Wujudul Hilal Tidak Ada Dasar Pembenaran Empiriknya


T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi Astrofisika LAPAN

Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama

Ketika Muhammadiyah mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 30 Agustus 2011, yang berbeda dari keputusan sidang itsbat, banyak orang yang mencari bukti pembenarannya. Bukti pertama yang ditunjukkan adalah kesaksian di Cakung dan Jepara. Bukti kedua yang banyak disebut adalah kesamaan dengan banyak negara. Tepatkah pembenaran itu? Sama sekali tidak tepat. Muhammadiyah mendasarkan pada hisab dengan kriteria wujudul hilal, kriteria lama (kalau tidak mau disebut usang) yang anti rukyat. Sementara yang dijadikan bukti adalah hasil rukyat (pengamatan hilal, bulan sabit pertama) dan hisab dengan kriteria imkan rukyat (kemungkinan hilal bisa teramati).

Kesaksian di Cakung dan Jepara tidak tepat dijadikan pembenaran karena dua alasan. Pertama, hisab wujudul hilal yang jelas-jelas anti rukyat dan merasa tidak perlu rukyat untuk penentuan awal bulan, tidak mungkin mencari pembenaran dari rukyat. Kedua, rukyat di Cakung dan Jepara sesungguhnya bukan rukyat murni, melainkan rukyat yang terpengaruh hisab imkan rukyat 2 derajat yang jelas-jelas juga ditentang oleh Muhammadiyah. Pengamat di Cakung dan Jepara mendasarkan pada hasil hisab taqribi (perhitungan aproksimasi yang lebih usang dari hisab wujudul hilal) yang menyatakan bulan sudah di atas 3 derajat, sehingga sudah memungkinkan bisa dirukyat. Mereka berani disumpah karena merasa yakin itu bisa dirukyat dan merasa melihat hilal. Tetapi berani disumpah bermakna tidak berbohong, walau belum tentu benar.

Lalu dicarilah pembenaran dengan banyaknya negara yang beridul fitri 30 Agustus 2011. Banyak yang tidak sadar bahwa itu hanya suatu kebetulan saja, bukan berarti pembenaran atas hisab wujudul hilal. Kalau kita cermati, metode dan kriteria yang digunakan sebagian besar negara justru bertentangan dengan metode dan kriteria yang digunakan Muhammadiyah yang masih menggunakan kriteria wujudul hilal. Hanya ISNA (Islamic Society of North America) yang menggunakan kriteria wujudul hilal, tetapi bukan lokal seperti Muhammadiyah. ISNA menggunakan kalender Ummul Quro dengan kriteria wujudul hilal di Mekkah. Arab Saudi sendiri tidak menggunakan Ummul Quro untuk penentuan waktu ibadah.

Silakan simak rekapitulasi berikut ini tentang penentuan Idul Fitri di semua negara yang dimuat di situs http://moonsighting.com/1432shw.html . Di situ akan terbaca bahwa sebagian besar negara mendasarkan penentuan awal Syawal berdasarkan rukyatul hilal atau hisab imkan rukyat. Tidak ada satu pun yang menggunakan wujudul hilal lokal seperti yang digunakan Muhammadiyah. Itu artinya, wujudul hilal Muhammadiyah tidak ada dasar pembenaran empiriknya.

Inilah faktanya. Untuk yang beridul fitri 30 Agustus 2011:

a. Sebagian besar mengikuti Arab Saudi yang berdasarkan rukyat (walau kontroversial, sehingga memunculkan penolakan dari astronom setempat). Muhammadiyah yang anti rukyat tidak mungkin mencari sandaran pada hasil rukyat.

b. Sebagian besar lagi menggunakan hisab dengan kriteria imkan rukyat menurut kesepakatan setempat. Tidak tepat hisab wujudul hilal mencari pembenaran pada hisab imkan rukyat.

b.1. Mesir dengan kriteria imkan rukyat beda terbenam bulan-matahari > 5 menit.

b.2. Malaysia dengan kriteria imkan rukyat umur bulan > 8 jam.

b.3. Tunisia dengan kriteria imkan rukyat berdasar umur, tinggi, dan beda terbenam.

b.4. Turki dengan kriteria imkan rukyat tinggi bulan > 5 derajat dan jarak bulan-matahari > 8 derajat.

Untuk yang beridul fitri 31 Agustus, semuanya mendasarkan pada rukyat dan didukung hisab imkan rukyat yang juga digunakan sebagai dasar  istikmal (menggenapkan puasa 30 hari).

Inilah daftar negara-negara yang menetapkan Idul Fitri 30 dan 31 Agustus 2011 serta keterangan dasar penetapannya:

August 30, 2011 (Tuesday):

  1. Afghanistan (Follow Saudi)
  2. Albania (Follow Saudi)
  3. Armenia (Follow Saudi)
  4. Austria (Follow Saudi)
  5. Azerbaijan (Follow Saudi)
  6. Bahrian (Follow Saudi)
  7. Bangladesh (Some areas follow Saudi)
  8. Belgium (Follow Saudi)
  9. Bolivia (Follow Saudi)
  10. Bosnia and Hercegovina (Follow Saudi)
  11. Bulgaria (Follow Saudi)
  12. Canada – Fiqh Council of North America/Islamic Society of North America OR follow news from other countries
  13. Chechnia (Follow Saudi)
  14. Chile (Local Sighting)
  15. China (Local Sighting that we believe erroneous this time)
  16. Cosovo (Follow Saudi)
  17. Denmark (Follow Saudi)
  18. Egypt – Moon Born before sunset & moon sets at least 5 minutes after sunset
  19. Finland (Follow Saudi)
  20. France (Follow Saudi)
  21. Georgia (Follow Saudi)
  22. Hungary (Follow Saudi)
  23. Iceland (Follow Saudi)
  24. Iraq (Follow Saudi)
  25. Ireland (Follow Saudi)
  26. Italy (Follow Saudi)
  27. Jordan (Follow Saudi)
  28. Kazakhstan (Follow Saudi)
  29. Kuwait (Follow Saudi)
  30. Kyrgizstan (Follow Saudi)
  31. Lebanon (Follow Saudi)
  32. Luxembourg (Follow Saudi)
  33. Malaysia – Age > 8 hours, altitude > 2°, elongation > 3°
  34. Mauritania (Follow Saudi)
  35. Montenegro (Follow Saudi)
  36. Mozambique (Local Sighting)
  37. Netherlands (Follow Saudi)
  38. Nigeria (Announced)
  39. Norway (Follow Saudi)
  40. Palestine (Follow Saudi)
  41. Philippines (Follow Saudi)
  42. Qatar (Follow Saudi)
  43. Romania (Follow Saudi)
  44. Russia (Follow Saudi)
  45. Saudi Arabia (Local Sighting – Official Announcement)
  46. Spain (Follow Saudi)
  47. Sudan (Follow Saudi)
  48. Sweden (Follow Saudi)
  49. Switzerland (Follow Saudi)
  50. Syria (Follow Saudi)
  51. Tajikistan (Follow Saudi)
  52. Taiwan (Follow Saudi)
  53. Tatarstan (Follow Saudi)
  54. Tunisia – Criteria of age, or altitude, or sunset-moonset lag
  55. Turkey – Altitude > 5°, elongation > 8°
  56. Turkmenistan (Follow Saudi)
  57. U.A.E. (Follow Saudi)
  58. UK (Follow Saudi) [Coordination Committee of Major Islamic Centres and Mosques of London]
  59. USA – Fiqh Council of North America/Islamic Society of North America. The criteria are Moon must be born before Sunset in Makkah, and moonset after sunset in Makkah. These criteria are not applicable for Eid-al-Adha, for which it is relied on Saudi Announcement of Hajj.
  60. Uzbekistan (Follow Saudi)
  61. Yemen (Follow Saudi)

August 31, 2011 (Wednesday):

  1. Australia (Local Sighting)
  2. Bangladesh (One group – Local Sighting)
  3. Barbados (30 days completion)
  4. Brunei (Local Sighting)
  5. Fiji Islands (Local Sighting)
  6. Guyana – Local Moon Sighting
  7. India (Local Sighting)
  8. Indonesia (30 days completion – Official Announcement)
  9. Iran (Local Sighting)
  10. Kenya (Local Sighting)
  11. Libya – Moon must be born before Fajr in Libya
  12. Madagascer (Local Sighting)
  13. Malawi (Local Sighting)
  14. Mauritius (Local Sighting)
  15. Morocco (Local Sighting)
  16. Namibia (30 days completion)
  17. Netherlands (30 days completion)
  18. New Zealand (30 days completion)
  19. Oman (30 days completion, since not possible on August 29)
  20. Pakistan (Local Sighting)
  21. South Africa (30 days completion)
  22. Sri Lanka (Local Sighting)
  23. Suriname – News from Guyana if not seen in Suriname
  24. Tanzania (30 days completion)
  25. Trinidad & Tobago (Local Sighting)
  26. UK (30 days completion) [Wifaaqul ulama), (Ahle Sunnat Wal Jamaat], OR (Sighting from countries east of UK)
  27. USA (Local Sighting) [Shi’aa Community, Houston Hilal Committee, Chicago Hilal Committee]
  28. Zambia (Local Sighting)
  29. Zimbabwe (Local Sighting)

110 Tanggapan

  1. Benar pa, terus gimana dengan hasil seminarnya kemaren prof, Apa sudah ada kesepakatan untuk semua ormas menggunakan standar yang sama ???

    salam 😀

  2. Pak Thomas mohon penjelasannya:
    1. Sebenarnya bagaimanakah asal-usul algoritm (model) yang digunakan untuk melakukan perhitungan conjuction (astromical new moon) baik pada metode hisab “wujudul hilal” atau “imkan rukyat”? Apakah berdasar empirical correlation dari banyak data pengamatan atau berdasar pure mathematical exact solution?. Kalau memang berdasarkan empirical correlation, maka judul artikel ini menjadi tidak tepat.

    2. Apakah akan terdapat perbedaan hasil dalam menentukan kapan Conjuction terjadi dengan menggunakan metode hisab” wujudul hilal” atau “imkan rukyat”?, kalau iya mohon berikan alasanya?. Setahu saya perbedaannya pada penentuan kriteria penentuan awal bulan hijriyah bukan pada posisi phase-phase bulan.

    Terimakasih sebelumnya.

    • saya baca cuma yang dibahas itu itu saja, sama aja kita bahas telur sama ayam duluan mana kalian bisa jawab kalo gak ayam bulu ya telur dulu. yang jelas ayat yang pertama turun adalah iqro artinya bacalah dengan nama tuhanmu jd menurutku kita tuh disuruh membaca dengan ilmu pengetahuan sama aja dulu tentang arah kibalt sekarang sama penentuan 1R. makasehhh

  3. Mungkin pak thomas kalau kebetulan tetangganya hamil tua dan si bidan telah datang, lalu beberapa saat kemudian pak thomas mendengar suara bayi menangis kuat2….pak thomas akan mengatakan ”koq ada suara kodok ya?”. Istri pak thomas yang meyakini itu suara bayi yang baru lahir akan berkata ”itu si jabang bayi sudah lahir pak ne…”. Pak thomas pun dengan tenang akan menjawab….”aku belum melihat bu ne… Aku baru akan yakin kalau sudah lihat dengan mata kepalaku sendiri”.

    • Justru disitulah masalahnya pak Pras.. tidak ada yang bisa meyakinkan dengan pasti apa itu suara kodok atau kucing atau kaset tape recorder. Karena hanya berdasarkan keyakinan sang istri dari dalam rumah.. lagian umur kehamilannya belum juga 9 bulan. Walau analoginya kurang tepat kira2 begitulah agar bisa sama2 dipahami..

    • Hm.. logika yang keliru bung. Belajarlah Ilmu Falak (HIsab-Rukyat) jangan hanya hisab saja. Halal kok mempelajari rukyat, Insya Allah lebih memahami persoalan.

    • pak prasojo komentar anda nggak ilmiah….

    • ga ngerti hadis ni bocah..

    • pak pras kok ga ilmiah sama sekali, mesti paranormal ya? he..

  4. Saya rasa kita terlalu pongah mengatakan wujudul hilal itu ”usang”. Jika Allah dan Rasulullah saw berkenan menerima kriteria wujudul hilal gimana? Rasanya koq manusia jadi pongah melebihi hak Allah dan Rasulnya ya?

    Dalam menafsirkan suatu nash, apalagi yang memang tidak secara tegas dapat dimaknai, maka dimungkinkan penafsiran yang berbeda. Manusia tidak akan mampu mencapai makna yang hakiki sebagaimana kehendak Allah dan Rasulnya. Bisakah Pak Thomas menafsirkan ”langit tujuh” sesuai kehendak Allah? Bukankah ini masih kategori kajiannya Pak Thomas? Atau bisakah Pak Thomas menafsirkan ”jagad raya diciptakan dalam enam masa” sesuai maksud Allah? Ini juga masih dalam kategori kajian Pak Thomas. Ternyata kemampuan manusia itu sangat sangat sangat terbatas. Saya yakin, sampai kiamatpun manusia tidak akan mampu menafsirkan Alquran dan hadits secara sempurna sebagaimana kehendak Allah dan Rasulnya. Jadi, biarkan perbedaan penafsiran terjadi, sepanjang semangatnya untuk mencari ridho Allah, insyaallah akan mendapat balasan baik (pahala).

    Insyaallah, Allah akan menerima setiap upaya manusia yang berusaha mendekati makna yang dikehendaki Allah dan Rasulnya. Jadi, mau memakai wujudul hilal ataupun imkan rukyat dan yukyat murni, Allah dan Rasulnya akan menerima amalan kita.

    Saya jadi teringat soal ”kirim pahala”. Ada kalangan yang meyakini mengirim pahala kepada orang yang sudah meninggal itu tidak sampai. Alasannya, hadits tiga perkara. Juga, katanya tidak ada malaikat yang memiliki (ini seloroh) tugas mengantar pahala, yang ada adalah malaikat pencatat amal baik dan amal buruk. Bagaimana malaikat yang bertugas mencatat tiba-tiba harus mengirim pahala? Sementara kalangan yang lain berkeyakinan bahwa kiriman pahala itu sampai. Alasannya sederhana…”jika Allah berkehendak mau apa?”. Hmm…..bener juga ya? Kalau Allah berkehendak, semuanya bisa. Itu sama saja dengan wujudul hilal, walaupun Prof Thomas mengatakan ”usang dan memecah belah persatuan ummat”, tapi kalau Allah berkenan menerimanya, kita mau apa? Atau jika Allah berkenan menerima imkan rukyat, kita mau apa? Atau jika Allah berkenan menerima rukyat, kita mau apa? Jadi, kita tidak perlu pongah melebihi hak Allah.

    • Pak Prasojo, orang yang sudah menuhankan Akalnya sepeti Prof yang satu ini ga bakalan bisa mengerti, dia dah menganggap Ilmunya lah yang paling benar, wong udah Prof kok, dah ga ada yang lebih pintar dari Prof..
      Biarlah dia berkoar-koar dengan ke Ilmuannya toh akhirnya akan tumbang sendiri kelak dengan ke Pongahannya…

    • Ah Pras, kurang ilmiah dan substansial… kalau mau debat, debatlah argumen Prof:
      1. Kenapa MD menyandarkan hisab wujudul hilal dengan ru’yah Cakung? Kan wujudul hilal berdiri sendiri, tidak perlu pengakuan dari ru’yah
      2. Mendasarkan “kesamaan” dengan Mekkah. Mekkah kan tetap pakai ru’yah bro.

      Bagaimana MD menjelaskan dua hal (yg kontradiksi) diatas? Kalau ente bahas ini, itu baru substansial dan ilmiah bro… gak perlulah kemana-mana sampai “7 langit segala”. Fokus bro… Jawablah 2 hal diatas…

      • MD tidak menyandarkan pada hasil rukyat manapun, juga tidak menyandarkan pada Mekkah…… Tidak ada kontradiksi. Kontradiksi justru terjadi dari orang2 yang kecewa dengan pemerintah yang telah membohongi ummat islam indonesia dengan mengatakan negara tetangga dan Mekkah lebaran tgl 31. Semakin banyak masyarakat indonesia yg sadar bahwa wujudulhilal paling cocok di indonesia. Jadi masyarakat umumlah yang mencari pembenaran itu.

      • pas Nazar, Muhammadiyah menetapkan 1 Syawwal sama sekali bukan berdsarkan rukyat Cakung atau “kesamaan” dengan Mekkah. Surat/Maklumat PP Muhammadiyah ttg 1 Syawwal 1432 jatuh tgl 30 Agustus 2011 sudah ditetapkan/dibuat sejak tgl 27 Juni 2011 dan jelas-jelas dalam surat/maklumat tsb, penetapannya berdsarkan Hisab hakiki wujudul hilal.
        Muhammadiyah konsisten dengan penetapannya tsb, jadi tidak ada kontradiksi.

        http://www.muhammadiyah.or.id/id/news-255-detail-pimpinan-pusat-muhammadiyah-keluarkan-maklumat-penetapan-ramadhan-syawal-dzulhijjah-1432h.html

      • Zar, kesamaan hasil hisab wujudul hilal Muhammadiyah dengan hasil rukyat Cakung itu kebetulan. Persoalannya: Mengapa rukyat Cakung ditolak? Mengapa pula yang di Jepara juga ditolak? Apa dasar syar’i menolak kesaksian kedua hasil rukyat tersebut? Kalo dasarnya ketinggian hilal belum 2 derajat, kriteria 2 derajat itu pun juga tidak ada dasar syar’inya. Itu kan hanya merujuk pada hasil observasi yang pernah dilakukan. Bagaimana kalau ada hasil observasi baru, bahwa di bawah 2 derajat masih mungkin bisa dilihat? Andai idul fitri kemarin hasil rukyat Cakung dan Jepara diakui, tentu kita akan berhari-raya bersama. Bagaimana pula dengan PWNU DKI Jakarta yang juga menyatakan hasil rukyat kemarin wajib dipakai dasar berlebaran tangal 30 Agustus? Melek mas …

  5. Keilmuan adalah satu usaha upaya dalam memahmi nash-nash nya….orang yang bijaksana salah satunya yang dapat menyesuaikan dirinya di lingkungannya,,jika memang pengetahuan sains telah memberikan standar akurasi yang sedemikian akurat, mengapa harus ribut-ribut teori yang dulu,,,
    berbenahlah,,,semua usaha namanya pula iijtihad,,,ukuran sekarang yang dapat membantu menafsirkan nash kan salah satunya ilmu,,,jadi makna usang ga perlu dipersoalkan jadi masalah yang mengundang sensitifitas,,,

  6. Assalamu alaikum wr. wb.

    Pertama2 saya bukan pendukung/penentang (buta) dari Muhammadiyah maupun Pak TD. Karena manusia bisa saja salah termasuk Pak TD, dan disitulah yang harus kita kritisi. Saya hanya ingin memberikan komentar, kalau tujuan kita adalah untuk mencari kebenaran dan mencari jalan agar umat bersatu, seyogyanya dalam memberikan pembahasan dan atau memberikan komentar ya dengan tetap menjaga etika. Saya sangat tertarik dengan bahasan pada blog nya Pak TD, tapi sungguh sangat sedih dengan kata2: gila, bodoh, ceroboh dll.

    Yang jelas sekarang ini ada perselisihan, baik itu hisab wijudul hilal, imkan rukyat, rukyatul hilal, dll. Solusi yang ditawarkan Al Qur’an, kalau kita mau kembali ke Al Qur’an dan As Sunnah, mestinya mudah. An Nisa:59 ….”Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)”. Disini kita mestinya cukup kembali pada apa yang dipraktekan oleh Rosul SAW; mereka melihat hilal (dengan mata!). Dan ini yang mestinya kita jadikan referensi (bagian dari syariat kita). TAPI mohon dicatat, saya tidak ingin mengatakan bahwa melihat hilal itu HARUS dijadikan prosesi ritual, yang JELAS2 tidak praktis untuk jaman sekarang, tapi TERLIHATNYA HILAL itu yang harus kita jadikan referensi, karena memang inilah yang diajarkan/dipraktekan oleh Rosul SAW (beliau adalah maksum) dan dipraktekan oleh generasi awal umat kita ini. DAN tidak perlu dibantah karena inipun bisa diterima oleh para astronom (tidak hanya astronom Islam) dan kalaupun mau dipraktekan ya tetap bisa (sekali lagi dengan catatan TIDAK PRAKTIS).

    Konsep di atas sebetulnya sudah kita terima bersama yaitu dalam hal jadwal sholat. Sederhananya kalau ada orang yang tidak mau pakai jadwal sholat (dengan jam) dan dia mau mempraktekan dengan cara melihat posisi matahari/bayangan, ya silahkan (kita tahu itu tidak praktis dan berat kalau harus melakukan hal itu 5X dalam sehari), tapi ya insyaAllah akan ketemu waktu yang sama. DAN kalau ini bisa kita terapkan dalam hal hilal penetuan awal bulan, bukankah itu indah?? Dan yang ini, MAAF, solusinya ya “imkan rukyat” (saya tidak bicara kriterianya, silahkan dibahas/disepakati bersama dengan ahli2 nya).

    Afuan.

