender Standar Taqwim Hijriyah versi Pemerintah tsb, yg dpt dijadikan sbg rujukan masyarakat, termasuk sbg rujukan para pengusaha percetakan kalender. Terimakasih.

  4. Eko Mardiono….setuju banget. Persoalannya memang, bisakah kita benar2 meninggalkan rukyat (dan sidang itsbat) dalam menetapkan 1 ramadhan dan 1 syawal setelah kita sepakati imkan rukyat? Jangan2 penganut rukyat yang justru tdk siap menerima ketika kriteria imkan rukyat terpenuhi tp tidak ada yang melihat hilal? Ini sangat mungkin terjadi krn dlm kriteria imkan rukyat itu baru ”kemungkinan terlihat” dan belum ”dijamin terlihat”. Kalau kita mau menaikkan ke level ”dijamin terlihat” berarti kriterianya harus dinaikkan dari 2,3,8 menjadi 4,3,8 atau 6,3,8? Saya kira kalau 4,3,8 apalagi 6,3,8 tentu kelompok hisab akan sulit menerima.

    • Dalam mencari titik temu, tentu tidak seluruhnya terpuaskan. Tetapi kita harus mengambil hal-hal yang bisa diterima di kedua kelompok itu. Kriteria imkan rukyat adalah kriteria hisab yang menyesuaikan dengan rukyat.

  5. Pertanyaan singkat untuk pak djamal..
    Apakah anda tidak(meyakini memakai) hisab wujudul hilal ummul quro sbg refleksi anda seorang astronom?
    Wassalam, thx

    • Mohon di jawab dgn singkat, lugas, tegas dan tdk bersayap-sayap..

      “Janganlah kecintaanmu terhadap visibilitas hilal menjadikanmu tidak adil menilai wujudul hilal. Berikanlah kabar gembira bahwa wujudul hilal layak dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif” (pak siknan)
      Terima kasih dan sy menunggu jawaban singkat dari seorang astronom senior IVe-Profesor Thomas Djamaluddin.

      • Tulisan di atas adalah penjelasan hakikat wujudul hilal yang ada di dalam “Pedoman Hisab Muhammadiyah” yang sering kali disalahfahami seolah wujudul hilal itu tidak terkait rukyat. Astronomi tidak selalu menganggap hisab dan rukyat setara. Mari kita pelajari hisab dengan benar mengikut kaidah astronomi. Dalam hisab, eksistensi atmosfer diperhitungkan dengan memasukkan faktor koreksi refraksi (pembiasan). Mengapa faktor hamburan cahayanya diabaikan? Ahli hisab dulu sering mengabaikannya faktor hamburan cahaya tersebut, sehingga menggunakan model paling sederhana “wujudul hilal”. Tetapi, kalau mau adil, jangan hanya efek refraksi yang diperhitungkan, efek hamburan cahaya juga harus dimasukkan. Ahli hisab memang harus belajar juga aspek fisikanya.

      • Bpk TDjamaluddin yth, sy hanya mengajukan pertanyaan yg sangat sederhana koq pak.., terkait “keyakinan & implementasi hisab wujudul hilal ummul quro'”. Ya atau tidak lalu kenapa? Begitu aja koq bapak ysh..

        Selama mengikuti episode2 tulisan anda, sy menangkap kesan (smoga sy salah dan hanya Allah yg Maha Tahu) bahwa anda, 1/2 hati terhadap imkanurukyat dan 1/2 hati utk hisab wujudul hilal ummul quro. Kenapa demikian? Karena jika “satu hati” thdp imkanurukyat pastilah anda mengatakan say no to hisab wujudul hilal ummul quro’!
        Apalah jadinya nanti jika pemerintah saudi berhasil mewujudkan (membeli) satelit khusus pengindra hilal! Dng demikian pak djamal bisa “satu hati” dan say yes to hisab wujudul hilal ummul quro!(Smoga sy salah)
        Terkait jawaban pak djamal, ijikanlah sy mengutip pernyataan pak susiknan di fb beliau..,
        ” Jangan berprasangka bahwa pihak yang mengajak berpikir secara substansial dianggap hanya berputar-putar dan menghindar dari persoalan, bahkan dianggap hanya sekedar berwacana dan tidak memberi solusi. Bukankah si penulis artikel sendiri yang berputar-putar tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan substantif yang diajukan dalam hak jawab sebelumnya. Jangan pula menganggap pengguna wujudul hilal tidak memahami dinamika perkembangan visibiltas hilal. Apabila dibuka dokumen hasil Seminar Nasional Hisab dan Rukyat yang diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI pada tanggal 20-22 Mei 2003 di Jakarta, salah satu peserta yaitu Dr. Ing. Khafid menyatakan “Buat pak Thomas menurut saya ketika berbicara hilal ada dua aspek. Pertama aspek ilmiah yakni persamaan kriteria, Kedua aspek kriteria  yaitu persoalan dasar Syar’ie. Kalau dasar syar’ie disepakati model Muhammadiyah sebagai “solusi” lebih pas”(selengkapnya baca Hisab Rukyat dan Perbedaannya, 2004, p. 289)”

      • Hisab Umul Quro oleh Arab Saudi sendiri belum tentu ditaati dalam memutuskan waktu ibadah. Itu hanya kalender administratif. Dalam menyikapinya, kita harus menghargainya, seperti juga menghargai adanya kalender Muhammadiyah, kalender NU, dalm lain-lain. Menghargai bukan berarti menyetujui.
        Soal tanggapan Pak Susiknan atau lainnya, silakan saja masing-masing punya hak untuk berpendapat.

      • Terima kasih jawabannya pak.., smoga Allah SWT memberikan berkah malam jum’at ini bagi kita semua. Amin..
        Bagi keyakinan saya pribadi, apa yg terjadi di mekkah adalah suatu “proses output keyakinan” yg saya yakini diridhoi Allah SWT.
        Secara umum mengenai jawaban pak djamal itu juga berlaku utk menjawab tulisan2 pak djamal terdahulu juga karena bersifat pendapat juga!.
        Menghargai belum tentu menyetujui
        Bersatu belum tentu harus satu
        Berbeda belum tentu harus beda
        Maka ijinkanlah juga saya menyambungkan kutipan pak susiknan di fb beliau lagi..
        “Sebagai manusia tentu menyadari bahwa setiap pendapat memiliki keunggulan sekaligus kekurangan. Saya siap berdiskusi di forum yang terhormat ini dengan pendekatan asertif. Hindari kalimat-kalimat yang akan berdampak negatif (qul khairan aw liyasmut).  Sepanjang pembacaan saya terhadap tulisan-tulisan yang terpublikasikan, si penulis terkesan “memaksakan ide”. Dalam konteks wujudul hilal dan imkanur rukyat, pernyataan si penulis terkesan berat sebelah. Kenapa yang diungkap hanya kelemahan wujudul hilal, seharusnya juga diungkap kelebihan. Begitu pula saat menilai imkanur rukyat yang diungkap hanya kelebihan saja, kenapa tidak diungkap kekurangannya. Keduanya adalah produk pemikiran yang memiliki kelebihan dan kekurangannya sehingga harus diperlakukan secara adil.
                    Contoh kongkrit Kalender Hijrian 1423/ 2011 yang dihitung dengan markaz Yogyakarta. Ketinggian hilal bulan Muharam = 7  30’  46”, Safar = -0 18’ 05”, Rabiul Awal = 01 05’ 00”, Rabiul Akhir = 01 50’ 41”, Jumadil awal = -04 52’ 20”, Jumadil akhir = -00 48’ 12”, Rajab = 04 50’ 33”, Syakban = -00 00’ 16”, Ramadan = 06 49’ 10”, Syawal = 01 49’ 57”, dan Zulkaidah = -02 37’ 39”. Berdasarkan data tersebut ketinggian hilal yang memenuhi kriteria Imkanur Rukyat  (MABIMS) adalah bulan Muharam, Rajab, dan Ramadan. Jika si penulis sebagai peneliti bukan pengagum kriteria imkanur rukyat, pertanyaan yang bisa diajukan berapa kali si penulis bisa membuktikan bahwa teori tersebut terbukti secara empirik? Saya melihat si penulis hanya terpaku pada hilal awal Syawal 1432 yang dianggapnya tidak memenuhi kriteria imkanur rukyat dan wajib ditolak. Sementara itu bulan-bulan yang memenuhi kriteria imkanur rukyat tapi tidak ada bukti otentik yang mampu dipertanggunjawabkan tidak dipermasalahkan. Pertanyaan berikutnya jika si penulis konsisten dengan imkanur rukyat alias “udhul fi imkani ar-ru’yah kaffah” mengapa masih mengikuti sidang isbat? Bukankah ini menunjukkan bahwa si penulis masih setengah hati terhadap imkanur rukyat. Di satu sisi memaksa pihak lain mengikuti imkanur rukyat. Tetapi pada saat yang sama masih menunggu laporan rukyat. Padahal sudah diyakini kalau hilal tidak mungkin dilihat. Hal ini menunjukkan telah terjadi anomali dan teori yang digunakan tidak memiliki landasan yang kokoh. Anehnya ketika seseorang mempertanyakan hal ini, si penulis menganggap si penanya tidak memahami imkanur rukyat. Dalam kasus seperti ini apa bedanya imkanur rukyat dengan rukyatul hilal?”.

  6. Persatuan emang penting, tapi tdk lbih penting dari kebenaran!

    a). Dalam Surat Ali Imran dikatakan, “Wa’tashimu bi hablillahi jami’an, wa laa tafarraquu.” Dalam ayat ini berpegang teguh kepada kebenaran DIDAHULUKAN daripada persatuan. Hikmahnya, apa artinya bersatu kalau ingkar terhadap Syariat Islam?; (b). Ibnu Mas’ud menjelaskan pengertian Al Jamaah, “Ittifaqu bil haqqi walau kunta wahid” (sepakat dengan kebenaran walau engkau hanya seorang diri). Kita harus berpegang dengan kebenaran, meskipun seorang diri; (c). Dalam Sunnah disebutkan sabda Nabi Saw, “Innamat tha’atu fil ma’ruf” (bahwa ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf saja). Mengingkari kesaksian melihat hilal adalah maksiyat serius, harus ditolak, kita tak boleh mematuhinya; (d). Persatuan yang dikehendaki oleh Islam adalah persatuan yang Syar’i, bukan persatuan yang membuang kaidah Sunnah Rasululullah Saw; (e). Bersatu di atas kebathilan justru sangat dilarang dalam Islam, seperti disebut dalam Surat Al Maa’idah, “Wa laa ta’awanuu ‘alal itsmi wal ‘udwan” (jangan kalian bekerjasama di atas dosa dan permusuhan).

    Utk lebih jelasx, Silakan download “CARA TEPAT MENETAPKAN 1 SYAWAL & IDUL ADHA” di:
    http://www.mediafire.com/?5e87dw6w9w1m12s

  7. Memang walaupun pada zaman Nabi bulan sudah berada diatas ufuk, tetapi kalau “ghumma” atau tehalang, maka bulan tidak ditetapkan sebagai hilal dan nabi “istikmal” menggenapkan shaum 30 hari. Rasulullah melakukan istikmal saat ghumma karena memang pada saat itu Nabi tidak bisa melihat hilal secara langsung. Masalahnya pada zaman sekarang ilmu pengetahuan (astronomi) sudah sangat berkembang, peralatan sudah sedemikian canggih, shg kalaupun bulan sdh berada diatas ufuk, maka hilal sudah dapat terlihat dengan “ilmu”, misalnya tinggi hilal 1 derajat, itu hilal sudah ada bahkan 0,00001 derajat pun hilal sudah ada alias terlihat dengan “ilmu”. Jadi intinya pada zaman sekarang Rukyat dengan melihat secara langsung sudah tidak diperlukan lagi meskipun itu dengan kriteria imkan rukyat yang jelas2 menghendaki adanya rukyat bil fi’li (melihat langsung dengan mata). Dan perlu diketahui metode wujudul hilal itu adalah wujudnya/adanya hilal, entah itu terlihat langsung ataupun terlihat secara hisab (astronomi). Jadi kalau ada yang katakan wujudul hilal itu tdk ada, tapi adanya wujudul qomar, jelas pernyataan ini tertolak. Terakhir, wujudul hilal itu berbeda dengan imkan rukyat, kalau dalam situs ini Pak Thomas ingin mengajak Muhammadiyah menuju kriteria imkan rukyat, itu jelas tidak bisa, karena sedari awal prinsipnya memang sudah berbeda, yaitu wujudul hilal sudah meninggalkan rukyat bil fi’li, sedangkan imkan rukyat jelas2 menghendaki adanya kemungkinan rukyat bil fi’li. Terima Kasih.

    • Berarti tidak membaca “Pedoman Hisab Muhammadiyah” yang saya kutip. Ada keslahpahaman soal “rukyat bil ilmi”. Dengan “ilmu” maknanya luas. Ada yang yang dengan ilmu “bathin”-nya mengaku melihat hilal, walau sebenarnya menurut ilmu astronomi bulan di bawah ufuk. Itu jelas tertolak. melihat dengan ilmu, dalam ilmu hisab berarti melihat dengan ilmu astronomi. Astronomi tidak manafikkan adanya syafak (cahaya senja). Jadi, hilal wujud di atas ufuk tetap harus memperhitungkan atmosfer. Jangan hanya untuk refraksinya. Silakan belajar dulu ilmu hisabnya. Dalam perhitungan posisi bulan, selalu diperhitungkan refraksi atmosfer. Mengapa hamburan cahaya atmosfer tidak diperhitungkan? Itu artinya melihat dengan “ilmu” astronomi yang belum sempurna.

      • Yang saya maksud dengan “rukyat bil ilmi” disini jelas2 adalah melihat dengan ilmu hisab/astronomi bukan dengan “ilmu batin”. Dalam hisab wujudul hilal sudah pasti terukur, misalnya tinggi bulan 1 derajat, ini sudah pasti karena menggunakan perhitungan yang eksak. Dan hilalnya kan sudah ada/diketahui/terlihat dengan “ilmu” hisab/astronomi walaupun tak terlihat dengan mata fisik. Kenapa kita harus merukyat langsung seperti pada zaman Nabi yang ilmu hisab belum berkembang, sementara di zaman sekarang dengan ilmu perhitungan yang pasti hilal sudah dapat diketahui walaupun itu tak terlihat dengan mata fisik.

      • Baik, kalau yang dimaksud “rukyat bil ilmi” adalah rukyat dengan ilmu astronomi, ya tanyakan pada ahli astronomi, bukan bertanya pada ahli lainnya. Kalau saya yang sudah puluhan tahun belajar dan mempraktekkan astronomi, masih dianggap kurang, apalagi yang bidangnya bukan astronomi. Pesan Nabi, “kalau suatu urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya”. Saat ini banyak orang yang merasa ahli untuk soal hisab rukyat, tetapi konsep fisis astronominya sebenarnya lemah, sehingga terlalu kaku dalam memahami permasalahan hisab rukyat sesungguhnya.

  8. Menuju Titik Temu Hisab Wujudul Hilal dan Hisab Imkan Rukyat itu sulit selama pemerintah masih menggunakan kriteria Imkan Rukyat dengan mensyaratkan 2 derajat (MABIMS) atau 4 derajat ( (Thomas Djamaluddin, 2010), maka perbedaan kemungkinan besar akan terjadi. Selama ini Muhammadiyah menggunakan metode Wujudul Hilal yang berarti berapapun derajatnya, apabila hilal telah wujud, maka dipastikan esoknya merupakan awal bulan. Menurut wakil ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Oman Faturrahman, metode melihat langsung atau rukyat akan sangat susah dilaksanakan apabila ketinggian hilal masih dibawah 5 derajat, padahal pada waktu 1 syawwal 1432 Hijriyyah ketinggian hilal masih diposisi 1 derajat. “Selama ini ahli astronomi dunia masih menyangsikan kemampuan manusia dalam melihat hilal diposisi kurang dari 5 derajat, rekor melihat hilal sampai saat ini adalah di angka 5 derajat,” ungkapnya.

    • Kalau 5 derajat dianggap susah, kita bisa usulkan lebih tinggi lagi. tetapi itu harus didasarkan pada data. Kriteria imkan rukyat adalah krietria hisab yang didasarkan pada data rukyat jangka panjang, lalu dibuatlah syarat-syarat batas yang memungkinan rukyat berhasil. Pemerintah akan menggunakan hasil kesepakatan sebagai rujukan. Saat ini kesepakatannya adalah kriteria “2,3,8”.

      • Pak Djamal ysh, kali ini pernyataan sampeyan 99% betul malah lebih afdhal dirujuk ke 7 derajat saja spt defaultnya NU. Jd sudah tidak bersifat “memungkinkan” tapi lebih bersifat “memastikan” sebab yang namanya keyakinan itu hrs berarti “beryakin dan berpasti”!. Jadi klop sudah bertemu dan mewujud penyatuan penganut imkanurukyat dan rukyatul hilal. Dalam hal ini sy ucapkan selamat utk pak djamal..
        Imkanurukyat mau mengalah ke 7 derajat demi kepastian melihat hilal..
        Btw, mohon pertanyaan sederhana sy belum dijawab secara gamblang dumateng panjenengan..

      • Sudah saya jawab di atas. Silakan ulangi pertanyaannya, kalau itu dianggap belum menjawab.

      • Walaupun saat ini saya condong dengan wujudul hilal, tapi Secara pribadi, saya sangat salut bahkan terharu dengan i’tikad baik Pak Thomas, yang terus berusaha untuk menyatukan kalender hijriyah atau Keseragaman mengawali Ramadhan dan mengakhirinya dengan Idul Fitri, serta dalam melaksanakan Idul Adha di Indonesia. Masalahnya antara hisab wujudul hilal dan imkan rukyat prinsipnya berbeda sehingga sulit untuk disatukan. Wallahu a’lam bishawab.

        Mungkin blog saya ini dapat menjadi masukan kita semua dalam menambah wacana kita tentang penetapan hari-hari besar umat Islam

        http://universologi.blogspot.com/2011/09/sebenarnya-yang-menjadi-perbedaan.html

  9. Kalau kita sepakat bahwa rukyat bisa dimaknai ”melihat dg ilmu”, mestinya pengertian hilal harus didefinisikan secara ilmu astronomi murni, jangan set back lagi ke ”kemungkinan bisa terlihat”. Ini namanya tdk konsisten. Ngapain harus ”mungkin terlihat” sementera kita memang sudah tidak merukyat? Jangan membingungkan pak….

    • Masalah terbesar dalam pengamatan hilal adalah masalah atmosfer yang belum bisa dimodelkan secara tepat. Oleh karenanya pemburu hilal bukan hanya Muslim, karena itu menjadi tantangan astronomi, khususnya para astronom amatir. Tidak seorang pun pengamat hilal yang bisa memastikan bisa melihat, karena adanya ketidakpastian faktor atmosfer itu.
      Saudara-saudara kita pengamal wujudul hilal menghindari kerumitan itu dengan menggunakan model sederhana saja. Banyak orang non-sains tidak memahami konsep ketidakpastian, lalu memuji “kepastian” wujudul hilal. Astronomi adalah sains, jadi harus difahami secara sains juga. Mari kita pelajari sains dengan baik, untuk memahami konsep astronomi.

      • Pak Djamaluddin,

        Pernyataan bahwa “atmosfer belum bisa dimodelkan secara tepat”, apakah itu sebuah pengakuan bahwa memang ilmu astronomi yang berkaitan dengan imkanu rukyat memang belum mapan? Mohon penjelasan tambahannya. Dalam banyak kasus, hanya ilmu/teknologi yang sudah mapan saja yang layak untuk dimasukkan ke dalam sebuah sistem.

        Dan satu lagi pertanyaan yang cukup mendasar, berkaitan dengan ilmu fisika.
        Adaikan sebuah kasus imaginer seperti ini: tepat ketika matahari tenggelam di suatu titik observasi, semua sinar matahari yang langsung ke bumi tertutup, dan hanya sinar dari pantulan bulan saja yang masuk ke atmosfer bumi (tidak ada cahaya senja sama sekali). Pada saat ini andaikan bulan tepat di atas ufuk (dalam arti: piringan bawah bulan dengan ketinggian 0 derajat, refraksi atmosfer sudah diperhitungkan). Apakah dalam kondisi ini hilal masih tidak mungkin dilihat oleh manusia di atas permukaan bumi ketika cuaca dalam kondisi sempurna? (catatan: dengan pertolongan alat optik yang bisa melakukan koreksi sinar terhadap turbulensi atmosfer menurut kebutuhan). Sejauh yang bisa saya simpulkan, sinar hilal akan bisa ditangkap dengan jelas. Apakah kesimpulan ini salah? Kalau kesimpulan saya benar, sekarang masukkan kembali cahaya senja dari matahari. Apakah dengan memasukkan faktor cahaya senja ini, sinar hilal ini menjadi TIDAK ADA atau TIDAK SAMPAI? Tentu saja tidak. Sinar hilal ada, hanya mata saja yang tidak bisa membedakannya. Jadi masalahnya kembali kepada definisi “hilal yang terlihat”, yang lebih terkait dengan persepsi mata, menjauh dari dari astronomi. Yang ADA tapi TIDAK TERLIHAT, mengapa lebih cenderung digolongkan sebagai hal yang TIDAK ADA? Paling tidak, banyak pendukung imkanu rukyat yang meninggalkan komentar di blog anda beranggapan bahwa dengan “ilmu astronomi” imkanu rukyat, hilal tidak TIDAK ADA, bukan sekedar TIDAK TERLIHAT.

      • Sains itu hanya mengandalkan bukti-bukti yang ada, baik secara empirik maupun secara model matematis. Atmosfer memang belum bisa dimodelkan dengan tepat oleh fisika atmosfer (itu bukan bisang astronomi), karena memang sangat dinamis. Tidak bisa digeneralisasi, karena tergantung pada banyak faktoe antara lain temperatur dan tekanan udara. Oleh karenanya, pendekatan terbaik adalah dengan cara statistik dari banyak pengamatan empirik. Nah, kajian itu tidak tunggal sehingga memungkinkan kriteria imkanur rukyat yang terkait faktor atmosfer itu sangat beragam. Untuk keperluan praktis implementasi, biasakan diambil salah satu kriteria. Untuk satu negara, biasanya pengambilan itu atas dasar kesepakatan para penggunanya.
        Terkait asumsi tidak ada cahaya senja, hal itu dimungkinkan saja secara sains. Kalau demikian harus konsisten juga diasumsikan tidak ada atmosfer, jadi dalam perhitungan tidak perlu memasukkan efek refraksi. Namun pendekatn itu tidak diambil oleh para ahli hisab, karena dalam penentuan awal Ramadhan, Syawal, atau Dzilhijjah, bukan hanya aspek sains yang dipertimbangkan, tetapi juga aspek dalil syar’i. Dalil syar’i selalu didasarkan pada kondisi nyata, bahwa kita hidup di bumi yang ada atmosfernya. Kalau mau murni sains, definisi “newmonn” atau ijtimak sudah cukup. Tetapi tak satu pun ahli hisab yang merekomendasikan penggunaan ijtimak atau newmoon sebagai batas awal masuknya awal bulan.

      • Pak Djamaluddin, sepertinya anda tidak menangkap maksud saya dengan menghilangkan faktor cahaya senja, dimana kemudian pada akhirnya saya mengintroduksikannya kembali. Poin saya adalah, bila hilal itu ada pada saat tidak ada cahaya senja, maka menambahkan kembali cahaya senja tidak menjadikan hal yang sebelumnya ada mejadi hal tidak ada. Hilal itu ada, tapi tidak terlihat oleh mata atau dengan bantuan alat-alat optik yang “seadanya”. Bukankah begitu?
        Refraksi atmosfer dimasukkan dalam perhitungan dikarenakan posisi hilal dihitung pada saat matahari tenggelam. Ketika definisi matahari tenggelam mengikutkan unsur refraksi atmosfer, saya kira perhitungan posisi hilal otomatis membutuhkan kriteria yang kurang lebih sama. Apalagi sejauh yang saya tahu sifat refraksi tidak dipengaruhi sama sekali oleh faktor kekuatan cahaya.

      • Sains tidak menggunakan logika seperti itu. Kalau keberadaan atmosfer diperhitungkan untuk refraksi, kecerlangan langit juga harus diperhitungkan. Teknologi saat ini tidak memungkinkan meniadakan cahaya senja itu, walau dengan teknik filtering. Jadai, beradi-andai dengan sesuatu yang tidak mungkin sulit diterima secara sains. Pada sisi lain, dalil syar’i tidak menyatakan sekadar “keberadaan” hilal, tetapi itu prasyarat “terlihatnya” hilal sesuai dengan perintah rukyat. Silakan baca “Pedoman Hisab Muhammadiyah” yang saya kutip di atas, “Keberadaan bulan di atas ufuk itu penting mengingat ia adalah inti makna yang dapat disarikan dari perintah Nabi SAW melakukan rukyat dan menggenapkan bulan 30 hari bila tidak dapat dilakukan rukyat”. “Keberadaan” ufuk itu sebenarnya baru syarat perlu untuk rukyat, bukan syarat cukup. Untuk memenuhi syarat cukup, faktor kecerlangan langit akibat hamburan cahaya harus dimasukkan.

      • Pak Djamaluddin, terimakasih atas jawabannya. Mengingat terlalu banyaknya “noise” dalam jawaban bapak (saya tidak sedang mengaitkan dengan wujudul hilal maupun dalil syar’i tentang hilal), saya dapat menyimpulkan bahwa hilal (dalam arti “crescent”) itu memang ADA, namun TIDAK TERLIHAT menggunakan teknologi saat ini. Hanya ini klarifikasi yang saya tanyakan.

  10. Sebenarnya, dengan menyebut kriteria wujudul hilal sebagai kriteria yang “usang”, Prof. Thomas masih agak mentolerir kriteria wujudul hilal ini. Mengapa? Karena beliau masih menempatkan wujudul hilal dalam kelompok hisab terhadap hilal. Dengan demikian, kritik beliau hanya berada di tataran teknis – astronomis yang memang merupakan domain beliau; bukan pada tataran syar’i – filosofis tentang ta’rif/definisi hilal yang disyariatkan sebagai penanda waktu.

    Padahal, kalau memang betul betul keras mengkritik wujudul hilal, wujudul hilal sangat lemah di tataran syar’i; dan kritik di tataran syar’i ini jauh lebih “menohok” dari pada kritik di tataran teknis astronomis. Tetapi karena domain beliau bukan di disiplin syari’ah, dan niatnya bukan untuk memojokkan atau menohok Muhammadiyah melainkan mencari titik temu menuju penyatuan kalender hijriyah, maka beliau tidak mengelaborasi lebih lanjut kelemahan di tataran syar’i ini.

    Wujudul hilal sejatinya tidak menghisab hilal, dan tidak menjadikan hilal sebagai acuan penentuan masuknya bulan baru. Wujudul hilal sejatinya betul betul telah mengabaikan hilal dalam pengertian bulan sabit yang bisa dilihat pertama kali di awal bulan. Bukan hilal seperti itu yang dihisab oleh wujudul hilal. Bukan pula hilal dalam pengertian bagian rembulan yang secara teoritis tersinari matahari dan dipantulkan ke bumi yang dihisab oleh wujudul hilal.

    Wujudul hilal hanya menghisab posisi rembulan dan matahari teoritis dalam menentukan awal bulan, bukan menghisab hilal. Dan dari sisi syar’i ini betul betul mengabaikan ayat yang menyebut hilal dan praktek Rasulullah dan para sahabat dalam mengamalkan ayat tentang hilal tsb. Wujudul hilal memiliki kelemahan mendasar di tingkat definisi/ta’rif syar’i dari hilal.

    Semoga para ahli fiqih Muhammadiyah segera menyadari kelemahan definisi/ta’rif hilal ini, atau memberikan klarifikasi mengenai kelemahan ini. Wallahu a’lam bis-shawab.

    • Pak Rois, mungkin saya perlu mengulangi statemen saya diatas :

      Memang walaupun pada zaman Nabi bulan sudah berada diatas ufuk, tetapi kalau “ghumma” atau tehalang, maka bulan tidak ditetapkan sebagai hilal dan nabi “istikmal” menggenapkan shaum 30 hari. Rasulullah melakukan istikmal saat ghumma karena memang pada saat itu Nabi tidak bisa melihat hilal secara langsung. Masalahnya pada zaman sekarang ilmu pengetahuan (astronomi) sudah sangat berkembang, peralatan sudah sedemikian canggih, shg kalaupun bulan sdh berada diatas ufuk, maka hilal sudah dapat terlihat dengan “ilmu”, misalnya tinggi hilal 1 derajat, itu hilal sudah ada bahkan 0,00001 derajat pun hilal sudah ada alias terlihat dengan “ilmu”. Jadi intinya pada zaman sekarang Rukyat dengan melihat secara langsung sudah tidak diperlukan lagi meskipun itu dengan kriteria imkan rukyat yang jelas2 menghendaki adanya rukyat bil fi’li (melihat langsung dengan mata). Dan perlu diketahui metode wujudul hilal itu adalah wujudnya/adanya hilal, entah itu terlihat langsung ataupun terlihat secara hisab (astronomi). Jadi kalau ada yang katakan wujudul hilal itu tdk ada, tapi adanya wujudul qomar, jelas pernyataan ini tertolak. Terakhir, wujudul hilal itu berbeda dengan imkan rukyat, kalau dalam situs ini Pak Thomas ingin mengajak Muhammadiyah menuju kriteria imkan rukyat, itu jelas tidak bisa, karena sedari awal prinsipnya memang sudah berbeda, yaitu wujudul hilal sudah meninggalkan rukyat bil fi’li, sedangkan imkan rukyat jelas2 menghendaki adanya kemungkinan rukyat bil fi’li. Terima Kasih.

    • Pak Abdullah yang saya hormati, mohon ijin untuk menanggapi pendapat Bapak. Maksud Pak Rois yang saya pahami (mohon koreksinya Pak Rois) adalah kriteria yang diberikan oleh Wujudul Hilal (WH) belum berupa kriteria “terlihat”-nya hilal, tetapi HANYA kriteria posisi bulan. Karena kriteria yang diberikan oleh WH tidak menghitung posisi antara pemilik sumber cahaya (yaitu matahari) dan objek yang memantulkan cahaya (yaitu bulan) terhadap bumi sebagai penerima pantulan tersebut.

      Mohammad Odeh (2006) menyebutkan ada 6 parameter dalam menentukan “terlihat”-nya hilal. Dari ke-enam parameter tersebut, disebutkan ada 3 paramater dasar yang menyangkut bulan dan sumber cahayanya yaitu matahari, ketiga parameter tersebut adalah elongasi, altitude dan azimuth. Itu menurut beliau yang ahli astronomi, untuk lebih lengkap silahkan baca tulisannya yang berjudul “New Criterion for Lunar Crescent Visibility”.

      Ada hal menarik yang ingin saya tanyakan dari pendapat Pak Abdullah. Menurut Bapak: “…kalau “ghumma” atau terhalang, maka bulan tidak ditetapkan sebagai hilal dan nabi “istikmal” menggenapkan shaum 30 hari…” selanjutnya Bapak menambahkan: ” …Masalahnya pada zaman sekarang ilmu pengetahuan (astronomi) sudah sangat berkembang, peralatan sudah sedemikian canggih, shg kalaupun bulan sdh berada diatas ufuk, maka hilal sudah dapat terlihat dengan “ilmu”…” Menurut saya, jangankan di atas ufuk, saat bulan yang bersinar terang di bawah ufuk pun sudah dapat dihitung, contohnya saat puncak BULAN PURNAMA (full moon) pada bulan September 2011 yang terjadi sekitar pukul 16:27 WIB.

      Jadi saya ingin bertanya ke Pak Abdullah, maksudnya melihat dengan “ilmu” itu sebenarnya seperti apa Pak? kalau kita lihat contoh perhitungan WH pada buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah” halaman 88-94. Disana dicontohkan keberadaan hilal di kota Yogyakarta. Hasilnya adalah: (1) Ijtimak sudah terjadi pada pukul 15:13:59.26 WIB artinya (2) ijtimak/konjungsi terjadi sebelum matahari terbenam dan (3) posisi bulan saat matahari terbenam (pukul 17:35 WIB) yaitu -0º 52′ 03,82″, artinya bulan berada di bawah ufuk.

      Kalau dilihat dengan “ilmu” (sesuai pemahaman saya melihat dengan ilmu), maka terhitung dari setelah terjadinya konjungsi/ijtimak maka elongasi > 0 dan telah ada sinar matahari yang memantul dan sampai ke bumi hanya saja TERHALANG oleh batas ufuk, disini kan sama saja artinya dengan terhalang oleh awan, maupun terhalang oleh cahaya senja, bukan begitu Pak Abdullah? artinya hilal sudah terbentuk walau pun posisi bulan di bawah ufuk, tetapi hilal yang sudah wujud itu ditolak oleh kriteria WH, mengapa? bukankah dengan menggunakan “ilmu”, kita dapat MEMASTIKAN hilal di bawah ufuk tersebut telah “terlihat” (wujud)? karena dengan elongasi > 0 secara “ilmu” (teori) sudah ada sinar matahari mengenai bulan yang memantul ke bumi, kenapa harus menunggu di atas ufuk? Mohon pencerahannya dari Pak Abdullah.

      Mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya, terima kasih.

      Wallahu’alam…

  11. Pak thomas….ngapain kita menyibukkan diri soal refraksi cahaya matahari saat matahari terbenam? Cahaya matahari mau berefraksi, berpendar atau apapun namanya, nggak usah dipusingkan. Yg penting kalau kajian astronomis menyatakan bulan (hilal) di atas ufuk (mau terlihat atau tidak), saat itu mulai bulan baru. Kalau kita masih berkutat pada syarat ”terlihat” atau ”kemungkinan terlihat”….sudahlah….tinggalkan ilmu astronomi saja. Lebih baik kita merukyat tiap akhir bulan untuk memastikan bulan baru. (Eh…nggak ada perintah merukyat tiap bulan ya?). Hehehe…..

  12. Pak Thomas….kesan yang saya tangkap dari tulisan2 anda di blog ini koq sepertinya anda sudah kebelet ingin mendapatkan gelar ”pahlawan pemersatu hari raya ummat islam”. Sabar pak Thomas…..jika gelar pahlawan itu tidak jatuh ke tangan anda, insyaallah akan jatuh ke tokoh lain juga, cepat atau lambat. Jadi santai saja….toh orang sdh tau kalau anda profesor riset astronomi dan astrofisika, juga deputi sains. Saya kira gelar dan jabatan anda sudah sangat bergengsi, dan ide-ide anda sudah disampaikan. Dulu columbus mencapai benua amerika juga tidak ingin mendapat gelar pahlawan penemu benua amerika khan? Bahwa manusia sekarang mengenangnya, itu sebuah apresiasi saja. Jadi…nggak usah kebelet pak…..

  13. Pak Syarif….walau sdh memantulkan cahaya, tp kalau masih di bawah ufuk ya nggak masuk kriteria donk….. Kalau posisi bulan mah memang secara ilmu astronomi bisa diketahui setiap saat (termasuk di bawah ufuk). Tapi itu bukan berarti hilal kan? Hilal dimulai sejak badan bulan nyembul di atas ufuk (barat, bukan timur) saat matahari terbenam, tanpa disyaratkan terlihat oleh mata atau dengan bantuan alat optik. Definisi ini clear. Perkara kemudian muncul kajian visibilitas hilal, itu tidak mempengaruhi kriteria wujudul hilal. Biarlah kajian itu tetap dilakukan, namun kriteria wujudul hilal akan tetap dipegang oleh Muhammadiyah. Kajian visibilitas hilal sesungguhnya untuk mengkompromikan hisab dan rukyat. Maklum, sebagian besar ummat islam masih mensyaratkan terlihatnya hilal. Mau tak mau, para astronom muslim termasuk Prof. Thomas berusaha sekuat tenaga mendekatkan kriteria hilal versi hisab dan versi rukyat. Maka muncullah crescent visibility. Bagi Muhammadiyah saya kira, kajian visibilitas hilal tetap berguna, meskipun itu sebatas informasi tambahan, dan tidak mempengaruhi kriteria wujudul hilal yang telah ditetapkan. Skali lagi, visibilitas hilal hanya sebatas informasi tambahan. Hal itu bagus2 saja. Sebagaimana kita mengenal seorang tokoh, misalnya ia ahli di bidang A, menduduki jabatan B dan C. Nah, kalau sang tokoh itu diketahui lahir di kota D dan memiliki X anak misalnya, itu informasi tambahan saja dan tidak ada sangkut pautnya dengan ketokohannya.

    • Assallamuallaikum Pak Prasojo, apa kabar Pak? mudah-mudahan sehat selalu. Sudah lama kita tidak berdiskusi sepertinya, kangen saya dengan pencerahan dan koreksi Bapak terhadap pendapat saya.

      Begini Pak, justru pertanyaan saya kepada Pak Abdullah adalah, mengapa ufuk dimasukan ke dalam salah satu kriteria Wujudul Hilal (WH)? Pemahaman saya dengan melihat menggunakan “ilmu” adalah berarti menggunakan perhitungan astronomi, nah dengan perhitungan tersebut hilal di bawah ufuk sudah dapat “terlihat”, bukankah dengan hanya menentukan posisi bulan (baik di atas maupun di bawah ufuk) maka hilal sudah dapat “terlihat” dengan ilmu?. Penggunakan ufuk sebagai batasan, artinya WH membatasi kemampuan “melihat” dengan “ilmu” tersebut kan? mohon pencerahan dari Pak Prasojo.

      Menurut Pak Prasojo, “…Hilal dimulai sejak badan bulan nyembul di atas ufuk…” akan tetapi mohon maaf, pendapat tersebut terbantahkan oleh observasi yang dilakukan Thierry Legault dan Martin Elsasser (silahkan lihat di www[dot]icoproject[dot]org[slash]record[dot]html). Menurut mereka, dengan menggunakan CCD imaging, hilal sudah dapat terlihat 0 MENIT dari saat terjadinya geosentrik konjungsi (Thierry Legault) dan 4 MENIT dari saat terjadinya toposentrik konjungsi (Martin Elsasser).

      Kalau kita kembali ke contoh perhitungan dalam buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah”, jarak antara terjadinya konjungsi (15:13 WIB) dan terbenamnya matahari (17:35 WIB) adalah sekitar 2 JAM 22 MENIT, tetapi tertolak karena masih di bawah ufuk. Bayangkan Pak Prasojo, hilal yang berumur kurang dari 4 menit saja sudah terlihat dengan CCD imaging (seperti contoh di atas) apalagi hilal yang berumur lebih dari 2 jam yang “ngumpet” di balik ufuk, pasti sudah “gede” banget kan Pak? Jadi pertanyaan saya, kenapa harus ada batas di atas ufuk Pak? saya sebenarnya masih berharap jawaban dari Pak Abdullah, tetapi mungkin Pak Prasojo dapat memberikan pencerahannya ke saya.

      Mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya, terima kasih.

      Wallahu’alam…

      • Pak Syarif dan Pak Prasojo,

        Itulah hakekat wujudul hilal: hanya mempertimbangkan posisi rembulan dalam menentukan masuknya bulan baru, dan sama sekali mengabaikan hilal. Sehingga, sering kita dengar semacam koreksi istilah: bukan wujudul hilal tetapi wujudul qamar.

        Secara pribadi, meskipun saya adalah warga Muhammadiyah, menurut saya memang wujudul hilal sudah terlalu jauh dari rambu rambu AlQur’an dan As-sunnah dalam mendefinisikan acuan masuknya bulan baru. DI buku Pedoman Hisab Muhammadiyah pun saya sama sekali tidak menemukan ayat 189 surat AlBaqarah: satu satunya ayat yang secara eksplisit menyebut hilal sebagai acuan waktu ibadah bagi umat Islam.

        Rasulullah pun dalam prakteknya memilih untuk menunggu hingga bulan berumur 30 hari yang bisa memberikan kepastian tampaknya hilal dengan hisab ketika di hari ke 29 tidak ada kepastian tampaknya hilal dengan ru’yat.

        Artinya, hisab itu hendaknya digunakan sebagai dasar menentukan masuknya bulan baru ketika ia bisa memastikan tampaknya hilal. Yang terjadi dengan wujudul hilal adalah: ada kondisi di mana hisab (wujudul hilal) justru menetapkan sudah masuknya bulan baru ketika ia bisa memastikan tidak tampaknya hilal.

        Wallahu a’lam bis-shawab.

      • Pak Syarif yang saya hormati, sebenarnya saya juga masih harus belajar banyak. Mungkin jawaban2 dari Pak Prasojo bisa mewakili saya, karena mungkin beliau lebih paham dengan permasalahan ini dilihat dari komentar2 beliau.

        Kriteria memasuki bulan baru yaitu secara astronomis, apabila bulan di langit telah berkonjungsi (ijtimak), berarti telah mengitari bumi satu putaran penuh. Kedua, genapnya satu putaran itu tercapai sebelum matahari terbenam, dan ketiga saat Matahari sore terbenam, bulan positif di atas ufuk. Dengan demikian, kriteria memasuki bulan baru telah terpenuhi.
        Kriteria 2 derajat, 4 derajat, 7 derajat itu adalah kriteria kenampakan (visibilitas) hilal, bukan kriteria tanggal atau bulan baru. ilmu astronomi tidak pernah mensyaratkan tinggi hilal utk penentuan awal bulan. Kalaupun ada kajian dan penelitian visibilitas, itu hanya untuk menentukan awal kemungkinan terlihatnya hilal, bukan syarat memasuki bulan baru (Prasojo).

  14. Menu Qomariyah Waktu2 Ibadah, SEDIA:

    Rukyatul hilal jaman nabi:
    – melihat lansung hilal
    – menerima siapapun yg bersaksi melihat hilal walau seorang badui sekalipun (teladan nabi)

    Rukyatul hilal ala gus dur(wkt pbnu):
    – melihat langsung hilal
    – menerima persaksian kyai falakh dr jombang(hilal tdk mungkin terlihat) berbeda dgn pemerintah yg dimaknai oleh beliau sbg perbedaan yg rahmatan lil alamin(teladan nabi).

    Mekkah-Arab Saudi:
    -hisab wujudul hilal ummul quro’
    -rukyat lokal rukyat global
    -menerima persaksian yg adil baik lokal(arab saudi) maupun global. Meskipun persaksian lokal ditolak para astronomnya krn hilal tdk mungkin terlihat scr lokal. Itulah yg disebut oleh pak djamal sbg sesuatu yg kontroversial. Padahal penerimaan saksi ini adlh meneladani apa yg Rasulullah lakukan jaman dulu. Bagi saya keyakinan “saksi” itu menyangkut sesuatu yg “ghoib” dlm rukun iman kita!

    Muhammadiyah:
    -hisab wujudul hilal
    -jk sudah bernilai positif maka berlaku hukum positif yg sah dan wajib disegerakan

    Imkanurukyat ala indonesia:
    (NU,Persis,LDII,Islam abangan,Islam kejawen) konsultan by Prof.TDjamaluddin
    -hisab imkanurukyat
    -visibilitas hilal sesuatu yg mutlak namun bisa dinego ditawar sesuai selera.
    Apakah di derajat 2, 4, atau 6 yg penting sepakat dululah.
    -berlaku otorisasi spy afdhal
    -jika ada saksi yg mampu melihat hilal dibawah kesepakatan hrs ditolak krn tdk sesuai dgn kaidah astronomi. Nggak peduli akan teladan nabi meskipun seorang kyai sekalipun yg bersaksi (jepara&cakung)
    -nggak peduli berbeda dgn mekkah dan dunia

    Menu tambahan:
    Malaysia imkanurkyt menerima saksi lokal
    Turki imknryt, Mesir, jordania, iraq, lebnon ikut saudi juga

    Monggo dipilih

  15. Pak Syarif…..kenapa mesti ”ufuk”? Ya…krn ufuk itu batas antara langit dan dataran (semu) bumi, dipandang dari posisi observer. Artinya, jika suatu benda langit berada di bawah ufuk, maka ia tdk akan terlihat oleh mata. Sebaliknya, benda langit akan bisa terlihat oleh mata jika telah berada di atas ufuk. Pengertian terlihat oleh mata adalah, bisa ditarik garis lurus dari mata ke benda langit. Prinsip dasarnya, mata hanya bisa melihat suatu benda pada garis lurus. Mengapa mata hanya bisa melihat benda pada garis lurus? Inilah hukum yang diciptakan Allah. Andai mata bisa melihat benda secara melengkung atau belok, tentu pak Syarif bisa mengintip cewek yg mandi di kamar mandi melalui celah2 atap, meskipun pak Syarif berada di lantai. Allah menciptakan mata dengan hak.

    Lalu, mengapa wujudul hilal tidak mensyaratkan ‘terlihat’? Sepanjang antara mata observer dg benda langit (hilal) bisa ditarik garis lurus (tidak terhalang oleh ufuk/lengkung bumi), di situlah hilal dinyatakan terlihat, meskipun mata tidak melihat bendanya secara langsung karena keterbatasan mata memandang atau pengaruh sinar matahari. Inilah yang dimaksud melihat dg ilmu. Jd melihat dg ilmu pun tetap mengikuti prinsip dasar kemampuan mata melihat yaitu hanya mampu melihat benda dalam garis lurus.

    Saya analogikan begini, jika pak Syarif bisa melihat tengkuk pak Syarif karena menggunakan 2 buah cermin, itu bukan berarti mata pak Syarif mampu melihat tengkuk. Sampai kiamat pun mata manusia tidak akan mampu melihat tengkuknya sendiri. Begitu lho…memahaminya…..

    • Mas Prasojo, terima kasih telah menjawab pertanyaan dari mas Syarif yg sebenarnya ditujukan kepada saya. Mungkin saya harus belajar banyak dengan sampeyan…

    • Pak Prasojo dan Pak Abdullah yang saya hormati, terima kasih atas tanggapannya. Pak Abdullah berarti setuju yah dengan jawaban Pak Prasojo di atas. Kalau begitu mohon ijin untuk menanggapi.

      Pertanyaan saya mengenai “ufuk” terpicu oleh pendapat Pak Abdullah yang mengatakan: “…Dan hilalnya kan sudah ada/diketahui/terlihat dengan “ilmu” hisab/astronomi walaupun tak terlihat dengan mata fisik…” (pendapat ini di sampaikan pada tgl 27 Oktober 2011 at 13:46, silahkan lihat kembali tanggapan selengkapnya di atas). Dengan menggunakan contoh perhitungan yang ada dalam buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah”, maka posisi bulan telah dapat dihisab/dihitung tetapi di bawah ufuk, artinya tidak terlihat dengan mata fisik, tetapi sudah ada/diketahui/terlihat dengan “ilmu” hisab/astronomi, hanya masih tertolak oleh kriteria wujudul hilal (WH) karena batasan ufuk tersebut.

      Menurut Pak Prasojo, “…jika suatu benda langit berada di bawah ufuk, maka ia tdk akan terlihat oleh mata…” kemudian ditambahkan: “…melihat dg ilmu pun tetap mengikuti prinsip dasar kemampuan mata melihat yaitu hanya mampu melihat benda dalam garis lurus…”. Jadi kesimpulan yang dapat saya ambil dari pendapat Pak Prasojo adalah (dan ini sesuai dengan apa yang Pak Prasojo tulis): “…Prinsip dasarnya, mata hanya bisa melihat suatu benda pada garis lurus…”.

      Sekarang saya ada pertanyaan kepada Pak Prasojo dan Pak Abdullah. Misalkan Bapak berdua masuk ke dalam suatu ruangan, dan di dalam ruangan tersebut ada berbagai macam benda (dalam berbagai ukuran, besar dan kecil) serta pada masing-masing benda tersebut terdapat nomor sebagai identitas benda. Tugas Bapak berdua hanyalah menginventarisasi benda berdasarkan nomor yang tertera, tentunya sangat mudah bukan. Tetapi ada syarat yang harus diberikan, yaitu pada saat menginventarisasi benda, lampu pada ruangan tersebut dimatikan, sehingga TIDAK ADA CAHAYA sama sekali di dalam ruangan. Prinsip dasarnya, semua benda yang ada berada dalam SATU GARIS LURUS dengan mata, bahkan apabila ingin mendekatkan benda tersebut dengan mata dalam satuan centimeter pun dipersilahkan. Pertanyaan saya, apakah Pak Prasojo dan Pak Abdullah dapat menginventarisasi semua benda berdasarkan nomornya dalam kondisi TIDAK ADA CAHAYA lampu, walaupun posisi benda dengan mata Bapak tidak ada halangan apapun (berada dalam SATU GARIS LURUS)?

      Pertanyaan sederhananya adalah, apakah PRINSIP DASAR dari melihat benda adalah karena benda berada dalam SATU GARIS LURUS atau karena ada CAHAYA yang dipantulkan oleh benda sampai ke mata kita? Mohon pencerahan dari Pak Prasojo dan Pak Abdullah.

      Mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya, terima kasih.

      Wallahu’alam…

      • Pak Syarif yang saya hormati, sebenarnya saya juga masih harus belajar banyak. Mungkin jawaban2 dari Pak Prasojo bisa mewakili saya, karena mungkin beliau lebih paham dengan permasalahan ini dilihat dari komentar2 beliau. Dan saya pun tanpa menutup diri, sedikit banyak juga mendapat tambahan wacana dari Pak Syarif.

        Untuk analogi panjenengan diatas sepertinya keluar dari konteks permasalahan alias gak pas.

        Kriteria memasuki bulan baru yaitu secara astronomis, apabila bulan di langit telah berkonjungsi (ijtimak), berarti telah mengitari bumi satu putaran penuh. Kedua, genapnya satu putaran itu tercapai sebelum matahari terbenam, dan ketiga saat Matahari sore terbenam, bulan positif di atas ufuk. Dengan demikian, kriteria memasuki bulan baru telah terpenuhi.
        Kriteria 2 derajat, 4 derajat, 7 derajat itu adalah kriteria kenampakan (visibilitas) hilal, bukan kriteria tanggal atau bulan baru. ilmu astronomi tidak pernah mensyaratkan tinggi hilal utk penentuan awal bulan. Kalaupun ada kajian dan penelitian visibilitas, itu hanya untuk menentukan awal kemungkinan terlihatnya hilal, bukan syarat memasuki bulan baru (Prasojo).

      • Pak Abdullah, terima kasih banyak atas tanggapannya. Kita disini semua belajar bersama-sama Pak, justru saya senang karena kita tidak merasa “tabu” untuk membicarakan perbedaan. Tentunya saya berharap diskusi yang dilakukan dalam rangka menuju sebuah pemahaman bersama dan bukan untuk saling menghina satu sama lain, bukan kah kita semua bersaudara. Dalam berdiskusi kita boleh berbicara “keras”, tapi jangan berbicara “kotor”.