    • mantab,

    • Kembalikan ke Alquran dan Sunnah……? Benar….., Dalam Alquran surat Yunus ayat 5 mungkin menjadi rujukan utama MD membuat kelender…… Assunnah dengan rukyat, karena pada wkt itu ilmu hisab belum terlalu maju sehingga belum bisa mengamalkan Alquran Surat Yunus ayat 5. Yang sering menjadi pikiran saya untuk apa Allah menurunkan Surat Yunus ayat 5 itu, kalau kita masih sibuk saja saling menyalahkan……

      • Sekedar mengingatkan, yang menjadi issue disini bukan ilmu hisabnya tapi apa yang “dihisab”? jadi surat Yunus, itu tidak pas dibawa disini. singkatnya hisab wujudul hilal vs hisab imkan rukyat. Kalau temen2 tidak sepakat dengan kriteria imkan rukyat, ya itu mestinya yang perlu dan harus dirundingkan. Bukan yang lain lain.

  7. Hal semacam ini pernah terjadi dalam kancah pemikiran orang-orang islam dahulu.Sebagai contoh, pada masa kholifah Ustman bin ‘Afan tatkala pengkodifikasian mushaf Al-Qur’an,Ibnu Mas’ud kala itu berkeyakinan tak ada hal yang salah untuk tidak membakar mushafnya dan beliau berkeras hati untuk mempertahankan pendiriannya. Namun Alloh Subhanahu wata’ala memberikan hidayah taufiqnya sehingga beliau ikut membakar mushafnya.Nah hal ini mudah-mudahan terjadi kepada pemikir-pemikir MD sehingga mereka mengikuti Ijma Jam’iyayah seperti Persis,NU,Al-Irsyad,Hidayatullah dll.
    Bahwa hisab itu wilayah Ijtihad (Asumsi) yang memerlukan kesepakatan kriteria untuk kepentingan umat Islam keseluruhan

  8. Nazaruddin….inilah kita suka terpaku, hisab tidak boleh dibuktikan dengan rukyat. Sekarang saya akan analogikan lagi. Tetangga pak Nazar seorang wanita yang sudah hamil tua dan sudah masanya melahirkan. Bidan pun sudah datang dan menyiapkan kelahiran. Dalam beberapa menit kemudian, terdengar suara bayi menangis menjerit….oeeekkkk…..ooeeekkk…….. Pertanyaan saya, pak Nazar percaya nggak kalau si jabang bayi sudah lahir? Ternyata kelahiran seorang bayi juga dapat diyakini atau dibuktikan dengan mendengar suara tangisnya, dan tidak harus membuktikan saat-saat si bayi keluar dari rahim ibunya bukan?

    Lalu, analogi lagi. Mobil pak nazar bensinnya mulai habis dan sudah kedap-kedip indikator minyaknya. Apa pak Nazar harus mengintip tangki mobil untuk membuktikan bahwa minyak mobil pak Nazar sudah habis bensinnya? Alangkah ribetnya hidup ini kalau demikian.

    • analog yang ngawur

    • Yth Pak Prasojo, sepertinya Pak Prasojo sudah terlalu berburuk sangka dengan Pak Thomas. Jadinya setiap tulisan Pak Thomas maka selalu dianggap sebagai serangan terhadap Muhammadiyah.

      Kalau kita coba membaca tulisan diatas secara perlahan-lahan, maka yang di kritik oleh Pak Thomas adalah kriteria Wujudul Hilal, bukan Muhammadiyah-nya. Saya yakin Pak Thomas sangat menghormati Muhammadiyah. Nah kriteria wujudul hilal ini juga di gunakan oleh The Fiqh Council of North America, apakah dengan demikian Pak Thomas juga menyerang organisasi tersebut? tentu saja tidak.

      Secara ilmiah tentu saja kita boleh mengkritik suatu metode dengan memberikan argumentasi yang dapat didiskusikan bersama. Dalam permasalahan diatas bukan antara Hisab dan Rukyat, tetapi kritik Pak Thomas terhadapat Wujudul Hilal dimana Wujudul Hilal berpedoman bahwa selama bulan sdh berada pada ketinggian diatas 0 derajat (katakanlah begitu) maka sdh terbentuk hilal TANPA PERLU melakukan Rukyat (CMIIW). Artinya TIDAK PERLU lagi dilakukan observasi (penelitian EMPIRIK) karena dari hitungannya (Hisab) bulan sudah wujud.

      Sedangkan dengan metode Imkaanur-Ru’yah selain juga melakukan perhitungan (Hisab) disyaratkan juga harus dapat dilakukan penelitian EMPIRIK terhadap perhitungan tersebut melalui observasi (Rukyat).

      Pada tulisan diatas, Pak Thomas TIDAK PERNAH mengatakan bahwa Muhammadiyah mencari pembenaran, tetapi saya quote langsung dari paragraph pertama tulisan Pak Thomas: “…banyak orang yang mencari bukti pembenarannya.”. Jadi Pak Thomas melalui tulisan ini menyanggah pembenaran yg dilakukan banyak orang, yg salah duanya sudah disebutkan pada tulisan tersebut. dan kedua pembenaran yg selalu disebutkan orang adalah melalui obervasi artinya proses EMPIRIK kan. Padahal kalau kita kembali lagi ke pedoman wujudul hilal, TIDAK ADA yang dapat melakukan observasi (proses EMPIRIK) apakah Hilal sudah terbentuk, tetapi hanya dapat dibuktikan menggunakan proses ANALITIK dengan perhitungan. Jadi judul tulisan Pak Thomas kalau menurut saya sudah tepat. Kecuali kalau Pak Thomas memberikan judul ” Wujudul Hilal tidak ada dasar pembenaran perhitungannya” nah ini berbeda artinya.

      Kemudian kalau menganalogikan dengan bayi yang baru lahir, saya juga dapat beranalogi bahwa bayi yang dalam kandungan sebagai bulan yang dapat kita ketahui bentuk bahkan jenis kelaminnya sekarang ini. Apakah umurnya sudah dihitung? belum karena belum lahir si bayi itu. Proses pecah ketuban bisa dianalogikan sebagai kejadian ij’tima (konjugasi) pada bulan. nah saat bayi dilahirkan lah itu saat bulan terlihat dalam bentuk hilal (sabit).

      Demikian, mohon maaf bila tidak berkenan. Saya juga termasuk orang yg awam terhadap astronomi, akan tetapi dengan diskusi mengenai hilal ini membuat saya meluangkan waktu membaca tentang kriteria dalam penentuan hilal.

      Wallahu’alam…

      • Pak Syarif,

        Saya tidak kenal secara pribadi dengan Pak Djamaluddin, kecuali lewat media dan tulisannya di sini. Saya selalu mencoba berprasangka baik ke orang lain, karena memang ini ajaran moral yang luhur dari agama. Hanya saja, ketika masalah sudah masuk ke ruang publik, kemudian terlihat indikasi adannya ketidakseimbangan dalam mengemukakan informasi untuk membentuk opini publik, adalah bagian dari keyakinan saya bahwa tidak ada yang salah untuk memberikan opini negatif sebagai bentuk pernyataan untuk mendapatkan klarifikasi.
        Meskipun saya selalu mencoba hanya memberi komentar yang berisi informasi dan argumentasi dengan ketimpangan ini, ada satu yang sampai sekarang tidak bisa saya tolerir: di tulisan “Lokakarya Kriteria Awal Bulan: Perwakilan Ormas Islam Bersepakat”. Pak Djamaluddin menyebut Pak Susiknan sebagai wakil Muhammadiyah, namun kemudian ada klarifikasi dari Pak Susiknan sendiri bahwa dia hanya mewakil UIN Yogyakarta dalam lokakarya tersebut. Pak Susiknan juga meminta agar Pak Djamaluddin meluruskan tulisannya mengenai statusnya ini. Hanya saja, Pak Djamaluddin bukannya merevisi, malah justru membantah dengan dengan argumentasi status “de facto” dan “de jure” yang bagi saya sangat mengada-ada (komentar di Facebook). Permintaan Pak Susiknan sangat sederhana, hanya untuk meluruskan informasi, tapi sepertinya hal yang sangat berat bagi Pak Djamaluddin — entah karena alasan apa. Sikap seperti ini buat saya benar-benar tidak bisa diterima sebagai orang yang terpelajar, apalagi sebagai akhlak seorang pemeluk agama Islam yang baik.

        Dilihat dari segi profesionalisme, orang pun dituntut untuk bisa memposisikan dengan kapasitas apa dia bertindak, mengeluarkan pendapat dan informasi. Apa yang diminta Pak Susiknan sudah sejalan dengan ini, tetapi sepertinya tidak dimengerti oleh Pak Djamaluddin. Sebagai contoh lain, lihat 3 baris pertama setelah judul setiap tulisan Pak Djamaluddin:

        T. Djamaluddin
        Profesor Riset Astronomi Astrofisika LAPAN
        Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama

        Meskipun saya yakin bahwa Pak Djamaluddin mengkritik wujudul hilal (baca: Muhammadiyah?) dengan kapasitas pribadi sebagai astronom, sepertinya Pak Djamaluddin merasa perlu menambahkan afiliasi di LAPAN dan Kementrian Agama. Adalah sangat lazim untuk menyebutkan bahwa isi tulisan tidak mewakili instansi atau organisasi dia berada, hal ini untuk tidak mencampuradukkan atau malah menyalahgunakan wewenang dan posisi yang diemban sebagai pejabat publik.

      • Sebagai peneliti, saya tidak terlepas dari institusi tempat saya bekerja. Setiap karya peneliti harus mencantumkan institusinya. Pencantuman institusi sebagai pertanggungjawaban kepada publik, bahwa yang saya tuliskan bukan sekadar opini tanpa dasar. Minimal, tulisan itu dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawab paling utama adalah kepada Allah. Pertanggungjawaban berikutnya adalah kepada institusi yang saya tuliskan. Kalau yang saya tuliskan tidak sejalan dengan kebijakan institusi, tentu institusi itu yang pertama kali menegur saya. Segala tanggungjawab tetap ada pada saya sebagai penulis. Inti pokok kritik saya pada kriteria WH, adalah dalam kerangka mencari titik temu. WH itu terlalu jauh untuk dipertemukan dengan metode rukyat, padahal di dalamnya banyak kelemahan yang saya tuliskan di blog saya.

      • Pak Agus, terima kasih atas tanggapannya.

        Sayapun tidak kenal secara pribadi dengan Pak Thomas, tetapi (mungkin) karena saya tidak termasuk dalam salah satu ormas di Indonesia, saya mencoba membaca tulisan Pak Thomas dari substansinya. Sebagai orang awam, saya sebenarnya mencoba mencari perbedaan antara kriteria Wujudul Hilal (WH) dan Imkanur Rukyat (IR), kebetulan di blog ini ada diskusi mengenai hal tersebut. Pak Agus termasuk yang saya anggap dapat memberikan pencerahan dari sudut pandang WH, oleh karena itu saya selalu menunggu tanggapan Pak Agus atas setiap kritik terhadap WH. Tetapi, apakah perlu dalam menanggapi pendapat Pak Thomas, kita lontarkan kata-kata yang “kotor”? Saya masih belum mengerti mengenai “opini negatif” yang Pak Agus maksud, apakah ini berarti dalam menanggapi pendapat Pak Thomas kita diperbolehkan membuat opini negatif bahwa “Pak Thomas adalah orang yahudi”, “Pak Thomas orang kafir, namanya aja Thomas”, atau “Pak Thomas itu Dajjal”… apakah opini negatif seperti itu yang Pak Agus maksud? tentunya bukan kan. Justru tanggapan-tanggapan yang selama ini dilakukan oleh Pak Agus yang bersifat substansi yang saya harapkan dari sudut pandang WH, bukan tanggapan yang hanya membalas dengan tanggapan lain yang emosional dan cenderung menghina.

        Mengenai keberatan Pak Susiknan, mohon maaf kembali saya mempunyai pemahaman yang berbeda dengan Pak Agus. Pada saat kita membahas suatu permasalahan, maka jabatan kita yang terkait dengan permasalahan tersebut akan selalu mengikat. Kebetulan saat itu yang dibahas adalah kriteria awal bulan, tentu saja Pak Susiknan yang saat itu adalah anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah sangat berkepentingan dengan topik yang dibahas, karena beliau sebagai ahli astronomi sedikit banyak terlibat dalam penentuan kriteria awal bulan di Muhammadiyah. Apabila saat diskusi tentang pembahasan kriteria awal bulan yang di ajukan oleh Muhammadiyah terjadi di lokakarya, kemudian Pak Suksinan mencoba memberikan pandangannya dan menjelaskan bahwa pandangan beliau adalah sebagai pandangan “orang luar” (karena saat pembahasan dilakukan, beliau bukan wakil dari Muhammadiyah), menurut saya agak sedikit kurang pas.

        Pada saat “Konferensi kedua ahli astronimi emirates” (The second Emirates Astronomical Conference) tahun 2010 di Abu Dhabi, Pak Susiknan adalah salah satu pesertanya (silahkan lihat di www[dot]icoproject[dot]org[slash]conf2[dot]html). Secara “de jure” beliau hadir sebagai wakil UIN Sunan Kalijaga, tetapi secara “de facto” beliau adalah wakil satu-satunya dari Indonesia artinya mewakili Indonesia dalam konferensi tersebut. Tidak ada kewajiban hukum bagi beliau untuk menjelaskan hasil konferensi yang telah berlangsung, tetapi menurut saya ada kewajiban moral sebagai wakil Indonesia, untuk (minimal) menginformasikan hasil-hasil konferensi tersebut kepada masyarakat Indonesia. Selama ini, konferensi internasional yang selalu dijadikan rujukan adalah Temu Pakar ke-dua tahun 2008 di Maroko (lihat tanggapan Pak Syamsul Anwar di facebook Persyarikatan Muhammadiyah on Friday, September 2, 2011 at 3:47am). Tentunya akan adil kalau konferensi internasional terakhir (tahun 2010) yang dihadiri oleh Pak Susiknan juga dapat dijadikan rujukan.

        Yang menarik dari Konferensi tersebut (The second Emirates Astronomical Conference, 2010) ada 2 hal yaitu konferensi mengeluarkan resolusi dan kesepakatan (MoU) antara ulama dan astronom. Pada butir ke-empat dari resolusi dikatakan:

        ” 4. Reject the testimonies of crescent which the established astronomical institutions reject definitively, even if they are claimed after conjunction and with the moon setting after the sun. ”

        Kemudian dari hasil kesepakatan antara ulama dan astronom, pada butir kedua poin ketiga dikatakan:

        “- Regarding of the construction of an Islamic calendar, the research has settled on TWO proposals: the unified calendar (Abdurrazik and Shaukat) and the bizonal calendar (Universal Hejric Calendar (UHC), Guessoum’s proposal and others), and the discussion is ongoing among specialists around these. It is hoped that the Um al-Qura calendar will be further developed so as to become close to one of these two proposals. ”

        Saya mengerti bahwa resolusi dan kesepakatan tidak akan mempunyai dampak hukum yang jelas, tetapi ada pertanggungjawaban moral disana. Mohon kiranya hasil konferensi internasional tersebut, terutama butir ke-4 dari hasil resolusi dan butir ke-2 poin nomor 3 dari hasil kesepakatan, dapat dijadikan rujukan dalam saat menentukan kriteria awal bulan di Indonesia. Karena itu merupakan hasil konferensi internasional terbaru (tahun 2010) yang dapat saya cari di Internet, kalau sekiranya ada hasil konferensi internasional lain terbaru yang memberikan hasil yang berbeda mohon kiranya dapat dibagi dalam forum ini.

        Kemudian, dalam membuat suatu tulisan adalah lazim mencantumkan affiliasi penulis tersebut, terutama bila topik tulisan yang dibuat menyangkut pekerjaan yang setiap saat dilakukan oleh si penulis. Silahkan Pak Agus membuka jurnal-jurnal ilmiah baik nasional maupun internasional, maka semua penulis akan mencantumkan affiliasi mereka masing-masing, karena dengan begitu justru bagi pembaca akan mudah memahami kapasitas penulis dalam menulis topik yang dibahas. Misalkan saya menulis topik hilal dari sudut pandang astronomi, kemudian saya tulis dibawah afiliasi saya adalah “Direktur sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pakaian”. Pembaca akan memahami, bahwa tulisan saya bukan hasil dari sebuah penelitian, tetapi hasil dari sebuah opini, karena dapat dipastikan bahwa saya tidak selalu bergelut dengan astronomi setiap saat, terlihat dari affiliasi yang saya tulis. Akan tetapi kalau affiliasi tersebut saya ganti/tambahkan menjadi “anggota pemerhati astronomi Indonesia” maka pembaca akan memahami si penulis adalah seseorang yang sering bersentuhan dengan astronomi, walaupun saya seorang pengusaha pakaian katakanlah begitu. Jadi pencantuman affiliasi akan berpengaruh terhadap pemahaman pembaca dalam memahami tulisan yang dimaksud.

        Mohon maaf Pak Agus, justru saya kurang mengerti mengapa Pak Susiknan dan juga Pak Syamsul Anwar dalam setiap menanggapi komentar Pak Tomas tidak mencantumkan posisinya sebagai anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, tetapi hanya mencantumkan afiliasinya di UIN Sunan Kalijaga. Padahal beliau berdua sedikit banyak terlibat dalam penentuan kriteria awal bulan menurut Muhammadiyah serta beliau berdua terlibat dalam penulisan buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah”. Mohon maaf, kesan yang saya tangkap (saya yakin ini hanya kesan saya saja) adalah, beliau berdua hanya “berlindung” di balik UIN Sunan Kalijaga padahal yang didiskusikan adalah topik yang beliau kerjakan saat menjadi anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Beliau seperti berada pada dua pijakan, apabila diperlukan kaki yang satu dapat diangkat dan hanya digunakan kaki yang lain sebagai pijakan (sekali lagi saya memohon maaf sebesar-besarnya kepada Pak Susiknan dan Pak Syamsul Anwar dengan pendapat ini, saya tahu pendapat ini adalah berupa “tuduhan” tetapi itulah kesan yang saya dapat, dan saya yakin sejatinya Pak Susiknan dan Pak Syamsul Anwar bukan seperti yang saya “tuduhkan” tersebut).

        Pada paragraf terakhir pendapat Pak Agus, sepertinya Pak Agus juga sudah menyimpulkan bahwa semua kritikan mengenai WH adalah kritikan terhadap Muhammadiyah (walaupun masih dalam bentuk tanda tanya). Apabila pemahaman tersebut yang dipahami oleh teman-teman di Muhammadiyah, maka setiap orang yang memberikan kritik akan ditanggapi sebagai bentuk perlawanan terhadap Muhammadiyah. Padahal kritik juga diperlukan untuk perbaikan. Sebagai sesama teman bukankah kita diajari untuk saling nasehat menasehati di dalam kebaikan. Saya mungkin saja lebih senior dari Pak Agus, tetapi saya tidak memandang itu sebagai batasan apabila nasehat dan kritik dari Pak Agus ternyata memang substantif dan mencerahkan, saya yakin juga sebaliknya demikian dengan Pak Agus.

        Demikian pendapat saya, mohon maaf apabila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan. Mohon koreksinya, terima kasih.

        Wallahu a’lam bis-shawab.

      • Pak Syarif,

        Saya bisa saya simpulkan dari rentetan tulisan mengenai wujudul hilal adalah: Pak Djamaluddin menggunakan “baju astronom” dia untuk membentuk opini publik negatif terhadap konsep wujudul hilal dengan cara menempatkan wujudul hilal sebagai kriteria tak lengkap dari imkanu rukyat, seakan-akan kedua konsep ini menggunakan dasar-dasar dan asumsi yang sama. Saya tidak mewakili komentar orang lain (yang mengaku sebagai anggota atau simpatisan Muhammadiyah) yang berbicara kasar, karena saya menulis sebagai kapasitas pribadi yang peduli terhadap masalah ini.

        Maaf, sebagai pekerja profesional, saya sadar sekali apa yang dimaksud dengan jabatan dan wewenang. Ketika seseorang mewakili sebuah institusi, kemudian memakai baju itu untuk mencapai tujuan-tujuan untuk institusi lain yang *sedang* tidak diwakilinya, itu adalah etika dan moral yang tidak bisa diterima. Itu seperti misalnya jika Pak Susiknan dalam kesempatan lokakarya itu sebagai wakil UIN Sunan Kalijaga, justru kemudian melakukan lobi-lobi yang maksudnya seluruhnya demi keuntungan Muhammadiyah sebagai organisasi, itu adalah tindakan tak bermoral. Dalam taraf tertentu tentu saja ada masih ada toleransi (karena memang tidak mudah melepaskan baju), tapi kasus di atas terlalu jauh untuk bisa mengatakan bahwa Pak Susiknan sebagai wakil Muhammadiyah. Apapun alasannya, ketika secara fakta bahwa seseorang tidak sedang mewakili institusi terkait, dan keberatan atas pemaksaan attribut tersebut, tidak layak buat seseorang menolak untuk memperbaiki informasi salah yang sudah disebarkan ke publik melalu tangan dia sendiri. Ingat, ini adalah hak Pak Susiknan, dan menjadi kewajiban Pak Djamaluddin untuk compliance. Saya tidak bisa memaksakan kualitas moral saya ke pada Pak Djamaluddin, tapi saya berhak menilai kualitas moral Pak Djamaluddin secara pribadi.