        Saya selalu dengan senang hati mengutip pesan dari Pak Prasojo yang sangat sesuatu banget:

        “kalau pendapat saya benar, bapak silakan amini. Tapi kalau pendapat saya salah, bapak boleh mengesampingkan. Salah berpendapat tidak dosa pak, dan juga tidak akan diancam pidana. Jadi, santai aja.” (Prasojo, 2011). Begitu ya Pak Abdullah, setuju kan. Saya coba menanggapi pendapat Bapak.

        Menurut Pak Abdullah: “analogi saya sepertinya keluar konteks permasalahan alias gak pas”. Saya akan coba merunut dari awal, mengapa saya sampai akhirnya membuat analogi tersebut.

        Pada saat menjawab tulisan Pak Thomas dan menanggapi pendapat Pak Rois, Bapak memberikan pendapat sebagai berikut (saya coba cuplik bagian yang menarik perhatian saya):

        (a) ” … Masalahnya pada zaman sekarang ilmu pengetahuan (astronomi) sudah sangat berkembang, peralatan sudah sedemikian canggih, shg kalaupun bulan sdh berada diatas ufuk, maka hilal sudah dapat terlihat dengan “ilmu”…”

        (b) “… Jadi intinya pada zaman sekarang Rukyat dengan melihat secara langsung sudah tidak diperlukan lagi…”

        (c) “… Dan perlu diketahui metode wujudul hilal itu adalah wujudnya/adanya hilal, entah itu terlihat langsung ataupun terlihat secara hisab (astronomi). Jadi kalau ada yang katakan wujudul hilal itu tdk ada, tapi adanya wujudul qomar, jelas pernyataan ini tertolak. …”

        (d) “…Yang saya maksud dengan “rukyat bil ilmi” disini jelas2 adalah melihat dengan ilmu hisab/astronomi … … Dan hilalnya kan sudah ada/diketahui/terlihat dengan “ilmu” hisab/astronomi walaupun tak terlihat dengan mata fisik. …”

        Dari semua pendapat tersebut di atas, Pak Abdullah menjelaskan bahwa pada intinya melihat dengan “ilmu” adalah melihat dengan hisab/astronomi (mohon koreksinya) tanpa harus melihat/terlihat dengan mata secara fisik (mohon koreksinya). Kemudian saya mencontohkan bahwa dengan cara melihat menggunakan “ilmu” tersebut, posisi bulan di bawah ufuk pun sudah diketahui (contoh perhitungan yang di ambil dari buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah”), karena dari contoh tersebut terhitung jarak antara konjungsi dan terbenamnya matahari adalah lebih dari 2 jam, maka bulan yang berada di bawah ufuk saat terbenamnya matahari dapat juga dipastikan dengan menggunakan “ilmu” adalah hilal yang sudah wujud. Oleh karena itu saya kemudian bertanya, kenapa harus menunggu di atas ufuk. Mudah-mudahan sampai sini Pak Abdullah sudah paham, kenapa saya bertanya tentang ufuk sebagai batasan kriteria wujudul hilal.

        Karena Pak Abdullah setuju dengan jawaban dari Pak Prasojo, maka saya coba kutip jawaban Pak Prasojo yang menjadi bahan diskusi kita selanjutnya:

        (a) “… Artinya, jika suatu benda langit berada di bawah ufuk, maka ia tdk akan terlihat oleh mata. Sebaliknya, benda langit akan bisa terlihat oleh mata jika telah berada di atas ufuk. …”

        (b) “… Jd melihat dg ilmu pun tetap mengikuti prinsip dasar kemampuan mata melihat yaitu hanya mampu melihat benda dalam garis lurus. …”

        Satu hal yang saya SETUJU dari pendapat tersebut adalah “…melihat dg ilmu pun tetap mengikuti prinsip dasar kemampuan mata melihat…” tetapi apakah PRINSIP DASAR dari melihat dengan menggunakan mata adalah apabila benda berada pada SATU GARIS LURUS? Ini yang kemudian menjadikan saya membuat analogi mengenai melihat benda di tempat gelap. Karena menurut saya, PRINSIP DASAR melihat dengan menggunakan mata adalah adanya CAHAYA yang dipantulkan ke suatu benda dan pantulan tersebut di terima oleh mata yang bertindak sebagai sensor, kemudian data yang diterima di mata dikirim ke otak dan di proses sehingga kita dapat menangkap dan memahami bentuk benda yang ada. Bayangkan apabila dunia TANPA CAHAYA, apakah Pak Abdullah yakin dapat melihat sebuah benda?

        Bulan sebagai benda planet yang padat TIDAK MEMILIKI CAHAYA. Kita melihat bulan di bumi karena ada CAHAYA matahari (sumber cahaya) yang dipantulkan oleh permukaan bulan dan diterima oleh pengamat di bumi, dapat dalam berbagai bentuk, tergantung saat fase bulan (moon phase) tersebut, contohnya bulan sabit (HILAL) dan bulan purnama berbeda bentuknya karena bulan berada pada fase yang berbeda dimana luasan permukaan bulan yang memantulkan cahaya matahari ke bumi juga berbeda.

        Bulan yang berada di bawah ufuk bisa saja sudah memantulkan cahaya (contohnya saat puncak bulan purnama pada bulan September 2011), tetapi karena cahaya yang dipantulkan tidak sampai ke mata pengamat (penduduk) di wilayah Indonesia (karena batasan ufuk), maka bulan purnama tersebut tidak terlihat oleh pengamat (penduduk Indonesia).

        Pak Thomas mencoba mengatakan, bahwa batasan ufuk ini baru satu dari batasan melihat hilal dengan mata (baik menggunakan mata fisik maupun “ilmu”). Dari jawaban Pak Prasojo dikatakan ” … melihat dg ilmu pun tetap mengikuti prinsip dasar kemampuan mata melihat…” contohnya adalah batasan ufuk tersebut, tetapi kemudian kenapa setelah bulan di atas ufuk prinsip dasar kemampuan mata ini tidak di gunakan kembali? WH hanya menghitung posisi keberadaan bulan (yang TIDAK MEMILIKI CAHAYA) tanpa menghitung posisi bulan terhadap matahari (sumber cahaya) dan pengaruhnya ke bumi (tujuan pantulan cahaya). Oleh karena itu Pak Thomas mengatakan “…Dalam bahasa matematika, itu baru “syarat perlu” yang terpenuhi. Untuk lengkapnya perlu “syarat cukup”…” (mohon koreksinya dari Pak Thomas apabila saya ada kesalahan). Oleh karenanya, Pak Rois kemudian berpendapat bahwa “…Wujudul hilal sejatinya tidak menghisab hilal, dan tidak menjadikan hilal sebagai acuan penentuan masuknya bulan baru. …” sehingga ada koreksi istilah: bukan wujudul hilal (bulan sabit) tetapi wujudul qamar (bulan) (mohon koreksinya juga dari Pak Rois apabila ada yang salah).

        Demikian Pak Abdullah, mudah-mudahan tanggapan saya dapat dipahami dan tidak keluar dari konteks diskusi kita bersama. Mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya, terima kasih.

        Wallahu’alam…

  16. Pak Syarif….analogi anda sama saja begini : di langit bertebaran bintang2 baik yang besar, kecil sampai yang tak terlihat oleh mata (pantulan cahayanya terlalu lemah utk diindera dengan mata). Tapi secara astronomis, seluruh bintang yg di langit tsb (yang berada di atas ufuk) adalah benda2 langit yang ”wujud”. Saya yakin semua sepakat dengan pemahaman ini. Sedangkan benda2 langit yang berada di bawah ufuk, disebut benda langit yang ”tidak wujud”. Ini prinsip dasar astronomi.

  17. Pak Syarif…..dlm alquran banyak disinggung kalimat ”samawati wal ardhi’ (langit dan bumi). Berdasarkan obyeknya, langit adalah atmosfir bumi dan seluruh benda langit selain bumi. Sedangkan bumi adalah planet yang kita tempati ini.

    Sementara secara visibilitas, jagad raya ini dibagi menjadi langit dan bumi dengan makna yang sedikit berbeda dari makna langit dan bumi seperti saya uraikan di atas. Secara visibilitas, langit adalah atmosfir dan seluruh benda2 angkasa yang berada di atas ufuk. Sedangkan bumi adalah bentangan/hamparan bumi tempat kita berpijak beserta seluruh benda2 langit yang berada di balik bentangan bumi. Batas keduanya (langit dan bumi dari sudut pandang visibilitas) adalah cakrawala/horizon/ufuk. Nah, definisi bulan baru adalah berdasar pengertian langit-bumi dari sudut pandang visibilitas ini. Artinya, kalau suatu benda angkasa berada di atas cakrawala, benda tsb disebut wujud atau terlihat. Sebaliknya, benda angkasa yang berada di bawah ufuk disebut belum wujud (atau wujud bagi penghuni belahan lainnya). Ini prinsip dasar ilmu astronomi.

  18. Assalamualaikum WW.

    Maaf numpang ikutan nimbrung lagi nih.

    Komentar Mas Prasojo “di langit bertebaran bintang2 baik yang besar, kecil sampai yang tak terlihat oleh mata (pantulan cahayanya terlalu lemah utk diindera dengan mata).Tapi secara astronomis, seluruh bintang yg di langit tsb (yang berada di atas ufuk) adalah benda2 langit yang ”wujud”. Saya yakin semua sepakat dengan pemahaman ini.”

    Bukankah dari komentar anda itu secara implisit anda (maaf, sadar atau tidak sadar) sebetulnya sudah sejalan dengan statemen dari Pak Rois, bahwa konsep WH baru menghitung rembulan yang telah wujud di atas ufuk, dan belum sampai memperhitungkan apakah hilal telah wujud.

    Jadi maaf kembali lagi ke pertanyaan saya dalam komentar2 saya sebelumnya (dan juga dari Pak Rois), apakah hilal itu?

    Yang menarik, saya coba membaca presentasi dari Ustadz Oman Faturrahman (5-7 Agustus 2011) dan pada hal 8, merujuk kepada Surat Al Baqarah: 189 (disana disebutkan “Mengisyaratkan bahwa hilal merupakan tanda waktu termasuk tanda sudah mulai bulan baru atau belum”). Artinya disini diterima bahwa ada syariat hilal sebagai tanda waktu, TAPI pada kalimat terakhir disebutkan “Tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan hilal itu”. Jadi disinilah rupanya kenapa WH perlu mencari/membuat definisi hilalnya.

    Ya memang tidak dijelaskan apa hilal itu, tapi APAKAH kita masih ragu bahwa hilal adalah sesuatu yang sudah jelas dan sangat difahami oleh para sahabat (yang bertanya kepada Rosulullah SAW)? Contohnya sebenarnya banyak bisa kita dapatkan di dalam Al Qur’an ayat2 yang semisal dengan Surat Al Baqarah: 189 di atas (yang menggunakan kata2 “mereka bertanya kepadamu tentang………”), diantarannya:

    Surat Al Baqarah: 222 “Mereka bertanya kepadamu tentang haid” dan Surat Thohaa: 105 “Dan mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung”.

    Perlukah disini kita berdalih ayat2 di atas “Tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan haid dan gunung-gunung” (semoga saya tidak terlalu jauh dan salah dalam memaknainya, mohon koreksinya dan saya beristighfar kepada Allah untuk hal ini).

    Dalam Tafsir Ibnu Katsir tentang Surat Al Baqarah ayat 189, disebutkan Abdurrazaq meriwayatkan dari Ibnu Umar, Rosulullah SAW bersabda “Allah menjadikan hilal sebagai penentu waktu bagi manusia. Maka berpuasalah kalian karena kalian telah melihatnya………”.

    Dari hadits di atas, tidakkah kita fahami bahwa hilal adalah sesuatu yang nyata (bisa terlihat dengan mata). Dengan dalil2 apa bisa kita palingkan pengertian hilal itu? Bukankah kita tahu ilmu astronomi belum berkembang pada waktu itu? Jadi sangatlah tidak mungkin kalau yang dimaksud hilal (pada waktu itu) adalah rembulan di atas ufuk (yaitu seperti hilalnya WH – yang jelas tidak bisa dilihat oleh manusia). Dan ini jelas tidak sama karena memang berbeda.

    Apakah tetap mau kita paksakan, karena ilmu belum berkembang waktu itu sedangkan sekarang kita sudah sangat maju, maka syariat kita “sesuaikan” supaya sesuai dengan perkembangan jaman/ilmu. Dengan kata lain, akankah kita katakan, bahwa syariat dulu belum sempurna karena ilmu manusia belum berkembang waktu itu??? astaghfirullah.

    Contoh yang agak menyimpang, apabila bejana dijilat anjing, syariat mengajarkan kita untuk mencucinya 7x dan yang pertama dengan tanah. Beranikah kita berdalih, dulu ilmu belum maju dan belum ditemukan cleaning agent yang ampuh? karena sekarang ada cleaning agent yang sangat efectif, tak perlu lagi pakai tanah.

    Saran saya jangan benturkan ilmu pengetahuan (relatif kebenarannya) dengan syariat/aqidah shohihah (yang harus kita yakini kebenarannya adalah mutlak).

    Maaf, dan mohon koreksinya.

  19. Pak Syarif….sedikit saya tambahkan, bumi dalam pengertian obyek (benda), bentuknya bulat. Sedang bumi dalam pengertian visibilitas bentuknya datar. Jadi dlm konteks langit-bumi menurut visibilitas, kita tidak bisa mengatakan bahwa puncak purnama (full moon)yang terjadi di bawah ufuk (seperti kasus tgl 12 September 2011 pukul 16.27 WIB) itu sebagai terlihat menurut rukyat bil ‘ilmi (meskipun secara ilmu bisa diketahui). Tetapi dalam konteks bulan sebagai obyek (benda langit), ya memang disebut terlihat secara rukyat bil ‘ilmi. Ini perlu saya tegaskan, supaya Pak Syarif jangan beranalogi lagi misalnya dengan melihat benda2 dalam ruangan yang tidak ada sinar sama sekali. Karena rukyat bil ‘ilmi itu maknanya luas sekali. Radar yang mampu menangkap (mendeteksi)pesawat musuh itu juga masuk kategori rukyat bil ‘ilmi. Sinar X yang mampu melihat isi koper penumpang pesawat itu masuk kategori rukyat bil ‘ilmi. USG yang mampu melihat bayi dalam kandungan itu masuk kategori rukyat bil ‘ilmi.

    Tapi khusus terbit dan terbenamnya benda2 langit, rukyat bil ‘ilminya mengacu kepada pembagian jagad raya menurut visibilitasnya (langit dan bentangan bumi yang dibatasi horizon). Dalam pengertian ini, bumi dilihat sebagai hamparan (alas) dan langit sebagai tutup yang berbentuk setengah bola, dan keduanya bertemu pada garis horizon. Tentu saja, hal ini bukan suatu kebenaran yang mutlak, tapi paling tidak, fakta kenampakannya seperti itu dan dapat digunakan sebagai pedoman penentuan bulan baru. Soal kebenaran mutlak, rukyat juga tidak bisa menentukan hilal secara mutlak. Hisab dan rukyat sama2 punya kelemahan. Tetapi sebagai makhluk yang diberi akal, saya lebih yakin dengan hisab (rukyat bil ‘ilmi) dari pada rukyat (bil fi’li).

    • Pak Prasojo, terima kasih banyak atas sanggahannya. Sebagian tanggapan saya telah saya tulis dalam menjawab pendapat Pak Abdullah di atas. Saya coba menambahkan lagi sedikit tanggapannya yah Pak.

      Pak Prasojo mengatakan: “… melihat dg ilmu pun tetap mengikuti prinsip dasar kemampuan mata melihat…”. Sebenarnya saya menunggu jawaban yang pasti dari pertanyaan analogi saya tentang melihat benda dalam ruangan tanpa cahaya, tetapi kalau saya boleh jawab langsung, bahwa prinsip dasarnya adalah adanya CAHAYA yang dipantulkan oleh benda ke mata kita. Mudah-mudahan kita sepakat dengan prinsip dasar ini.

      Ada 2 hal yang menurut saya membatasi kita untuk melihat “benda langit” dari permukaan bumi dengan menggunakan mata, yaitu: (1) Ufuk/Horison dan (2) Atmosfer. Ini sesuai dengan pendapat Pak Prasojo: “Dalam pengertian ini, bumi dilihat sebagai hamparan (alas) dan langit sebagai tutup yang berbentuk setengah bola, dan keduanya bertemu pada garis horizon.” Apabila kita melihat benda langit dari permukaan bulan, maka batasan tersebut hanya berupa ufuk, karena bulan tidak memiliki atmosfer. Kondisi ideal apabila kita ingin melihat “benda langit” dari permukaan bumi adalah apabilla bumi merupakan sebuah bola kaca yang tidak memiliki atmosfer. Dengan asumsi bahwa tidak ada refraksi cahaya saat melalui bola kaca tersebut, maka batas ufuk dan batas atmosfer bukan lagi menjadi kendala untuk melihat “benda langit” walau di bawah kaki sekalipun.

      Mengenai batas ufuk, sepertinya sudah tidak ada masalah, karena baik Wujudul Hilal (WH) maupun Imkanur Rukyat (IR) sama-sama menggunakan batasan ini, seperti tertulis di dalam “Pedoman Hisab Muhammadiyah” yang menurut Pak Thomas diungkapkan dengan bahasa lugas… “Keberadaan bulan di atas ufuk itu penting mengingat ia adalah inti makna yang dapat disarikan dari perintah Nabi SAW melakukan rukyat dan menggenapkan bulan 30 hari bila tidak dapat dilakukan rukyat”.

      Kemudian batasan atmosfer dapat di bagi lagi menjadi 2 yaitu: (1) awan dan (2) cahaya senja saat matahari terbenam. dari kedua batasan atmosfer tersebut, ada perbedaan di antara keduanya.

      Awan dapat menghalangi cahaya yang dipantulkan oleh bulan kepada pengamat di bumi. Akan tetapi, awan dapat saya dikategorikan sebagai batasan yang selalu berubah, karena pada suatu lokasi pengamatan kadang berawan kadang juga cerah. Artinya, kalau pada suatu lokasi pengamatan telah dapat dilakukan rukyat pada kondisi cuaca cerah dan terdata dengan baik, maka apabila suatu saat saat melakukan rukyat terhalang awan, apabila dalam perhitungannya (hisab) dikatakan bahwa hilal kemungkinan dapat teramati di lokasi tersebut, maka batasan awan ini dapat di hilangkan. Disini database empirik hasil rukyat yang digunakan sebagai dasar untuk mengeliminasi keberadaan awan dan menerima hasil perhitungan (hisab).

      Cahaya senja juga menjadi faktor tidak terlihatnya cahaya yang dipantulkan oleh bulan ke pengamat di bumi. Cahaya senja ini tidak menghalangi pantulan (dalam artian awan yang menghalangi cahaya), hanya saja kekuatan cahaya senja yang diterima oleh mata mengalahkan cahaya pantulan bulan. Contohnya apabila kita menempatkan sebuah benda dalam satu garis lurus antara mata dan matahari. Kita tidak akan bisa melihat benda tersebut dengan jelas, karena cahaya matahari yang kuat telah lebih dahulu di terima oleh mata, bahkan saking kuatnya, cahaya matahari tersebut (mungkin) dapat mengakibatkan kebutaan sementara akibat menatap langsung matahari.

      Cahaya senja kalau saya kategorikan adalah batasan tetap sama halnya seperti batasan ufuk, artinya suatu batasan yang tidak dapat di hilangkan. Karena cahaya senja ini akan selalu ada saat kita mencoba melihat hilal saat terbenamnya matahari. Keberadaan bulan yang terjadi setelah terjadinya konjungsi akan memiliki waktu terbit dan terbenam yang hampir bersamaan dengan matahari (time lag), artinya moonrise dan moonset akan hampir berbarengan waktunya dengan saat sunrise dan sunset. Bahkan perbedaan ini dapat mencapai 0 detik apabila terjadi gerhana matahari saat matahari terbenam. Dengan dasar empirik tersebut, maka cahaya senja akan selalu menjadi penghalang dalam melihat/mencari hilal saat matahari terbenam, sehingga TIDAK DAPAT diabaikan begitu saja. Inilah yang menurut saya dimaksud oleh Pak Thomas, kalau dalam bahasa matematika, dalam perhitungan WH itu baru “syarat perlu” yang terpenuhi dan untuk lengkapnya perlu “syarat cukup” untuk dapat melihat hilal.

      Mengenai “melihat” dengan menggunakan alat bantu, tentunya apa yang dilihat dengan alat tersebut harus sama bentuknya dengan melihat tanpa alat bantu. Apabila saya dapat melihat Pak Prasojo dengan mata saya, maka ketika saya menggunakan teropong untuk melihat keberadaan Pak Prasojo di rumah Bapak, apabila yang saya lihat menggunakan teropong adalah seorang wanita, maka itu pasti Bu Prasojo atau putri Bapak atau pembantu wanita Pak Prasojo, kira-kira begitu analoginya. Yang dapat diliihat dengan mata hanyalah panjang gelombang tampak (visible spectrum), apabila kita menggunakan data radar untuk melihat hilal, maka yang terlihat adalah permukaan bulan yang memantulkan gelombang radar dan bukan pantulan cahaya matahari, karena prinsip melihat menggunakan panjang gelombang radar berbeda dengan gelombang tampak.

      Radar yang mendeteksi pesawat musuh apakah memberikan informasi mengenai jenis pesawat tersebut? tentu tidak, karena prinsip radar adalah sensor radar memancarkan gelombang secara aktif dan pantulan gelombang yang mengenai pesawat musuh kembali ke sensor radar tersebut. Jadi informasi yang diberikan hanya keberadaannya saja, sedangkan pesawatnya sendiri tidak terlihat. Sinar X hanya memberikan informasi mengenai barang-barang mencurigakan di dalam koper, untuk memastikannya lagi, si petugas tetap meminta pemilik barang untuk membuka koper dan melihat benda mencurigakan tersebut dengan mata. USG hanya memberikan informasi keberadaan bayi dalam kandungan, tetapi tidak memberikan informasi mengenai wajah si bayi mirip dengan sang ayah atau apakah ada tanda lahir (seperti tahi lalat) pada permukaan kulit si bayi, dimana semua informasi tersebut hanya dapat dilihat dengan mata saat sang bayi dilahirkan.

      Demikian menurut pendapat saya Pak Prasojo. Mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya, terima kasih.

      Wallahu’alam…

  20. Assalaamu’alaikum, wr, wb.

    Sebenarnya, istilah “ru’yah bil ‘ilmi” itu misleading. Sama sekali tidak mempunyai landasan secara kaidah bahasa Arab.

    Kata ra’a memang bisa berarti “melihat dengan mata” dan bisa pula berarti “melihat dengan akal”.
    Di dalam kamus lisanul’arab dijelaskan perbedaannya: kapan berarti melihat dengan mata dan kapan berarti melihat dengan akal.

    Ra’a diartikan melihat dengan mata apabila hanya ada satu obyek (maf’ul) dalam kalimat tsb.
    Ra’a diartikan melihat dengan akal apabila ada dua obyek yang (maf’ul) dalam kalimat tsb.

    Contoh:
    Ra’aitu zaidan (Aku melihat si Zaid).
    Ra’aitu zaidan ‘aaliman (Aku melihat si Zaid itu seorang yang pandai).

    Contoh pertama harus diartikan melihat dengan mata; karena hanya ada satu maf’ul saja.
    Contoh kedua harus diartikan melihat dengan akal karena ada dua maf’ul: zaidan dan ‘aaliman. Zaid sebagai maf’ul sebagai obyek penilaian akal kita; sedangkan ‘aaliman sebagai maf’ul sebagai hasil dari penilaian akal kita (pendapat akal kita).
    (Catatan: yang saya maksud dengan satu maf’ul dan dua maf’ul adalah jenis maf’ul/obyek dalam struktur bahasa, bukan jumlah bendanya. Sehingga, jika contoh pertama diganti dengan “aku melihat zaid dan zaenab”, tetap saja hanya ada stu maf’ul dalam struktur bahasanya, yaitu zaid dan zaenab.)

    Dari situ tampak sekali perbedaan antara ra’a yang berarti melihat dengan mata dan ra’a yang berarti melihat dengan akal. Melihat dengan mata itu merujuk pada aktifitas melihat sebuah obyek/wujud yang bisa dilihat dengan mata. Ada mata yang melihat, dan ada benda yang bisa dilihat. Titik. Dalam contoh di atas, benda yang bisa dilihat itu adalah seseorang bernama Zaid.

    Adapun melihat dengan akal itu merujuk pada aktifitas penilaian/pendapat akal kita thd sesuatu hal. Sesuatu hal itu tidak harus terlihat oleh mata ketika aktifitas penilaian tsb sedang terjadi. Tetapi harus ada dua hal dalam kalimat tsb: sesuatu yang dinilai dan penilaian itu sendiri. Dalam contoh di atas, yang dinilai adalah seseorang bernama Zaid, dan penilaian saya (subyek dlm kalimat tsb) adalah si Zaid itu orang yang pandai.

    Demikianlah kalau kita lihat ayat ayat di dlm AlQur’an, kalau kata ra’a itu memerlukan dua maf’ul, maka harus diartikan dengan “pendapat” atau “penilaian” atas sesuatu. Sedangkan kalau hanya memerlukan satu maf’ul, maka harus diartikan dengan “melihat”. Silahkan patokan ini digunakan untuk memahami ayat ayat yang mengandung kata ra’a.

    Perbedaan itu menjadi tampak jelas kita kata ra’a itu dijadikan mashdar (bentuk kata benda dari kata kerja). Ra’a yang hanya membutuhkan satu maf’ul mashdar-nya menjadi ru’yah. Sedangkan ra’a yang membutuhkan dua maf’ul masdharnya menjadi ra’yu. Ru’yah artinya adalah bentuk/hasil aktifitas melihat sesuatu oleh mata; sedangkan ra’yu adalah bentuk/hasil aktifitas penilaian akal kita thd sesuatu.

    Dua duanya tidak asing di telinga kita. Kata ru’yah sangat populer digandengkan dgn ru’yatul hilal. Sedangkan kata ra’yu sering kita dengar dari para khatib yang menjelaskan bahayanya menggunakan ra’yu dlm beragama. Karena akal seseorang berbeda beda, maka pendapat seseorang akan sesuatu hal juga berbeda beda dan bersifat subyektif. Nah, dalam agama, semua hal yang berasal dari pendapat subyektif seseorang tidak boleh dijadikan pegangan dalam beragama; kecuali jika pendapat itu didasarkan pada nash alqur’an dan alhadits.

    Sehingga, kalau ru’yatul hilal mau diartikan dengan melihat dengan akal, ditinjau dari tatabahasanya saja sudah salah. Sebab ru’yah itu adalan mashdar dari ra’a yang hanya membutuhkan satu maf’ul dan harus diartikan melihat dengan mata.

    Jadi, mau pakai hisab ya silakan, tetapi janganlah memakai argumen ru’yah bil ‘ilmi yang secara tata bahasa jelas jelas salah. Pakailah argumen lain semisal tidak adanya perintah meru’yah hilal di tanggal 30, dan tidak diperlukan kesaksian ru’yatul hilal untuk memastikan masuknya bulan baru setelah bulan berjalan telah berumur 30 hari.

    Wallahu a’lam bis-shawab.

  21. Pak Rois…nah…itu bapak sudah menjelaskan dengan benar. Memang melihat itu bisa dengan mata, pikiran bahkan hati. Tapi dalam konteks bulan baru kenapa sebagian kita masih harus selalu melihat dengan mata telanjang? Mestinya juga melihat dengan akal kan? Sebenarnya dengan penjelasan anda ini, perdebatan (hisab – rukyat) menjadi tidak perlu lagi. Karena melihat hilal itu bisa dengan mata (telanjang) dan bisa juga dengan akal. Bahkan dengan akal ini seharusnya yang kita utamakan.

    Soal rukyat bil ‘ilmi….kata bil ‘ilmi ini sebenarnya hanya penegasan. Kalau saya pribadi memaknai kata melihat ini memamg luas. Bisa dengan mata, bisa dengan akal dan bisa dengan hati. Dalam konteks hilal, saya cenderung memilih dengan akal (ilmu).

    • Pak Prasojo,

      Betul sekali. Perdebatannya sekarang bukan lagi antara hisab vs ru’yat, melainkan yang dihisab untuk dijadikan acuan masuknya bulan baru itu apa ? Hisab wujudul hilal tidak lagi menghisab hilal dalam menentukan masuknya bulan baru, melainkan hanya menghisab posisi rembulan dan matahari. Sedangkan hisab imkaanur-ru’yah menghisab hilal dengan memasukkan unsur visibilitas sebagai faktor intrinsik dari hilal itu sendiri.

      Kalau memang mau menghisab hilal, maka hilal yang dihisab itu adalah hilal yang bisa diru’yah alias harus memasukkan unsur visibilitas oleh mata. Unsur visibilitas ini terikat erat dengan definisi hilal sebab hilal yang dijadikan acuan masuknya bulan baru di jaman Rasulullah adalah hilal yang bisa di-ru’yah. Kalau hilal itu adalah sesuatu yang tidak bisa diru’yah, maka perintah Rasulullah untuk meru’yah hilal di tanggal 29 menjadi tidak bisa dilaksanakan.

      Hisab bisa dijadikan dasar kepastian tampaknya hilal tanpa harus ada kesaksian mata telanjang. Dasarnya adalah tidak adanya perintah meru’yah hilal dan tidak diperlukannya kesaksian ru’yah pada kondisi tertentu di mana hisab bisa memastikan tampaknya hilal oleh mata. Ini terjadi ketika bulan sudah berumur 30 hari atau ketika bulan sudah berumur 29 hari tetapi 4 bulan sebelumnya berturut turut selalu berumur 30 hari.

      Tetapi yang dihisab itu seharusnya adalah objek hilal yang bisa diru’yah, bukan sebuah objek/kondisi/situasi yang tidak bisa diru’yah.

      Sekali lagi, ru’yah secara tatabahasa arab harus diasosiasikan dengan melihat dengan mata, bukan melihat dengan akal. Kalau melihat dengan akal itu bukan ru’yah, tetapi ra’yu.

      Jadi, silahkan pakai hisab untuk menentukan atau mengetahui masuknya bulan baru; tetapi yang dihisab itu hendaknya hilal yang dijadikan acuan di jaman Rasulullah, yaitu hilal yang bisa diru’yah; bukan hilal yang tidak bisa dilihat atau bukan sekedar posisi rembulan dan matahari saja.

      Demikian, semoga bermanfaat.

      Wallahu a’lam bis-shawab.

  22. Pak Syarif….saya hanya ingin mencontohkan bahwa melihat dengan ilmu itu maknanya sangat luas, termasuk dengan radar, USG, teropong, mikroskop, dll. Tetapi dalam konteks ”terbitnya benda2 langit” untuk penentuan bulan baru, kita tidak berbicara ”melihat benda yang masih di bawah ufuk”. Sebab kalau masih di bawah ufuk berarti belum terbit, makanya diabaikan. Begitu lho…..

    Soal cahaya senja. Bisakah Pak Syarif membuat garis imajiner cahaya senja itu batasnya mana? Tidak bisa khan? Tentu kalau bisa, bentuknya akan mengelilingi matahari khan sesuai pancaran sinar matahari? Oleh karena tidak bisa, maka tidak bisa menjadi batas hilal. Barangkali imkan rukyat mau mencoba membuat garis batas imajiner cahaya senja itu, misalnya 2 derajat, 4 derajat, 6 derajat dll. Tetapi ini lebih membuat ketidakpastian. Kalau ufuk itu lebih pasti dibandingkan dengan garis batas cahaya senja seperti yang bapak maksudkan. Ini sama sulitnya kita menentukan batas gelap – terang suatu wilayah yang sedang mengalami pergantian dari siang ke malam atau dari malam ke siang. Karena cahaya itu munculnya secara gradual, kita tidak bisa membuat garis yang pasti di bumi. Makanya, patokan yang paling logis adalah ufuk.

    • Pak Prasojo, terima kasih atas tanggapannya. Karena Bapak belum menjawab pertanyaan saya mengenai prinsip dasar melihat, mohon ijin kalau saya simpulkan bahwa kita SEPAKAT prinsip dasar melihat adalah karena adanya CAHAYA.

      Bapak sendiri mengatakan bahwa melihat dengan ilmu mengikuti prinsip dasar kemampuan mata melihat. Prinsip dasar kemampuan mata melihat dibatasi oleh CAHAYA yang diterima oleh mata. Cahaya yang dapat diterima oleh mata sebenarnya adalah gelombang elektromagnetik yang bergerak di udara, dan yang dapat terlihat oleh mata berada pada panjang gelombang tampak (visible spectrum). Saat gelombang tersebut bertemu dengan sebuah objek, maka dia dapat dipantulkan atau di biaskan atau di hamburkan, tergantung dari ukuran objek tersebut dan panjang gelombangnya.

      Kita melihat suatu benda berwarna merah, karena gelombang elektromagnetik pada panjang gelombang warna merah (red wavelength) dipantulkan oleh benda tersebut dan diterima oleh mata kita. Langit berwarna biru, karena panjang gelombang biru yang lebih pendek telah lebih dahulu di hamburkan oleh partikel-partikel yang ada di atsmosfer pada saat siang hari (karena pada saat siang hari, jarak sumber cahaya yaitu matahari lebih dekat dengan psosi pengamat). Pada sore hari, langit berubah menjadi oranye kemerahan, karena jarak matahari ke pengamat sudah menjauh, sehingga panjang gelombang biru sudah terlebih dahulu di hamburkan (pada posisi wilayah bumi yang mengalami siang) sedangkan yang masih tampak adalah panjang gelombang antara oranye dan merah tersebut karena pada panjang gelombang ini cahaya di biaskan oleh partikel-partikel di atmosfer (pada posisi wilayah bumi yang mengalami siang). Contoh lain pembiasan panjang gelombang merah adalah saat terjadinya gerhana bulan, sehingga bulan pada saat tersebut terlihat berwarna merah karena terkena panjang gelombang merah, sedangkan semua panjang gelombang tampak yang lebih kecil/pendek dari panjang gelombang merah telah di hamburkan di atmosfer. Kalau bumi tidak memiliki atmosfer, maka saat terjadi gerhana bulan, tidak akan terlihat dari bumi, karena bulan tertutup oleh bayangan bumi.

      Kalau Pak Prasojo membaca kembali tanggapan terakhir saya, disana saya sudah tidak mempermasalahkan lagi mengenai ufuk. Karena ufuk, yang menurut Pak Thomas adalah syarat perlu untuk melihat hilal, sudah diterima baik dalam perhitungan (baca: HISAB) menggunakan metode wujudul hilal (WH) maupun perhitungan (baca: HISAB) menggunakan metode imkanur rukyat (IR). Bagi WH ini sudah cukup untuk dapat melihat hilal, sedangkan bagi IR ini belum cukup. Apa syarat cukupnya? Pak Thomas telah menjelaskan bahwa syarat cukupnya adalah ATMOSFER.

      Pak Prasojo juga mengatakan: “… Tapi khusus terbit dan terbenamnya benda2 langit, rukyat bil ‘ilminya mengacu kepada pembagian jagad raya menurut visibilitasnya (langit dan bentangan bumi yang dibatasi horizon). Dalam pengertian ini, bumi dilihat sebagai hamparan (alas) dan langit sebagai TUTUP yang berbentuk setengah bola, dan keduanya bertemu pada garis horizon. … ” Bukankah dalam hal ini Pak Prasojo juga sependapat bahwa dalam melihat benda langit (VISIBILITAS) ada batas ufuk (syarat perlu) dan atmosfer (syarat cukup), mohon pencerahan dari Bapak.

      Menurut saya, garis batas imajiner cahaya (mungkin) dapat diperkirakan dengan menghitung elongasi (arc of light) dan altitude (arc of vision) antara matahari (sumber cahaya) dan bulan. Karena saya bukan ahli astronomi, maka pendapat ini bisa saja salah dan terbuka untuk didiskusikan, jadi mohon koreksinya.

      Demikian menurut pendapat saya. Mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya, terima kasih.

      Wallahu’alam…

  23. Abu Said…..soal bejana dijilat anjing. Suci itu dapat dipahami suci secara hakikat dan suci secara zat. Ini beda. Kalau anda sholat di lapangan, lapangan itu dianggap suci secara hakikat, bukan secara zat. Boleh jadi lapangan itu bekas (maaf) kotoran kambing. Tetapi itulah hakikat. Sama kita berwudlu, berwudlu itu menyucikan fisik dan jiwa secara hakikat, bukan secara zat atau badaniah, Kalau Allah ingin manusia suci secara badaniah jika hendak shalat, tentu perintahnya manusia disuruh mandi. Jadi jangan dicampur aduk.

  24. Abu Said…..ada contoh lain. Dulu pada zaman Nabi konon katanya keledai itu pernah diharamkan untuk disembelih (dimakan). Apakah sekarang keledai itu haram dimakan? Saya yakin tidak. Masih konon lagi, katanya Nabi melarang menyembelih keledai pada saat itu karena sangat dibutuhkan dalam transportasi. Jadi haramnya keledai pada saat itu bukan zatnya, tapi sifatnya (diperlukan untuk transportasi).

    • Beginilah kalau terlalu mendewa-dewakan akal, masalah agama yang sudah jelas nash-nya pun main logika, kira2, konon, …?

  25. Pak Syarif….kalau yg dipersoalkan adalah cahaya, berarti kita melihat dengan mata. Sedangkan kita bicara melihat dg ilmu. Melihat dg ilmu memang bisa menembus semua zat, termasuk bumi. Tapi diskusi kita kan soal terbitnya hilal (atau secara umum benda langit)? Kita tak bisa lepas dari konteks ini. Masa kita mau memaksakan walau masih di bawah ufuk untuk dikatakan ”sudah terbit”? Kalau ini lebih bertentangan dg akal. Dia bisa dikatakan ”sudah terbit” tapi bagi kawasan/belahan lain. Jadi skali lagi, bahasan kita adalah ”melihat dg ilmu untuk memastikan apakah benda langit sudah berada di atas atau belum”. Clear…..

  26. Pak Syarif….Ralat…”….sudah di atas ufuk (terbit) atau belum”

  27. Pak Syarif….atmosfir/langit sbg bola kaca? Hehehe….jagad ini sudah diciptakan demikian adanya pak. Kita tinggal mengamati dan mempelajari saja. Mengapa peta harus dibuat datar? Ini semata-mata untuk kepraktisan saja. Andai peta tetap dibuat melengkung sebagaimana bola bumi, mungkin kita malah ribet ya? Nggak praktis…. Jadi biarlah atmosfir tetap ada. Kalau nggak ada mungkin manusia malah nggak hidup hehehe….

    Singkatnya begini pak….terbitnya benda langit (matahari, bulan, bintang) itu dihitung sejak ia mulai nyembul di atas ufuk. Jika mata tidak mampu melihat nyembulnya benda langit di atas ufuk (karena berbagai faktor termasuk kelemahan mata memandang), gunakanlah akal untuk melihat (memastikan). Jika akal bisa memastikan, terimalah. Allah memang memberi manusia berupa akal dan hati. Justru keduanya itu yang membedakan manusia dengan binatang. Allah juga sering menyitir….”apakah kamu tidak berakal” atau ”apakah kamu tidak berfikir”? Tapi giliran kita menggunakan akal koq dicemooh? Aneh juga ya? Sesuatu yg menyangkut alam, itu ranahnya akal (meskipun pada akhirnya bisa menjadi keyakinan). Sesuatu yang menyangkut yang ghaib, itu ranahnya hati. Termasuk yang ghaib antara lain, mengapa Allah memilih Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad menjadi Nabi Allah. Yang ini kita tinggal meyakini saja.

    • Abu Said…..soal bejana dijilat anjing. Suci itu dapat dipahami suci secara hakikat dan suci secara zat. Ini beda. Kalau anda sholat di lapangan, lapangan itu dianggap suci secara hakikat, bukan secara zat. Boleh jadi lapangan itu bekas (maaf) kotoran kambing. Tetapi itulah hakikat. Sama kita berwudlu, berwudlu itu menyucikan fisik dan jiwa secara hakikat, bukan secara zat atau badaniah, Kalau Allah ingin manusia suci secara badaniah jika hendak shalat, tentu perintahnya manusia disuruh mandi. Jadi jangan dicampur aduk.

      Berdasarkan analogi diatas, komentar saya, ” Dalam menentukan bulan qomariyah, berarti melihat hilal dengan mata itu hakikat (rukyatul hilal/hisab imkan rukyat), dan melihat dengan ilmu (wujudul hilal) itu zat. Kalau Syariat ingin menentukan bulan secara zat, tentu perintahnya manusia disuruh cukup melihat hilal dengan ilmu saja. Nah, kalau dalam syariat menentukan bulan secara hakikat, tentu perintahnya manusia disuruh melihat hilal secara langsung (dan definisi hilal seperti yg pada zaman nabi).

    • Pak Prasojo terima kasih atas tanggapannya. Mohon maaf baru bisa membalas. Kalau misalnya saya buat penyederhanan dari kriteria wujudul hilal (WH) nomor 3, dimana kita tahu kriteria nomor 3 adalah:

      “Pada saat terbenamnya matahari bulan berada di atas ufuk.”

      Kalau saya ganti kriteria tersebut menjadi:

      “Bulan terbenam setelah matahari terbenam (moonset after sunset)”

      Bukankah kriterianya menjadi lebih sederhana tanpa harus menyebut di atas ufuk, bagaimana menurut Pak Prasojo?

      Mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya, terima kasih.

      Wallahu’alam…

  28. Abdullah Musa….terbalik…..kalau melihat hilal dg mata itu melihat zat, sedang melihat dg ilmu itu hakikat. Ini kalau kita beranalogi dg bersuci. Secara zat boleh saja hilal belum tampak oleh mata, tetapi secara hakikat hilal sudah wujud (dg ilmu).

    • Pak Prasojo, ana ingin bertanya, kalau misalkan bulan sudah positif diatas ufuk, dan tinggi hilal 0 derajat, itu berarti kan hilalnya belum wujud, trus bagaimana apa itu sudah bisa menentukan masuknya bulan baru?

    • Pak Prasojo, saya ingin bertanya, kaitannya hanya tentang teknologi,
      1. Dalam hadits tentang melihat hilal, ada kalimat setelah itu “…jika tertutup awan, maka genapkanlah 30 hari”, menurut bapak, adakah teknologi yg bisa memperkirakan awan, ketebalan awan, waktu datangnya awan, besarnya awan, dan sebagainya saat ini?
      2. Bagaimana probabilitas hilal terlihat/wujud, jika perbandingan iluminasi cahaya hilal yg sangat tipis (biasanya dibawah 2%) dan matahari terbenam pada saat bulan baru dan posisinya dibawah 4 derajat?

  29. Abdullah Musa…..0 derajat = di atas ufuk? Saya nggak ngerti pernyataan seperti ini. Mestinya, di atas ufuk itu kalau sdh 0,xxxxxx derajat. Bahkan saya sebenarnya pengennya definisi bulan baru itu kalau separuh lebih badan bulan telah di atas ufuk. Tapi ini jadi bertentangan dg definisi matahari terbit. Sebab pengertian matahari terbit itu dimulai apabila piringan atas sudah nyembul di atas ufuk. Itulah mulainya matahari terbit. Nah, agar kita konsisten, bulan baru juga dimulai saat piringan atas bulan telah di atas ufuk. Kita mesti konsisten dengan definisi.

  30. Izal….kalau kita masih mempertimbangkan awan, iluminasi, dll itu berarti kita masih memakai metode rukyat klasik (saya tidak mau memakai istilah rukyat bil fi’li lagi supaya tdk diprotes ahli tata bahasa arab). Sedangkan kita pakai rukyat kontemporer (atau hisab—untuk tidak menyebut rukyat bil ‘ilmi lagi). Jd ngapain kita menghitung awan, cahaya matahari senja dll? Soal teks hadis juga ada kelanjutannya khan? Tapi saya tdk akan masuk ke ranah hadis, biarlah itu ada ahlinya sendiri.

    Saya mau analogikan dg matahari terbit. Apakah kalau hari hujan atau mendung atau berawan di ufuk timur, lalu kita akan mengatakan matahari belum terbit meski hari sudah jam 8 pagi??? Tidak kan? Nah….demikian juga bulan.

    • Hisab kalau mau disebut “rukyat kontemporer” ya harus memperhitungkan cahaya senja juga. Astronomi dalam hisab maupun rukyatnya harus menyesuaikan dengan kenyataan fisisnya, tidak memilah mana yang disukai. Keberadaan di ufuk oleh efek refraksi jangan dianggap bulan sudah berada di atas ufuk. Bulannya sebenarnya bisa jadi sudah di bawah ufuk, hanya “ketampakan”-nya berada di atas ufuk karena refraksi/pembiasan atmosfer. “Ketampakan” sangat dipengaruhi oleh refraksi/pembiasan dan hamburan cahaya. Keduanya harus diperhitungukan/dihisab.
      Hisab Wujudul hilal itu memasukkan faktor refraksi, tetapi mengabaikan faktor cahay senja. Kalau mau sekadar “keberadaan” bulan sabit, semestinya cukup menggunakan ijtimak (astronomical newmoon), tidak perlu repot-repot ke “wujudul hilal” yang konsep astronomisnya dan dalil syar’i-nya lemah.
      Analogi dengan matahari tidak tepat, karena matahari tidak terpengaruh oleh hamburan cahaya, karena matahari sangat terang dan menjadi sumber cahaya langit yang utama. Posisi ketampakan matahari hanya dipengaruhi oleh refraksi atmosfer.
      Yuk kita belajar lagi tentang hisab rukyat.

  31. Saya lebih suka begini : biarlah para astronom mendefinisikan bulan baru secara ‘pure’ berdasarkan kaidah astronomi. Hasilnya di-compare dg makna hadits. Jika belum mencapai titik temu, biarlah yg masih kekeuh dg hadits (harus merukyat) pakai hasil rukyat. Sedangkan yg ingin tetap memakai wujudul hilal, biarlah tetap memakai. Mungkin kita memang masih perlu waktu beberapa tahun lagi untuk bersepaham. Nggak apa2. Siapa tau teknologi yang mampu melihat hilal di garis ufuk segera ditemukan, dan saat itulah bersatunya ummat islam dalam arti berpuasa bersama, berlebaran bersama dan berpuasa arafah bersama serta berhari raya haji bersama.

  32. […] Tulisan terbanyak dibaca 2 hari terakhir Menuju Titik Temu Hisab Wujudul Hilal dan Hisab Imkan RukyatMuhammadiyah Terbelenggu Wujudul Hilal: Metode Lama yang Mematikan Tajdid HisabKita Kritisi Wujudul […]

  33. Pak Thomas….bapak terbalik. Hukum cahaya itu begini : apabila cahaya datang dari suatu zat yang kerapatannya rendah (hampa udara) ke zat yang kerapatannya tinggi (atmosfir), maka cahaya akan dibelokkan ke atas. Sehingga, bintang atau bulan yang terlihat dari bumi masih rendah, realitanya sudah lebih tinggi. Jadi, kalau hilal terlihat 6 derajat dari bumi, sesungguhnya sudah lebih dari 6 derajat. Itulah makanya kalau kita berpedoman pada rukyat, seringkali kita salah saat purnama. Purnama seolah terjadi pada tanggal 14, padahal seharusnya tanggal 15. Jadi tidak mungkin hilal terlihat di atas ufuk tapi realitasnya di bawah ufuk. Hukum cahaya yang saya pelajari mengatakan demikian.

    • Maaf, Pak Prasojo ini betul betul “sok tahu”. Belajar dulu yang benar, Pak; baru ngomong. Apalagi omongan Bapak itu dalam rangka mengoreksi pernyataan seseorang yang ahli di bidangnya. Hasil search di google dengan kata “atmospheric refraction” memberikan banyak link yang membantah penjelasan Bapak dan membenarkan penjelasan Prof. Thomas.

      Salah satunya di wikipedia disebutkan: “Atmospheric refraction causes astronomical objects to appear higher in the sky than they are in reality.” http://en.wikipedia.org/wiki/Atmospheric_refraction

      Atau kalau mau lihat gambarnya/ilustrasinya, silakan lihat di di sini: http://www.oocities.org/wave032002/refraction.htm

      Tambahan lagi, siapa bilang purnama itu harus terjadi di tanggal 15 ? Sedangkan bulan itu bisa berumur 29 dan 30 hari ?

      Di dalam agama, ada kaidah: al ‘ilmu qabla alqaul wal ‘amal. Ilmu itu hendaknya mendahului perkataan dan perbuatan. Mari kita pegang kaidah ini, untuk memenuhi kaidah agama dan budaya keilmuan yang sudah baku.

      Semoga nasehat saya bisa diterima dengan baik, amiin.

    • Pak Pras, kalau boleh tau wujudul hilal itu ada pembenarannya secara syar’i atau tidak, kalau ada mohon dijelaskan?

  34. Kalau dikatakan bahwa Konsep Wujudul Hilal, konsep astronomis dan dalil syar’i nya lemah… maka Konsep Imkan Rukyat pun sama…
    Yang Nabi lakukan itu… melihat Hilal dengan mata di tanggal 29 bulan Qomariyah… Habis perkara !…

    Hanya pertanyaannya… Memang itu yang telah ditetapkan Allah swt mengenai Penetapan Kalender Islam dengan basis peredaran bulan ?…
    Sehingga sampai kiamat, umat Islam cuma hanya bisa punya Kalender Bulanan Dadakan…
    Tiap Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, umat Islam harus bikin dulu survey lapangan kemudian dilaporkan untuk dibahas di Sidang Isbat (yang secara tidak langsung merupakan pemborosan biaya) di malam tanggal 30…

    Di Al Quran dikatakan :

    5. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.
    (QS Ar Rahman 55 : 5)

    96. Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
    (QS Al An’am 6 : 96)

    5. Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
    (QS Yunus 10 : 5)

    Manzilah diartikan tempat… “Tempat Bulan” itu bisa diprediksi dengan tepat oleh manusia, karena Allah swt telah menciptakan matahari dan bulan dengan perhitungan…
    Jadi mustahil bila menurut perhitungan yang benar, bulan masih di bawah ufuk… lalu pas Tim Rukyat diutus dengan biaya negara, tiba-tiba Hilal nongol di atas ufuk…

    Kriteria Wujudul Hilal adalah Kriteria yang mudah dan sederhana… sesuai dengan Intisari Ajaran Islam yang mengajarkan kesederhanaan dan kemudahan…
    Seperti yang dikatakan dalam Al Quran :
    “…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…”
    (QS 2 :185)

    Walaupun mudah dan sederhana namun Kriteria Wujudul Hilal telah bisa memberikan keyakinan kepada kita bahwa :
    – Bulan telah di atas ufuk dengan Ijtima telah terjadi sebelumnya…
    Tanpa perlu repot-repot ngitung cahaya senja dan model atmosfer segala…

    Dari Pedoman Hisab Muhammadiyah hal 22-23 :

    3) Bulan terbenam sesudah terbenamnya matahari (moonset after sunset) pada suatu negeri. Menurut kriteria ini, apabila pada hari ke-29 bulan kamariah berjalan, matahari terbenam pada suatu negeri lebih dahulu daripada Bulan dan Bulan lebih belakangan, maka malam itu dan esok harinya dipandang sebagai awal bulan baru bagi negeri itu, dan apabila matahari terbenam lebih kemudian dari Bulan dan Bulan lebih dahulu, maka malam itu dan esok harinya adalah hari-30 bulan kamariah berjalan, dan bulan baru dimulai lusa.