        Mengenai MoU, saya tidak melihat ada nama Pak Susiknan sebagai wakil UIN Sunan Kalijaga dalam deretan peserta yang menyetujui MoU. Kalau memang represntasi Indonesia dibutuhkah, seharusnya wakil dari Kementrian Agama yang mengikuti konferensi tersebut. Tulisan Pak Syamsul Anwar yang saya pahami mendiskusikan antara masalah rukyat dibandingkan dengan hisab. Hisab dalam hal ini juga bisa meliputi hisab imkanu rukyat, dan fakta bahwa dia tidak mengutip hasil konferensi ini tidak menjadikan wujudul hilal mendapat keuntungan dibanding imkanu rukyat.

        Saya kira analogi jurnal ilmiah tidak begitu cocok. Afiliasi dalam jurnal ilmiah tentu saja penting, karena penelitian didanai oleh institusi, dan hasilnya adalah juga untuk institusi tersebut. Jadi seseorang menulis paper ke jurnal itu dalam kapasitas sebagai peneliti di institusi tersebut. Misalnya ada seorang dosen dari universitas di Indonesia mendapat beasiswa belajar ke luar negri, melakukan riset yang sepenuhnya dibiayai universitas LN di mana dia melakukan riset, maka tentu paper yang dihasilkan perlu mencantumkan afiliasi sebagai peneliti di universitas LN tersebut (bukan universitas di Indonesia), kecuali ada persetujuan-persetujuan yang bisa merubahnya.

        Pak Susiknan memilih afiliasi di universitas karena status dia di lokakarnya tersebut, dan pada dasarnya yang ingin diluruskan hanyalah status dia, bukan masalah imkanu rukyat melawan wujudul hilal. Pak Syamsul Anwar tidak mencantumkan afiliasi, keculai apa yang dilaporkan oleh orang lain di media. Tulisan asli berasal dari website Muhammadiyah (tidak mencantumkan UIN Sunan Kalijaga), jadi secara implisit ini adalah tulisan dalam kapasitas dia sebagai anggota Muhammadiyah.
        [web] http://www.muhammadiyah.or.id/muhfile/download/Otoritas%20dan%20sistem%20Matematis%281%29.pdf
        Kalau Pak Syarif mempunyai tautan dimana Pak Syamsul Anwar menulis tulisan untuk Muhammadiyah dalam kapasitasnya sebagai guru besar UIN Sunan Kalijaga, silakan dishare.

        Bahwa kritikan Pak Djamaluddin ditujukan juga ke Muhammadiyah, selain karena warna yang kental dari cara penulisannya, dan satu tulisan yang dikhususkan untuk Muhammadiyah: “Mengalah Demi Ummat”. Sekali menyinggung ISNA, tapi sengaja menggunakan kata “tetapi”, padahal ISNA juga menggunakan Ummul Qura untuk penentuan waktu ibadah, seperti halnya Muhammadiyah. Dan jangan lupa, kalau Pak Djamaluddin benar-benar hanya ingin mengritik wujudul hilal, pasti tidak akan sreg untuk memanfaatkan widget kalender Ummul Qura yang dipasang sendirian di halaman blog: karena Ummul Qura pada dasarnya menggunakan kriteria yang sama dengan wujudul hilal, konsep yang sudah kuno, usang, menghadapi masalah dalik, dan berpotensi pseudosains.

      • Pak Djamaluddin,

        Dari jawaban anda, sepertinya tujuan penulisan afiliasi memang untuk kepentingan tulisan anda sendiri, dalam kata lain hanya anda dan tulisan anda yang mendapatkan keuntungan dengan meminjam nama institusi tersebut. Latar belakang penulis memang perlu disebutkan untuk membantu ___pembaca___ menilai isi tulisan, tapi ketika seseorang mengeluarkan opini pribadi tanpa mewakili institusi dia bekerja, maka orang tersebut perlu mengklarifikasikannya. Itu demi __pembaca__, bukan melulu demi penulis atau tulisannya. Dengan jawaban anda tersebut, berarti memang Kementerian Agama dan LAPAN telah menyimpulkan bahwa wujudul hilal adalah kuno dan usang, menghadapi masalah dalil, dan berpotensi menjadi pseudosains, sehingga Muhammadiyah memang harus menggantinya dengan kriteria imkanu rukyat, begitukah? Saya skeptis dengan kesimpulan ini, tapi mungkin saja itu yang sedang terjadi.

        Bahwa anda menunggu institusi untuk menegur anda ketika tidak sejalan, sama saja dengan mengatakan bahwa penyalahgunaan wewenang tidak bermasalah selama tidak ada yang merasa dirugikan. Mencari titik temu agar agar kriteria hisab bisa disatukan, sudah sangat jelas ini adalah agenda anda. Semua menginginkan tujuan ini. Masalahnya kemudian, bagaimana cara yang anda tempuh untuk mencapai tujuan ini, yang ini yang sedang saya pertanyakan.

        Dengan keberanian Muhammadiyah untuk loncat ke wujudul hilal, saya juga percaya Muhammadiyah juga siap untuk loncat lagi ketika solusi kalender global yang bisa diterima semua pihak sudah ditemukan.

      • Pak Agus, terima kasih atas tanggapannya.

        Menurut saya suatu opini sebaiknya dijawab lagi dengan opini. Pak Thomas membahas Wujudul Hilal (WH) dari sisi astronomi karena kebetulan beliau berpengalaman di bidang tersebut. Apakah opini itu negatif atau posistif, ini juga tergantung dari pembaca memahami apa yang ditulis oleh penulisnya. Justru bentuk jawaban yang dilakukan oleh Pak Agus selama inilah yang bagi saya telah memberikan pencerahan mengenai konsep WH. Kalau ditanggapi dengan perkataan yang kotor dan hinaan, kemungkinan pembaca yang awam (non ormas) akan menjadi bersimpati terhadap Pak Thomas. Saya berharap ke Pak Agus untuk tetap memberikan ilmu yang diketahui tentang WH, sehingga opini yang menurut Pak Agus negatif bisa ditangkis dengan opini lainnya tentang WH yang dapat dipahami oleh pembaca yang awam seperti saya.

        Mohon maaf Pak Agus, saya menarik diri dari diskusi lebih lanjut tentang Pak Susiknan dan Pak Thomas. Saya kira Pak Susiknan sudah memberikan hak jawabnya dan Pak Thomas merasa sudah memberikan juga jawabannya. Menurut saya biarlah mereka berdua yang menyelesaikan masalah tersebut, mereka berdua sudah dewasa bahkan sudah bergelar professor. Pak Agus berhak untuk mempunyai penilaian terhadap beliau berdua, sama halnya dengan saya dan teman-teman yang telah membaca tulisan dari beliau berdua, juga mempunyai hak yang sama. Saya takut nantinya menjadi pergunjingan, sehingga saya malah membicarakan keburukan seseorang.

        Sekali lagi saya juga memohon maaf apabila saya telah memberikan tuduhan yang salah terhadap Pak Susiknan dan Pak Syamsul Anwar. Tulisan aslinya adalah seperti yang Pak Agus berikan, tetapi saya mendapatkan tautan ke facebook Persyarikatan Muhammadiyah:
        http://www.facebook.com/notes/persyarikatan-muhammadiyah/otoritas-dan-kaidah-matematis-refleksi-atas-perayaan-idulfitri-1432-h-tanggapan-/10150272394841695
        sekali lagi saya mohon maaf, mungkin tautan tersebut bukan merupakan jalur informasi resmi dari Muhammadiyah. Dan saya akan membatasi untuk tidak membicarakan dan mendiskusikan mengenai pribadi seseorang.

        Saya hanyalah orang awam yang ingin mencari perbandingan antara WH dan IR. Saya tidak berafiliasi terhadap ormas apapun dan juga tidak mewakili pemerintah. Saya juga tidak mengenal Pak Thomas secara pribadi. Mungkin ada sedikit rasa simpati saya terhadap Pak Thomas yang telah berani memulai diskusi mengenai perbedaan awal bulan qomariyah dengan suatu “kejutan”. Rasa simpati tersebut berkembang seiring dengan banyaknya cemoohan dan hinaan terhadap Pak Thomas dari banyak orang, tanpa orang tersebut memberikan suatu sanggahan yang sifatnya substansi terhadap pendapat beliau. Mungkin disini akhirnya membuat saya menjadi tidak objektif terhadap WH, tetapi justru pendapat-pendapat Pak Agus yang bersifat substansilah yang memberikan pencerahan terhadap saya dari sudut pandang yang berbeda.

        Saya masih berharap diskusi mengenai kriteria WH dan IR dari sisi astronomi tetap berjalan tanpa harus mempermasalahkan sesuatu yang bersifat pribadi. Tentunya saya juga berharap ada teman-teman yang mengerti lebih jauh dari sisi syar’i (Fiqh) dapat membagi ilmunya pada blog ini.

        Mengenai hasil-hasil konferensi tahun 2008 mungkin tautan berikut dapat bermanfaat:
        http://www.amastro.ma/eng/note2.htm#introduction
        saya hanya ingin menunjukkan bahwa, metode Ummul Quro yang awalnya termasuk salah satu dari 4 metode yang diusulkan untuk menjadi kalender islam internasional, ternyata sudah tidak dimasukan dalam kesepakatan bersama konferensi tahun 2010 yang hanya mengusulkan 2 metode yaitu the unified calendar (Abdurrazik and Shaukat) dan the bizonal calendar (Universal Hejric Calendar (UHC), Guessoum’s proposal and others). Sekali lagi ini hanyalah kesepakatan yang tidak ada tanggung jawab hukumnya, buktinya Arab Saudi pada penentuan awal bulan Syawal 1432 H tidak mengikuti kesepakatan tersebut. Dan sepengetahuan saya, Ummul Quro hanya digunakan di Arab Saudi untuk kepentingan masalah sipil. Sedangkan untuk kepentingan yang bersifat keagamaan, Arab Saudi lebih menitik beratkan pada rukyat (terlihatnya hilal).

        Mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan. Mohon koreksinya, terima kasih. Wallahu a’lam bis-shawab.

      • Pak Syarif,

        Saya juga akan menghentikan membicarakan masalah yang berhubungan personal. Saya hanya bisa berharap semua pihak tetap mencoba untuk mempertahankan kejujuran dalam berdiskusi.

        Mengenai dua konferensi yang Pak Syarif sebutkan, meskipun keduanya bertema tentang kalender Islam, konferensi diselenggarakan oleh organisasi berbeda, dengan sifat dan cara partisipasi yang tidak sama (meksipun saya menghitung ada 3 pakar undangan juga menghadiri konferensi ICOP). Hanya karena konferensi yang disebut pertama diselenggarakan 2 tahun lebih dulu, tidak menjadikan keduanya mempunyai hubungan sebab akibat. Jadi argumentasi “4 metode usulan di tahun 2008 menjadi 2 metode usulan di tahun 2010” mempunyai landasan logika yang sangat lemah.

      • Pak Agus, terima kasih atas tanggapannya.

        Pada paragraph ketiga dari kesepakatan antara ulama dan astronom (http://www.icoproject.org/conf2.html) tertulis

        The scholars and the scientists reviewed the current situation of the nation with regard to the above topics, discussed the specific problems and the difficulties raised by people and authorities in various places, and considered the recommendations of the previous conferences and symposia. The first stressed the importance of implementing the previous sound recommendations and solutions proposed by the past and present councils, conferences and symposia, and encouraged experts to exert their efforts to address any current issues that need further research and study.

        Dari paragraph tersebut, terlihat bahwa hasil-hasil konferensi sebelumnya yang sudah ada telah dipertimbangkan dan menjadi masukan dalam membuat keputusan bersama pada konferensi 2010. Selain itu, ada beberapa nama yang mengikuti konferensi tahun 2008, mengikuti pula konferensi tahun 2010, salah satunya adalah Prof. Jalal al-Din Khanji, yang hadir sebagai pembicara tamu di tahun 2008 dan ikut menandatangani kesepakatan tersebut di tahun 2010. Bahkan Prof. Driss Bensari, Presiden Moroccan Astronomical Society yang merupakan penyelenggara konferensi tahun 2008 (http://www.amastro.ma/eng/note2.htm#introduction) juga hadir pada konferensi tahun 2010.

        Kalaupun kedua konferensi itu berbeda, tetapi karena keduanya bertemakan tentang kalender islam, tentunya lazim untuk merujuk pada kedua hasil konferensi tersebut apabila kita berbicara tentang penentuan kalender islam internasional. Khususnya mengenai metode Ummul Quro yang pada konferensi tahun 2008 menjadi salah satu metode yang diusulkan untuk menjadi kalender islam internasional, tetapi pada konferensi yang berbeda di tahun 2010 dengan tema yang sama, disepakati bahwa Ummul Quro tersebut tidak termasuk dalam metode yang diusulkan untuk menjadi kalender islam internasional.

        Mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan. Mohon koreksinya, terima kasih. Wallahu a’lam bis-shawab.

      • Pak Syarif,
        Sekali lagi, kita tidak bisa melakukan korelasi hasil dua konferensi hanya dengan faktor-faktor eksternal seperti itu. Menggunakan logika yang senada: MoU “hanya” disetujui oleh kurang dari 1/5 dari total peserta konferensi, berarti lebih dari 80% tidak menyetujui. Kemudian satu orang yang Pak Syarif sebut pun adalah anggota pengurus ICOP. Saya hanya ingin mengatakan bahwa dua hasil konferensi adalah valid, tapi tidak perlu melakukan korelasi berlebihan antara dua hasil konferensi tersebut.

        Mengenai kalender Islam global, sejauh yang saya pahami adalah bagaimana menggeneralisasikan kriteria awal bulan untuk seluruh permukaan bumi dengan memimimaliasikan permasalahan yang timbul dikarenakan faktor lokalitas yang disebabkan oleh kriteria awal bulan. Ingat, semua kriteria awal bulan adalah LOKAL, dan semua kalender yang hanya berdasarkan semata pada kriteria ini adalah kalender lokal (termasuk rukatul hilal, imkanu rukyat, dan wujudul hilal). Kalaupun misalnya Ummul Qura mengubah kriteria awal bulan dengan imkanu rukyat, tidak akan perbedaan terhadap masalah-masalah yang timbul ketika kalender ini dipaksakan sebagai kalender global. Sebaliknya, sama halnya ketika UHC mengubah kriteria awal bulan dengan kriteria wujudul hilal sebagai pengganti kriteria Odeh yang dipakai sekarang. Ditinjau dari sudut ini, apakah kalender Ummul Qura pantas sebagai kalender global atau tidak, sudah tidak begitu berhubungan lagi dengan kriteria wujudul hilal.

    • pak pras d blacklist wae, ntr klo blog ini d baca anak2 sekolah bisa menimbulkan kesan kalo islam tidak ilmiah. mohon bagi pengelola blog untuk menyaring komentar yang tidak ilmiah.

    • Di rumah tetangga saya ada suara gelas pecah, istri saya menganggap dan meyakini kalau ada gelas pecah tapi saya belum yakin kalau itu gelas pecah, akhirnya saya datangi rumah tetangga yang berdempetan rumahnya, eh… ternyata mereka baru beli home theatre dan nonton film yang ada adegan gelas pecah…… untung saja saya lihat sendiri sehingga bisa meyakinkan istri saya.

  9. Pak Nazar….ilmuwan kita itu bukan malaikat. Buktinya membuat rumusan lokakarya saja keblinger, salah fatal. Ini juga termasuk konsepnya pak Thomas khan? Maksudnya biar bisa mengikat semua peserta, dibuatlah keputusan yang membuat ahli hukum tertawa terbahak-bahak. Maksudnya biar mentereng…ngetrend….nggak usang…dll. Tetapi jauh lebih dari usang, karena keputusan itu melabrak aturan hukum.

    Jadi hisab tidak perlu dibuktikan dengan hisab. Kalau ini namanya konyol. Rukyat bisa digunakan untuk membuktikan hisab. Jadi jika hilal sudah terlihat, maka hasil hisab ”pasti” benar. Jika hilal belum terlihat, tapi hisab sudah wujud maka secara aqly diyakini bulan baru (new month) dimulai. Jadi rukyat ”bisa” atau ”boleh” untuk membuktikan hisab, tapi tidak ”wajib”. Kalau dianalogikan dalam keseharian, pak Nazar dalam mengerjakan soal ujian boleh memakai pensil dan tidak wajib memakai pena. Begitu lho….

  10. Analogi yg manis dr Pak Prasojo! Metode imkan ru’yah (utamax kriteria MABIMS) itu sbnrx bkn kebenaran tapi pembenaran! Imkanur rukyat 2 derajat sebagaimana diamalkan di Kemenag adalah kaidah kalender yang sama sekali tidak ada dasar syar’inya apalagi dasar astronomis. Semua astronom tentu sangat mengetahui hal ini. Parameter 2 derajat jelas hanya merupakan ilusi bagi mereka, karena secara teori hal tsb tak mungkin bisa dilihat dengan peralatan apapun, apalagi dengan mata telanjang. Apa ini tidak berarti bahwa kita hidup dalam ilusi atau di bawah bayang-bayang kepalsuan. Mengapa kita tidak realistis saja? Mengapa kita tidak mengambil sistem yang lebih sederhana, tidak berbiaya tinggi, tetapi dapat memberikan kepastian jadwal tanggal jauh ke depan sehingga memudahkan kehidupan kita?

    Utk lebih jelasx, Silakan download “CARA TEPAT MENETAPKAN 1 SYAWAL & IDUL ADHA” di:

    http://www.mediafire.com/?5e87dw6w9w1m12s

  11. Ada dua aspek yang harus dipelajari dalam memahami penentuan kalender Hijriyah, 1. Ilmu Agama (Syari’ah, Ilmu Kaidah Bahasa Arab;Nahwu, Shorof, Bayan, Balaghoh, Bade , Maani, dll) 2. Ilmu Astronomi, bagaimana dengan ijtihad (mencari solusi) secara berjama’ah, dengan melibatkan pakar agama dan pakar astronomi, mungkin itu salah satu yang baik, karena kesulitan menemui satu orang yg melekat 2 disiplin ilmu itu, walau sebenarnya ada (bahkan banyak),,

  12. Wujudul hilal itu lebih JUJUR mengakui tidak perlu melihat hilal untuk penentuan awal bulan……. Imkanurrukyat lebih banyak bohongnya.. sok-sokan melihat hilal padahal kata ilmuan seperti Prof. TJ sering kali yang dilihat bukan hilal. Atau gak ada yang dapat melihat hilal pada waktu itu pada ketinggian tertentu tapi karena sudah memenuhi syarat kriteria imkanurrukyat maka dianggap hilal sudah terlihat. Kalau mau berpegang pada Sunnah, syarat empiris yang diinginkan hilal harus terlihat pada malam itu berapapun ketinggiannya, jadi kalaupun diprediksi tinggi hilal 8 derjat pada malam itu tapi kalau tidak bisa dilihat maka tetap istikmal. Kalau menggunakan imkanurrukyat pada malam itu sama saja tidak mengikuti SUNNAH. Nabi tidak pernah menggunakan kriteria tinggi hilal pada tahun sebelumnya untuk menetapkan tinggi hilal pada tahun ini.

  13. Kita akan sia-sia mengemukakan argumen yg ilmiah sekalipun karena kita telah meyakini hal yang memang berbeda. Saya seringkali memberi pencerahan kpd teman2 soal ini, tapi dasar mereka telah meyakini pemahaman yg berbeda, maka argumen yg kita sampaikan ttp saja dianggap angin lalu. Makanya, saya lebih suka pakai analogi, selain memang tdk menguras energi, juga saya anggap sebagai seloroh. Jd kalau saya sudah yakin dg wujudul hilal, mau pak thomas kerahkan semua dalil dan fakta2 empirik sekalipun, rasanya tdk akan menggoyahkan keyakinan saya. Bahkan, andaipun muhammadiyah telah beralih ke kriteria imkan rukyat, saya ttp yakin dg wujudul hilal. Tdk masalah. Sepanjang para astronom sudah menyatakan hilal wujud, saya meyakini bulan baru telah masuk. Ini keyakinan yg tak tergoyahkan.

  14. Assalaamu’alaikum, wr, wb.

    Sebenarnya, dengan mempersyaratkan tinggi hilal di atas nol derajat, wujudul hilal Muhammadiyah masih mempertimbangkan hilal agar terlihat mata dan karenanya sesungguhnya ia masih tergolong dalam hisab imkaanur-ru’yah.

    Akan tetapi, kalau memang konsekuen menggunakan imkaanur-ru’yah, tinggi hilal di atas nol derajat saja tidak cukup. Di samping angka nol derajat itu tidak populer di kalangan astronom modern, syarat terlihatnya atau terwujudnya hilal itu harus pula mempertimbangkan parameter lain, seperti minimum umur bulan, minimum selisih waktu terbenamnya matahari dan rembulan, minimum jarak elongasi rembulan dan matahari (danjon limit), dst.

    Jadi memang dari sudut pandang crescent visibility/imkaanur-ru’yat, kriteria wujudul hilal adalah sebuah oversimplifikasi.