    Dalam kriteria ini tidak dipertimbangkan apakah ijtimak sudah terjadi atau belum. Kriteria ini diajukan oleh A¥mad Mu¥ammad Syakir (1892-1951) pada tahun 1939 dalam upayanya untuk menyatukan penanggalan Hijriah sedunia dengan menjadikan Mekah sebagai marjaknya. Kemudian dipakai oleh kalender Ummul Qura (kalender resmi pemerintah Arab Saudi) pada fase ketiga dalam perjalanan kalender tersebut, yaitu antara tahun 1998 s/d 2003.

    Namun kemudian kriteria ini direvisi oleh kalender tersebut karena kasus bulan Rajab 1424 H di mana pada hari ke-29 Jumadal Akhir, yaitu hari Rabu tanggal 27-08- 2003, matahari terbenam (pada pukul 18:45 waktu Mekah) lebih dahulu dari Bulan yang terbenam pada pukul 18:53, padahal saat itu belum terjadi ijtimak (yang berarti bulan belum cukup umur) sebab ijtimak baru terjadi pukul 20:26 waktu Mekah.

    Jadi ternyata bahwa tidak selalu apabila Bulan tenggelam sesudah matahari, ijtimak terjadi sebelum matahari tenggelam.
    Bisa terjadi ijtimak belum terjadi meskipun Bulan tenggelam sesudah matahari tenggelam.
    Revisi yang dilakukan oleh Kalender Ummul Qura adalah dengan menambahkan syarat bahwa ijtimak terjadi sebelum terbenamnya matahari dan inilah
    yang berlaku sekarang. Dengan demikian kriteria kalender ini menjadi sama dengan kriteria yang disebutkan pada angka 5) di bawah, hanya saja dalam kalender Ummul Qura ukuran tenggelamnya Bulan adalah piringan bawahnya.

    Dari Software Accurat Times, dengan
    – Koordinat Mekah Arab Saudi
    – Rabu tgl 27-08-2003, malam Kamis 28-08-2003
    – Hilal untuk Rajab 1424 :

    – Waktu Konjungsi : 27/08/2003 jam 20:26 waktu Saudi
    – Sunset: 18:45 LT G. Moon Age: -01H 42M
    – Moonset: 18:53 LT Moon Lag Time: +00H 08M
    – G. Moon Altitude: +01°:17′:33″ G. Moon Azimuth: +285°:37′:06″
    – G. Sun Altitude: -01°:26′:49″ G. Sun Azimuth: +281°:23′:34″
    – G. Relative Altitude: +02°:44′:21″ G. Elongation: +05°:02′:08″
    – G. Relative Azimuth: +04°:13′:32″ G. Phase Angle: +174°:57′:07″
    – G. Crescent Width: +00°:00′:04″ G. Moon Semi-Diameter: +00°:15′:53″
    – G. Illumination: 00,19 % G. Horizontal Parallax: +00°:58′:18″
    – G. Magnitude: -04,43 G. Distance: 376073,58 Km

    Terlihat dari perhitungan di atas :
    Bulan di atas ufuk ( +01°:17′:33″ ) belum menjadi jaminan Bulan telah masuk bulan baru, bila Ijtimak belum terjadi…
    Kriteria Wujudul Hilal telah mengantisipasinya dengan memasukan Syarat, Ijtimak harus terjadi sebelum matahari terbenam…

  35. Rois….anda yg benar2 terbalik. Coba lihat gambar orang yg melihat ikan. Kalau itu benar kenapa? Cahaya datang dari air (zat yg kerapatannya tinggi) ke udara/mata (zat yg kerapatannya lebih rendah), maka cahaya dibelokkan ke bawah (seolah2 ikan berada di atasnya). Coba cahayanya dibalik, datang dari udara ke air (lampu di udara, mata di air), pasti cahaya lampu di air dibelokkan ke atas (seolah2 lampu lebih rendah dari aslinya) padahal aslinya lebih tinggi. Demikian pula cahaya bintang.

    Ini profesor yang lupa atau saya yang masih ingat sih? Sama saja ya? Untuk mudahnya, caba bapak masukkan lidi ke air, sisakan sebagian di udara. Kemana cahaya dibelokkan?

    Pak Rois benar2 tidak memahami gambar mata manusia dg ikan yg bapak tampilkan. Ingat….gambar itu…mata di udara dan ikan di air. Coba dibalik, mata di air dan ikan di udara. Ikan dianggap sbg bulan dan mata sbg pengamat di bumi. Hasilnya pasti kebalikannya. Kenapa? Sinar bulan datang dari hampa udara ke atmosfir bumi yg lebih rapat. Duh….pak rois menampilkan gambar tapi malah memperkuat pendapat saya. Gimana pak?

  36. Pak Rois dan pak Prof kayaknya perlu buka2 lagi teori pembiasan cahaya deh…. Mungkin anak bapak yg SMP masih punya buku fisika yg muat teori pembiasan cahaya. Saya menjadi semakin yakin, hilal yang tampak di ufuk itu realitanya lebih tinggi dari yg tampak setelah mencermati gambar mata yang melihat ikan di dlm air sebagaimana yg pak Rois link kan. Teori cahaya mengatakan….”cahaya akan dibelokkan ke atas apabila datang dari zat yang kerapatannya rendah ke zat yang kerapatannya tinggi”. Sebaliknya….”cahaya akan dibelokkan ke bawah apabila datang dari zat yang kerapatannya tinggi ke zat yang kerapatannya rendah”.

    Jika cahaya bulan masuk ke bumi, cahaya akan dibelokkan ke atas dan sampai ke mata pengamat. Dalam posisi itu, mata melihat bulan ”seolah-olah” jadi lebih rendah dari benda aslinya. Makanya, bulan yang terlihat pada tinggi 2 derajat itu sesungguhnya telah 3 derajat atau 4 derajat. Bukan sebaliknya seperti kata pak Thomas.

  37. Pak Prasojo,
    He he he … 🙂

    salam,
    Rois

  38. Pak Rois…….Ini saya kutip dari wikipwdia yang anda link……”Atmospheric refraction causes astronomical objects to appear higher in the sky than they are in reality”

    Hayoooooo………..

    • Pak Prasojo,
      Terjemahan bebasnya: Dikarenakan refraksi atmosfer, benda langit terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi sebenarnya”. Dalam redaksi yang lain: bulan akan terlihat lebih tinggi dibandingkan posisi sebenarnya. Ketika bulan terbenam di ufuk, posisi bulan sebenarnya (dengan garis lurus) sudah 34′ di bawah ufuk. Sama halnya dengan kasus terbenamnya matahari. Waktu terbenam matahari selalu masukkan faktor refraksi atmosfer ini.

    • Itu terjemahannya “Pembiasan cahaya menyebabkan objek astronomi tampak lebih tinggi di langit daripada kenyataannya”. Atmosfer makin ke bawah itu makin tebal, jadi cahaya benda langit dibelokkan menjauhi garis normalnya sama seperti pembiasan cahaya dari air ke udara (lihat ilustrasi gambar di wiki). Koreksi refraksi benda langit di ufuk sekitar 35′. Artinya, kalau ada bintang terbenam, sesungguhnya posisinya sudah 35′ di bawah ufuk. Itu artinya bintang itu tampak lebih tinggi dari kenyataannya.

  39. Pak Agus & Pak Thomas….iya ternyata saya yang lupa teori pembiasan cahaya (terbalik). Terimakasih. Kalau terjemahannya sih…nggak terlalu sulit koq…

    • Hanya yang aneh bagi saya…

      Kriteria Imkan Rukyat itu kan standar nya penglihatan mata manusia dari bumi melihat bulan di langit sana…
      Mengapa ikut-ikutan juga memasukkan faktor Pembiasan cahaya ?…

      Kalau Kriteria Wujudul Hilal jelas memasukkan faktor Pembiasan Cahaya ini, sebab standarnya adalah posisi Manzilah Bulan…

      Ah, Kriteria IR ternyata “baju baru yang belum selesai-selesai juga dijahit”…
      Beda dengan Kriteria IR, “baju lama yang sudah selesai dijahit”…

      Tinggal milih mau baju lengan panjang (Ummul Qura) atau baju lengan pendek (Muhammadiyah)… 🙂

      • Dari segi hisabnya sama, baik WH maupun IR, sama-sama menggunakan koreksi refraksi. Cahaya hilal untuk sampai ke mata pengamat harus melalui atmosfer yang kerapatannya bervariasi. Di dekat ufuk atmosfernya lebih rapat dari pada di arah zenit. Untuk menyimpulkan ketinggian tampaknya (apparent altitude), WH dan IR prosedurnya sama. Hasilnya juga sama, misalnya 1,5 derajat. Yang berbeda dalam menyimpulkan.

        Menurut WH ketinggian 1,5 derajat sekedar dianggap wujud di sana, di balik atmosfer yang tidak diperhitungkan lagi. Kalau sekadar membuktikan wujudnya di balik atmosfer, mengapa repot-repot memperhitungkan refraksi, karena sejak ijtimak, cahaya sabit secara perlahan muncul. Cukuplah hanya menghitung ijtimak sebagai indikator wujud. Ijtimak qobla ghurub dan ketinggian positif ditambahkan karena mengaitkan dengan dalil rukyat (silakan baca kutipan Pedoman Hisab Muhammadiyah di tulisan di atas). Kalau diibaratkan bikin baju, WH itu tanggung. Untuk sampai wujudnya baju, badan diukur secara cermat. Setelah dijahit dan baju sudah berwujud, badan yang diukur itu diabaikan. Yang penting baju sudah wujud. Ini ibarat penjahit yang tidak bertaggungjawab.

        Sedangkan IR tidak berhenti sekadar wujud. Secara fisik, atmosfer itu memberi efek refraksi/pembiasan dan hamburan cahaya matahari. Matahari sebagai sumber cahaya bagi hilal, juga menjadi sumber cahaya bagi cahayan senja. Jadi, keduanya harus diperlakukan sama, keduanya.harus diperhitungkan. Kalau ibarat bikin baju tadi, setelah baju wujud, ya badan yang tadi diukur dipaskan lagi. Dilihat cocok atau tidaknya. Kalau cocok diterima, kalau tidak cocok ya ditolak. Toh sudah ada kriteria kecocokannya (enak dipakai, pantas dilihat). Ini ibarat penjahit yang memberikan layanan prima bagi pelanggannya.

        Tinggal pilih, mau penjahit asal jadi (alias asal wujud) atau penjahit dengan layanan prima (dipaskan dulu, diterima bila memenuhi krietria atau ditolak bila tidak memenuhi kriteria. Secara rasional, saya sih pilih penjahit yang prima tersebut 🙂 .

  40. Kepada Pak Ivan yang saya hormati, mohon ijin untuk menanggapi pendapat Bapak. Saya tertarik dengan pendapat Bapak berikut ini:

    “… Walaupun mudah dan sederhana namun Kriteria Wujudul Hilal telah bisa memberikan keyakinan kepada kita bahwa :
    – Bulan telah di atas ufuk dengan Ijtima telah terjadi sebelumnya…
    Tanpa perlu repot-repot ngitung cahaya senja dan model atmosfer segala…”

    Tanggapan saya, saya setuju dengan Bapak, bahkan sebenarnya kriteria Wujudul Hilal dapat lebih di-“sederhanakan” lagi, dari 3 kriteria yang ada: (1) telah terjadi ijtimak, (2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan (3) pada saat terbenamnya matahari bulan berada di atas ufuk. Dirangkum menjadi HANYA satu yaitu (seperti yang Pak Ivan sebutkan):

    “ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam.” titik.

    Dengan hanya menggunakan satu kriteria tersebut lebih mudah lagi, tidak perlu repot-repot menghitung posisi bulan saat matahari terbenam, dan hanya menghitung waktu ijtimak apakah sebelum atau sesudah matahari terbenam, beres, sederhana dan mudah bukan.

    Kriteria “ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam” sudah merangkum semuanya, dimana dari kalimat tersebut maka (1) ijtimak pasti sudah terjadi, dan tentu saja (2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, serta (3) buat apa lagi cari posisi kalau bulan sudah di atas ufuk, karena baik bulan di atas maupun di bawah ufuk PASTI HILAL sudah WUJUD dikarenakan bergesernya bujur ekliptika bulan terhadap posisi bujur ekliptika matahari (elongasi > 0).

    Mungkin nanti akan ada yang berpendapat, kalau bulan di bawah ufuk artinya “BULAN BELUM TERBIT”. Berikut penjelasannya (mohon koreksinya): Pada saat ijtimak/konjungsi terjadi, maka waktu terbitnya matahari dan bulan (sunrise dan moonrise) serta waktu terbenamnya matahari dan bulan (sunset dan moonset) akan hampir bersamaan, karena posisi bulan dan matahari yang berada pada bujur ekliptika yang sama. Berbeda dengan saat mendekati fase bulan purnama (full moon), dimana posisi bulan dan matahari berada pada bujur ekliptika yang berlawanan, maka waktu matahari terbenam (sunset) akan hampir bersamaan dengan saat terbitnya bulan (moonrise) serta waktu matahari terbit (sunrise) akan hampir bersamaan dengan waktu terbenamnya bulan (moonset).

    Jadi pada saat ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, maka posisi bulan SUDAH TERBIT dan berada berdekatan dengan matahari. Sebagai bukti empirik adalah hasil observasi Martin Elsasser dan Thierry Legault (keduanya berhasil mengabadikan bulan sesaat setelah konjungsi pada waktu siang (day light), dimana posisi bulan dekat dengan matahari, dan bulan SUDAH berada di atas ufuk). Apabila bulan berada di bawah ufuk, artinya bulan terbenam mendahului matahari (moonset before sunset), sedangkan WH mensyaratkan bulan yang MASIH berada di atas ufuk saat matahari terbenam (moonset after sunset) artinya bulan SUDAH TERBIT, MASIH DI ATAS UFUK dan AKAN TERBENAM (ini sesuai dengan yang ditulis Pak Oman Fathurohman pada penjelasannya mengenai “Penentuan Awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijah 1432 H”, Agustus 2011, slide no: 12).

    Pada buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah” halaman 81, line 26-28 dikatakan: “… Apabila pada saat terbenamnya matahari, bulan telah mendahului matahari dalam gerak mereka dari barat ke timur, artinya saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk…”. Saya masih bingung dengan kalimat tersebut, bukankah kalau bulan telah mendahului matahari saat terbenam, maka bulan sudah berada di bawah ufuk terlebih dahulu? Kalau yang dimaksud adalah pergerakan bujur ekliptika, dimana bulan telah lebih dahulu bergeser dan bujur ekliptika bulan lebih besar dari matahari (saat konjungsi maka bujur ekliptikanya sama), maka ini tidak ada hubungannya dengan ufuk, karena baik bulan berada di atas maupun di bawah ufuk, setelah konjungsi terjadi , bujur ekliptika bulan akan SELALU bergeser mendahului bujur ekliptika matahari.

    Kembali ke alasan WH memasukan kriteria ufuk pada metodenya. Dari buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah” ada 2 alasan yang dapat di ambil, yaitu:

    (1) Ufuk sebagai batas pergantian bulan baru, berikut kutipannya (hanya ada satu kutipan):

    – “… ufuk terkait dengan pergantian suatu bulan baru ke bulan baru berikutnya pada hari terakhir suatu bulan. …” (Hal: 81, line: 18-21),

    (2) Karena bulan di atas ufuk lah yang dapat di rukyat (dilihat dengan mata secara fisik), berikut kutipannya (ada lebih dari satu kutipan):

    – ” … Keberadaan bulan di atas ufuk itu penting mengingat ia adalah inti makna yang dapat disarikan dari perintah Nabi SAW melakukan rukyat…” (Hal: 24, line: 18-20),

    – “… Bulan yang terlihat pastilah di atas ufuk saat matahari terbenam…” (Hal: 24, line:21-22),

    – “… Hilal tidak mungkin terlihat apabila di bawah ufuk. Hilal yang dapat dilihat pasti di atas ufuk. …” (Hal: 82, line: 7-9),

    – “… tinggi Bulan … adalah -00° 51′ 57″, artinya bulan masih di bawah ufuk dan karena itu mustahil di rukyat…” (Hal: 82, line: 16-19).

    Dari kedua alasan tersebut, alasan pertama masih agak membingungkan bagi saya (mohon untuk dapat dijelaskan lebih detail bagi yang telah memahaminya). Apabila ufuk dijadikan sebagai batas, mengapa bulan yang MASIH berada di atas ufuk dan belum melewati ufuk dianggap sebagai awal bulan qomariyah baru? Kalau begitu kan, logika sederhananya, hitung saja saat terjadinya ijtimak, maka apabila ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, PASTI bulan sudah berada di atas ufuk (ingat: moonrise bersamaan dengan sunrise dan WH pun menghitung bulan yang dikatakan MASIH berada di atas ufuk), jadi TIDAK perlu lagi kriteria nomor (3) dengan menghitung posisi bulan, toh bulan sudah berada di atas ufuk. Apabila ternyata saat matahari terbenam, bulan sudah berada di bawah ufuk, artinya kondisi awal sesuai kriteria nomor (3) sudah terlewati, karena bulan yang MASIH di atas ufuk saja dapat dianggap sebagai awal bulan qomariyah, apalagi bulan yang sudah melewati ufuk, berarti awal bulan qomariyah sudah terlewati.

    Alasan kedua digunakannya ufuk penjelasannyalebih jelas, dan menurut saya alasan kedua adalah INTI sebenarnya dari alasan di atas ufuk karena HANYA bulan yang di atas ufuk lah yang DAPAT DI RUKYAT (tambahan: dilihat dengan mata fisik). Kemudian yang menjadi pertanyaan apabila alasan kedua ini sebagai kriteria, kenapa batasan ufuk untuk melihat dengan mata (fisik) diperhitungkan, tetapi batasan atmosfer untuk melihat dengan mata (fisik) TIDAK diperhitungkan? Mohon pencerahannya dari Pak Ivan.

    Mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya, terima kasih.

    Wallahu’alam…

    • Pak Syarif,
      Ada kasus ijtima’ telah terjadi sebelum maghrib, tetapi bulan masih di bawah ufuk… Contohnya pada Jumadil ula 1423

      Dari Perhitungan Accurate Times :
      – Lokasi : Jakarta Indonesia
      – Tgl 10/07/2002 Rabu sore, malam Kamis 11/07/2002
      – Ijtima’ : Tgl 10/07/2002 jam 17:26 wib

      – Sunset: 17:52 LT G. Moon Age: +00H 26M
      – Moonset: 17:49 LT Moon Lag Time: -00H 03M
      – G. Moon Altitude: -00°:38′:57″ G. Moon Azimuth: +294°:54′:16″
      – G. Sun Altitude: -00°:56′:27″ G. Sun Azimuth: +292°:15′:27″
      – G. Crescent Width: +00°:00′:01″ G. Moon Semi-Diameter: +00°:15′:54″
      – G. Illumination: 00,05 % G. Horizontal Parallax: +00°:58′:21″
      – G. Magnitude: -04,16 G. Distance: 375840,66 Km

      Bisa dilihat dari perhitungan di atas,
      Ijtima terjadi jam 17:26 wib sebelum Sunset jam 17:52 wib…
      Tinggi Hilal saat Sunset ternyata masih di bawah ufuk ( -00°:38′:57″ )

      Mengenai :
      Pada buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah” halaman 81, line 26-28 dikatakan:
      “… Apabila pada saat terbenamnya matahari, bulan telah mendahului matahari dalam gerak mereka dari barat ke timur, artinya saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk…”

      Pak Syarif coba gunakan software Stellarium untuk melihat simulasi perbandingan posisi bulan pada saat matahari terbenam setiap harinya…
      Semakin bertambah hari posisi bulan itu akan semakin “naik” ke arah timur… sekitar 13° setiap hari…
      – Pada akhir bulan qomariyah saat terbenam matahari, posisi bulan ada di bawah matahari.
      – Pada awal bulan qomariyah saat terbenam matahari, posisi bulan sudah ada di atas matahari.

      Mengenai :
      Alasan kedua digunakannya ufuk penjelasannyalebih jelas, dan menurut saya alasan kedua adalah INTI sebenarnya dari alasan di atas ufuk karena HANYA bulan yang di atas ufuk lah yang DAPAT DI RUKYAT (tambahan: dilihat dengan mata fisik). Kemudian yang menjadi pertanyaan apabila alasan kedua ini sebagai kriteria, kenapa batasan ufuk untuk melihat dengan mata (fisik) diperhitungkan, tetapi batasan atmosfer untuk melihat dengan mata (fisik) TIDAK diperhitungkan?

      Konsep Wujudul Hilal itu fokusnya pada mengetahui (memprediksi) posisi Manzilah bulan telah di atas ufuk sebagai Tanda Masuk Penanggalan Bulan Baru…
      BUKAN pada menghitung kemampuan penglihatan mata manusia…

      Bulan dan Matahari dan Pergerakan nya itu telah diciptakan Allah swt dengan Perhitungan…
      Jadi Pergerakan bulan itu tergantung kepada Perhitungan yang telah ditetapkan Allah swt… bukan tergantung kepada Penglihatan Manusia…

      Zaman Nabi dahulu hanya melakukan Rukyat… sebab hanya Teknologi itu saja yang dipunyai pada waktu itu yang memberi kepastian mengenai Posisi Manzilah Bulan telah memasuki Penanggalan Bulan Baru…

      • Jangan gunakan interpretasi sendiri soal WH sebagai pembenaran. Kalau WH hanya memprediksi posisi manzillah bulan di atas ufuk, tanpa melibatkan kemampuan mata manusia, untuk apa mengoreksi faktor refraksi. Logika seperti itu ANEH secara astronomi. Hisab itu “mainan” sehari-hari astronom. Kalau hisab menafikkan ketampakan dengan mata atau perangkat optis, buat apa hisab. Secara astronomi, hisab digunakan untuk membantu rukyat dan rukyat digunakan untuk menyempurnakan hisab. Berupaya untuk menafikkan rukyat atau kemampuan penglihatan manusia, itu bukan ranahnya astronomi. Kalau itu yang terus dijadikan pembenaran saudara-saudara kita di Muhammadiyah dalam membela WH, lama-lama komunitas astronomi bisa menggolongkan konsep WH dalam “pseudoscience”, sama dengan astrologi (ilmu nujum) dan UFO yang sangat diyakini oleh kelompok pencintanya, tetapi tidak punya dasar ilmiah yang kuat secara astronomi. Silakan tunjukkan astronom profesional mana yang mendukung konsep WH, boleh browsing diinternet.

      • Kalau para astronom mah memang kesenangan nya memantau bulan… 🙂
        Tapi sayangnya melupakan esensi dari Tujuan Rukyat yang dilakukan Nabi…

        Rukyat yang dilakukan pada zaman Nabi adalah mencari kepastian bahwa bulan dalam pergerakan (peredaran)nya telah di atas ufuk sebagai tanda masuk bulan baru…

        Makanya Nabi hanya menyuruh merukyat itu tgl 29 sore, malam tgl 30…
        Kalau sarat masuk bulan baru itu adalah terlihatnya Hilal… maka Nabi akan terus menyuruh para sahabat merukyat besoknya besoknya lagi sampai Hilal itu berhasil dilihat…

        Jadi bisa disimpulkan, esensi dari Rukyat yang dilakukan Nabi adalah Jaminan Kepastian Bulan telah masuk Manzilah Bulan Baru…

        Pa Thomas sendiri pasti lebih faham dari saya… yang namanya pergerakan bulan dan seluruh benda langit itu tergantung dari Perhitungan yang telah ditetapkan Tuhan… BUKAN tergantung dari Penglihatan mata Manusia…

      • Pak Ivan, terima kasih atas tanggapannya. Mohon maaf, mungkin Pak Ivan belum paham dengan apa yang saya maksud. Untuk itu, mari kita menggunakan data yang disampaikan oleh Pak Ivan.

        – Ijtima’ : Tgl 10/07/2002 jam 17:26 wib
        – Sunset: 17:52 LT G. Moon Age: +00H 26M
        – Moonset: 17:49 LT Moon Lag Time: -00H 03M
        – G. Moon Altitude: -00°:38′:57″

        Kesimpulan Pak Ivan: “… Ijtima terjadi jam 17:26 wib sebelum Sunset jam 17:52 wib…Tinggi Hilal saat Sunset ternyata masih di bawah ufuk ( -00°:38′:57″ )…”

        Saya SETUJU 100% dengan kesimpulan Bapak. Tetapi sesaat setelah terjadi Ijtimak, bulan MASIH berada DI ATAS UFUK. Penjelasannya sebagai berikut:

        – Jarak antara terjadinya Ijtimak dan Matahari terbenam adalah 26 MENIT!!!!
        – Jarak antara terjadinya Ijtimak dan terbenamnya BULAN adalah 23 MENIT!!!!
        – Ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, artinya terjadi pada saat “day light”
        – REKOR hilal yang terobservasi pada saat “day light” adalah 0 MENIT!!!! (silahkan lihat hasil observasi Thierry Legault, pada tanggal 14 April 2010)
        – Kondisi pada data yang di contohkan Pak Ivan adalah Bulan terbenam mendahului Matahari dengan time lag 3 menit

        Kesimpulannya: Saat sebelum bulan terbenam, ada waktu selama 23 MENIT!!!! bulan MASIH berada DI ATAS UFUK. Karena kriteria yang saya sebutkan lebih sederhana, yaitu HANYA mencari bahwa Ijtimak telah terjadi sebelum matahari terbenam, maka TERBUKTI kalau hilal sudah wujud pada saat tersebut, tanpa menghitung lagi posisi bulan saat matahari terbenam. Bukti empiriknya adalah data observasi Thierry Leagult yang menyatakan bahwa HIlal (crescent) TELAH TERBENTUK (WUJUD) dalam waktu 0 MENIT setelah terjadinya Ijtimak pada saat “day light” (baca: sebelum matahari terbenam). Jadi kalau saat matahari terbenam, posisi bulan SUDAH berada DI BAWAH UFUK, maka kondisi HILAL telah WUJUD sudah terpenuhi (terlewati) dengan menggunakan perhitungan.

        Dengan kriteria sederhana tersebut, maka Wujudul Hilal (WH) telah benar-benar meninggalkan (baca: tidak memerlukan) RUKYAT karena tidak ada faktor/batasan melihat dengan mata yang digunakan dalam perhitungannya. Kalau kriteria yang sekarang digunakan, sepertinya setengah hati Pak Ivan, karena WH mengatakan TIDAK PERLU RUKYAT (baca: melihat dengan mata fisik) tetapi TETAP menggunakan faktor pembatas mata melihat (Ufuk dan Refraksi) sebagai salah satu parameter dalam perhitungannya. Mohon pencerahan dari Pak Ivan.

        Mengenai melihat dengan software Stellarium, itu dapat dijelaskan secara astronomi dengan konsep posisi bulan dan matahari menggunakan bujur ekliptika (garis tegak lurus terhadap ekliptika, yaitu lintasan semu matahari di antara rasi-rasi bintang) seperti yang dijelaskan oleh Pak Thomas dalam tulisannya. Posisi tersebut juga dipengaruhi inklinasi dan deklinasi bulan sekitar 5° terhadap ekliptika. Dan juga perlu di ingat bahwa bumi berputar tidak “LURUS” tetapi ada kemiringan (tilt) pada sudut tertentu (besarannya berapa saya kurang paham). Mari kita pahami dulu konsep astronominya sebelum kita menggunakan software astronomi, nanti kita malah salah dalam mengartikan nilai-nilai yang tampil dalam software tersebut. Mohon koreksi dari Pak Ivan.

        Mengenai perhitungan posisi manzilah bulan menggunakan metode WH. SIlahkan Pak Ivan buka petuntuk perhitungan yang ada dalam buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah” halaman 85, petunjuk nomor 3), dikatakan: “… Data refraksi matahari diambil yang paling besar, yaitu pada waktu terbenam ialah 34′ 30″…”. Pertanyaan saya, kalau WH berprinsip pada PERHITUNGAN, kenapa nilai refraksi tidak menggunakan rumus perhitungan yang ada, misalnya menggunakan rumus Bennett(1982) atau Sæmundsson (1986)? tetapi malah menggunakan nilai pendekatan yang “DISEPAKATI” bersama. Bahkan nilai tersebut bisa saja berupa nilai antara 34′ dan 35′. Inilah contoh “KESEPAKATAN” secara astronomi yang diharapkan juga dapat terjadi saat menentukan kriteria terlihatnya hilal. Mohon pencerahan dari Pak Ivan.

        Mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya, terima kasih.

        Wallahu’alam…

      • Pak Djamaluddin,

        Sebenarnya siapa sih yang sedang menginterpretasikan konsep wujudul hilal menurut diri sendiri? Ketika wujudul hilal hanya mendefinisikan kriteria bulan baru menurut: sudah terjadi konjungsi sebelum matahari terbenam dan bulan sudah di atas ufuk. Mari kita lupakan hilal karena memang faktor ini tidak ada dalam kriteria wujudul hilal. Justru anda yang memaksakan kriteria ini dipandang dari kriteria imaknu rukyat. Bulan di atas ufuk sebagai sesuatu sebatas “syarat perlu” hanya benar jika dipaksakan dalam inteprestasi imnaku rukyat (yaitu visibilitas hilal), sedang dalam wujudul hilal sendiri ini adalah “syarat cukup”. Kalau anda masih memaksakan faktor hilal atau malah visiblitas hilal di sini, sepertinya memang kejujuran anda dalam berdiskusi perlu dipertanyakan lagi (apalagi setelah kejadian kesalahan dalam kasus “wakil Muhammadiyah” di tulisan sebelumnya). Sedangkan apakah penghilangan faktor visibilitas hilal sebagai sesuatu yang syar’i atau tidak, itu sudah terlepas dari ilmu astronomi. Paling tidak ijtihad Muhammadiyah mengambil kesimpulan bahwa keperluan visibilitas hilal hanya sekedar “cara kuno” dalam menentukan bulan baru. Hormati itu sebagai ijtihad agama, karena ini bukan permasalahan ilmu astronomi lagi. Dalam hal ini, sepertinya anda yang sedang menggunakan interpretasi sendiri tentang wujudul hilal untuk menyalahkannya.

        Anda juga tahu bahwa refraksi atmosfer adalah sifat fisis dari cahaya ketika melewati medium, bukan sekedar penampakan terhadap mata atau alat optik. Ketika posisi matahari waktu maghrib dikoreksi oleh faktor refraksi, adalah hal yang sangat logis untuk mengoreksi posisi bulan terhadap ufuk dengan cara yang sama. Apalagi konteks penggunaan posisi bulan adalah untuk mengetahui apakah bulan sudah “mendahului” matahari atau belum, bukan masalah terlihatnya bulan atau tidak. Lebih jauh dari itu, wujudul hilal memberikan “konsep dan kriteria”, bukan cara pengukuran dan perhitungan. Masalah penggunaan refraksi sudah ke dalam taraf pengukuran dan perhitungan.

        Kemudian anda semakin jauh dengan mencoba menyeret konsep wujudul hilal ke arah “pseudoscience” dengam menggunakan baju “komunitas astronomi”. Sejauh apakah perbedaan antara wujudul hilal dengan imkanu rukyat dilihat dari sudut pandang science? Sudahkah imkanu rukyat mendefinisikan apa itu “terlihat” dalam konteks imnaku rukyat yang menghilangkan faktor sebatas persepsi mata saja? Anda menyebutkan sebagai kontras cahaya dan lain-lainnya, berapakah nilai-nilainya yang terukur melalui alat-alat ilmu fisika? Yang tidak “terlihat” oleh mata masih mungkin “terdeteksi” dengan alat-alat yang lain. Apakah ini sudah keluar dari definisi “terlihat”? Mengapa kriteria imaknu rukyat yang anda sodorkan perlu “mempertimbangkan praktek hisab rukyat di Indonesia”, apakah ini juga sudah ilmiah secara ilmu astronomi?

        Mengenai astronom profesional dan wujudul hilal, apakah anda lupa bahwa kalender Ummul Qura merubah kriteria bulan baru yang pada dasarnya sama kriteria wujudul hilal pada tahun 2002? (padahal Muhammadiyah sudah menggunakan kriteria ini sejak 1938 — karena konsep wujudul hilal lahir dari Muhammadiyah). Kalender Ummul Qura adalah produk dari Astronomy and Geophysics Research Institute, King Abdulaziz City for Science and Technology. ISNA (Islamic Society of North America), FCNA (Fiqh Council of North America), dan ECFR (European Council for Fatwa and Research) mendukung penggunaan kalender ini. Apakah fakta ini tidak cukup untuk mengatakan bahwa konsep wujudul hilal bukanlah sebuah konsep yang “usang” dan “kuno” yang sering anda tuduhkan?

  41. Pak Syarif,

    – REKOR hilal yang terobservasi pada saat “day light” adalah 0 MENIT!!!! (silahkan lihat hasil observasi Thierry Legault, pada tanggal 14 April 2010)
    – Kondisi pada data yang di contohkan Pak Ivan adalah Bulan terbenam mendahului Matahari dengan time lag 3 menit Kesimpulannya: Saat sebelum bulan terbenam, ada waktu selama 23 MENIT!!!! bulan MASIH berada DI ATAS UFUK.

    Rekor Thierrry Legault itu ternyata mendukung Pendapat saya yang lalu 🙂 :
    “Bulan itu walaupun saat terjadi konjungsi, Tetap memantulkan cahaya Matahari ke bumi… Bulan baru tidak memantulkan cahaya kalau ada pada posisi gerhana… Bisa dibuktikan dengan perhitungan Magnitudonya”…

    Jadi kalau masih ada hari gini yang masih memasalahkan bahwa si Qomar dan si Hilal itu beda, berarti orang itu kurang gaul… 🙂

    Masalah Bulan telah ada 23 menit, beberapa saat sebelum matahari terbenam… Itu belum masuk dalam Kriteria Penetapan Bulan Baru versi WH…
    Pak Syarif mungkin lupa… Penanggalan Hijriyah itu pergantian hari dan tanggal nya adalah mulai dari Magrib (terbenam matahari)… Jadi yang dilihat (dihitung) itu adalah posisi bulan saat dimulainya hari baru (yaitu saat terbenam matahari)…

    Dengan kriteria sederhana tersebut, maka Wujudul Hilal (WH) telah benar-benar meninggalkan (baca: tidak memerlukan) RUKYAT karena tidak ada faktor/batasan melihat dengan mata yang digunakan dalam perhitungannya. Kalau kriteria yang sekarang digunakan, sepertinya setengah hati Pak Ivan, karena WH mengatakan TIDAK PERLU RUKYAT (baca: melihat dengan mata fisik) tetapi TETAP menggunakan faktor pembatas mata melihat (Ufuk dan Refraksi) sebagai salah satu parameter dalam perhitungannya. Mohon pencerahan dari Pak Ivan.

    Kita saling mencerahkan saja pak… Saya juga masih butuh pencerahan dari orang lain… 🙂

    Sekalian saya memperbaiki Komentar (pendapat) saya mengenai WH yang ada hubungan nya dengan Refraksi…
    Terima kasih kepada pak Thomas atas komentarnya pada postingan saya, sehingga saya bisa lebih tercerahkan…

    Konsep WH yang saya fahami adalah… Diketahuinya Kepastian bahwa :
    – posisi Manzilah Bulan telah ada di atas ufuk… pada saat terbenam matahari (sebagai awal pergantian hari Hijriyah)…
    – dengan ijtima’ (sebagai tanda pergantian periode bulan) telah terjadi sebelum terbenam matahari…

    Jadi karena fokusnya kepada Kepastian Manzilah bulan telah di atas ufuk… Maka tentunya yang diperhitungkan itu adalah Posisi Bulan-Matahari terhadap Ufuknya itu sendiri…
    Penghitungan yang tentunya juga berdasarkan kondisi alat sensor bawaan dari manusia… yaitu mata manusia…
    Makanya faktor Refraksi diperhitungkan…

    Lalu kemudian bagaimana dengan faktor cahaya senja ?…
    Karena Kriteria WH fokusnya pada ‘Kepastian posisi Hilal di atas ufuk’… BUKAN pada ‘Keterlihatan Hilal di atas ufuk’… tentunya faktor cahaya senja tidak diperhitungkan…

    Kalau kemudian pak Thomas dengan kelakarnya mengatakan bahwa bisa jadi nantinya Konsep Wujudul Hilal itu hanyalah “pseudoscience”…
    Mungkin kesimpulan beliau ini diambil setelah melihat bahwa banyak yang mendukung WH ternyata sebenarnya tidak begitu paham dengan apa yang didukungnya…
    Kalau ini alasannya… kita juga bisa mengatakan bahwa Konsep Imkan Rukyat itu juga hanyalah “pseudoscience”… sebab pendukung IR banyak juga yang tidak begitu paham dengan IR yang didukungnya… 🙂

    Apalagi sebenarnya yang membedakan antara IR dan WH itu sejatinya hanyalah perbedaan terhadap tinggi Hilal antara 0,sekian derajat ~ angka IR derajat…
    Dan saya pikir ‘Hilal antara 0,sekian derajat ~ angka IR derajat’ itu… Bukanlah sebangsa benda UFO yang tidak jelas keberadaannya… 🙂

    Para Astronom sendiri pasti yakin bahwa bila menurut perhitungan yang akurat, posisi bulan itu berada pada ketinggian (misalnya) 0,5°, azimut sekian sekian…
    Bulan / Qomar / Hilal itu ya ada di situ… Walaupun tidak terlihat, tapi bisa diketahui keberadaannya…

    Mari kita pahami dulu konsep astronominya sebelum kita menggunakan software astronomi, nanti kita malah salah dalam mengartikan nilai-nilai yang tampil dalam software tersebut. Mohon koreksi dari Pak Ivan.

    Setahu saya sih Software Stellarium itu sudah memasukkan faktor-faktor yang pak Syarif sebutkan… sehingga simulasi yang ditampilkan sudah mirip dengan kenyataan posisi-posisi benda langit apabila kita survey di lapangan…
    Jadi kita tinggal “menikmati matang”nya saja… 🙂

    Terus terang saya sangat bersyukur Alhamdulillah, ada yang bikin software gratis ini… Saya install di Netbook biar bisa dibawa kalau sengaja jalan-jalan keluar sore menjelang magrib saat awal bulan Hijriyah… Biar bisa sebagai arahan untuk melihat Hilal pada kondisi Hilal yang menurut perhitungan sudah bisa mudah dilihat…
    Hanya sayangnya 2 bulan terakhir ini cuacanya mendung terus… 😦
    Eh, saya malah seperti yang curhat… 🙂

    Begitu pak Syarif,
    Saya juga Mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan…

    • Pak Ivan, terima kasih atas tanggapannya. Sepertinya, kalau dengan Pak Ivan enaknya kita ngobrol dan diskusi sambil minum kopi terus makan singkong goreng yah, karena saya merasa diskusi kita bermanfaat terutama bagi saya. Apalagi kalau Pak Ivan sudah install stellarium di netbook, bisa sekalian tadabur alam, diskusi tentang benda langit, wah kebayang pasti menarik… 🙂 , btw kalau boleh saya mau minta diajari untuk cara pembuatan quote-nya, bagus banget, tulisan jadinya rapih… 🙂

      Setuju saya dengan pendapat Pak Ivan, memang pada saat terjadi konjungsi nilai elongasi yang mungkin ada adalah antara 0° sampai dengan sekitar 5°, jadi ada kemungkinan cahaya matahari sudah terpantul ke bumi. Tapi kalau masalah si Qomar dan si Hilal beda, engga apa-apa deh saya di bilang kurang gaul, karena menurut saya memang beda Pak.. 🙂 Pemahaman saya justru dari Stellarium. Karena menggunakan data yang Pak Ivan buat, ada perbedaan antara nilai Magnitude (apparance magnitude) dan absolute magnitude (AM). Menurut saya nilai magnitude menunjukkan adanya Hilal sedangkan nilai AM menunjukkan bahwa bulan adalah benda planet yang tidak mengeluarkan cahaya, kalau tidak salah nilai AM > 40. Bagaimana menurut Pak Ivan?

      Sepertinya memang kembali permasalahannya adalah bahwa Wujudul Hilal (WH) hanya mencari posisi bulan, dengan ASUMSI bahwa apabila bulan berada di atas ufuk saat matahari terbenam setelah terjadinya konjungsi (sebelum matahari terbenam), maka sudah ada hilal. Sedangkan Imkanur Rukyat (IR) lebih menitik beratkan bahwa ASUMSI tersebut harus dapat dibuktikan (terlihat). Kembali lagi ke masalah Fiqh mengenai kata ruu’yati deh… 🙂

      Kalau boleh, saya mohon penjelasan dari Pak Ivan, apakah benar kalau WH itu sama sekali TIDAK MEMBUTUHKAN RUKYAT? kalau jawabannya TIDAK, maka saya tidak akan terlalu khawatir, karena pasti sesekali hisab WH perlu Rukyat (observasi) sebagai validasi data, tetapi kalau jawabannya adalah IYA, saya khawatir perhitungan dalam WH tidak lagi mengupdate parameter terbaru berdasarkan hasil observasi. Dalam perhitungan posisi bulan saja, WH menggunakan nilai refraksi yang sudah ada yaitu 34′ 30″ tanpa melakukan perhitungan lagi, padahal di software stellarium saja nilai refraksi ini dipengaruhi oleh 3 paramater. Dikhawatirkan nanti ada akumulasi dari kesalahan yang ada. David McNaughton (1997) dalam tulisannya “A Universal Islamic Calender” telah mencontohkan bagaimana kalau prediksi menggunakan perhitungan astronomi dapat mengakibatkan terjadinya perbedaan hari apabila tidak memasukan perubahan akibat pergerakan bumi.

      Oh iya, nanti kalau mau mencari hilal pas awal bulan boleh dong ajak-ajak saya, sepertinya bakal menjadi kegiatan menarik… 🙂 (jadi pengen punya netbook…#curhat juga)

      Terima kasih, Pak Ivan atas pencerahannya, mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan.

      Sekaligus juga dalam kesempatan ini, ijinkan saya untuk mengucapkan SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA 1432 H untuk teman-teman semua, serta mari kita berdo’a kepada Alloh SWT semoga saudara-saudara kita yang sedang menunaikan ibadah haji dimudahkan dalam menjalankan ibadahnya…amin.

    • Pak Ivan telah salah kalau mengatakan bahwa sejatinya perbedaan WH dan IR hanyalah angka tinggi hilal. WH hilal hanya menghisab posisi rembulan pada saat matahari tenggelam. Oleh karenanya ia hanya menggunakan satu paramater jarak vertikal titik tertinggi dari rembulan thd horizon; yang kemudian diberi istilah “tinggi hilal”.

      Sedangkan IR bukan hanya menghisab posisi tembulan, tetapi menghisab hilal dalam pengertian “bagian rembulan yang tersinari matahari yang bisa terlihat dari bumi seperti bulan sabit”. Oleh karenanya, paramater yang dihitung bukan sekedar jarak vertikal rembulan thd horizon saja, tetapi juga elongasi, umur bulan, dll. Tinggi hilal minimum dalam IR itu bukan angka tunggal, tetapi tergantung pula pada elongasi atau jarak azimuth rembulan dan matahari.

      Perbedaan antara WH dan IR terletak pada definisi acuan masuknya bulan baru. WH tidak lagi mengakui hilal sebagai acuan masuknya bulan baru, dan membuat definisi baru yang dirumuskan dalam 3 syarat WH tsb. Sedangkan IR masih mengakui hilal sebagai acuan masuknya bulan baru, dan hisab IR adalah menghisab hilal tsb.

      Kalau masih mau menjadikan hilal sebagai acuan masuknya bulan baru, maka 3 syarat yang disebut WH itu baru merupakan syarat perlu yang harus dilengkapi dengan syarat cukup, diantaranya dengan mempertimbangkan beberapa parameter lain selain “tinggi hilal” seperti elongasi dll.

      Wallahu a’lam bis-shawab.

  42. Hehe…pak thomas semakin lucu aja….
    bapak berkomentar, kita tidak perlu phobia pada rukyat, lah bapak sendiri phobia pada wujudul hilal….
    ….emang jaman wis edan (mengutip lagu Emha)….

    masyarakat dibikin bingung sama pakar2nya sendiri…..

  43. Pak Syarif,
    Sama-sama pak… SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA 1432 H juga…

    Memang benar pak… Tadabur Alam merukyat hilal sambil ditemani kopi panas dan singkong goreng, top markotop…

    Sayangnya kemarin-kemarin waktu jjs dengan rekan-rekan di masjid dalam rangka merukyat hilal, saya lupa tuh bawa makanan…
    Ingetnya bawa netbook, kompas, tikar sama air jirigen buat wudlu shalat magrib, takutnya di tempat pemantauan tidak ada air… 🙂

    Saya tinggalnya di sekitar daerah Tasikmalaya… Sayangnya tidak ada tempat yang dekat yang ideal untuk merukyat hilal…
    Ini juga lagi nyari-nyari informasi kalau ada tempat yang dekat yang bagus buat merukyat hilal… Atau mungkin harus ke Pangandaran yaa sekalian renang di laut… 🙂

    Kalau cara Quote mah ditulis saja :
    <blockquote>tulisan yang diquote</blockquote>

    Hasilnya :

    tulisan yang diquote

    Mengenai hal ini :

    Menurut saya nilai magnitude menunjukkan adanya Hilal sedangkan nilai AM menunjukkan bahwa bulan adalah benda planet yang tidak mengeluarkan cahaya, kalau tidak salah nilai AM > 40. Bagaimana menurut Pak Ivan?

    Sepertinya memang itu maksudnya…
    Benda langit yang paling redup terlihat mata telanjang adalah 6 magnitudo, sedangkan kalau kita lihat bulan saat konjungsi pun Magnitudo lebih kecil dari 6, bahkan terkadang bisa negatif…

    Sepertinya memang kembali permasalahannya adalah bahwa Wujudul Hilal (WH) hanya mencari posisi bulan, dengan ASUMSI bahwa apabila bulan berada di atas ufuk saat matahari terbenam setelah terjadinya konjungsi (sebelum matahari terbenam), maka sudah ada hilal. Sedangkan Imkanur Rukyat (IR) lebih menitik beratkan bahwa ASUMSI tersebut harus dapat dibuktikan (terlihat). Kembali lagi ke masalah Fiqh mengenai kata ruu’yati deh… 🙂

    Memang sepertinya pada ujung-ujungnya kembali ke masalah Fiqh…

    Kriteria Imkan Rukyat pun sebenarnya adalah Penafsiran dari Rukyat yang dilakukan Nabi…
    Tidak ada bedanya dengan Kriteria Wujudul Hilal…

    Terus terang saya belum tahu… ketika para Ulama terdahulu membicarakan Ilmu Hisab dalam Penetapan Awal Bulan…
    Seperti ulama Tabiin terkenal Mu¯arrif Ibn ‘Abdillah Ibn asy- Syikhkhir (w. 95/714) – pedoman hisab Muhammadiyah hal 6
    Atau bahkan Nabi Muhammad saw sendiri, ketika beliau berkata :
    ” Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian.
    Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari (HR al-Bukhari dan Muslim) ”

    Apakah yang dimaksud Hisab di sana itu… dipahami sebagai Pengetahuan Penghitungan Astronomi mengenai Keterlihatan Hilal (imkan rukyat)… ataukah besar kemungkinan hanyalah Pengetahuan Penghitungan Astronomi mengenai Posisi Manzilah Hilal (wujudul hilal) terhadap ufuk ?…

    Mengingat di dalam Al Quran sendiri kata “al ahilah” pada ayat QS 2 : 189 itu, menurut riwayat, asbabun nujul nya adalah
    untuk menjawab pertanyaan Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghunamah kepada Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah! Mengapa bulan sabit itu mulai timbul kecil sehalus benang, kemudian bertambah besar hingga bundar dan kembali seperti semula, tiada tetap bentuknya?”
    Sebagai jawabannya turunlah ayat ini.
    (Diriwayatkan oleh Abu Na’im dan Ibnu ‘Asakir di dalam tarikh Dimasyqa, dari as-Suddi as-Shaghir, dari al-Kalbi dari Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas.) – Al Quran Terjemahan Depag

    Jadi sepertinya kata “al ahilah” di sana adalah adalah mungkin Bukan dimaksudkan kepada Bulan Sabit tanggal Pertama, seperti yang dipahami selama ini… Tapi lebih berat kepada MoonPhase (Perubahan Penampakan Bulan)…

    Kalau boleh, saya mohon penjelasan dari Pak Ivan, apakah benar kalau WH itu sama sekali TIDAK MEMBUTUHKAN RUKYAT? kalau jawabannya TIDAK, maka saya tidak akan terlalu khawatir, karena pasti sesekali hisab WH perlu Rukyat (observasi) sebagai validasi data, tetapi kalau jawabannya adalah IYA, saya khawatir perhitungan dalam WH tidak lagi mengupdate parameter terbaru berdasarkan hasil observasi. Dalam perhitungan posisi bulan saja, WH menggunakan nilai refraksi yang sudah ada yaitu 34′ 30″ tanpa melakukan perhitungan lagi, padahal di software stellarium saja nilai refraksi ini dipengaruhi oleh 3 paramater. Dikhawatirkan nanti ada akumulasi dari kesalahan yang ada.

    Penghitungan Hisab Astronominya itu sendiri pasti akan selalu disesuaikan dengan kemajuan dari Penelitian dan Riset para Astronom…

    Setahu saya, walaupun Kriteria yang digunakan adalah tetap yaitu Kriteria Wujudul Hilal (bahkan telah digunakan sejak tahun 1938, seperti kata pak Agus)… saya lihat Muhammadiyah selalu menggunakan Penghitungan Hisab Astronomi yang sesuai dengan perkembangan zaman… jadi kekhawatiran adanya penumpukan kesalahan perhitungan sepertinya sudah diantisipasi oleh Muhammadiyah…

    Kalau penggunaan nilai refraksi sebesar 34′ 30″, saya belum bisa komentar… Kemungkinan adalah untuk mempermudah penghitungan saja…
    Toh pada dasarnya, yang lain pun menggunakan nilai refraksi ini…

    • Pak Ivan, terima kasih atas tanggapannya dan petunjuk quotenya, nanti saya coba 🙂

      Memang itulah nikmatnya melaksanakan rukyat sambil bertadabur alam. Nanti lain kali kalau tadabur alam mengajak orang yang sudah berkeluarga seperti saya, karena pasti tidak akan lupa disediakan makanan oleh istri… 🙂 jadi janganlah rukyat itu ditinggalkan. Hisab perlu tapi jangan menghilangkan sama sekali rukyat.