    Hisab thd hilal itu bukan hanya menghitung tinggi rembulan pada saat matahari tenggelam saja. Perlu pula dihitung parameter lain, misalnya jarak rembulan dan matahari. Jarak minimal bulan dan matahari inilah yang dikenal dengan istilah danjon limit. Kemungkinan terwujudnya atau terlihatnya hilal harus pula memperhitungkan danjon limit ini; bukan hanya parameter tinggi hilal saja seperti yang dipakai oleh kriteria wujudul hilal Muhammadiyah.

    Dengan hanya menggunakan satu parameter tinggi hilal, akan ada kondisi dimana hilal tidak mungkin wujud, yaitu saat gerhana matahari menjelang terbenamnya matahari. Matahari terbenam lebih dahulu, tinggi hilal sudah positif, tetapi masih ada bagian matahari yang tertutup rembulan. Pada kondisi seperti ini wujudul hilal Muhammadiyah mengatakan bhw “hilal sudah wujud”. Padahal mustahil hilal telah wujud, apalagi bisa dilihat.

    Dengan demikian, hilal yang tadinya harus terlihat menjadi hilal yang harus tidak terlihat karena memang tidak mungkin terlihat atau bahkan tidak mungkin wujud dalam kasus gerhana matahari menjelang maghrib tsb. Inilah salah satu kelemahan mendasar dari wujudul hilal.

    Untuk memperbaiki kelemahan ini, dari sisi syar’i harus dikembalikan ke AlQur’an dan As-sunnah. Hilal yang dihisab seyogyanya adalah hilal yang bisa dilihat oleh mata; sebab hilal yang bisa dilihat oleh mata itulah hilal yang dijadikan acuan oleh Rasulullah dan para sahabat.

    Kemudian, dari sisi astronomi, hisab thd hilal yang bisa dilihat oleh mata (hisab imkaanur-ru’yah) ini seharusnya tidak hanya sekedar menggunakan parameter tinggi hilal saja, tetapi harus juga memperhitungkan parameter yang lain untuk menghindari kesalahan pada kasus yang saya sebutkan tsb di atas.

    Sayang sekali, hingga saat ini sepertinya kelemahan mendasar dari wujudul hilal ini belum bisa dimengerti oleh warga Muhammadiyah.

    Wallahu a’lam bis-shawab.

    • Pak Rois,

      Penjelasan Pak Rois sangat jelas, dan sangat-sangat saya mengerti. Saya kira ahli falak dari Muhammadiyah juga sangat-sangat paham dengan hal ini. Tidak ada hilal (crescent) yang bisa dilihat oleh mata ketika piringan atas bulan ada di ketinggian sedikit lebih dari 0 derajat di atas ufuk. Hanya saja, menggolongkannya sebagai “imaknu rukyat yang disederhanakan” hanya karena mempunyai salah satu parameter yang sama (tinggi bulan) tidak ada landasan argumentasinya sama sekali.

      Sekarang saya mencoba bertanya, apakah anda sudah __mencoba__ memahami mengenai konsep wujudul hilal itu sendiri. Coba baca kembali “Pedoman Hisab Muhammadiyah”, kriteria apa yang dipakai, dan mengapa hanya piringan atas bulan yang dipakai untuk menentukan apakah bulan baru sudah wujud atau belum dalam wujudul hilal. Saya kutipkan beberapa kalimat dalam pemaparan kriteria awal bulan:

      “Dengan kata lain ufuk menjadi garis penentu apakah Bulan baru sudah wujud atau belum. Apabila pada saat terbenamnya matahari, Bulan telah mendahului matahari dalam gerak mereka dari barat ke timur, artinya saat matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk, maka itu menandai dimulainya bulan kamariah baru.”
      “Menjadikan keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam sebagai kriteria mulainya bulan kamariah baru juga merupakan abstraksi dari perintah-perintah rukyat dan penggenapan bulan tiga puluh hari bila hilal tidak terlihat. Hilal tidak mungkin terlihat apabila di bawah ufuk. Hilal yang dapat dilihat pasti berada di atas ufuk. Apabila Bulan pada hari ke-29 berada di bawah ufuk sehingga tidak terlihat, lalu bulan bersangkutan digenapkan 30 hari, maka pada sore hari ke-30 itu saat matahari terbenam untuk kawasan normal Bulan sudah pasti berada di atas ufuk. Jadi kadar minimal prinsip yang dapat diabstraksikan dari perintah rukyat dan penggenapan bulan 30 hari adalah keberadaan Bulan di atas ufuk sebagai kriteria memulai bulan baru.”

      Dua kutipan diatas saya rasa sudah cukup untuk menggambarkan bahwa menilai konsep wujudul hilal dengan faktor visibilitas hilal (crescent) adalah sangat-sangat tidak logis. Penjelasan “Bulan telah mendahului matahari”, “Bulan di atas ufuk … merupakan abstraksi dari perintah-perintah rukyat” menerangkan bahwa merubah hilal (crescent) ke bulan adalah bagian dari konsep wujudul hilal itu sendiri (yang justru bisa dianggap sebagai suatu kelebihan), bukan sebuah “kelemahan”.

      Kalau masih susah memahaminya, saya berikan analogi yang kurang lebih seperti ini (sedikit hiperbolis):
      – penganut imkanu rukyat menganggap terlihatnya hilal sebagai satu-satunya dasar syar’i untuk memulai bulan baru, kemudian melakukan generaliasi berdasarkan kriteria tertentu meskipun tidak syar’i lagi.
      – penganut wujudul hilal menganggap rukyat dan visibilitas hilal sebagai cara kuno dan usang yang hanya kebetulan dipakai oleh Nabi untuk menentukan bulan baru di zaman dulu, dan adalah sesuatu yang tidak perlu diikuti lagi karena banyak kelemahan dan menghasilkan permasalahan. Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam setelah konjungsi dipercaya sebagai bentuk abstraksi dari perintah Nabi itu sendiri.

      Terlihat bahwa argumentasi Pak Rois tentang hilal yang terlihat tidak applicable lagi untuk wujudul hilal (sudah tidak berhubungan sama sekali), dan dimensi perbedaan sudah bergeser banyak ke arah dalil agama, bukan masalah astronomi lagi.

  15. Saya coba petakan masalahnya. Koreksi ya kalau saya salah. Rukyat menafsirkan hilal “harus terlihat”, kalau wujudul hilal (WH), hilal harus “ada”. “Terlihat” dan “ada”, ini yang susah dipertemukan. Sya ngga bicara dalil. Saya yakin keduanya argumentasinya kuat.

    MD (orang MD tolong dikonfirmasi ya) menganggap case awal bulan sama dengan case ibadah lain seperti sahur, shalat dan lain2nya. Patokannya hisab (dan bisa) dikonfirmasi dengan rukyat. Hanya saja untuk case bulan sedikit lebih komplek karena factor atmosfer yang “pasti” berpengaruh terhadap keterlihatan. Masalahnya kan soal terlihat ini. Misal ketinggian hilal 1 derajat sudah pasti tak terlihat. Kalau menurut MD faktor atmosfer ini tak terlalu penting. Toh selama ini kita sholat, sahur, dll selalu pakai Jadwal Imsakiyah dan ngga terlalu memperhatikan faktor ini. Toh teknologi sekarang gerhana matahari jam sekian menit sekian dan detik sekian bisa diukur kok, soal menghitung kapan fajar mah perkara remeh. Saya juga yakin sebagian besar masyarakat Indonesia ngga pernah lihat matahari atau bulan pas mau melakukan sholat atau sahur. So secara “de facto” muslimin ini “percaya” dengan hisab.

    Metode Hisab: ini dasarnya apa? Ilmu astronomi. Dasarnya apa? pengamatan, hitungan dan observasi bertahun-tahun. Ilmiah? Jelas. Ada dasar Alqurannya ? Ada. So salah besar jika MD dikatakan anti rukyat. Tapi kalau rukyat tak praktis dilakukan, mereka lebih memilih Hisab. “Rukyat” sudah diakomodasi di teknologi perhitungan hisab tersebut. So, rasanya kurang tepat kalau dikatakan “usang”. Ini hanya masalah definisi dan “keyakinan” bulan “ada” disana atau tidak. Metode kedua : rukyat (RH) jelas, harus terlihat. Dalil tekstual memang demikian. Saya ngga akan berpanjang lebar mengenai hal ini.

    Metode ketiga : Imkanurrukyat (IM) coba menjembatani hal ini, dibuat threshold (misal 2 derajat). Intinya sebenarnya ya “hisab plus threshold 2 derajat”. Koreksi ya kalau saya salah.
    Logika kerjanya begini : Jika hilal kurang 2 derajat, genapkan 30 hari. Jika lebih dari 2 derajat? 29 hari (CMIIW). Masalah prinsipilnya “perlu atau tidak adanya konfirmasi” dengan rukyat (observasi) lagi? Misal nih, kalau bulan 2.1 derajat , ternyata mendung diseluruh Indonesia. Bulan tak terlihat di seluruh Indonesia. Terus bagaimana? Apa mau diistikmal lagi? Terus apa dong manfaatnya harus sepakat 2 derajat? Ngga beda dengan RH biasa. Pertanyaan besarnya adalah : “yakin ngga ormas2 akan konsisten 2 derajat ini? yakin ngga jika lebih 2 derajat dan ternyata, somehow, ngga terlihat hilal dan mereka konsisten tetap akan sholat Ied keesokan harinya (tidak istikmal)? Berani ngga mereka memutuskan besok lebaran tanpa harus observasi bulan?”. Kan jadi ngga konsisten dengan tujuan awalnya. Saya rasa ini salah satu alasan ketidak-setujuan rekan2 di MD . Jika tidak yakin, berarti harus ada cara dan pendekatan lain selain IM. Kalau yakin dan konsisten, silahkan dibuat dialog lagi dengan MD karena satu hal sudah berhasil disamakan. Kalau ini saja ngga ketemu, lha mbok sampai jungkir balik ngga bakal bisa sama lebaran di Indonesia.

    Kalau menurut saya jalan tengahnya begini saja : Katakanlah Ormas Indonesia (minus Muhammadiyah) setuju IM dengan 2 derajat. Jika lebih 2 derajat, 29 hari puasa dan” KONSISTEN”. Jangan ada ormas yang istikmal karena ngga berhasil lihat hilal, bisa bubar kesepakatannya. Lakukan dalam jangka waktu lama (10-20 tahun). Rukyat/observasi silahkan dilakukan, tapi jangan dijadikan hujjah istikmal dulu. Catat saja dan dibukukan. Setelah 20 tahun evaluasi lagi. Bisa ngga 2 derajat ini diturunkan (sepertinya kurang pas kalau dinaikkan, kalau terjadi berarti ya langkah mundur lagi). Dengan perkembangan teknologi, mudah2an faktor atmosfer akan bisa direduksi dan hilal akan bisa terlihat dalam derajat yang minimal (mendekati nol). Kalau sudah sampai titik ini, saya yakin sudah tidak ada perbedaan antara WH vs IM. Kalaupun pendekatannya beda, paling tidak hasilnya relatif sama.

    Kalau misalnya 10-20 tahun konsistensi melakukannnya, lakukan pendekatan lagi dengan MD. Persoalannya tinggal 0 sd threshold (2 derajat). Silahkan diperdebatkan lagi kenapa 0.001 derajat kenapa 2 derajat. Ini lebih mudah dipertemukan. Toh istilah “lebih dari 0 derajat” ini kan sebnernya juga threshold MD. Saya yakin rekan2 d MD juga akan tergerak hatinya melunakkan kriterianya. Hal itu sangat mungkin terjadi. MD kan organisasi yang sangat mengedepankan ijtihad. Asal ada argumentasi yang kuat, dalilnya kuat, dan ada pembuktian yang memadai kenapa tidak? Mengenai saat ini, criteria WH masih dianggap yang paling kuat di MD.

    Kalau mau mengkritisi ya silahkan, tapi cari argumentasi yang baik yang kuat dan subtantif. Saya juga yakin di MD selalu mencari alternatif2 dan terobosan untuk kesatuan penanggalan Islam yang belaku untuk internasional. Namun ya jangan memprovokasi dulu kalau itu ‘usang’, ‘kuno’ dll. Kita sama2 kerja-lah, dengan cara masing2 dan dengan pendekatan masing-masing. Penyebutan usang & kuno menurut saya bukan langkah yang produktif dan hanya akan menempatkan MD sebagai pihak yang dipojokkan. Ya kalau benar dia yg salah, bagaimana kalau ternyata MD yang benar? Bagaimana jika ternyata 20 tahun lagi bulan bisa diamati pada sudut 0.05 derajat?

    Menyatukan umat itu bukan perkara yang mudah. Perlu digunakan cara2 yang makruf dan benar. Ngga akan ada gunanya “bersatu” kalau ada segolongan Muslim merasa tertekan dan terpaksa melakukan suatu hal yang tidak sreg dan tidak meyakinkan hatinya. Kebenaran dalam Islam itu bukan soal mayoritas minoritas. Bukan soal “kuasa menguasai”. “Keras kepala atau tidak keras kepala”, mayoritas belum tentu benar dan minoritas belum tentu salah. Belajarlah dari kasus “arah Qiblat” di awal 1900an. Segolongan kecil umat Islam baru sadar kiblat mengarah ke barat , bukan kearah sebenarnya (barat laut). Semua juga tahu saat itu mereka dimusuhi, diledek, dicap sesat, nyeleneh, ngga kompak dan komentar2 negatif lainnya. Akhirnya 100 tahun (2010) kemudian setelah ada GPS , satelit dll nah baru sadar kiblatnya benar ke Barat laut. Terbalik kan? Golongan yang dulu dicap “ngga kompak” sekarang diikuti mayoritas. Itupun masih ada yang bilang, “Wah umat islam lebih percaya GoogleEarth ketimbang Kyai”. Poinnya adalah, untuk masalah yg cukup simple saja masyarakat Indonesia perlu 100 tahunan untuk bersatu apalagi masalah2 seperti hilal, mungkin perlu 200-300 tahun. Wallahulam.

    So intinya, biarkan sajalah waktu membuktikan siapa yg lebih benar. Bisa jadi MD yang benar bisa jadi yg lain yang benar. Kita hanya bisa “mengupayakan” terjadi kesamaan. Kalau mentok ya silahkan berbeda, tak usahlah dibesar2kan. Apalagi argumentasinya sama2 kuat. Semangatnya sama : semua pengen mencari mana yang lebih benar. Selain itu tidak ada yang membenarkan prinsip : “lebih baik salah berjamaah daripada benar tapi sendirian”. Coba tunjukan ulama yang berani ngomong begitu? That’s why banyak madzab, banyak aliran2 di Islam. As long as semua punya argumentasi dalil yang kuat dan syari ya biarkanlah.

    Kemudian didiklah putra-putri anda fisika, kimia, geografi dll. Supaya pinter teknologi dan bisa menciptakan alat yang mampu mengamati bulan pd derajat yang rendah. Syukur lagi bisa sampai ke bulan kaya Neil Amstrong. Biarlah bapak2nya saja saat ini yang masih ribut2 soal lihat bulan hehehehe.

    Sekarang ganti saya yang nanya ya:

    Untuk 2012 kan kemungkinan penganut WH (MD) puasanya duluan. Pertanyaaanya : Lailatul Qadr 1433 H (tgl 21, 23, 25, 27, 29 ramadhannya) nanti malaikat ikut versi MD apa versi pemerintah ya?

    Wallahualam bishawab.

    • mbah sastro ki nek ngular2i dowo banget. tapi apik mbah. dan terakhir kuwi…lucu. (malaikat-e melu ngguyu… atau malah bingung…?
      semoga saja sampeyan tidak dithuthuki saja hahaha)

    • ni baru komen, memberikan data bandingan yang jelas

  16. Syarif….bukti empirik itu seperti apa sih? Bulan harus terlihat oleh mata? Bapak bisa membuktikan secara empirik adanya angin? Tidak kan? Kecuaali hanya melihat pohon bergoyang, atau badan terasa dingin kena sentuhan angin. Kalau anda menyatakan bahwa pohon bergoyang itu sebagai bukti empirik, saya juga bisa menjelaskan begini. Setiap pergantian bulan qomariah itu selalu ditandai oleh peristiwa/gejala alam lainnya. Orang yang tinggal di tepi pantai (terutama orang tua dulu) bisa dan biasa merasakan gejala itu. Demikian juga tanggal 1 syawal, selalu ditandai gejala alam (pagi itu udara tenang, pohon boleh dikatakan tidak goyang sama sekali). Makanya, ada sekelompok ummat yang menetapkan hari raya berdasarkan gejala alam. Metode deteksi gejala alam ini hampir selalu benar (sesekali keliru). Kita saja yg hidup di jaman teknologi, yang tidak mau lagi peka terhadap gejala alam. Konon, binatang penghuni gunung berapi itu tahu kalau gunung mau meletus. Orang2 tua dulu sangat peka terhadap gejala alam.

    Jadi, hari raya dapat dibuktikan dengan perubahan cuaca, angin dll, dan orang2 yang hidup di tepi pantai sangat peka dan paham dg gejala2 alam itu. Mungkin pak Thomas perlu juga belajar tentang gejala2 alam untuk memperkuat ilmu astronominya. Sayangnya, orang sekarang sudah tidak mau tahu dengan gejala2 alam yang langsung dirasakan, wajar jika terjadi bencana akhirnya banyak korban. Jika kita mempu menangkap gejala2 alam, mungkin bisa mereduksi jumlah korban jika bencana alam terjadi. Dengan teknologi, kita belum bisa memprediksi secara akurat besarnya curah hujan yang akan terjadi. Jika teknologi sudah mampu mendeteksi besarnya curah hujan yang akan terjadi dan dampak ikutannya (banjir), mungkin kita bisa mengungsikan masyarakat yang akan terkena dampaknya. Ketajaman membaca gejala alam dapat membantu pantauan oleh teknologi. Jadi kita juga tidak boleh pongah mengagungkan teknologi. Jadi hisab wujudul hilal (bulan baru) dapat dibantu pembuktiannya dengan mendeteksi perubahan alam, terutama di wilayah pesisir.

    • Yth Pak Prasojo, terima kasih atas sanggahannya. Bukti empirik adalah bukti yang didapat dari hasil pengamatan. Pengamatan disini dilakukan oleh panca indera kita Pak tidak hanya oleh mata.

      Bukti empirik adanya angin adalah yang seperti Bapak sebutkan, yaitu: pohon bergoyang, badan terasa dingin kena sentuhan angin, awan bergerak, dll. Contoh lain lagi, katakanlah salah satu produk parfum ingin mencoba produk baru. Untuk mendapatkan data empirik dari produk tersebut, maka dilakukan percobaan dengan meminta orang untuk meresponse aroma dari produk baru yang akan ditawarkan. Kesimpulan dari hasil percobaan tersebut adalah bukti empirik sebelum produk baru itu dipasarkan, jadi tidak harus selalu dengan mata. Tetapi dapat diamati oleh panca indera.

      Memang sepertinya judul tulisan Pak Thomas “mengecilkan” arti dari metode wujudul hilal. Seakan-akan pemahamannya adalah bahwa wujudul hilal itu tidak ada pembenarannya. Tetapi coba dibaca lagi perlahan-lahan. Secara sederhana Pak Thomas (mungkin) hanya ingin mengatakan bahwa hilal berdasarkan metode Wujudul Hilal tidak dapat diamati (empirik), karena berdasarkan perhitungan (analitik/theori) metode wujudul hilal, hilal itu telah “wujud” beberapa saat setelah terjadi konjugasi (CMIIW). Pertanyaan saya ke Pak Prasojo, apakah Bapak dapat mengamati hilai yang telah “wujud” dari saat setelah terjadinya konjugasi sampai dengan batas sudut hilal itu dapat teramati?

      Demikian, mohon maaf apabila ada kata-kata saya yang kurang berkenan. Saya pun masih dalam tahap belajar jadi bisa saja ada kesalahan dalam tulisan saya ini, mohon koreksinya, terima kasih.

      Wallahu’alam…

  17. Jadi kalau ada yang mengatakan purnama tidak bisa untuk membuktikan penetapan awal bulan itu keliru besar. Purnama itu memang fenomena bulan (penampakan bulan). Tapi sesungguhnya itu fenomena astronomis yang luas dan dampaknya secara langsung ke bumi. Di bumi, salah satunya ditandai dengan peristiwa air laut perbani (air tenang). Pada saat itu air tidak bergerak dan nelayan tidak turun melaut, karena hasilnya ”pasti” minim. Masa ini biasa disebut masa nelayan istirahat, dan waktunya sekitar 5 hari.

    Bagaimana menentukan puncak purnama? Mudah. Ukur ketinggian permukaan air laut dari waktu ke waktu selama masa perbani itu. Pada saat air mencapai ketinggian maksimum, itulah puncak purnama. Purnama ”semestinya” terjadi pada puncak atau pertengahan bulan. Jadi kalau dirunut ke belakang, itulah awal bulan qomariah.