      Pak Ivan asli urang Tasik? saya aslinya dari Kota Banjar nah kalau mau ke pangandaran bisa lewat atuh.. 🙂 hanya saya sekarang domisilinya di Bogor, jadi agak jauh juga yah. Di kota Bogor juga sepertinya sudah tidak ada tempat yang ideal untuk merukyat, sudah penuh dengan factory outlet… 🙂

      Saya coba quote pendapat Pak Ivan yah (sekaligus mempraktekan petunjuknya 🙂 ):

      Jadi sepertinya kata “al ahilah” di sana adalah adalah mungkin Bukan dimaksudkan kepada Bulan Sabit tanggal Pertama, seperti yang dipahami selama ini… Tapi lebih berat kepada MoonPhase (Perubahan Penampakan Bulan)…

      Saya bukan ahli Fiqh, jadi agak sulit juga mendiskusikan pendapat Pak Ivan. Hanya saja, kalau kita diminta untuk “melihat” moonphase dalam menentukan awal puasa seperti yang terdapat dalam hadist, jadi agak repot dong yah, karena phase yang mana yang dijadikan awal puasa… 🙂 kesimpulan sederhana saya, hilal adalah awal bulan yang terlihat oleh mata setelah terjadinya satu putaran bulan (lunasi), karena Nabi Muhammad SAW telah memerintahkan untuk melihat hilal pada hari ke-29 (hari terakhir putaran bulan) dan menerima kesaksian seorang badui yang bersumpah telah melihat hilal. Jadi jelas hilal bukanlah moonphase kalau menurut saya, tetapi bagian dari moonphase.

      Penghitungan Hisab Astronominya itu sendiri pasti akan selalu disesuaikan dengan kemajuan dari Penelitian dan Riset para Astronom…

      kalau boleh saya simpulkan pendapat tersebut berarti bahwa Hisab Wujudul Hilal tetap membutuhkan Rukyat (observasi), tidak hanya mengandalkan pada perhitungan semata. Seharusnya pendapat ini yang dinformasikan kepada masyarakat, bahwa WH tidak anti rukyat. tetapi mungkin yang menjadi masalah kalau ada statement bahwa WH tetap membutuhkan Rukyat (observasi) sejatinya WH itu adalah sama dengan Imkanur Rukyat (IR).

      Terus terang saya masih bingung dengan kalimat “telah mendahului” dalam buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah” dan hubungannya dengan “ufuk” sebagai garis batas.

      Apabila pada saat terbenamnya matahari, Bulan telah mendahului matahari dalam gerak mereka dari barat ke timur, artinya saat matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk,…

      Saya mencoba membuat simulasi perjalanan bulan dengan stellarium sesuai dengan tanggal yang diberikan Pak Ivan (yaitu tgl 10/07/2002) dan tanggal 29/08/2011 yang lalu. Ijtimak sama-sama terjadi sebelum matahari terbenam. Lintasan bulan sama-sama menuju kebawah, artinya mengarah ke ufuk. Pemahaman saya dari arti kata mendahului, berarti pada tahun 2002, bulan telah dapat dikatakan mendahului karena bulan telah terbenam mendahului matahari dan telah melewati ufuk sebagai garis batas, sedangkan pada tahun 2011 bulan masih di atas ufuk (belum melewati garis batas) sehingga bulan belum mendahului matahari terbenam. Mungkin Pak Ivan bisa menjelaskan lebih jauh hal ini.

      Mengenai penggunaan nilai refraksi, pada konferensi tahun 2010, Prof. Mohd Zambri Zainuddin dari Malaysia pada presentasinya yang berjudul “Crescent Visibility Modelling Issues” menyimpulkan bahwa nilai refraksi pada titik pengamatan beliau adalah antara 35,5′ sampai dengan 38,3′ berbeda dengan standardnya yaitu 34,5′ atau 34′ 30″. Tapi, mungkin saja metode IR juga tetap menggunakan nilai 34,5′ dalam perhitungannya, tetapi keuntungan IR tetap dapat memvalidasi hasil perhitungannya dengan hasil rukyat, terutama apabila hasil perhitungan berada pada zona kritikal, yaitu bila perhitungan berada sedikit disekitar batas kriteria (dibawah maupun di atas).

      Demikian, mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan. Mohon koreksinya, terima kasih.

      Wallahu a’lam bis-shawab.

    • Pak Ivan sudah terlalu jauh ketika menyampaikan spekulasi bahwa hilal yang dimaksud dalam surat AlBaqarah ayat 189 sebenarnya adalah moonphase, dan bukan bulan sabit yang pertama kali tampak di awal bulan sebagaimana yang selama ini difahami. Dalam bahasa populernya, apa yang dilakukan oleh Pak Ivan ini adalah menafsirkan ayat dengan ra’yu; sesuatu yang selama ini diyakini merupakan sebuah perbuatan dosa.

      Baca dulu kitab kitab tafsir, baru kemudian menyampaikan pemahaman dari yang dibaca. Kalaulah mau menyampaikan penafsirannya sendiri yang berbeda dari tafsir yang sudah ada, silakan saja. Pelajari dulu metodologi tafsir, sehingga tahu seluk beluk dan rambu rambunya. Tetapi kalau menyampaikan spekulasi tafsir baru atas ayat yang muhkamat yang sedemikian jelas dan mutawatir maknanya, menurut saya inilah yang dikategorikan dalam perbuatan tafsir bir-ra’yi yang dikecam dalam banyak hadits itu.

      Dalam agama itu ada kaidah: al ‘ilmu qablal-qaul wal ‘amal. Ilmu itu hendaknya mendahului perkataan dan perbuatan. Faham dulu ilmunya, baru kemudian ngomong dan beramal. Jangan terbalik, asal ngomong tanpa dasar ilmu yang jelas alias hanya spekulasi dan kira kira saja.

      Ayat itu memang asbabun nuzulnya adalah pertanyaan mengenai bentuk muka bulan. Sahabat bertanya, mengapa rembulan itu yang tadinya berupa hilal (bulan sabit) di awal bulan kemudian membesar dan puncaknya menjadi badar (full moon, bulan purnama). Kemudian mengecil lagi dan puncaknya menjadi “urjuun qadiim” (tandan tua), kemudian “lenyap” selama 2 atau 3 hari.

      Di banyak kitab tafsir disebutkan bhw ayat yang turun tidak menjawab pertanyaan yang diajukan yaitu kaifiyah (mekanisme) perubahan phase bulan dari hilal menjadi badar dan menjadi urjuun qadiim, melainkan menegaskan fungsi hilal yaitu sebagai acuan waktu; sebagaimana yang selama ini sudah diaplikasikan oleh Rasulullah dan para sahabat. Dengan demikian, ayat ini merupakan pensyariatan hilal sebagai acuan waktu awal bulan.

      Harap dicatat, penggunaan hilal sebagai acuan waktu awal bulan sudah menjadi tradisi manusia selama berabad abad. Manusia sejak jaman Babilonia sudah menggunakan hilal sebagai acuan waktu awal bulan, dan sudah mengenal dan mampu memperkirakan ijtima’ (konjungsi) serta melibatkan/menggunakan perkiraan (hisab) waktu ijtima’ tsb dalam memperkirakan munculnya hilal.

      Nah, ketika Islam datang, ada beberapa tradisi yang ditetapkan sebagai bagian dari syariat Islam, dan ada beberapa tradisi yang dihapus bahkan diharamkan dalam syariat Islam. Sebagai contoh, meskipun hilal ditetapkan sebagai acuan waktu awal bulan sebagaimana tradisi yang selama ini dipakai, ada juga tradisi yang dihapus dan dilarang dalam hal penanggalan, yaitu an-nasi’ (intercalation month). Hingga turun ayat yang melarang penggunaan an-nasi’, Rasulullah dan para sahabat masih menggunakan kalender luni-solar. Setelah turun larangan an-nasi’, maka sistem kalender dalam syariat Islam menjadi kalender lunar murni.

      Peresmian tradisi menjadi syariat dan penghapusan/pelarangan tradisi oleh syariat itu juga tampak jelas dengan keseluruhan bunyi ayat 189 surat AlBaqarah itu sendiri, yang berbicara mengenai peresmian hilal sebagai syariat acuan waktu awal bulan, dan pelarangan/penghapusan tradisi masuk rumah dari pintu belakang sepulang dari menunaikan ibadah haji yang selama ini diyakini sebagai sebuah kebaikan.

      Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (AlBaqarah: 189)

      Satu lagi, di salah satu kitab tafsir juga diterangkan makna kata waktu. Waktu itu lebih spesifik daripada masa; ia memiliki start dan finish tertentu. Dengan demikian, kata mawaaqiit adalah bermakna sebagai tanda tanda yang membatasi satuan waktu. Dan mawaaqiit dari durasi waktu bernama bulan adalah hilal. Karena bulan itu kontinyu dari satu bulan ke bulan berikutnya, maka akan ada hilal untuk setiap pergantian bulan. Oleh karena itulah maka kata hilal disebut dalam bentuk jamak menjadi ahillah, dan bukan tunggal (hilal). Hilal itu sendiri maknanya adalah bentuk penampakan rembulan berupa bulan sabit pertama kali di awal bulan.

      Demikian yang saya fahami, wallahu a’lam bis-shawab.

  44. Pak Syarif,

    kesimpulan sederhana saya, hilal adalah awal bulan yang terlihat oleh mata setelah terjadinya satu putaran bulan (lunasi), karena Nabi Muhammad SAW telah memerintahkan untuk melihat hilal pada hari ke-29 (hari terakhir putaran bulan) dan menerima kesaksian seorang badui yang bersumpah telah melihat hilal. Jadi jelas hilal bukanlah moonphase kalau menurut saya, tetapi bagian dari moonphase.

    Kesimpulan saya itu baru kemungkinan saja… dan saya rasa sederhana juga kok pak…
    Kesimpulan itu diambil dengan melihat dari asbabun nujulnya untuk menjawab pertanyaan mengenai Bulan yang berubah-ubah bentuk penampakannya… 🙂

    Dengan tentunya Penanggalan Qomariyah itu dimulai dari Bentuk Bulan Terkecil setelah satu periode bulan itu selesai,
    yang dibahasakan dalam riwayat Hadist sebagai bentuk yang Kecil (tipis) Sehalus Benang…

    Dengan kemajuan peralatan sekarang yang semakin canggih, bahkan bentuk bulan saat Konjungsi pun ternyata sudah bisa terdeteksi oleh manusia… seperti pada hasil observasi Thierry Legault, pada tanggal 14 April 2010…

    kalau boleh saya simpulkan pendapat tersebut berarti bahwa Hisab Wujudul Hilal tetap membutuhkan Rukyat (observasi), tidak hanya mengandalkan pada perhitungan semata. Seharusnya pendapat ini yang dinformasikan kepada masyarakat, bahwa WH tidak anti rukyat. tetapi mungkin yang menjadi masalah kalau ada statement bahwa WH tetap membutuhkan Rukyat (observasi) sejatinya WH itu adalah sama dengan Imkanur Rukyat (IR).

    Memang pak, terkadang kita itu benci karena tidak kenal… Seperti kata pepatah “tak kenal maka tak sayang”… 🙂
    Apalagi kalau sebelumnya sudah apriori…
    Adalah kenyataan kalau di beberapa pelosok, yang namanya Muhammadiyah itu dianggap jelek, bahkan sampai ada yang bilang “agama baru”, yang lebih parah ada juga orang yang saking awamnya menduga Muhammadiyah itu adalah Ahmadiyah… 🙂

    Kalau menurut saya, Hisab Wujudul Hilal itu butuh observasinya, adalah Pada Keakuratan Perhitungan Astronomi yang digunakannya…
    Yang dibutuhkan dalam Konsep Hisab Wujudul Hilal adalah Jaminan Kepastian Keberadaan Hilal di atas ufuk…
    Jaminan itu tentunya didapat dari Keakuratan Penghitungan Astronomis yang digunakan… dengan tentunya memperhatikan faktor toleransi kesalahan hitung yang masih bisa ditolerir…

    Kalau secara kasat matanya… Bisa Penghitungan Astronomis yang digunakan itu dicek keakuratannya pada

    – Hilal dengan posisi Hilal mudah dilihat mata telanjang…
    Hilal yang terlihat itu kemudian diukur tingginya, azimutnya dan jam berapa terlihatnya dengan alat yang presisi, misalnya teodolit yang presisi…
    Kemudian bandingkan dengan hasil perhitungan…

    – Gerhana matahari dan bulan
    Gerhana yang terjadi itu dicatat data-datanya kemudian bandingkan dengan hasil perhitungan…

    Saya mencoba membuat simulasi perjalanan bulan dengan stellarium sesuai dengan tanggal yang diberikan Pak Ivan (yaitu tgl 10/07/2002) dan tanggal 29/08/2011 yang lalu. Ijtimak sama-sama terjadi sebelum matahari terbenam. Lintasan bulan sama-sama menuju kebawah, artinya mengarah ke ufuk. Pemahaman saya dari arti kata mendahului, berarti pada tahun 2002, bulan telah dapat dikatakan mendahului karena bulan telah terbenam mendahului matahari dan telah melewati ufuk sebagai garis batas, sedangkan pada tahun 2011 bulan masih di atas ufuk (belum melewati garis batas) sehingga bulan belum mendahului matahari terbenam. Mungkin Pak Ivan bisa menjelaskan lebih jauh hal ini.

    Kalau menjelaskan lebih jauh mah mungkin rada sulit bagi saya… Bisanya cuma menjelaskan lebih dekat saja… 🙂

    Lihatnya di pas waktu Terbenam matahari (Waktu yang ditetapkan sebagai Awal Pergantian Hari) saja…
    Kemudian bandingkan posisi bulan pada tgl 9,10 dan 11 Juli 2002… posisi bulan bergerak dari barat ke timur…

    – pada akhir bulan qomariyah, waktu terbenam matahari, posisi bulan di bawah matahari,
    ini artinya :
    Bulan Terdahului Matahari dalam pergerakannya dari barat ke timur…

    – pada awal bulan qomariyah, waktu terbenam matahari, posisi bulan di atas matahari,
    ini artinya :
    Bulan Mendahului Matahari dalam pergerakannya dari barat ke timur…

    – tanggal-tanggal selanjutnya s.d bulan purnama :
    Bulan semakin jauh Mendahului Matahari dalam pergerakannya dari barat ke timur…

    – setelah bulan purnama s.d New Moon :
    pada saat terbenam matahari, posisi bulan tidak terlihat sebab masih di bawah ufuk Timur… baru terlihat ketika hari semakin malam…
    ini artinya Bulan Terdahului Matahari dalam pergerakannya dari barat ke timur…

    Itu yang bisa saya jelaskan, sedekat yang saya pahami… 🙂
    Mohon maaf dan koreksinya bila postingan saya ada yang keliru…

    Pak Rois,

    Pak Ivan sudah terlalu jauh ketika menyampaikan spekulasi bahwa hilal yang dimaksud dalam surat AlBaqarah ayat 189 sebenarnya adalah moonphase, dan bukan bulan sabit yang pertama kali tampak di awal bulan sebagaimana yang selama ini difahami. Dalam bahasa populernya, apa yang dilakukan oleh Pak Ivan ini adalah menafsirkan ayat dengan ra’yu; sesuatu yang selama ini diyakini merupakan sebuah perbuatan dosa.

    Setahu saya sih, ayat-ayat Al Quran yang terkait Iptek… ditafsirkan dengan ra’yu (mempergunakan Akal), sesuai dengan petunjuk Al Quran sendiri :
    190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (QS 3 : 190)

    Penafsiran ayat-ayat Iptek Al Quran yang benar… akan sesuai dengan Kemajuan Iptek yang dimiliki manusia itu sendiri… tidak pernah akan bisa dibatasi oleh kemajuan Iptek zaman si Penafsir… sebab Al Quran itu juga diturunkan oleh Yang Memberi Iptek kepada manusia…

    Bisa jadi nanti ditemukan Software atau Alat Astronomi yang bisa mengkonversikan secara akurat sebuah Foto Penampakan Bulan menjadi Tanggal Qomariyah Berapa pada saat foto itu diambil… berdasarkan pada Bentuk Bulan dan Magnitudo Bulan yang terekam pada foto…

    Sehingga ayat “Yas’aluunaka `Ani (A)l-‘Ahillati Qul Hiya Mawaaqiitu Lilnnaasi Wa (A)l-H^ajji” itu bisa juga dipahami bahwa Bentuk Bulan-bulan yang berubah-ubah itu pun bisa menunjukkan waktu (tanggal Qomariyah) yang spesifik di tiap bentuknya…

    Allah swt itu menginginkan kemudahan bagi manusia, bukan menginginkan kesukaran bagi manusia…

    Kriteria Imkan Rukyat itu mempersukar manusia…
    Untuk didapat hasil yang benar-benar teruji secara ilmiah, Kriteria Imkan Rukyat harus memasukkan faktor-faktor yang mempengaruhi penglihatan manusia sebanyak mungkin…
    terbukti juga dari sangat beragam kriteria Imkan Rukyat yang ada…

    Padahal Posisi dari Bulan / Hilal / Qomar itu sendiri sudah dapat diketahui dengan Penghitungan Astronomi yang akurat pada zaman sekarang…

    Rukyat juga, walaupun terlihat sederhana cara kerjanya, bisa dikatakan :
    tinggal lihat bulan tgl 29, kelihatan hilal besok tgl 1, tidak kelihatan besok tgl 30…
    Namun dampaknya bagi kehidupan manusia zaman sekarang, justru akan mempersukar… Sebab tidak pernah akan ada Kalender yang bisa direncanakan penggunaannya untuk persiapan kegiatan di masa datang…
    Sementara kehidupan manusia yang modern membutuhkan sebuah kalender yang pasti untuk perencanaan kegiatan di masa depan…

    Terus terang saya belum mengetahui adanya Kalender Hijriyah dengan memakai Kriteria Imkan Rukyat yang telah efektif digunakan untuk kehidupan sipil…
    Kalau Kriteria WH kan sudah ada, yaitu Kalender Ummul Qura…
    Mungkin pak Rois bisa memberi tahu saya, negara atau umat Islam mana yang telah efektif menggunakan Kalender Hijriyah Kriteria IR untuk kehidupan sipil ?…

    • Pak Ivan, terima kasih atas tanggapannya. Saya coba tanggapi ya Pak.

      Kesimpulan itu diambil dengan melihat dari asbabun nujulnya untuk menjawab pertanyaan mengenai Bulan yang berubah-ubah bentuk penampakannya…

      Menurut saya (mohon koreksinya), dari pertanyaan Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghunamah tersebut yang ditanyakan BUKAN tentang BULAN (QOMAR) tetapi jelas sekali yang ditanyakan adalah tentang bentuk BULAN SABIT (HILAL) yang berubah-ubah. Kadang bulan sabit itu kecil sehalus benang, kemudian bulan sabit bertambah besar hingga bundar, lalu kembali ke bentuk bulan sabit yang semula. Jadi QS 2 : 189 itu memang berbicara tentang BULAN SABIT (HILAL) dan bukan BULAN (QOMAR). Bulan (qomar) sebagai sebuah benda planet bentuknya TIDAK berubah, tetap bulat. Bulan Sabit (hilal) dapat diartikan sebagai pantulan sinar matahari pada permukaan bulan (qomar) yang dapat di lihat di bumi. Pantulan ini dapat berubah-rubah tergantung seberapa besar luasan permukaan bulan (qomar) yang terkena pantulan sinar matahari tersebut dan dilihat di bumi.

      Kalau menurut saya, Hisab Wujudul Hilal itu butuh observasinya, adalah Pada Keakuratan Perhitungan Astronomi yang digunakannya…

      Berarti pada kasus penggunaan nilai refraksi, WH perlu melakukan observasi kira-kira nilai refraksi berapa yang tepat untuk wilayah pengamatan di Indonesia, tidak hanya mengambil langsung nilai standard terbesar yang ada. Karena terbukti, hasil observasi Prof. Mohd Zambri Zainuddin dari Malaysia pada presentasinya yang berjudul “Crescent Visibility Modelling Issues” menyimpulkan bahwa nilai refraksi pada titik pengamatan beliau adalah antara 35,5′ sampai dengan 38,3′ berbeda dengan standardnya yaitu 34,5′ atau 34′ 30″ seperti yang tertulis di buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah” (halaman: 85).

      Penjelasan “jarak dekat” mengenai kata “mendahului” dari Pak Ivan masih “terlalu jauh” untuk saya pahami… 🙂 Enaknya memang sambil melihat stellarium mungkin saya baru bisa paham dengan penjelasan Pak Ivan. Disini ada keterbatasan 2 dimensi dalam menjelaskan sesuatu yang 3 dimensi… 🙂

      Saya tambah bingung dengan istilah posisi bulan di atas matahari dan posisi bulan di bawah matahari, karena batasan “atas” dan “bawah” masih membuat saya bingung, apakah ini batasan terkait dengan ufuk atau bukan? kalau bisa, mungkin Pak Ivan dapat menjelaskan dengan posisi bulan dan matahari pada bujur ekliptika masing-masing, mungkin saya bisa lebih paham.

      Kita ketahui bahwa bujur ekliptika mengelilingi bumi, sehingga bila dikatakan posisi matahari adalah pada bujur ekliptika = 0, maka terjadinya bulan purnama apabila pososi bujur ekliptika bulan berlawanan dengan posisi bujur ekliptika matahari dan membentuk sudut 180 derajat. Dikarenakan perputaran bumi bergerak dari arah barat ke timur serta pergerakan bulan mengelilingi bumi juga dari arah barat ke timur, maka pemahaman saya mengenai bulan yang telah mendahului matahari adalah saat posisi bujur ekliptika bulan telah melalui bujur ekliptika matahari sesaat setelah terjadinya konjungsi. Pada saat terjadi konjungsi, bujur ekliptika bulan sama dengan posisi bujur ekliptika matahari. Pergerakan ini tidak terkait dengan batas ufuk, karena posisi bulan pada tgl 10/07/2002 yang telah di bawah ufuk maupun posisi bulan pada tgl 29/08/2011 yang masih di atas ufuk, keduanya sama-sama telah bergerak mendahului matahari pada saat matahari terbenam (keduanya mengalami konjungsi sebelum matahari terbenam). Jadi kalau dikatakan bahwa:

      Bulan telah mendahului matahari dalam gerak mereka dari barat ke timur, artinya saat matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk,…

      menurut saya kurang tepat, karena bulan yang berada di bawah ufuk saat matahari terbenam juga dapat dikatakan telah mendahului matahari dalam gerak mereka dari barat ke timur, apabila konjungsi terjadi sebelum matahari terbenam. Bagaimana menurut Pak Ivan?

      Kemudian, apabila kita perhatikan posisi hilal pada gambar yang dihasilkan, baik oleh Thierry Legault (http://icoproject.org/tlegault.jpg) maupun oleh Martin Elsasser (http://icoproject.org/melsasser.jpg) keduanya berada pada piringan bawah bulan. Seandainya hilal yang terlihat pada kedua gambar tersebut tersebut terjadi sesaat setelah matahari terbenam (catatan: konjungsi dapat terjadi kapan saja), dan puncak bulan (piringan atas bulan) masih menyembul sedikit (0.0001 derajat) dia atas ufuk, apakah hilal akan terlihat (wujud)?

      Demikian, mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan. Mohon koreksinya, terima kasih.

      Wallahu a’lam bis-shawab.

    • Pak Syarif,

      Menurut saya (mohon koreksinya), dari pertanyaan Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghunamah tersebut yang ditanyakan BUKAN tentang BULAN (QOMAR) tetapi jelas sekali yang ditanyakan adalah tentang bentuk BULAN SABIT (HILAL) yang berubah-ubah. Kadang bulan sabit itu kecil sehalus benang, kemudian bulan sabit bertambah besar hingga bundar, lalu kembali ke bentuk bulan sabit yang semula. Jadi QS 2 : 189 itu memang berbicara tentang BULAN SABIT (HILAL) dan bukan BULAN (QOMAR)

      Sepertinya memang begitu pak… Ayat 2:189 diturunkan kepada Rasulullah, adalah untuk menjawab Pertanyaan Mengenai Bentuk Hilal yang berubah-ubah

      Dan jawabannya adalah :
      bahwa Hilal yang berubah-ubah itu (Itu artinya ayat tersebut memuat informasi Bukan Hanya bentuk bulan tanggal 1 saja)… adalah ‘tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji’…

      Menurut pak Syarif, mana Tafsiran (Pemahaman) yang lebih tepat, Dengan Melihat Asbabun Nujulnya ?…

      Apakah “Yas’aluunaka `Ani (A)l-’Ahillati Qul Hiya Mawaaqiitu Lilnnaasi Wa (A)l-H^ajji” itu dipahami :

      a) Allah swt sedang memberi jawaban bahwa Hilal yang berubah-ubah sebagai Tanda-tanda Waktu bagi manusia dan Haji, atau
      b) Allah swt sedang memberi informasi mengenai Hilal tanggal 1 saja ?…

      Berarti pada kasus penggunaan nilai refraksi, WH perlu melakukan observasi kira-kira nilai refraksi berapa yang tepat untuk wilayah pengamatan di Indonesia, tidak hanya mengambil langsung nilai standard terbesar yang ada.