  18. Pak Syarif…saya sudah tulis/jelaskan, pergantian bulan itu dapat dibuktikan dengan mengamati gejala2 alam di bumi. Gejala alam itu seperti air laut, angin, suhu udara dsb. Bagi orang pesisir, hal itu sangat terasa karena mereka sehari2 mengalami perubahan itu. Kalau kita di daerah daratan/pegunungan memang sulit merasakannya. Adalah terlalu pongah menganggap hilal (atau persoalan bulan qomariah) itu monopolinya ahli astronomi. Pergantian bulan baru qomariah dapat dijelaskan secara hidro-oseanografi. Hal yang sama untuk bulan purnama. Jika kita sulit membedakan bulatan bulan purnama pada tanggal 14 – 16, kita bisa mengeceknya lewat tinggi muka air laut saat fase pasang perbani. Insyaallah, laut tidak akan bohong (asal tidak hujan). Ini juga bukti empirik. Makanya kalau pak Thomas mengatakan, wujudul hilal itu tidak ada bukti empiriknya, sama saja pak Thomas menganggap keberadaan angin itu tak ada bukti empiriknya. Makanya saya menyarankan kpd pak Thomas, cobalah belajar sedikit dengan masyarakat pesisir. Mereka banyak yang paham koq soal gejala alam terkait dg perubahan bulan baru komariah.

  19. Terima kasih Pak Prasojo, menarik sekali pencerahannya. Tidak apa-apa yah Pak kalau saya terus bertanya dan beragumen sesuai dengan pemahaman saya yang masih dalam tahap belajar.

    Kalau boleh saya simpulkan, jawaban Pak Prasojo dari pertanyaan saya sebelumnya: “apakah Bapak dapat mengamati hilai yang telah “wujud” dari saat setelah terjadinya konjugasi sampai dengan batas sudut hilal itu dapat teramati?”, jawabannya adalah bahwa hilal telah wujud dapat diamati secara empirik dengan perubahan gejala alam salah satunya adalah pasang surut (mohon dikoreksi apabila salah).

    Kalau menurut saya ko’ konteksnya beda yah Pak. Ada 2 point dari perhitungan (hisab) yang disetujui oleh metode Wujudul Hilal (WH) dan metode Imkanur Ru’yah (IR) yaitu:
    1) Konjungsi (Ijtima’) telah terjadi pada tgl 29 Agustus 2011 pada pukul 03:04 GMT (atau 10:04 WIB), dan
    2) Bulan telah berumur sekitar 8 jam saat melewati Wilayah Indonesia bagian barat (ini dapat dilihat dari gambar-gambar yang banyak beredar di internet).
    Artinya baik WH maupun IR “mengakui” telah terjadi pergantian bulan baru (new moon). Pernyataan bahwa pergantian bulan baru (new moon) dapat dibuktikan secara empirik melalui proses pasang surut saya yakin tentunya diakui oleh pihak pengusung metode WH dan IR.

    Hanya dalam tulisan diatas, Pak Thomas tidak membuat pernyataan bahwa bulan baru (new moon) tidak ada dasar pembenaran empiriknya. Judul tulisan Pak Thomas adalah “Wujudul Hilal tidak ada dasar pembenaran empiriknya”. Pertanyaannya kemudian apakah bulan baru sama dengan wujudul hilal? menurut saya tidak sama. Bulan baru adalah suatu proses alami, sedangkan WH adalah suatu metode/theori.

    Kenapa berbeda? seperti yang Pak Prasojo jelaskan melalui proses pasang surut, bahwa saat terjadinya bulan baru (new moon/konjungsi) maka dapat mengakibatkan terjadinya pasang tertinggi DAN surut terendah. Apakah pasang dan surut itu terjadi sekaligus saat proses konjungsi? tentunya TIDAK. Silahkan dikoreksi melalui situs prediksi pasang surut online yang banyak di internet. Pada point 1 di atas kita sepakat bahwa konjungsi terjadi pada jam 10:04 WIB. Akan tetapi pasang tertinggi pada saat itu (untuk daerah Jakarta dan sekitarnya) terjadi sekitar jam 07:22 WIB dan surut terendah terjadi sekitar jam 13:55 WIB, dan bukan pada saat terjadinya konjungsi (jam 10:04 WIB).

    Kemudian sebagai suatu metode, WH mensyaratkan 2 hal dalam penentuan bulan baru Hijriyah (jadi inilah mengapa saya sebut metode, karena bulan baru itu sendiri adalah proses alami):
    1) Ijtima’ (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima’ qablal ghurub), dan
    2) Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.
    Kalau dikembalikan kepada proses pasang surut sebagai bukti empirik, kita lihat pada syarat-syarat metode WH tersebut. Point pertama telah dijelaskan TIDAK DAPAT dibuktikan dengan pasang surut, karena saat terjadi konjungsi (Ijtima’) bukan pada saat pasang tertinggi atau surut terendah, akan tetapi diantara keduanya yang tentunya sangat sulit untuk diamati. Pada point 2 disyaratkan bahwa bulan terbenam setelah matahari terbenam, maka di daerah Jakarta dsk, bulan terbenam sekitar jam 18:05 WIB (waktu maghrib), akan tetapi pada jam tersebut bukan saat terjadinya pasang tertinggi maupun surut terendah. Puncak pasang terdekat terjadi pada jam 19:58 WIB, akan tetapi ini bukan pasang tertinggi (karena sudah melewati saat konjungsi). melainkan mendekati rata-rata puncak pasang yang umum terjadi di daerah tersebut. Karena tidak bisa dibedakan dengan puncak pasang yang lain, tentunya sulit kalau itu dikatakan sebagai bukti empirik.

    Selain itu permasalahannya kan pada kata ru’yat (ini wilayah Fiqh, saya belum paham), dimana metode WH mengatakan TIDAK PERLU. Jadi dalam konteks tulisan Pak Thomas ini (menurut saya) yang dimaksud sebagai bukti empirik adalah bahwa metode WH tidak dapat di ru’yat. Berarti diamati dengan cara melihat hilal. Apakah karena Islam muncul di daerah gurun, sehingga tidak ada perintah untuk melihat pasang surut saat terjadi pergantian bulan hijriyah?… Wallahu’alam…

    Demikian, mohon maaf apabila ada kata-kata saya yang kurang berkenan, mohon koreksinya, terima kasih.

  20. Pak Syarif….saya sendiri kurang begitu memahami gejala2 alam (pasut, angin, cuaca dll) karena saya memang tidak lahir di kawasan pesisir. Utk soal ini, saya hanya mendapat keterangan dari teman yang kebetulan lahir di pesisir. Menurut dia, pergantian bulan baru itu ada tanda2nya (dia tidak menyebut secara tegas ditandai pasang surut air laut, tapi lebih kepada perubahan cuaca). Tentu, ini tidak semua bisa mengidentifikasinya. Orang2 tertentu yang bisa merasakannya, boleh jadi mereka suka mengamatinya. Sama halnya, tidak semua orang mengamati model pergerakan benda2 langit, makanya dulu pakar ilmu falak juga hanya sedikit. Tidak semua orang menjadi pengamat benda2 langit khan?Ini menyangkut minat dan concern seseorang pada suatu masalah.

    Soal pasang surut itu secara tegas saya kaitkan dengan purnama. Kalau ini memang saya yg punya pendapat, karena saya saat ini tinggal di wilayah pesisir (saya sendiri lahir di gunung) dan yang sering saya amati hanyalah saat pasang perbani (masa bulan purnama). Saya penasaran, mengapa nelayan tidak melaut. Informasi dari nelayan, saat itu pasti hasilnya minim makanya mereka lebih baik istirahat di rumah.

    Pada saat pasang perbani (purnama), arus air laut boleh dikatakan tidak ada (stagnan). Sesungguhnya arus pasang surut tetap ada, tetapi perbedaan antara pasang tertinggi dan surut terendah sangat kecil, berbeda dg bulan baru atau bulan mati (gelap). Nah, saat pasang perbani inilah dapat digunakan untuk mengecek puncak purnama. Karena dari tanggal 13 an hingga 16 an, meski dikatakan tidak ada arus pasang surut (arus pasang surut kecil), tapi permukaan air laut terus bergerak naik dan kemudian terus menyurut. Saat muka air laut tertinggi itulah, saya meyakini itu puncak purnama (full moon). Kesimpulan saya, purnama bisa diketahui puncaknya (dari parameter air laut) dan saya berkeyakinan, purnama (puncaknya) tidak mungkin terjadi pada tanggal 14 atau 16, apalagi 13. Puncak purnama harus terjadi pada tanggal 15. Jika menurut hitungan, puncak purnama terjadi pada tanggal 14, 16 dan apalagi 13, maka hitungan itu keliru (penetapan awal bulan keliru). Wallahu ‘alam

    • Terima kasih Pak Prasojo, menarik sekali uraiannya. Saya jadi tertantang untuk banyak membaca. Akan tetapi, saya sepakat dengan Pak Prasojo, bahwa pergantian bulan baru (new moon) sebagai suatu proses alami memang ada tanda-tandanya. Metode Wujudul HIlal (WH) maupun metode Imkanur Ru’yah (IR) pun SEPAKAT bahwa telah terbentuk bulan baru (new moon) yaitu terjadinya konjungsi pada tgl 29 Agustus 2011 jam 10:04 WIB, dan bulan baru (new moon) telah berumur sekitar 8 jam saat melewati wilayah Indonesia bagian barat.

      Tapi kan Pak Pras, permasalahannya adalah perintah untuk “melihat” HILAL itu sendiri. Menurut saya, ada 2 perbedaan mendasar disini (ini pemahaman saya, mohon koreksinya), yaitu perbedaan dalam cara “melihat” hilal antara WH dan IR, serta perbedaan “memahami” hilal itu sendiri.

      WH “melihat”-nya dengan melalui perhitungan (hisab) berdasarkan kriterianya, kemudian dari perhitungan tersebut disimpulkan telah terbentuk bulan baru yang di-“pahami” bahwa apabila bulan baru terbentuk maka fase awalnya adalah pasti berbentuk hilal (bulan sabit) TANPA harus dilihat dengan mata.

      Sedangkan IR “melihat”-nya selain menggunakan perhitungan, juga diperkirakan apakah hilal dapat terlihat dengan mata (baik dengan mata telanjang maupun dengan bantuan teropong) atau tidak. IR memahami bahwa hilal itu adalah proses alami dari patulan matahari yang mengenai sebagian kecil permukaan bulan yang TERLIHAT dari bumi.

      Kemudian secara sederhana, saya memahaminya sebagai rumusan berikut (mohon koreksinya) :

      metode WH = PERHITUNGAN (hisab bahwa bulan baru sudah terbentuk) + HIPOTESA (bahwa kalau bulan baru terbentuk, pastinya hilal terbentuk TANPA harus dilihat lagi)

      metode IR = PERHITUNGAN (hisab bahwa bulan baru sudah terbentuk) + HIPOTESA (bahwa kalau bulan baru terbentuk pastinya hilal terbentuk tetapi perlu pembuktian) + PEMBUKTIAN EMPIRIK (rukyat, hipotesa hilal sudah terbentuk harus dapat terlihat/teramati)

      Kemudian Pak Thomas dalam tulisan ini menyanggah orang-orang yang mencoba mencari pembenaran empirik terhadap metode WH dengan membuat judul tulisan “Wujudul Hilal tidak ada dasar pembenaran empiriknya”, karena dari metode yang digunakannya pun memang metode WH TIDAK MEMBUTUHKAN pembuktian empirik. Jadi yang di kritik oleh Pak Thomas adalah metodenya, kalau memang tidak perlu pembuktian empirik, kenapa harus mencari pembenaran dengan bukti-bukti empirik.

      Kalau mengenai pasang surut, mudah-mudahan kita tidak terlalu jauh membahasnya. Tetapi apakah pasang perbani = pasang purnama menjadi pertanyaan juga, mungkin ini hanya masalah istilah. Sepengetahuan saya pasut perbani (neap tide) berbeda dengan pasut purnama (spring tide). Dalam tide cycles terjadi 2 kali pasut perbani dan 2 kali pasut purnama. Menariknya pasut purnama ini terjadi saat bulan purnama dan juga saat konjungsi (Ijtima’). Pasut itu sendiri tidak hanya dipengaruhi oleh gravitasi bulan dan matahari, tetapi juga oleh gaya koriolis akibat perputaran bumi. Apakah puncak purnama pasti terjadi saat air pasang paling tinggi? menurut saya belum tentu Pak. Pada komentar saya sebelumnya, saya telah mencontohkan bahwa saat puncak terjadinya konjungsi (bulan mati) justru bukan saat pasang tertinggi maupun surut terendah.

      Demikian, terima kasih atas uraian dan sanggahan Pak Prasojo, mohon maaf apabila ada kata-kata saya yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya, terima kasih.

      Wallahu’alam…

      • Alhamdulillah oleh pak Syarif sudah dapat dirumuskan tentang HISAB WH dan HISAB IR seperti kutipan berikut :

        Kemudian secara sederhana, saya memahaminya sebagai rumusan berikut (mohon koreksinya) :

        metode WH = PERHITUNGAN (hisab bahwa bulan baru sudah terbentuk) + HIPOTESA (bahwa kalau bulan baru terbentuk, pastinya hilal terbentuk TANPA harus dilihat lagi)

        metode IR = PERHITUNGAN (hisab bahwa bulan baru sudah terbentuk) + HIPOTESA (bahwa kalau bulan baru terbentuk pastinya hilal terbentuk tetapi perlu pembuktian) + PEMBUKTIAN EMPIRIK (rukyat, hipotesa hilal sudah terbentuk harus dapat terlihat/teramati)

        Kalo kita melangkah ke wilayah Fiqih (maaf OOT dikit), karena perdebatan ini berujung pada ibadah, yaitu terkait dengan hadits tentang mulai puasa/sholat dengan rukyat hilal, maka (menurut saya)

        1. metode WH lebih konsisten mengikuti dalil-dalil Naqli (Qur’an dan Hadits yang terkait dan sudah banyak dibahas). Metode WH menerjemahkan hadits tersebut dengan Ru’yat bi Ilmi.

        2. sedangkan metode IR, kayaknya kurang konsisten dengan dalil-dalil Naqli. Hadits tentang Ru’yat itu diterjemahkan apa ? Ru’yat bi Ilmi atau Ru’yat bi Fi’li ? Kalo “bi Ilmi” kenapa harus ada kriteria 2 derajat dll, sementara > 0 derajat kan hilal sudah wujud (secara hisab). Sedangkan Kalo “bi Fi’li” ada kendala dengan pengakuan saksi hilal dan dasar perhitungan untuk visibility hilal.

        Jadi kalo dulu (tahun 70~80 an, saya masih kecil di Yogya, bapak Muhammadiyah, ibu NU) hanya ada 2 kelompok yaitu penganut Hisab dan Ru’yat, maka sekarang ada 3 kelompok yaitu penganut Hisab WH (utamanya MD), Ru’yat murni (sebagian NU) dan Hisab IR (pemerintah). Kelompok Hisab IR ini kayaknya “kelompok bingung”.

        Jadi wajar kalo MD masih berpegang pada Hisab WH karena karena konsep Hisab IR ini masih belum menemukan format yang bisa jadi pegangan sekian juta warga MD. (Ini yang saya pahami dari press release MD terkait Idul Fitri kemarin)

        Mohon maaf dengan kata-kata saya. Diskusi lanjut

      • Pak Nur yang saya hormati, terima kasih banyak atas sanggahannya. Saya kan tidak menjustifikasi mana yang benar antara WH dan IR, karena selain wilayah ilmu juga ada wilayah Fiqh. Awal diskusi saya dengan Pak Prasojo kan mengenai tulisan Pak Thomas diatas, kemudian saya mencoba membuat rumusan sederhana tersebut, supaya saya juga lebih mudah memahaminya. Saya masih dalam tahap belajar dan pemahaman saya juga masih sedikit, kalau oleh Pak Nur dibawa ke wilayah Fiqh, apalagi kalau nanti dikeluarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist, wah terus terang saya benar-benar belum paham, jadi saya tidak berani berdiskusi di wilayah tersebut, mohon maaf ya Pak Nur.

        Kalau boleh saya simpulkan, Pak Nur sepakat ya Pak dengan rumusan sederhana saya, hanya kalau menurut Pak Nur perlu ditambahkan dengan rumusan dalam wilayah Fiqh (mohon koreksinya).

        Pak Nur menambahkan metode Rukyat Murni (RM) dalam diskusi ini. Seperti telah saya katakan, bahwa perbedaannya yang saya pahami adalah dalam cara “melihat” hilal antara WH dan IR serta RM, Jadi kalau saya coba kembali rumuskan secara sederhana sesuai dengan pemahaman saya, perbedaannya adalah (mohon koreksinya):

        (-) Metode WH : Hilal “terlihat” > 0 derajat,

        (-) metode IR : Hilal “terlihat” > 2 derajat,

        (-) metode RM : Hilai “terlihat” oleh mata telanjang tanpa bantuan teropong pada ketinggian (derajat) yang lebih besar dari metode IR, katakanlah > 8 derajat (mohon koreksinya, karena saya tidak tahu kriterianya).

        Kalau semua metode tersebut tetap berpendirian pada metodenya masing-masing, tentu saja akan selalu terjadi perbedaan. Setuju yah Pak Nur.

        Kalau pertanyaannya kemudian kenapa 2 derajat, yang saya pahami adalah 2 derajat itu kriteria yang disepakati bersama. Kriteria ini dapat berubah asalkan semua orang yang duduk dalam penentuan kriteria setuju dengan hasil kesepakatan tersebut.

        Saya contohkan dengan kesepakatan terhadap penentuan hari pada tahun/kalender masehi. Semua negara sepakat bahwa garis batas hari secara international adalah garis imajiner di samudera pasifik, uniknya garis ini tidak mengikuti garis lurus, tetapi saat melewati kep kiribati garis ini “mendadak” menjadi zigzag mengikuti lingkar luar kepulauan tersebut.

        Kemudian, kalau garis imajiner tersebut adalah garis awal hari, logikanya kan perbedaan waktu pun dihitung dari batas tersebut. Tetapi semua negara sepakat bahwa untuk penentuan perbedaan waktu garis batasnya adalah Greenwich Mean Time (GMT) di kota Greenwich (Inggris). Lebih menarik lagi, garis perbedaan waktu GMT pun bukan garis lurus tetapi zigzag mengikuti batas wilayah politik suatu negara. Contohnya: Singapura berbeda 1 jam dengan Indonesia dan Malaysia, bahkan China yang negaranya (mungkin) lebih luas dari Indonesia hanya memiliki 1 wilayah waktu, bandingkan dengan Indonesia yang memiliki 3 wilayah waktu.

        Saya hanya ingin mengatakan kalau semua sudah sepakat, maka alangkah indahnya kebersamaan. Setuju yah Pak Nur. Oh iya, saya pun lebarannya tanggal 30 Agustus ko’ Pak. Alasan saya sederhana, karena mesjid yang terdekat dengan tempat tinggal saya dan seluruh masarakat muslim di lingkungan saya merayakan Idul Fitri pada tanggal tersebut. Jadi sangat indah ber-hari raya bersama.

        Demikian, mohon maaf apabila ada kata-kata saya yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya, terima kasih.

        Wallahu’alam…

      • Dari sisi ilmu dunia (astronomi dan geografi) yang diungkapkan pak Syarif saya setuju semua. Namun dari sis yang lain ada yang kurang pas menurut saya (maaf tanggapan ini OOT dari diskusi tentang artikel Profesor) :
        1. Paragraf terakhir tentang sholat Id yang karena ikut masyarakat kok kurang pas, seharusnya kita punya alasan sendiri yang kita yakini. Keyakinan ini dijamin kok oleh Al-Qur’an (Kebenaran itu datang dari Tuhan-mu, maka janganlah kamu termasuk orang yang ragu2)
        2. Dalam Islam yang saya pahami, Kebersamaan itu Indah, namun Perbedaanpun juga Tak Kalah Indahnya (selama sikap saling menghormati dalam ukhuwah diutamakan). Toh pada akhirnya hanya kita masing-masing yang akan berhadapan dengan Allah di hari Hisab nanti, tanpa kawan, tanpa saudara juga tanpa Profesor. Hal ini juga dijamin dalam Qur’an (Lakum diinukum waliyadiin, bagimu apa yang kamu yakini dan bagiku apa yang aku yakini).
        Terus jangan salah menilai ya, sesungguhnya Setiap Perbedaan itu Menunjukkan Tanda-Tanda Kebesaran Allah SWT. TIDAK ADA YANG (Paling) BENAR KECUALI HANYA ALLAH. Terus terang saya TIDAK SEPAKAT dengan (pemaksaan) Ide Menyatukan Kalender Hijriyah. Lha wong penerjemahan hadits tentang Hilal aja berbeda kok mau dipaksakan bersatu??? Kalo bisa bersatu ya syukur, kalo tidak ya syukur.
        3. Terkait penilaian saya tentang ketiga metode, saya hanya menilai dan mengklasifikasikan dari apa yang terjadi belakangan ini.
        a. Mereka yang pake Hisab WH (utamanya MD) JELAS metode-nya dan JELAS pula dalil Naqli dan penerjemahannya.
        b. Mereka yang pake Ru’yatul hilal (saudara dari ormas NU wilayah Cakung dan daerah lain), JELAS metode-nya, JELAS dalilnya, dan JELAS pula pelaksanaannya (diakuinya kesaksian perukyah). Saya yakin apabila hilal tidak terlihat di Cakung dan Jepara, maka mereka juga akan menggenapkan puasa 30 hari.
        c. Cuman pemerintah dan penganut hisab IR kayaknya dalam posisi Gamang, sehingga untuk mendapatkan kepastian mereka mengandalkan sidang Isbat. Kenapa kok Gamang, soalnya ada perbedaan antara kesaksian dan dan perhitungan (hisab), dan penganut hisab IR, TIDAK MUNGKIN MENOLAK HASIL HISAB mereka sendiri, alhasil Kesaksian Cakung-lah yang ditolak melalui sidang tersebut.

        Mohon maaf kalo ngelantur

      • Pak Nur, terima kasih atas pendapat Bapak. Ijinkan saya membahas poin-poin yang Bapak sebutkan.

        Untuk poin (1) dan (2) sederhana saja Pak Nur. Kebetulan saya sedeng berdomisili di Negara sahabat (tidak di Indonesia). Di Negara tempat saya tinggal, pemerintahnya memutuskan bahwa Idul Fitri jatuh pada tanggal 30 Agustus 2011, akan tetapi bukan karena rukyat, hanya berdasarkan bahwa Arab Saudi telah memutuskan hal tersebut. Nah apalah saya ini, kalau saya kemudian pergi ke pemerintahan setempat dan mengatakan bahwa saya ingin ber- Idul Fitri pada tanggal 31 Agustus karena saya orang Indonesia, mungkin saya akan ditertawakan Pak. Apalagi kalau nantinya saya harus sholat Ied sendirian, kan lebih baik bersama-sama, bukan begitu Pak Nur.

        Mengenai poin (3), kalau penjelasan Bapak berdasarkan ilmu Fiqh, mohon maaf saya tidak dapat beradu argumentasi, nantinya saya malah ditertwakan Pak. Tetapi rumusan saya yang saya tulis sebelumnya itu ternyata kurang tepat. Kalau saya mencoba menuliskan kembali rumusan sederhana mengenai ketiga metode tersebut (Wujudul Hilal (WH), Imkanur Rukyat (IR) dan Rukyat Murni (RM)), harusnya seperti berikut (mohon koreksinya):

        (-) Metode WH : Hilal “terlihat” > 0 derajat di atas ufuk,

        (-) Metode IR : Hilal “terlihat” > 2 derajat diatas ufuk, Jarak bulan-matahari > 6,4 derajat dan beda tinggi bulan-matahari > 4 derajat,

        (-) Metode RM : Hilai “terlihat” oleh mata telanjang tanpa bantuan teropong pada ketinggian (derajat) yang lebih besar dari metode IR, katakanlah > 8 derajat (mohon koreksinya, karena saya tidak tahu kriterianya) tanpa perlu perhitungan.

        Mohon maaf, dari rumusan baru tersebut ko’ saya melihat metode IR lebih komprehensif yah Pak Nur. Kenapa saya katakan demikian, karena kita harus sepakat dulu bahwa Bulan itu adalah benda planet yang TIDAK memancarkan cahaya. Bulan itu selalu ada, tetapi bulan terlihat di Bumi saat cahaya matahari DIPANTULKAN oleh permukaan bulan. Saat cahaya dipantulkan tersebut, artinya posisi bumi-bulan-matahari membentuk suatu sudut sehingga pantulan cahaya matahari sampai di bumi. Sudut ini tidak hanya terbentuk karena bulan sudah di atas ufuk, tetapi juga pengaruh dari sudut elongasi dan elevasi. Kriteria perhitungan (hisab) elongasi dan elevasi ini ternyata hanya ada di IR.

        Demikian, terima kasih atas uraian dan sanggahan Pak Nur, mohon maaf apabila ada kata-kata saya yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya, terima kasih.

        Wallahu’alam…

      • @Syarif

        Sekarang apakah definisi “terlihat” ini? Saya persilakan untuk mempertimbangkan kasus di bawah ini:
        – Pengamatan menggunakan infra merah dan olah citra (lihat hasil terakhir di halaman paling bawah), dalam atmosfer bumi (elongasi 4.75 derajat)
        http://www.mondatlas.de/other/martinel/sicheln2007/crescent_june.html
        – Pengamatan dari luar atmosfer bumi (elongasi 2 derajat)
        http://adsabs.harvard.edu/abs/1967AJ…..72U.808K

        Keduanya menunjukkan sebuah observasi yang dianggap tidak mungkin dalam kriteria imkanu rukyat Pak Djamaluddin. Apakah yang seperti di atas masih dalam kriteria terlihat? Mungkin sebagian orang menganggapnya tidak, sedang saya menganggap ya. Misalnya kita bisa menggunakan dua alat observasi secara bersamaan, saya kira kriteria “terlihat” nya hilal akan semakin mendekati konsep wujudul hilal. Atau mungkin saya yang salah, karena wujudul hilal sudah terlanjur metode yang kuno dan usang.

  21. HIDUP WUJUDUL HILAL !!!!!!!

  22. Syarif….wujudul hilal tidak memerlukan pembuktian empirik (atau istilah pak Thomas : wujudul hilal tidak ada pembenaran empiriknya). Benar. Tapi tidak berarti penentuan bulan baru berdasarkan wujudul hilal itu tidak dapat diuji. BISA. Salah satunya dengan pengecekan bulan purnama.

    Saya analogikan begini. Pak Syarif berangkat dari Tol Kemayoran menuju Bandara dengan kecepatan rata-rata 120 Km/Jam (anggap kecepatan mobil pak Syarif konstan). Pak Syarif tiba di Bandara pada pukul 10 pagi. Jarak Tol Kemayoran – Bandara misalnya 80 Km. Pak Syarif bisa menghitung kapan berangkat dari Tol Kemayoran bukan (tanpa harus ingat jam berapa berangkatnya)? Demikian juga purnama.

    Soal pasut perbani atau pasut purnama, barangkali perlu penelitian lebih lanjut. Tapi sementara, saya masih berkeyakinan bahwa pasut perbani/purnama bisa untuk membuktikan puncak purnama. Rasanya nggak lucu ya….puncak purnama misalnya malam tadi, tapi pasang purnama baru malam nanti.

    • Alhamdulillah, terima kasih atas uraiannya Pak Prasojo. Senang saya berdiskusi dengan Pak Prasojo, karena hasil diskusi kita telah membuahkan 2 hal dimana kita bersepakat, yaitu:

      (1) Pergantian bulan baru (new moon) sebagai suatu proses alami terdapat tanda-tandanya, dan

      (2) Wujudul Hilal tidak memerlukan pembuktian empirik (atau istilah pak Thomas : wujudul hilal tidak ada pembenaran empiriknya) adalah Benar.

      Ini membuktikan kalau perbedaan itu dibicarakan dengan baik, pasti akan membuahkan hasil. Artinya kita juga sepakat bahwa pada tulisan ini yang dikritik Pak Thomas adalah metode-nya dan BUKAN organisasinya kan. Karena kita kan hanya membahas tulisan diatas ini saja dan bukan tulisan-tulisan Pak Thomas yang lain….setuju yah.

      Mengenai bahan diskusi kita berikutnya, saya quote tulisan Pak Prasojo: “Tapi tidak berarti penentuan bulan baru berdasarkan wujudul hilal itu tidak dapat diuji. BISA. Salah satunya dengan pengecekan bulan purnama.” … serta analogi: “Pak Syarif berangkat dari Tol Kemayoran menuju Bandara dengan kecepatan rata-rata 120 Km/Jam (anggap kecepatan mobil pak Syarif konstan). Pak Syarif tiba di Bandara pada pukul 10 pagi. Jarak Tol Kemayoran – Bandara misalnya 80 Km. Pak Syarif bisa menghitung kapan berangkat dari Tol Kemayoran bukan (tanpa harus ingat jam berapa berangkatnya)? Demikian juga purnama.”

      Sekarang pertanyaan saya, apakah Pak Prasojo pernah menghitung kapan puncak purnama berdasarkan analogi Bapak (yaitu perjalanan dari tol kemayoran menuju bandara)? Kalau Pak Prasojo pernah menghitungnya, yaitu dari mulai terjadinya konjungsi (ijtima’) sampai dengan pertengahan bulan, maka puncak purnama untuk wilayah Jakarta jatuh pada tgl 12 September 2011 sekitar jam 16:27 WIB… artinya jam 4 SORE!!!… sedangkan kalau dikaitkan dengan pasut, maka pasang tertinggi pada tanggal yang sama terjadi pada sekitar jam 20:09 WIB.

      Kalau Bapak konsisten dengan analogi Bapak, maka telah terbukti puncak purnama TIDAK TERJADI saat pasang tertinggi.

      Demikian, mohon maaf apabila ada kata-kata saya yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya, terima kasih.

      Wallahu’alam…

  23. Pembuktian empiriknya… Tinggal diuji saja Ilmu Astronomi Penghitungan Hisab nya… Tepat tidak…

    Coba uji dengan menghitung gerhana… tepat tidak…

    Coba uji dengan menghitung hilal yang bisa mudah dilihat mata… terus ukur hilal yang terlihat mata tersebut dengan teodolit atau alat ukur apa saja…berapa derajat berapa derajatnya… berapa tingginya berapa azimutnya…
    Terus cocokin dengan hasil penghitungan Astronomi tadi… cocok nggak ?… Kalo cocok ya sudah… KASUS SELESAI…

  24. Pak Syarif….Boleh jadi. Tapi persoalannya puncak purnama tanggal 12 September 2011 jam 16.27 itu posisi bulan dimana? Masih dibawah ufuk kan? dan jangan lupa, menghitung hari qomariah itu dimulai sejak matahari terbenam. Ingat, pada saat matahari terbenam pada tanggal 11 September 2011 hingga matahari terbit tanggal 12 September 2011, bulan belum purnama khan? Makanya, mau tidak mau purnama dihitung sejak sore/malam harinya (tgl 12 September) meskipun sesungguhnya purnama menurut hitungan terjadi pada jam 16.27 tanggal 11 September. Artinya, hari purnama dihitung sejak terbenam matahari tanggal 12 September. Hal ini sejalan dengan pembuktian software astronomi, bahwa bulan purnama muncul di langit sekitar waktu isya tanggal 12 September, artinya antara mulai kemunculan purnama di langit dengan terjadinya puncak pasang purnama menjadi KLOP yaitu sekitar waktu isya, atau menurut data anda jam 20.09. Karena pada saat puncak purnama jam 16.27 itu bulan masih di bawah ufuk, otomatis tidak menjadikan air laut mencapai puncak. Puncak air laut terjadi setelah bulan muncul di langit. Bagaimana? Setuju khan?

    • Pak Prasojo… tuh kan Bapak curang ah, saya ngambek nih (maklum Pak saya masih anak kecil). Saya kan sedang belajar, makanya saya mencoba memahami diskusi kita berdasarkan analogi Pak Prasojo. Kata Pak Prasojo, dalam analoginya menghitung kecepatan dari Tol Kemayoran ke Bandara artinya kan dari satu titik di tol kemayoran ke satu titik di Bandara, kenapa jadi meloncat dari beberapa titik setelah tol kemayoran menghitungnya Pak, wah jadi bingung saya.

      Kemudian, kita sepakat bahwa konjungsi terjadi pada jam 10:04 WIB artinya masih dibawah ufuk juga, kemudian Pak Prasojo mengatakan bahwa hilal sudah terbentuk karena sudah > 0 derajat. Tetapi kenapa Puncak Purnama yang terjadi pada jam 16:27 WIB Bapak tolak dengan alasan masih di bawah ufuk? padahal kan Bulan Purnama pada saat itu sudah “wujud” Pak, walah bingung saya Pak.

      Kemudian sekarang Pak Prasojo memunculkan istilah baru yaitu “hari purnama”. Waduh tambah bingung saya pak kalau terlalu banyak istilah. Karena kalau kemudian disebut sebagai hari purnama, nanti bisa saja dikatakan bahwa hari purnama itu adalah tanggal 13,14,15 dan 16.

      Kemudian Pak Prasojo juga mengatakan, saya quote: “Hal ini sejalan dengan pembuktian software astronomi, bahwa bulan purnama muncul di langit sekitar waktu isya tanggal 12 September,…” waduh berarti bulan purnama yang jam 16:27 itu tidak muncul di langit yah Pak… waduh semakin bingung saya nih Pak. Karena kan katanya hilal itu TIDAK PERLU dilihat tetapi kenapa purnama menjadi PERLU untuk dilihat, wah engga fair dong Pak Prasojo, kasihan si Hilal, apa karena Purnama lebih indah dan menarik jadi harus terlihat.

      Mengenai pasut, saya bertanya dulu deh ke Pak Prasojo. Kalau saya katakan bahwa ada satu titik di bumi yang mengalami puncak pasang tertinggi 2 HARI setelah puncak purnama, Bapak percaya engga?

      Demikian, mohon maaf apabila ada kata-kata saya yang salah dan kurang berkenan karena semua itu hanyalah pemahaman saya semata, mohon koreksinya, terima kasih.

      Wallahu’alam…

  25. Hari purnama maksudnya jika setelah terbenam matahari dan muncul bulan purnama, maka sejak saat itu dimulai hari (tanggal) purnama. Bapak sulit membedakan hari dg tanggal? jangan bingung pak.

    Konjungsi harap dibedakan dengan wujud. Wujudul hilal itu disyaratkan sbb : 1) telah terjadi konjungsi. 2) Konjungsi terjadi sebelum matahari terbenam. 3) Bulan terbenam belakangan dari matahari. Inilah yang disebut wujud. Jadi wujud tidak sama dengan konjungsi.

    Tol Kemayoran saya analogikan sebagai ufuk (batas terlihatnya hilal). Dalam hal ini titik start mobil. Bandara saya analogikan sebagai purnama. Bisa dipahami?

    Purnama bisa terjadi dua hari berturut2 tapi pada belahan bumi yang berbeda. Kalau dalam satu kawasan yang sama saya yakin tidak akan terjadi.

    • Pak Prasojo, tahukah Bapak bahwa 3 isyarat wujudul hilal yang Bapak sebutkan itu bukan hanya tidak bisa memenuhi kepastian tampaknya hilal, tetapi juga tidak bisa memenuhi kepastian wujudnya hilal ? Tahukah Bapak bahwa yang dimaksud dengan tinggi hilal oleh Muhammadiyah adalah jarak vertikal titik tertinggi piringan atas rembulan dari garis horizon ? Tahukah Bapak bahwa dengan definisi tinggi hilal seperti itu dan 3 isyarat tsb tidak akan menghasilkan wujudnya hilal ketika terjadi gerhana matahari menjelang maghrib ? Tahukah Bapak bahwa pada saat itu, ijtima’ telah terjadi, matahari tenggelam terlebih dahulu dari rembulan, tinggi hilal sudah positif, tetapi hilal mustahil terwujud karena masih ada bagian rembulan yang beririsan dengan matahari ?

    • Pak Prasojo terima kasih atas pencerahannya. Mohon maaf saya agak sedikit telat dalam mencerna semua komentar Bapak. Maklum Pak namanya juga sedang mempelajari hal baru.

      Saya terus terang bingung Pak dengan penjelasan Pak Prasojo mengenai istilah “hari purnama”. Dasarnya apa yah Pak, bahwa hari (tanggal) purnama itu adalah setelah bulan purnama (saya pahami sebagai setelah terjadinya puncak purnama). Kalau dasarnya adalah persentase cahaya matahari yang dipantulkan, sesaat sebelum puncak purnama itu persentase cahaya yang dipantulkan sama dengan sesudah puncak purnama, artinya hari purnama yang saya pahami adalah hari sesaat sebelum puncak purnama dan hari sesudah puncak purnama. Bagaimana Pak?

      Menurut Bapak, wujud tidak sama dengan konjungsi, setuju saya pak. Pertanyaan saya apa yang dimaksud wujud disini menurut Bapak? Bulan atau Hilal? Karena Bapak mengatakan ada syarat ufuk, berarti wujud disini saya pahami sebagai hilal ya Pak. Artinya sesaat setelah konjungsi bulan baru telah wujud, tetapi hilal belum wujud karena masih di bawah ufuk, begitu kan Pak, mohon koreksinya.

      Secara sederhana saya mencoba menyimpulkan, pemahaman awal saya tentang metode Wujudul Hilal (WH) dimana WH berpendapat sesaat setelah konjungsi maka hilal telah wujud adalah salah. Karena ternyata ada syarat lagi yaitu harus di atas ufuk sebagai syarat kemungkinan terlihatnya hilal. Berarti WH itu sebenarnya “mirip” dengan Imkanur Rukyat (IR) yah Pak, karena sama-sama mensyaratkan batas kemungkinan terlihat di atas ufuk, hanya berapa derajat di atas ufuknya itu yang berbeda. Kalau sudah “mirip”, berarti saya YAKIN, Insya Allah suatu saat keduanya akan bertemu.

      Nah pernyataan Pak Prasojo yang terakhir: “Purnama bisa terjadi dua hari berturut2 tapi pada belahan bumi yang berbeda.” artinya Bapak telah menyimpulkan puncak purnama TIDAK DAPAT dilihat menggunakan pasang surut, setuju yah Pak.

      Demikian, mohon maaf apabila ada kata-kata saya yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya, terima kasih.

      Wallahu’alam…

  26. Pak Syarif…bulan purnama itu mempunyai pengaruh terhadap suatu belahan bumi jika bulan telah muncul di langit. Kalau belum terlihat (masih di bawah ufuk), maka yang akan terpengaruh adalah belahan bumi yang melihat bulan (belahan bumi di sebelah kita). Jadi suatu belahan bumi akan terpengaruh bulan purnama sejak bulan mulai muncul di atas ufuk hingga bulan terbenam kembali di bawah ufuk. Jadi kalau purnama tidak terlihat di kawasan Indonesia, purnama tidak mempengaruhi (signifikan) air laut di wilayah Indonesia. Tapi mempengaruhi belahan bumi yang berseberangan dengan Indonesia (kawasan Eropa, afrika dan amerika), tergantung posisi bulan saat itu di mana. Saya rasa ini mudah dipahami.

    Sama dengan matahari. Pada saat matahari berada di atas Indonesia, ia mempengaruhi (signifikan) permukaan bumi Indonesia, dan tidak mempengaruhi (signifikan) kawasan eropa. Gampangnya, suhu udara Indonesia panas, dan suhu udara eropa dingin. Bener nggak?

    • Pak Prasojo, menarik sekali diskusi dengan Bapak, selalu ada hal baru dalam setiap komentar Bapak yang harus dapat saya pelajari. Sepertinya saya harus mencatat beberapa komentar Bapak berikut ini:

      (1) “bulan purnama itu mempunyai pengaruh terhadap suatu belahan bumi jika bulan telah muncul di langit.”

      Menurut Bapak, boleh tidak saya menyimpulkan bahwa pendapat Bapak adalah theori/hipotesa baru dalam ilmu astronomi.

      (2) “Jadi kalau purnama tidak terlihat di kawasan Indonesia, purnama tidak mempengaruhi (signifikan) air laut di wilayah Indonesia.”

      Ini juga dapat saya simpulkan sebagai theori/hipotesa baru dalam ilmu hidro-oseanografi.

      Saya harus mengucapkan terima kasih terhadap Pak Prasojo atas pencerahannya, mohon maaf apabila ada kata-kata saya yang kurang berkenan karena semua itu hanyalah pemahaman saya semata, mohon koreksinya, terima kasih.

      Wallahu’alam…

  27. Wah…prof Thomas sdh tdk muncul lagi. Saya berkhusnuzon, semoga prof Thomas sdh mengakui kekeliruannya dan sdh memohon ampun kpd Allah swt. Mari kita tunggu pernyataan maaf dari prof Thomas kepada para pembaca/pengunjung blog. Alhamdulillah kalau demikian.

  28. tinggalkan semua yang bersifat berbau perpecahan, jika bijak lebih baik memahami lebih mendalam lewat membaca

  29. Pak Syarif….saya bukan ahli astronomi ataupun ahli oseanografi. Apalagi profesor…jauh banget. Tapi manusia dikaruniai akal pengalaman pengalaman hidup. Oleh karena itu, manusia bebas berfikir dan berpendapat. Berfikir dan berpendapat itu bukan monopolinya profesor, dan juga tidak harus menunggu jadi profesor. Soal alam ini kita tiap hari mengamatinya (bagi yang mau mengamatinya). Jadi kita boleh berpendapat. Dan, kalau pendapat saya benar, bapak silakan amini. Tapi kalau pendapat saya salah, bapak boleh mengesampingkan. Salah berpendapat tidak dosa pak, dan juga tidak akan diancam pidana. Jadi, santai aja.

    Lalu, bapak bingung soal hari purnama? Gampang koq memahaminya. Hari (tanggal) qomariah itu dimulai sejak magrib sampai saat saat menjelang magrib esoknya. Kalau puncak purnama (full moon) misalnya terjadi pada jam 20.00 hingga 21.00 (bulan di atas ufuk), maka malam hari itu disebut malam purnama, dan hari esoknya (siang) juga masih kategori hari purnama (bukan malam purnama). Sesungguhnya, hari qomariah itu lamanya hampir 24 jam. Jadi kalau dari magrib ke magrib berikutnya ada saat puncak purnama dan bulan di atas ufuk, malam dan siangnya disebut hari purnama (tanggal purnama). Mengapa saya menyebut hari? Kalau saya menyebut tanggal, pasti yang kita bayangkan adalah angka. Tapi kalau saya sebut hari, bayangan kita adalah masa dari awal hari sampai akhir hari (magrib sampai magrib).