      Terus terang saya belum tahu berapa perbedaan hasil perhitungan antara menggunakan nilai refraksi standar (34,5′) dengan nilai refraksi sebenarnya (menurut penelitian Prof. Mohd Zambri Zainuddin, antara 35,5′ ~ 38,3′)…
      Apakah sangat signifikan untuk diperhatikan… ataukah masih dalam toleransi yang masih bisa ditolerir ?…

      Kalau menurut pak Syarif bagaimana ?…

      Saya tambah bingung dengan istilah posisi bulan di atas matahari dan posisi bulan di bawah matahari, karena batasan “atas” dan “bawah” masih membuat saya bingung, apakah ini batasan terkait dengan ufuk atau bukan? kalau bisa, mungkin Pak Ivan dapat menjelaskan dengan posisi bulan dan matahari pada bujur ekliptika masing-masing, mungkin saya bisa lebih paham.

      Wah, kalau menjelaskan dengan bujur ekliptika mah, kejauhan bagi saya… 🙂

      Saya memahaminya begini :
      – Permulaan hari baru Hijriyah adalah Saat magrib (terbenam matahari)…
      – Matahari terbenam adalah Saat bagian atas piringan Matahari tepat di horison teramati (garis ufuk)…

      Jadi itu artinya horison yang teramati (Garis Ufuk Barat) adalah acuan untuk penetapan Kriteria…

      Konsep WH, bisa disimpulkan salah satu kriteria nya adalah :
      – Bulan telah kembali di atas ufuk Barat pada saat matahari terbenam…

      Bulan disebut kembali di atas ufuk Barat, sebab setelah bulan purnama s.d menjelang bulan baru (NewMoon), Posisi Bulan Saat Matahari Terbenam adalah di bawah ufuk (baik itu ufuk Barat atau ufuk Timur)…
      Barulah pada awal bulan Qomariyah, bulan muncul lagi di atas ufuk Barat pada saat matahari terbenam…

      Itu yang saya pahami mengenai “Bulan telah mendahului matahari dalam gerak mereka dari barat ke timur”…
      Maaf kalau pak Syarif tidak puas… 🙂

      Kemudian, apabila kita perhatikan posisi hilal pada gambar yang dihasilkan, baik oleh Thierry Legault (http://icoproject.org/tlegault.jpg) maupun oleh Martin Elsasser (http://icoproject.org/melsasser.jpg) keduanya berada pada piringan bawah bulan. Seandainya hilal yang terlihat pada kedua gambar tersebut tersebut terjadi sesaat setelah matahari terbenam (catatan: konjungsi dapat terjadi kapan saja), dan puncak bulan (piringan atas bulan) masih menyembul sedikit (0.0001 derajat) dia atas ufuk, apakah hilal akan terlihat (wujud)?

      Kasus yang disampaikan pak Syarif, kasus yang unik yang bisa dikatakan tidak sering terjadi… namun sepertinya bisa juga dijadikan pertimbangan untuk perbaikan konsep WH Muhammadiyah ke depan…
      Dan tentunya karena kasus tersebut adalah unik (khusus), penarikan solusinya juga bisa saja khusus, tanpa merubah Konsep Kriteria…

      Bisa saja untuk kasus unik seperti itu, Posisi seperti itu pun telah dikategorikan Masuk Bulan Baru… dengan berdasarkan intisari konsep WH adalah Penghitungan mengenai Posisi Bulan (dengan Bulan dipahami termasuk keseluruhan Bulatannya, bukan hanya yang memantulkan cahaya saja)…

      Dalam suatu Kriteria IR pun, kasus-kasus yang unik (khusus) bisa terjadi…

      Bila kita lihat Kriteria IR menurut Mochammad Ilyas, astronom dari Malaysia, yang hasil observasinya menghasilkan kesimpulan hubungan antara beda azimuth matahari dan bulan dengan tinggi hilal yang mungkin dirukyat seperti ini :
      Beda azimuth Bulan dan Matahari = 0°, maka tinggi Imkan Rukyat hilal = 10,5°
      Beda azimuth Bulan dan Matahari = 10°, maka tinggi Imkan Rukyat hilal = 9,2°
      Beda azimuth Bulan dan Matahari = 20°, maka tinggi Imkan Rukyat hilal = 6,4°
      Beda azimuth Bulan dan Matahari = 30°, maka tinggi Imkan Rukyat hilal = 4,5°
      Beda azimuth Bulan dan Matahari = 40°, maka tinggi Imkan Rukyat hilal = 4,2°
      Beda azimuth Bulan dan Matahari = 60°, maka tinggi Imkan Rukyat hilal = 4,0°

      Bila dengan ditentukan kriteria IR itu misalnya :
      Imkanur Ru’yah dengan kriteria sudut elongasi minimal 6,4° ditambah kriteria irtifa` (tinggi hilal) minimal 4°
      ( Seperti Kriteria ini diusulkan oleh LAPAN )

      Bagaimana bila posisi Hilal yang ada adalah seperti pada tgl 15 September 2004 ?…

      (dari Penghitungan Accurate Times, Lokasi Bandung, hilal untuk Sya’ban 1425 )
      – Konjungsi : 14/09/2004 jam 21:29 wib
      – Sunset: 17:50 LT G. Moon Age: +20H 21M
      – Moonset: 18:31 LT Moon Lag Time: +00H 40M
      – G. Moon Altitude: +08°:51′:53″ G. Moon Azimuth: +272°:07′:23″
      – G. Sun Altitude: -01°:46′:44″ G. Sun Azimuth: +272°:36′:43″
      – G. Crescent Width: +00°:00′:16″ G. Moon Semi-Diameter: +00°:15′:36″
      – G. Illumination: 00,87 % G. Horizontal Parallax: +00°:57′:13″
      – G. Magnitude: -05,04 G. Distance: 383212,63 Km

      Posisi Hilal tgl 15 September 2004 itu dengan kriteria IR Lapan sudah termasuk kriteria Awal Bulan, tapi bila kita lihat hasil observasi M Ilyas, hilal tersebut belum termasuk Hilal yang mungkin dirukyat, sebab dengan beda azimuth bulan-matahari 0° butuh tinggi hilal 10,5° …

    • Pak Syarif,

      Menurut saya (mohon koreksinya), dari pertanyaan Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghunamah tersebut yang ditanyakan BUKAN tentang BULAN (QOMAR) tetapi jelas sekali yang ditanyakan adalah tentang bentuk BULAN SABIT (HILAL) yang berubah-ubah. Kadang bulan sabit itu kecil sehalus benang, kemudian bulan sabit bertambah besar hingga bundar, lalu kembali ke bentuk bulan sabit yang semula. Jadi QS 2 : 189 itu memang berbicara tentang BULAN SABIT (HILAL) dan bukan BULAN (QOMAR)

      Sepertinya memang begitu pak… Ayat 2:189 diturunkan kepada Rasulullah, adalah untuk menjawab Pertanyaan Mengenai Bentuk Hilal yang berubah-ubah…

      Dan jawabannya adalah :
      bahwa Hilal yang berubah-ubah itu (Itu artinya ayat tersebut memuat informasi Bukan Hanya bentuk bulan tanggal 1 saja)… adalah ‘tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji’…

      Menurut pak Syarif, mana Tafsiran (Pemahaman) yang lebih tepat, Dengan Melihat Asbabun Nujulnya ?…

      Apakah “Yas’aluunaka `Ani (A)l-’Ahillati Qul Hiya Mawaaqiitu Lilnnaasi Wa (A)l-H^ajji” itu dipahami :
      a) Allah swt sedang memberi jawaban bahwa Hilal yang berubah-ubah sebagai Tanda-tanda Waktu bagi manusia dan Haji, atau
      b) Allah swt sedang memberi tahu mengenai Hilal tanggal 1 saja ?…

      Berarti pada kasus penggunaan nilai refraksi, WH perlu melakukan observasi kira-kira nilai refraksi berapa yang tepat untuk wilayah pengamatan di Indonesia, tidak hanya mengambil langsung nilai standard terbesar yang ada.

      Terus terang saya belum tahu berapa perbedaan hasil perhitungan antara menggunakan nilai refraksi standar (34,5′) dengan nilai refraksi sebenarnya (menurut penelitian Prof. Mohd Zambri Zainuddin, antara 35,5′ ~ 38,3′)…
      Apakah sangat signifikan untuk diperhatikan… ataukah masih dalam toleransi yang masih bisa ditolerir ?…

      Kalau menurut pak Syarif bagaimana ?…

      Saya tambah bingung dengan istilah posisi bulan di atas matahari dan posisi bulan di bawah matahari, karena batasan “atas” dan “bawah” masih membuat saya bingung, apakah ini batasan terkait dengan ufuk atau bukan? kalau bisa, mungkin Pak Ivan dapat menjelaskan dengan posisi bulan dan matahari pada bujur ekliptika masing-masing, mungkin saya bisa lebih paham.

      Wah, kalau menjelaskan dengan bujur ekliptika mah, kejauhan bagi saya… 🙂

      Saya memahaminya begini :
      – Permulaan hari baru Hijriyah adalah Saat magrib (terbenam matahari)…
      – Matahari terbenam adalah Saat bagian atas piringan Matahari tepat di horison teramati (garis ufuk)…

      Jadi itu artinya horison yang teramati (Garis Ufuk Barat) adalah acuan untuk penetapan Kriteria…

      Konsep WH, bisa disimpulkan salah satu kriteria nya adalah :
      – Bulan telah kembali di atas ufuk Barat pada saat matahari terbenam…

      Bulan disebut kembali di atas ufuk Barat, sebab setelah bulan purnama s.d menjelang bulan baru (NewMoon), Posisi Bulan Saat Matahari Terbenam adalah di bawah ufuk (baik itu ufuk Barat atau ufuk Timur)…
      Barulah pada awal bulan Qomariyah, bulan muncul lagi di atas ufuk Barat pada saat matahari terbenam…

      Itu yang saya pahami mengenai “Bulan telah mendahului matahari dalam gerak mereka dari barat ke timur”…
      Maaf kalau pak Syarif tidak puas… 🙂

      Kemudian, apabila kita perhatikan posisi hilal pada gambar yang dihasilkan, baik oleh Thierry Legault maupun oleh Martin Elsasser keduanya berada pada piringan bawah bulan. Seandainya hilal yang terlihat pada kedua gambar tersebut tersebut terjadi sesaat setelah matahari terbenam (catatan: konjungsi dapat terjadi kapan saja), dan puncak bulan (piringan atas bulan) masih menyembul sedikit (0.0001 derajat) dia atas ufuk, apakah hilal akan terlihat (wujud)?

      Kasus yang disampaikan pak Syarif, kasus yang unik yang bisa dikatakan tidak sering terjadi… namun bisa dijadikan pertimbangan untuk perbaikan konsep WH Muhammadiyah ke depan…
      Dan tentunya karena kasus tersebut adalah unik (khusus), penarikan solusinya juga bisa saja khusus, tanpa merubah Konsep Kriteria…
      Bisa saja untuk kasus unik seperti itu, Posisi seperti itu pun telah dikategorikan Masuk Bulan Baru… dengan berdasarkan intisari konsep WH adalah Penghitungan mengenai Posisi Bulan (dengan Bulan dipahami termasuk keseluruhan Bulatannya, bukan hanya yang memantulkan cahaya saja)…

      Dalam suatu Kriteria IR pun, kasus-kasus yang unik (khusus) bisa terjadi…
      Bila kita lihat Kriteria IR menurut Mochammad Ilyas, astronom dari Malaysia, yang hasil observasinya menghasilkan kesimpulan hubungan antara beda azimuth matahari dan bulan dengan tinggi hilal yang mungkin dirukyat seperti ini :
      Beda azimuth Bulan dan Matahari = 0°, maka tinggi Imkan Rukyat hilal = 10,5°
      Beda azimuth Bulan dan Matahari = 10°, maka tinggi Imkan Rukyat hilal = 9,2°
      Beda azimuth Bulan dan Matahari = 20°, maka tinggi Imkan Rukyat hilal = 6,4°
      Beda azimuth Bulan dan Matahari = 30°, maka tinggi Imkan Rukyat hilal = 4,5°
      Beda azimuth Bulan dan Matahari = 40°, maka tinggi Imkan Rukyat hilal = 4,2°
      Beda azimuth Bulan dan Matahari = 60°, maka tinggi Imkan Rukyat hilal = 4,0°

      Bila dengan ditentukan kriteria IR itu misalnya :
      Imkanur Ru’yah dengan kriteria sudut elongasi minimal 6,4° ditambah kriteria irtifa` (tinggi hilal) minimal 4°
      ( Seperti Kriteria ini diusulkan oleh LAPAN )

      Bagaimana bila posisi Hilal yang ada adalah seperti pada tgl 15 September 2004 ?…

      (dari Penghitungan Accurate Times, Lokasi Bandung, hilal untuk Sya’ban 1425 )
      – Konjungsi : 14/09/2004 jam 21:29 wib
      – Sunset: 17:50 LT G. Moon Age: +20H 21M
      – Moonset: 18:31 LT Moon Lag Time: +00H 40M
      – G. Moon Altitude: +08°:51′:53″ G. Moon Azimuth: +272°:07′:23″
      – G. Sun Altitude: -01°:46′:44″ G. Sun Azimuth: +272°:36′:43″
      – G. Crescent Width: +00°:00′:16″ G. Moon Semi-Diameter: +00°:15′:36″
      – G. Illumination: 00,87 % G. Horizontal Parallax: +00°:57′:13″
      – G. Magnitude: -05,04 G. Distance: 383212,63 Km

      Posisi Hilal tgl 15 September 2004 itu dengan kriteria IR Lapan sudah termasuk kriteria Awal Bulan, tapi bila kita lihat hasil observasi M Ilyas, hilal tersebut belum termasuk Hilal yang mungkin dirukyat, sebab dengan beda azimuth bulan-matahari 0° butuh tinggi hilal 10,5° …

  45. Pak Ivan,

    Wah, Pak Ivan ini semakin “liar” saja dengan spekulasi pemaknaan al-ahillah sebagai bentuk bentuk muka bulan. Sebagai sesama muslim, saya ingatkan sekali lagi agar Pak Ivan menahan diri dari perbuatan yang demikian. Mohon dibaca lagi pelan pelan nasehat dari saya di atas.

    Perkembangan iptek terbaru memang banyak menguak makna ayat ayat atau hadits hadits tertentu yang semakin menambah keyakinan kita thd agama Islam.

    Akan tetapi, pemahaman thd pengetahuan dan teknologi yang baru tsb tidak bisa digunakan untuk menganulir syariat yang sudah baku. Misalnya mengenai keharaman babi. Banyak ilmu pengetahuan baru yang mengungkap bahayanya daging babi bagi manusia. Tetapi banyak pula ilmu pengetahuan baru yang mengungkap manfaat babi dan teknologi baru yang mammpu mengeliminasi bahaya daging babi. Apakah lantas kemudian syariat keharaman daging babi berubah ?

    Demikian juga mengenai hilal. Syariat hilal sebagai acuan waktu itu sudah final, ada ayatnya di dalam AlQur’an dan ada contoh prakteknya di dalam as-sunnah. Mengenai metode untuk mengetahui hilal, fleksibel: bisa dengan ru’yah bisa pula dengan hisab. Dua duanya pernah dipraktekkan Rasulullah dan sahabat.

    Akan tetapi, apapun metodenya, baik dengan ru’yah maupun dengan hisab, yang diru’yah dan yang dihisab itu sama, yaitu hilal. Hilal yang disebut di dalam ALqur’an sebagai acuan waktu, hilal yang diru’yah dan dihisab oleh Rasulullah dan para sahabat. Hisablah hilal yang ini, dan jangan membuat definisi sendiri yang berbeda dari hilal yang dipraktekkan oleh Rasulullah dan para sahabat.

    Demikian, semoga bermanfaat.

    Salam,
    Rois

    • Pak Rois,
      Mengapa pendapat yang mengambil pendapat berdasarkan Asbabun Nujul, dianggap sebagai pendapat yang “liar” ?…

      Ayat QS 2 : 189 itu sudah jelas-jelas untuk menjawab pertanyaan “Mengapa Bulan itu Bentuknya Berubah-ubah, tidak tetap bentuknya ?”…
      Bukan sedang menjawab pertanyaan “Definisi Hilal tanggal 1″…

      Kalau pak Rois, memaksa ayat tersebut ditafsirkan Hanya untuk hilal tgl 1 saja… sama saja dengan sedang berusaha Mereduksi Kandungan Informasi Iptek yang Allah swt turunkan dalam Al Quran…

      Masalah di lain kesempatan Nabi memerintahkan untuk berpuasa dan Idul Fitri dengan melihat Hilal… itu sudah sering disampaikan oleh yang memegang Kriteria WH…
      Nabi merukyat Hilal itu sebab pada waktu itu Hanyalah Cara itu yang ada… untuk mengetahui Hilal telah Ada di atas ufuk… sebagai kepastian Penanggalan sudah masuk bulan baru…

      Saya ingin bertanya kepada pak Rois,
      Sejak Kapankah ilmu Hisab di kalangan ulama Islam terdahulu dipahami sebagai Pengetahuan Penghitungan Astronomi mengenai Keterlihatan Hilal ?

      Terus terang yang saya hanya baru mengetahui sebatas informasi bahwa… Ulama-ulama terdahulu memandang Ilmu Hisab itu sebagai :
      Pengetahuan Penghitungan Astronomi mengenai Posisi Hilal…

      Mungkin Pak Rois bisa memberi pencerahan kepada saya, dengan menyampaikan informasi (riwayat) bahwa Ulama-ulama ahli Falak terdahulu pun mengembangkan Ilmu Hisab Astronomi (Falak) itu adalah dalam pengertian Pengetahuan Penghitungan Astronomi mengenai Keterlihatan Hilal…

      Sekaligus kalau mungkin ada, Berapa saja Angka Imkan Rukyat dari para Ulama ahli Falak tersebut, seperti :
      – Abu Ja’far Muhammad ibn Musa al Khawarizmi (hidup sekitar tahun 210 H / 825 M)
      – Abu Ma’syar al Falaky (wafat 272 H / 885 M)
      – Jabir Batany (wafat 319 H / 931 M)
      – Abul Raihan al Biruni (363 – 440 H / 973 – 1048 M)
      – Al Farghani (hidup semasa Khalifah Al Ma’mun dan Al Mutawwakil, sekitar abad 8 M)
      – Nasiruddin at Tusi (598 – 673 H / 1201 – 1274 M )
      – Muhammad Turghay Ulughbek ( 797 – 853 H / 1394 – 1449 M )
      ( Ilmu Falak Teori dan Praktek – Susiknan Azhari, hal 5 – 7 )

      Berapa Angka Imkan Rukyat yang dikenal pada Zaman Imam Syafi’i ?… sebab Imam Syafi’i pun dikatakan membolehkan juga penggunaan Ilmu Hisab dalam penetapan awal bulan…

      Atau mungkin pak Rois juga mempunyai informasi Angka Imkan Rukyat nya Hisab Urfi Umar bin Khattab ra ?… 🙂

      • Pak Ivan,

        Yang saya maksud dengan “liar” adalah penafsiran (dengan menduga duga) kata hilal menjadi “bentuk bentuk muka bulan”, semata mata karena sudah ada keinginan untuk menolak penggunaan acuan masuknya bulan baru dengan hilal (baik itu dengan meru’yah atau menghisabnya ).

        Saya sudah katakan, silakan saja menafsirkan ayat ayat AlQur’an sesuai keinginan masing masing. Tetapi pelajari dulu metodologinya, agar tahu seluk beluk ilmu tafsir dan rambu rambunya. Janganlah menafsirkan tanpa ilmu yang mapan. Ini sangat berbahaya, bukan hanya dalam hal ilmu tafsir, tetapi dalam segala ilmu yang lain juga.

        Islam itu sudah final syariatnya. Pensyariatan hilal menjadi acuan masuknya bulan baru itu ada di dalam AlQur’an, Ada pula contoh prakteknya dari Rasulullah SAW. Makna kata hilal sebagai “bulan sabit yang muncul di awal bulan” itu sudah dipakai sejak jaman Raulullah SAW masih hidup, dan masih dipakai hingga beliau wafat.

        Kalau mau menolak penggunaan hilal sebagai acuan masuknya bulan baru, ya janganlah merubah rubah makna hilal di luar makna yang sudah ada, apalagi menyebut bhw makna hilal yang selama ini difahami adalah salah. Na’uudzubillaahi mindzaalik.

        Silakan baca sekilas megenai syariat hilal oleh Syeikh Hamzah Yusuf di www(dot)masud.co.uk/ISLAM/misc/moonsighting/Cesarean_Moon_Births_Pt_1.pdf

        Demikian, semoga bermanfaat.

        Salam,
        Rois

      • Pak Rois,

        Islam itu sudah final syariatnya. Pensyariatan hilal menjadi acuan masuknya bulan baru itu ada di dalam AlQur’an, Ada pula contoh prakteknya dari Rasulullah SAW. Makna kata hilal sebagai “bulan sabit yang muncul di awal bulan” itu sudah dipakai sejak jaman Raulullah SAW masih hidup, dan masih dipakai hingga beliau wafat.

        Memang syariat Islam itu sudah final…
        Contohnya Puasa… di mana-mana di seluruh muka bumi, orang Islam puasa wajib itu ya di Bulan Ramadhan…
        Orang Islam berIdul Fitri itu ya di Awal Bulan Syawwal…

        Namun dalam pelaksanaan Syariat Islam itu, ternyata kemudian dibutuhkan penggunaan akal manusia agar syariat itu bisa dengan mudah dilaksanakan…
        Kebutuhan penggunaan akal dalam pelaksanaan Syariat ini… sepertinya memang dikondisikan oleh Allah SWT Sendiri… agar umat Islam itu semakin melaksanakan Syariat Islam… menjadi semakin pintar… semakin berkembang Iptek nya…
        sebagai salah satu dari syarat yang dibutuhkan umat Islam untuk dapat menjadi Umat yang akan berkuasa di muka bumi…

        “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa…”
        (QS An Nur 24 : 55)

        Contoh Pelaksanaan Syariat yg membutuhkan penggunaan akal :
        – Pembagian Waris yang telah ditetapkan Allah swt dalam Al Quran…
        Metoda penghitungan Al ‘Aul, yang merupakan metoda penghitungan matematika terhadap pembagian waris Islam… baru ditemukan pada zaman Khalifah Umar bin Khattab ra…

        Kembali ke masalah Kalender Hijriyah…
        Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab ra itu pun sebetulnya sudah dirasakan Kebutuhan Penetapan Penanggalan Islam berdasarkan Ilmu Hisab… sehingga kemudian digunakanlah Penghitungan Hisab Urfi…
        Namun karena diketahui penghitungan hisab urfi itu terkadang tidak sesuai dengan kenyataan peredaran bulan sebenarnya, maka dalam Penetapan Bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, umat Islam masih tetap mengandalkan Rukyat…

        Barulah ketika Ilmu Penghitungan Hisab semakin berkembang, semakin dirasakan bisa diterima keakuratannya… Sebagian Ulama Islam pun memperbolehkan penggunaan Penghitungan Hisab dalam Penetapan Puasa… sebab sejatinya, ‘Penetapan Masuknya Penanggalan kepada Bulan Baru’ bisa masuk ke dalam ranah Iptek (Ilmu Astronomi)…

        Ilmu Astronomi Penetapan Penanggalan Islam yang dikembangkan umat Islam dari zaman Umar bin Khattab ra sampai Zaman Emas Peradaban Islam… Semuanya berKonsep Keberadaan Bulan (Wujudul Hilal)… Bukan berKonsep Keterlihatan Bulan (Imkan Rukyat)…
        Konsep Imkan Rukyat tidak dikenal oleh Ulama-ulama Ahli Falak terdahulu…

        Para Ulama Islam terdahulu, ketika membicarakan Ilmu Hisab… Sudah tidak lagi berbicara mengenai Keterlihatan Hilal… Tetapi sudah masuk ke dalam masalah Keberadaan Hilal… di mana Hilal itu akan ada bila Ijtima’ sudah terjadi…

        Sehingga Kriteria Penetapan Bulan Hijriyah pun Cukup Hanya dengan Melihat kapan terjadinya Ijtima’ Bumi-Bulan-Matahari… sehingga dikenal Kriteria Penetapan Bulan berdasarkan Ijtima’ seperti :
        – Kriteria Ijtimak sebelum fajar (al-ijtima’ qabla al-fajr), dan
        – Kriteria Ijtimak sebelum gurub (al-ijtima’ qabla al-gurub)…

        Menurut saya, Kriteria Wujudul Hilal adalah “Baju Hisab Astronomi” yang Pas untuk Rukyat…
        Sebab selain Ijtima’, faktor Posisi Bulan terhadap Ufuk pun dimasukkan…

        Kalau kemudian sekarang ada usaha untuk membuat lagi “Baju Hisab Astronomi yang baru” untuk Rukyat…
        yaitu dengan menggunakan “Baju Imkan Rukyat”… Karena “Baju WH” dianggap terlalu sederhana…
        Menurut saya itu “baju baru” yang tidak perlu…
        Sebab seperti yang dikatakan di atas… Ketika sudah berbicara Ilmu Hisab, yang difokuskan Para Ulama Islam terdahulu adalah KeberAdaan Hilal… Bukan KeterLihatan Hilal…

Tinggalkan komentar