    Mungkin pak Syarif tidak pernah memperhatikan cara pengisian tanggal lahir pada saat kita mendaftar (sign up) sebuah akun jejaring sosial. Ada yang menyediakan kolom DAYS (bukan DATE). Dan kalau kita klik, yang keluar angka2 dari 1 hingga 31, bukan sunday, monday, dst. Days di situ maksudnya tanggal. Jadi bapak tak perlu bingung kalau saya menyebut hari purnama, maksudnya ya tanggal purnama. Kalau misalnya pada hari senin tanggal 17 Oktober terjadi gerhana matahari dan istri bapak melahirkan, tentu bapak akan menceritakan begini : ”anak saya lahir tepat pada hari gerhana matahari”, bukan ”anak saya lahir tepat pada saat tanggal gerhana matahari”. Yang terakhir malah janggal bukan?

    Atau bapak hanya mengenal malam purnama dan tidak mengenal hari purnama? Hmm….padahal kalau malam hari terjadi purnama, maka siangnya itu disebut juga hari purnama (karena hari itu dimulai magrib hingga magrib berikutnya). Nah, malam besoknya dst tentu tidak bisa disebut malam/hari purnama, karena purnama menurut saya tidak mungkin terjadi pada dua malam berturut-turut, atau dua hari berturut-turut.

    • Pak Prasojo, terima kasih banyak atas pencerahannya. Mengenai hari purnama sudahlah, saya tidak mau berpanjang lebar, karena sepertinya sudah menyimpang dari diskusi kita. Saya lebih tertarik dengan pertanyaan Pak Rois terhadap komentar Bapak. Apakah Pak Prasojo berkenan untuk menanggapi pertanyaan Pak Rois? Mungkin saya dapat mengambil beberapa pelajaran dari tanggapan Bapak terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.

      Satu hal lagi yang menarik dari komentar Bapak (selalu ada hal menarik dari komentar Bapak), saya quote:

      “kalau pendapat saya benar, bapak silakan amini. Tapi kalau pendapat saya salah, bapak boleh mengesampingkan. Salah berpendapat tidak dosa pak, dan juga tidak akan diancam pidana. Jadi, santai aja.”

      Alhamdulillah yah, sesuatu banget pernyataan dari Pak Prasojo ini. Kalau boleh saya meminjamnya dan merubah sedikit kata-katanya, maka kira-kira menjadi demikian:

      “kalau pendapat Pak Thomas benar, Pak Prasojo silakan amini. Tapi kalau pendapat Pak Thomas salah, Pak Prasojo boleh mengesampingkan. Salah berpendapat tidak dosa pak, dan juga tidak akan diancam pidana. Jadi, santai aja.”

      Jadi, mari janganlah kita menghujat dan mencaci maki Pak Thomas, karena pendapatnya. Kemudian tidak ada kewajiban Pak Thomas untuk mengakui kekeliruannya dan memohon ampun kepada Alloh SWT, serta Pak Thomas juga tidak perlu membuat pernyataan maaf kepada para pembaca/pengunjung blog, bukan begitu Pak Prasojo, jadi santai saja.

      Oh iya, maaf satu lagi Pak Prasojo, saya ingin bertanya kepada Bapak. Menurut Pak Prasojo, gambar yang ada di awal tulisan Pak Thomas di atas ini merupakan hasil Hisab Wujudul Hilal atau hasil hisab Imkanur Rukyat? mohon kalau berkenan jawabannya dengan penjelasannya Pak, terima kasih.

      Mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya.

      Wallahu’alam…

  30. Rois….apa dengan metode hisab wujudul hilal (apalagi sekarang sudah ada software astronomi yang akurat) masih juga tidak bisa menentukan apakah hilal sudah wujud atau belum manakala terjadi gerhana matahari saat menjelang magrib? Rasanya koq aneh ya? Berbeda dg metode rukyat, metode ini praktis tdk bisa mengukur tinggi hilal manakala terjadi gerhana matahari. Rasanya kalau metode hisab bisa ya? Saya memang bukan praktisi metode hisab, makanya saya lebih banyak bicara pada tataran logika. Dengan metode hisab (wujudul hilal), kita dapat mengetahui apakah hilal sudah wujud atau belum, pada kondisi apapun (berawan, hujan, gerhana dll). Lha wong dengan metode hisab (wujudul hilal) kita bisa menyusun kalender sepuluh tahun ke depan. Lalu, hanya gara2 gerhana matahari pada senja hari lantas kita terputus kehilangan jejak dan tidak bisa menyusun kalender hijriyah? Waduuuhh….gawat nih ilmu astronomi kalau begini. Semoga tidak ya?

    • Pak Prasojo,

      Sepertinya Bapak tidak begitu faham duduk persoalan sebenarnya mengenai wujudul hilal dan imkaanur-ru’yah ini. Baik Muhammadiyah maupun ormas ormas besar yang lain, saat ini sama sama menggunkana software astronomi yang Bapak sebut itu. Yang membuat berbeda adalah perbedaan kriteria penentuan masuknya bulan baru.

      Kriteria wujudul hilal yang hanya mempersyaratkan tiga hal yang Bapak sebut itu terlalu sederhana; bukan hanya karena ia tidak mampu memastikan tampaknya hilal, tetapi ia juga tidak mampu memastikan wujudnya hilal pada kondisi gerhana matahari menjelang maghrib tsb. Pada kondisi seperti ini, bahkan ketika hilal belum wujud pun Muhammadiyah berkesimpulan bahwa bulan baru telah masuk karena telah terpenuhinya tiga hal tsb. Bukankah ini sebuah kesalahan fatal ?

      Dengan atau tanpa kritikan dari Prof. Thomas, jelas sekali bahwa kriteria wujudul hilal yang saat ini dipegang oleh Muhammadiyah harus segera direvisi untuk menghindari kesalahan fatal tsb.

      Cara terbaik menurut saya adalah: ahli fiqih Muhammadiyah harus merumuskan dulu definisi hilal sesuai dengan petunjuk AlQur’an dan sunnah Nabi. Hilal yang dihisab seyogyanya adalah hilal yang dijadikan acuan oleh Rasulullah dan para sahabat; yaitu hilal yang berwujud bulan sabit yang bisa dilihat oleh mata ketika langit tidak berawan. Mudah mudahan para ahli fiqih Muhammadiyah segera memahami kesalahan fatal wujudul hilal tsb. dan segera merevisinya.

    • Pa Rois, yang harus direvisi itu adalah Konsep tentang Matlak…
      Konsep ini sudah karatan !… Bahkan tidak pernah dicontohkan olen Nabi…

      Nabi mencontohkan dari mana saja datangnya laporan Hilal itu, asal pada hari yang sama dan paling telat tgl 30 siang… semuanya diterima…

      Zaman sekarang, komunikasi dan transfortasi sudah canggih… apa yang terjadi di suatu tempat bisa dilaporkan ke seluruh dunia dalam hitungan detik…

      Apalagi dengan laporan posisi Hilal… bahkan bisa dihitung jauh-jauh hari sebelumnya… berapa saja tinggi hilal di masing-masing daerah di muka bumi pada saat matahari terbenam di tempat masing-masing, pada hari yang sama…

      Jadi kalo zaman sekarang masih ada orang/ormas/instansi yang ngotot berbicara beda negara beda matlak… maka mereka itu adalah orang/ormas/instansi yang karatan… 🙂

      Tinggal sekarang dicari kesepakatan antar umat Islam sedunia… Batas Tanggal Internasional nya mau di mana ?…
      Apakah mau ikut dengan yang ada sekarang… di 180° Bujur Barat-Timur Greenwich… yaitu daerah Kiribati…

      Atau umat Islam membuat sendiri 180° Bujur Barat-Timurnya yang baru dengan patokan Ka’bah di Mekah… yang di dalam Al Quran diinformasikan oleh Yang Maha Mengetahui Segala Sesuatu… bahwa Ka’bah itu adalah Pusat :

      Ja`ala (A)lloohu (A)l-Ka`bata (A)l-Baita (A)l-H^arooma Qiyaaman Lilnnaasi
      Wa Asy-Syahro (A)l-H^arooma Wa (A)l-Hadya Wa Al-Qolaa’ida
      Dzaalika Lita`lamuu ‘Anna (A)llooha Ya`lamu Maa Fii (A)s-Samaawaati Wa Maa Fii (A)l-‘Ardhi Wa ‘Anna (A)llooha Bikulli Syai’in `Aliimun
      ( QS Al Maidah 5:97)
      Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia,
      dan (demikian pula) bulan Haram, hadya, qalaid.
      (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu

      Kalau Ka’bah dijadikan 0° Bujur Barat-Timur… maka Batas Tanggal Internasionalnya adalah Hawaii…

      Nah, kalo Umat Islam sudah mempunyai kesepakatan yang sama mengenai 1 Matlak di Muka Bumi… mau patokan 0° Greenwich atau Mekah bagaimana baiknya saja…
      Maka… Mau menggunakan kriteria Wujudul Hilal Muhammadiyah / Wujudul Hilal Ummul Quro / Imkan Rukyat Pemerintah / Imkan Rukyat Lapan / Imkan Rukyat NU / Imkan Rukyat Persis / Imkan Rukyat Odeh / Imkan Rukyat apa pun… Tidak ada pengaruh nya… Semua akan sama Kalender nya…

      Lho kok Bisa ?…
      Ya bisa lah… tinggal dicari pada hari yang sama pada saat matahari terbenam di masing-masing tempat… Daerah mana saja yang tinggi hilal nya cocok dengan Kriteria masing-masing…
      Contohnya seperti Hilal Syawwal 1432 kemarin… ketika pada tgl 29 Agustus 2011… di Indonesia pada saat terbenam matahari tinggi hilal cuma di bawah 2°… di daerah lain di muka bumi, pada saat hari yang sama (tgl 29/8/2011) pada saat matahari terbenam di tempat tersebut, tinggi hilal nya ada yang sudah di atas 8°…
      – Manta Ecuador, tgl 29/08/2011saat matahari terbenam di tempat itu, tinggi hilal = +08°:23’:40″ (dari software Accurate Times)

    • Pak Ivan yang saya hormati, mohon ijin untuk ikutan diskusi disini. Mudah-mudahan tanggapan saya ini tidak kena moderasi (tanggapan saya ke Pak Prasojo masih dalam moderasi, untuk Pak Prasojo sabar dulu yah)

      Yang saya pahami dari tanggapan Pak Rois adalah, ajakan untuk menyepakati dulu satu persatu kriterianya. Kriteria yang paling penting adalah istilah dari Hilal itu sendiri, itu yang menurut saya dipertanyakan oleh Pak Rois. Setelah kriteria hilal disepakati baru kita berbicara mengenai matlak.

      Mengenai Matlak, mudah-mudahan saya tidak memasuki wilayah Fiqh karena saya kurang paham, justru pemahaman saya terhadap apa yang disampaikan oleh Pak Ivan adalah metode imkanur rukyat dengan kriteria global. Artinya metode ini sudah sepakat mengenai konsep hilal yang sudah wujud di satu titik di bumi (baik itu kriteria Odeh maupun Shaukat) seperti pada gambar yang diberikan Pak Thomas di awal tulisan beliau.

      Kalau kita ingin mengetahui bagaimana metode perhitungan wujudul hilal (WH), tentunya kita harus membaca buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah” yang diterbitkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, terutama Bab IV mengenai Penentuan Awal Bulan. Pada halaman 82-94 (saya membaca buku cetakan kedua tahun 2009) disebutkan cara perhitungannya. Kepada Pak Ivan saya ingin bertanya, kira-kira konsep apa yang dimasukan dalam perhitungan tersebut, apakah itu bukan konsep matlak juga, dimana dalam perhitungannya menggunakan matlak lokal dan bukan global? mohon pencerahannya.

      Ini yang menurut saya dikritik oleh Pak Thomas mengenai metode WH. Mengapa dalam perhitungannya, metode WH membuat hipotesa bahwa “bulan telah berada di atas ufuk wilayah Indonesia sehingga hilal sudah dapat terlihat di wilayah Indonesia”, tetapi pembenarannya menggunakan hasil perhitungan Odeh/Shaukat dimana hilal justru tidak terlihat di wilayah Indonesia tetapi terlihat di satu wilayah di muka bumi lainnya, kan kontradiktif, bagaimana menurut Pak Ivan.

      Demikian, mohon maaf apabila ada kata-kata saya yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya, terima kasih.

      Wallahu’alam…

    • Pak Syarif,
      Kriteria Wujudul Hilal Muhammadiyah sekarang memang benar masih menggunakan matlak lokal… yaitu matlak wilayah Indonesia…
      Namun dengan posisi Indonesia yang termasuk wilayah paling Timur dalam pergantian hari (tanggal)… penggunaan kriteria ini menjadi tidak masalah… sebab akan menyamakan Awal Puasa, Idul Fitri dan Idul Adha Indonesia dengan negara lain di sebelah Baratnya…

      Berbeda dengan Kriteria Imkan Rukyat yang hanya melihat Matlak Lokal Indonesia saja… Perbedaan Awal Puasa, Idul Fitri dan Idul Adha Indonesia dengan negara lain di sebelah Baratnya… akan sangat mungkin terjadi…
      Contohnya Hari Idul Fitri kemarin…

      Padahal dengan peralatan komunikasi zaman sekarang yang sudah canggih… Jangankan nunggu esok siang hari tanggal 30 Ramadhan…
      – Pengumuman Hilal di Saudi jam 7 malam waktu Saudi… bisa diterima di Indonesia jam 11 malam waktu WIB…
      – Pengumuman Hilal di Ekuador jam 7 malam waktu Ekuador tgl 29 bulan Qomariyah… bisa diterima di Indonesia jam 7 pagi waktu WIB tgl 30 bulan Qomariyah…

      Mengenai Hipotesa Muhammadiyah ini :
      “bulan telah berada di atas ufuk wilayah Indonesia sehingga hilal sudah dapat terlihat di wilayah Indonesia”

      “Terlihat” nya itu bisa Terlihat dengan Mata atau Terlihat dengan Ilmu Pengetahuan… Hilal 11° yang tertutup awan dapat “Terlihat” dengan Ilmu Pengetahuan…

      Masalah data Hilal yang diambil… menggunakan hasil perhitungan Odeh/Shaukat… Itu tidak jadi masalah…
      Yang nama nya data itu… kalau Ilmu Penghitungan Astronomi nya sama… mau dikeluarkan oleh Odeh / Shaukat / NU / Muhammadiyah / Persis / Ormas atau Instansi manapun… datanya akan sama saja…
      Contoh nya tinggi Hilal tgl 29 Agustus 2011 kemarin dan kapan terjadi Ijtimak nya, tidak ada bedanya antara LAPAN, Muhammadiyah, NU dll…

      Yang jadi beda itu adalah Pengambilan Kesimpulan dari Data-data tersebut… Perbedaan Kesimpulan karena berbeda nya Kriteria yang digunakan…

      Di Al Quran, dikatakan :

      5. Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkanNya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
      ( QS. Yuunus (10) : 5 )

      Allah swt (Yang Menciptakan Alam Semesta dan segala isinya dengan Hak)… menginformasikan kepada manusia :
      Bilangan tahun dan perhitungan waktu diketahui dari Manzilah-manzilah perjalanan bulan…

      Manzilah diartikan Tempat… yang namanya Tempat, Hubungannya adalah dengan Lokasi / Posisi / Koordinat…

      Pada zaman Nabi, Cara umat Islam untuk mengetahui Kepastian Manzilah / Tempat / Lokasi / Koordinat Bulan… adalah dengan cara Melihat Penampakan Bulan dengan mata…
      Pada zaman sekarang… untuk mengetahui Kepastian Manzilah / Tempat / Lokasi / Koordinat Bulan itu… Allah swt sudah menganugerahkan Ilmu Hisab Astronomi kepada kita…

      Hilal 11° yang tidak terlihat karena tertutup awan… tidak ada bedanya dengan Hilal 0,5° yang tidak terlihat karena tertutup cahaya senja akibat hamburan sinar matahari di bawah ufuk…
      Dua-duanya sama tidak terlihat oleh manusia…
      Tapi Ilmu Hisab Astronomi sekarang sudah bisa mengetahui Manzilah keduanya (Hilal 11° dan Hilal 0,5° ) dengan keakuratan yang bisa dipertanggungjawabkan…

      Kalau kita masih meragukan Keakuratan Ilmu Hisab Astronomi sekarang…
      Tinggal dicek saja dalam menghitung gerhana… dan menghitung Hilal pada saat Hilal sangat mudah dilihat oleh mata telanjang dan mudah diukur derajat-derajatnya dengan peralatan yang ada… kemudian hasil cek di lapangan tadi akurkan dengan hasil Penghitungan Ilmu Hisab…

    • Pak Ivan, terima kasih atas pencerahannya, sangat menarik sekali apa yang dijelaskan oleh Pak Ivan. Sepertinya sebagian besar saya setuju dengan pendapat Bapak. Akan tetapi ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan dan diskusikan dengan pendapat Bapak tersebut.

      Namun sebelumnya ijinkan saya menyapa Pak Prasojo terlebih dahulu. Mohon Maaf Pak Prasojo, sepertinya tanggapan saya terhadap pendapat Bapak masih dalam proses moderasi oleh Pak Thomas, mungkin beliau sedang sibuk, jadi tidak sempat memantau diskusi kita.

      Kepada Pak Ivan, berikut hal-hal yang ingin saya tanyakan:

      Pertama mengenai konsep Matlak

      (1) Konsep matlak kita sepakat bahwa konsep matlak Wujudul Hilal (WH) dan Imkan Rukyat (IR) versi pemerintah masih menggunakan wilayah Indonesia, wilayah lokal. Kemudian Bapak mencontohkan 2 versi WH yaitu WH versi Muhammadiyah (WH-MD) dan WH Ummul Quro (WH-UQ). Menariknya adalah dua-duanya menggunakan matlak lokal, yaitu WH-MD menggunakan matlak Indonesia dan WH-UQ menggunakan matlak Mekkah. Akan tetapi walaupun IR versi pemerintah menggunakan matlak Indonesia, IR versi Odeh, IR versi Shaukat keduanya telah menggunakan matlak global. Apakah menurut Bapak perhitungan yang menggunakan kriteria lokal dapat menyimpulkan hasilnya secara global? mohon pencerahannya.

      (2) Menurut Pak Ivan, walaupun WH-MD menggunakan matlak Indonesia, akan tetapi karena posisi Indonesia termasuk wilayah paling timur, maka tidak menjadi masalah. Pendapat ini menurut saya hanyalah karena “kebetulan” saja, bukan suatu “kepastian”. Karena menurut saya “Kriteria” itu berbeda dengan “Proses”. Kriteria itu adalah input dalam melakukan suatu proses (perhitungan).

      Misalnya begini: Pengamat berada di kota P akan bepergian ke kota A. dikatakan bahwa prosesnya dapat melalui 2 kota yaitu kota B (P-B-A) dan kota C (P-C-A). Jarak yg ditempuh rute P-B-A adalah 10 km sedangkan jarak P-C-A adalah 50 km. Dengan menggunakan kriteria yang sama (kecepatan sama, percepatan sama) maka saya dapat membuat hipotesa bahwa “jarak tempuh P-B-A akan lebih cepat daripada P-C-A”. Tetapi kalau salah satu kriteria saya rubah menjadi, kecepatan rute P-C-A adalah 100 kali lebih cepat dari kecepatan rute P-B-A, maka hipotesa saya berubah menjadi ” jarak tempuh P-C-A lebih cepat dari P-B-A”. Jadi kesimpulannya bukan kepada “toh pengamat tersebut sama-sama sampai di kota A dengan selamat”, tetapi “berapa lama jarak tempuh yang digunakan dengan memasukan kriteria berbeda tersebut”. Intinya saat membuat kriteria hasilnya itu harus berupa “kepastian” tetapi bukan suatu “kebetulan”.

      Saya membayangkan, seandainya berdasarkan perhitungan, bulan masih berada di ufuk wilayah Indonesia, tetapi dari perhitungan global disimpulkan bahwa hilal akan terlihat di wilayah perairan di sekitar Kepulauan Galapagos (Ekuador), apakah WH di Indonesia akan menerima bahwa esoknya adalah hari baru karena hilal telah wujud di salah satu titik di bumi (matlak global), atau menolak hari baru karena tidak memenuhi kriterianya yaitu bulan di atas ufuk wilayah Indonesia (matlak lokal)? Mohon pencerahan dari Pak Ivan.

      Kedua mengenai hipotesa WH di Indonesia.

      (1) Maksud dari pendapat saya begini Pak Ivan, ada beberapa poin dari perhitungan metode WH yang coba saya simpulkan, dikarenakan konsep matlak lokal tersebut:
      (a) WH menggunakan konsep matlak lokal, yaitu matlak Indonesia,
      (b) WH menggunakan kriteria diatas ufuk lokal, yaitu di atas ufuk wilayah Indonesia.

      Dari kedua point (a) dan (b), maka hipotesanya adalah ” Hilal sudah dapat “terlihat” HANYA untuk di wilayah lokal, yaitu di wilayah Indonesia”. “Terlihat” disini baik dengan mata maupun menggunakan ilmu pengetahuan. Menurut Pak Ivan kan tidak masalah menggunakan hasil perhitungan Odeh/Shaukat. Hanya saja, hipotesa hasil WH apabila di komparasikan/dibandingkan dengan hasil perhitungan Odeh/Shaukat tidak memberikan hasil yang sama, bahkan kontradiktif. Buktinya tertera pada gambar yang diberikan Pak Thomas di awal tulisan beliau ini. Bagaimana menurut Pak Ivan?

      (2) Mengenai kalimat berikut: “Hilal 11° yang tidak terlihat karena tertutup awan… tidak ada bedanya dengan Hilal 0,5° yang tidak terlihat karena tertutup cahaya senja akibat hamburan sinar matahari di bawah ufuk…” Kita sepakati dulu bahwa BULAN itu ada, tetapi bulan TIDAK memancarkan cahaya. Bulan terlihat di bumi karena MEMANTULKAN cahaya matahari. Saya bukan ahli astronomi, tetapi saya memahaminya seperti ini (mohon juga koreksinya dari Pak Thomas apabila berkenan):

      (-) Hilal yang tertutup awan, saya sepakat, karena intinya pantulan bulan terhalang oleh awan.

      (-) Hilal yang tertutup cahaya senja, menurut saya begini: kalau kita sepakat bahwa hilal TIDAK memancarkan cahaya sendiri, tetapi dari cahaya matahari, maka apabila sumber cahaya masih lebih kuat dari objek yang memantulkan cahayanya, maka hilal kemungkinan belum dapat terlihat (mohon koreksinya). Coba saja kita ambil bola pingpong putih dan senter kemudian kita masuk ke dalam kamar gelap (tanpa ada cahaya sedikitpun). Apabila kita arahkan senter ke bola pada sudut tertentu, maka akan ada pantulan dan kita melihat bagian putih dari bola tersebut. Apabila pada jarak yg sama (jarak mata ke bola pingpong, misalkan sepanjang tangan saat memegang bola), kemudian kita arahkan senter pada sudut yang mengarah ke mata kita, tetapi mata kita tetap tertuju pada bola pingpong, apakah kita masih dapat melihat pantulan pada bola? silahkan mencoba, tetapi hati-hati dengan cahaya senter yang mengenai mata… itu dapat menyilaukan.

      Demikian, mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya. terima kasih.

      Wallahu’alam…

    • Pak Syarif,
      sama-sama pak… kita di sini semua kan muslim… semua bersaudara… sesama saudara saling mencerahkan… 🙂
      Walaupun pencerahan itu terkadang datangnya dari seorang awam yang bukan pakar, tapi kalau itu berupa kebaikan… tentunya masalah awam atau pakar tidak akan kita persoalkan…

      Terus terang saya orang awam yang dapat banyak pencerahan dari artikel-artikel Pak Thomas Djamaluddin… tidak hanya di blog ini… Saya selalu tertarik dengan tulisan beliau di mana pun… Beliau adalah aset Muslim yang berharga bagi dunia Iptek Islam Indonesia… Jadi saya tidak setuju kalau ada yang selalu memojokkan beliau…

      Kalau ada sementara ini terkesan beliau selalu “membidik” Muhammadiyah… saya memahaminya sebagai ekspresi kegalauan beliau mengenai tidak pernah adanya Satu Kesepakatan di antara umat Islam mengenai Penetapan Bulan Hijriyah…

      Saya berharap ‘bidikan’ beliau terhadap Muhammadiyah ini justru menjadi bola salju kebaikan agar semua menjadi mengerti dengan Ilmu Astronomi…
      Ilmu Astronomi yang telah dianugerahkan Allah swt kepada manusia, Sehingga umat Islam bisa dan mau menggunakannya untuk menetapkan Penanggalan Hijriyah secara mudah dan dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya…

      Tidak seperti sekarang ini… Penetapan Tanggal Hijriyah untuk keperluan Ibadah… selalu dilakukan detik-detik terakhir…
      Tidak sesuai dengan dengan semangat kemajuan zaman modern yang selalu butuh Persiapan dan Perencanaan yang bisa dipastikan jauh-jauh hari…

      Saya mencoba sebisanya buat menjawab pertanyaan bapak… kalau saya ada yang keliru, mohon dikoreksi juga… 🙂

      KONSEP MATLAK

      (1) Mengenai “IR versi Odeh, IR versi Shaukat keduanya telah menggunakan matlak global” :

      Saya melihatnya tidak ya…
      Odeh / Shaukat hanya menampilkan Penghitungan Terlihatnya Hilal pada suatu tanggal di seluruh wilayah bumi pada saat terbenam matahari di tempat masing-masing…
      Odeh / Shaukat hanya menampilkan Terlihatnya Hilal secara Global… bukan menggunakan matlak Global…

      Yang saya maksudkan dengan Konsep 1 Matlak di permukaan bumi adalah :
      Penetapan Awal Bulan Hijriyah dengan menggunakan seluruh Penghitungan Hilal di berbagai wilayah bumi pada tanggal yang sama… dengan Patokannya Kriteria Wujudul Hilal dengan Koordinat Ka’bah Mekah… agar Penetapan yang dilakukan bisa mengakomodir kriteria Imkan Rukyat…

      Kalau Kriteria Wujudul Hilalnya tidak ada Patokan… Ada kemungkinan ada suatu tanggal yang Hilal telah Wujud hanya di daerah yang jauh sebelah barat Mekah… misalnya Hilal hanya baru wujud di Ekuador…
      Kalau begini kejadiannya… tentunya yang teguh dengan kriteria Imkan Rukyat tidak akan terakomodir…

      Batas Tanggal Internasional nya juga harus ditetapkan… Apakah tetap di Kiribati mengacu kepada 0° Greenwich, atau kita coba 0° Mekah ?…
      Yang penting Tempat Awal Permulaan Bulan Hijriyah harus Tetap Tempatnya… Ini bila ingin kalender Hijriyah bisa digunakan untuk keperluan duniawi seperti halnya Kalender Masehi…

      (2) Mengenai WH-MD menggunakan matlak Indonesia, akan tetapi karena posisi Indonesia termasuk wilayah paling timur, maka tidak menjadi masalah. Itu hanyalah karena “kebetulan”, bukan suatu “kepastian” :

      Allah swt menciptakan matahari dan bulan itu dengan perhitungan… Perhitungan inilah yang dicoba manusia untuk menemukannya dengan ilmu hisab astronomi :
      5. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.
      (QS Ar Rahmaan 55:5)

      Bukan suatu “kebetulan” kalau Posisi Hilal di Indonesia sudah di atas ufuk… Kemudian setelahnya di tempat lain di sebelah Barat Indonesia, Posisi Hilal selalu lebih tinggi pada saat matahari terbenam di tempat itu…
      Yang saya coba sampaikan kemarin-kemarin itu adalah mengenai Ketika di Indonesia Posisi Hilal telah Wujud di atas Ufuk, tapi tidak bisa terlihat mata…

      Kalau kasus yang ditanyakan Pak Syarif itu (kalau saya tidak salah tangkap) adalah :
      Kasus di Indonesia belum Wujud Hilal di atas Ufuk, tapi baru wujud kemudian di Ekuador…

      Kasus Pak Syarif itu, kalau menurut Wujudul Hilal Muhammadiyah yang bermatlak Indonesia saja… Tentunya belum masuk Kriteria untuk Penetapan Awal Bulan Hijriyah…
      Sama juga dengan Konsep 1 Matlak bagi seluruh Permukaan Bumi yang saya usulkan di point (1) di atas… Konsep 1 Matlak Permukaan Bumi dalam penetapan bulan Hijriyah yang mengakomodir semua kriteria…
      Dengan Praktek mudahnya adalah Kriteria Wujudul Hilal dengan Patokan Koordinat Mekah…

      Kalo Hilal pada suatu tanggal itu hanya baru wujud di Equador… Tentunya ini tidak cukup untuk menetapkan awal bulan dengan Konsep 1 Matlak Permukaan bumi…

      HIPOTESA WH DI INDONESIA

      (1) Gambar di atas itu adalah gambar dari Shaukat mengenai Hilal yang Visible saja…
      Kalo bapak menggunakan Software Accurate Time, bisa dilihat di sana Indonesia terlihat masuk daerah warna putih… yaitu wilayah dengah Hilal di atas ufuk tapi tidak terlihat mata…

      (2) Bulan itu selalu memantulkan cahaya matahari ke bumi, bahkan ketika posisi Bulan Mati (New Moon) pun…
      Lho kok bisa ?…
      Ya bisa lah… 🙂

      Prinsipnya :
      Bulan tidak memantulkan cahaya matahari ke bumi Hanya Apabila posisi bumi-bulan-matahari ada pada satu garis lurus… Dan ini terjadi hanya pada saat gerhana…

      Pada saat konjungsi… Sebetulnya bulan tidak satu garis lurus… akibat dari bidang orbit bulan membentuk sudut 5,2° terhadap bidang ekliptika…
      Bulan saat konjungsi (bulan mati) memantulkan cahaya ke bumi, bisa dibuktikan dengan penghitungan magnitudonya… Kita bisa menggunakan software Stellarium…
      Magnitudo adalah tingkat kecemerlangan benda langit… Semakin besar magnitudo, semakin redup… Semakin kecil magnitudo, semakin terang…

      Magnitudo 6 adalah kecemerlangan bintang terendah yang masih bisa terlihat mata…
      Bintang Vega adalah bintang standar magnitudo 0… termasuk bintang yang sangat terang…
      Bintang yang lebih terang dari bintang Vega… nilai magnitudonya negatif ( – )… contohnya bintang Canopus, magnitudonya = -0,7
      Bintang yang paling terang, Bintang Sirius, magnitudonya = -1,5

      Dan berapakah Magnitudo Bulan saat konjungsi ?…
      Ternyata… bulan saat konjungsi pun, kecemerlangannya (dilihat dari bumi)… bisa lebih terang dari bintang Sirius…

      Contohnya :
      – Saat konjungsi tgl 29 Agustus 2011 kemarin… dengan software Stellarium diketahui magnitudo bulan = -1,70
      – Saat Sunset tgl 29 Agustus 2011 jam yang dijadikan ketetapan tgl 1 Syawwal 1432 H dengan Kriteria Wujudul Hilal, diketahui magnitudo bulan = -2,77

      Baru pada saat gerhana… Bulan mempunyai magnitudo di atas 6… Contohnya :
      – Saat Gerhana Bulan tgl 16 Juni 2011 jam 3.11, magnitudo bulan = +10,20
      – Saat Gerhana Matahari Total di Yogyakarta tgl 11 Juni 1983 jam 11.30, magnitudo bulan = +17,78

    • Yang perlu dipahami bahwa alam semesta ini bersifat dinamis, tdk statis. Sekedar info bhw; penelitian yg dilakukan oleh lembaga penelitian di McDonald Observatory, Texas, AS, dengan menggunakan teleskop 0,7 meter diperoleh fakta bahwa jarak orbit bulan bergerak menjauh dengan laju 3,8 sentimeter per tahun.
      Dari fakta ini jelas mengindikasikan bhw jika hanya mengandalkan hitungan (rumus2) maka hasil yg diperoleh pasti tdk akurat (salah) krn sesuatu yg dihitung bersifat dinamis sedang rumus yg dipakai mungkin menggunakan rumus 100 tahun yg lalu…hehehe pasti hasilnya error bro…Kecele niyeee..
      Disinilah dibutuhkan Rukyat (pengamatan langsung) untuk memverifikakasi hasil2 hitungan. Dengan rukyat dan hisab digabungkan, kita akan bisa berlabaran dgn Ainul Yaqin…
      Semoga arogansi “merasa paling pintar berhitung” dilepaskan oleh Muhammadiyah…Inilah biang kerok perpecahan di masyarakat kita.

      • Kalau menurut mas Indar…
        Apakah Penghitungan Hilal yang dilakukan Lapan sudah memasukkan faktor laju 3,8 cm ini ?…

        Dan kalau tanpa faktor laju 3,8 cm ini… katakanlah hasil tinggi hilal yang didapat adalah 0,5°…
        Kemudian dengan memasukan faktor laju 3,8 cm ini tinggi hilal jadi berapa derajat ?…

  31. Pak Syarif….soal pak Thomas, saya tdk pernah menghujat. Saya selalu berusaha pakai bahasa yang santun. Saya paling tidak ingin berurusan masalah hukum karena dianggap pencemaran nama baik, meskipun di dunia maya. Saya hanya menyoal, kenapa pak Thomas menyerang Muhammadiyah. Saya anti rukyat tapi saya tidak pernah menyerang NU misalnya, atau HTI misalnya. Sebenarnya pak Thomas silakan mengkritik habis2an soal wujudul hilal, dan tak perlu menyebut Muhammadiyah khan? Biarlah orang yang mengambil kesimpulan, bahwa yang diserang pak Thomas itu Muhammadiyah. Tapi pak Thomas tidak perlu menyebut-nyebut Muhammadiyah. Untuk apa? Wong yang diserang wujudul hilalnya khan? Ngapain menyeret-nyeret Muhammadiyah? Inilah kekeliruan seorang pakar astronomi yang sekaligus ulama.

    Jadi kalau misalnya KH. Ahmad Dahlan mengendarai sepeda ontel tua reot dan pak Syarif tidak suka dengan sepeda tua itu, apakah pak Syarif akan menyerang pengendaranya? Padahal misalnya KH Ahmad Dahlan itu orangnya alim, baik, taat beribadah dll? Alangkah dzalimnya pak Syarif kalau demikian. Harusnya pak Syarif membantu KH Ahmad Dahlan memperbaiki sepeda tuanya biar bisa berjalan lancar dan tidak membuat bising tetangga, misalnya, atau menyerempet anak kecil karena jalannya suka ngelonyor kiri kanan. Pak Syarif tentu tidak sepantasnya mengatakan…”pak kyai, sepeda bapak ini sudah reot, ketinggalan jaman dan berpotensi nyeruduk anak2 di jalan. Buanglah, dan gantilah, sekarang sudah ada sepeda yang bagus….”. Ini hanya perumpamaan saja pak, jangan dianggap beneran. Maksud saya, agar kita bisa memilah, antara metode dengan si pengguna.

    Soal gambar di atas, ya sudah jelas itu gambar imkan rukyat khan? Sesuai dengan cita2 penggagasnya, prof Thomas. Wujudul hilal tidak pernah menampilkan peta imkan rukyat. Yang ditampilkan tentu peta wujudul hilal donk…

    • Pak Prasojo, terima kasih atas tanggapannya. Mengenai soal hujat menghujat saya setuju, Insya Alloh Pak Prasojo tidak akan pernah berprasangka buruk terhadap Pak Thomas. Pernyataan saya itu kan perumpamaan bagi pembaca blog ini dengan meminjam pernyataan Pak Prasojo yang sangat sesuatu banget itu.

      Kalau saya seperti perumpamaan (tentang Pak Kyai dan saya) yang diceritakan oleh Pak Prasojo, saya akan melakukan hal berikut:

      Saya akan mendatangi Pak Kyai dengan membawa sepeda baru yang bagus, kemudian saya berkata: ”Pak kyai, sepeda bapak ini sudah reot, ketinggalan jaman dan berpotensi nyeruduk anak2 di jalan. Buanglah, dan gantilah, sekarang sudah ada sepeda yang bagus, Monggo Pak Kyai ini sepeda barunya, silahkan digunakan Pak Kyai saya akan membantu Pak Kyai belajar menggunakan sepeda baru ini sampai Pak Kyai terbiasa menggunakannya”. Artinya saat saya mengkritik metodenya maka saya juga akan memberikan solusinya, dan saya kira itulah yang dimaksud oleh Pak Thomas yaitu mengkritik sambil memberikan solusi. Kalau hanya mengkritik tanpa memberikan solusi itu baru kurang ajar, bagaimana Pak?

      Mengenai gambar di atas, benar Pak Prasojo, gambar itu adalah hasil dari perhitungan (hisab) Imkan Rukyat (IR). Kalau kita cari di Internet, maka dengan mudah kita akan mendapat akses terhadap hasil hisab IR, saya contohkan 3 website berikut:
      (1) http://moonsighting.com/archive.html
      (2) http://www.icoproject.org/res.html
      (3) http://astro.ukho.gov.uk/moonwatch/nextnewmoon.html
      berarti apabila ada yang mengatakan bahwa kalau menggunakan metode IR itu sulit dan menimbulkan kesukaran untuk menentukan apa parameternya untuk dapat dirukyat, adalah keliru. Buktinya hasil perhitungan dengan metode IR mudah diakses di internet dan langsung tersedia dalam bentuk gambar/grapik yang menarik dan mudah dipahami.

      Dari tanggapan Pak Prasojo terhadap Pak Rois, saya quote: “Dengan metode hisab (wujudul hilal), kita dapat mengetahui apakah hilal sudah wujud atau belum, pada kondisi apapun (berawan, hujan, gerhana dll).” kalau boleh dan Bapak berkenan, mohon diberikan contohnya Pak. Karena saya cukup kesulitan untuk mengakses informasi hasil perhitungan (hisab) Wujudul Hilal, terutama peta wujudul hilal seperti yang Pak Prasojo katakan: “Wujudul hilal tidak pernah menampilkan peta imkan rukyat. Yang ditampilkan tentu peta wujudul hilal donk…”

      Oh iya, menurut saya Qomar (Bulan) itu berbeda dengan Hilal (Bulan Sabit). Jadi Wujudul Qomar pasti berbeda dengan Wujudul Hilal. Kalau Bulan sudah wujud, Hilal belum tentu sudah wujud juga, karena bisa saja posisinya tidak pada posisi memantulkan cahaya matahari ke bumi, karena bulan itu adalah benda planet yang TIDAK memancarkan cahaya. Bulan selalu ada, tetapi bulan terlihat di Bumi saat cahaya matahari DIPANTULKAN oleh permukaan bulan. Saat cahaya dipantulkan tersebut, artinya posisi bumi-bulan-matahari membentuk suatu sudut sehingga pantulan cahaya matahari sampai di bumi. Sudut ini tidak hanya terbentuk karena bulan sudah di atas ufuk (ini menurut saya inti dari pertanyaan Pak Rois), tetapi juga pengaruh dari sudut elongasi dan elevasi.

      Demikian, mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya. terima kasih.

      Wallahu’alam…

  32. Pak Syarif….lanjutan….
    Tentu pak Syarif tidak akan mengatakan….”pak kyai ini bandel banget, keras kepala, masa’ sepeda tua begini masih juga dinaikin sih?” hehehe…….

    Atau misalnya pak Syarif tidak suka dengan sistem ekonomi kapitalis yang dipakai Amerika Serikat, masa pak Syarif akan menyerang Amerika yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis? Sebenarnya pak Syarif cukup mengatakan….”sistem ekonomi kapitalis itu memiliki kelemahan atau kejelekan begini…begini…bla..bla..bla….” tanpa perlu menyebut negara Amerika Serikat. Pasti pembaca sudah paham lah, siapa yang bapak maksud. Apalagi menyebut….”Amerika Serikat terbelenggu sistem ekonomi kapitalis yang menghisap darah rakyat kecil….”. Weleh….welehhh…..

  33. Pak Ivan…saya setuju jika Mekkah (Ka’bah) dijadikan pusat bumi. Usul saya begini :
    Pada saat matahari tepat di atas Ka’bah (boleh juga matahari berada di lintang 0 derajat dan pada garis bujur yang melewati Ka’bah), lihat cakupan sinar matahari di permukaan bumi. Seluruh permukaan bumi yang terkena sinar matahari (terang) ditetapkan menjadi belahan bumi pertama, dan permukaan bumi yang tidak terkena sinar matahari (gelap) ditetapkan menjadi belahan bumi kedua. Dengan cara ini, garis batas tanggal qomariah bisa ditetapkan. Oleh karena batas2 negara tidak selalu lurus dari utara ke selatan, maka untuk memasukkan suatu negara ke belahan bumi pertama atau belahan bumi kedua, caranya diprosentase mana yang lebih besar, antara wilayah yang terang atau wilayah yg gelap. Saya ambil contoh misalnya kepulauan Hawai, jika saat matahari tepat di atas Ka’bah wilayah Hawai lebih banyak terangnya, maka Hawai masuk belahan bumi pertama (satu belahan bumi dg Arab Saudi/Ka’bah). Sebaliknya, jika wilayah gelapnya lebih luas, maka masuk ke belahan bumi kedua.

    Lalu, persoalan penetapan bulan baru qomariah dan hari2 ibadah diserahkan sepenuhnya kepada otoritas pemerintah Arab Saudi. Jika pada akhir sya’ban hilal terlihat di belahan bumi pertama (atau wujud di belahan bumi pertama), maka 1 Ramadhan dimulai dari belahan bumi pertama, diikuti belahan bumi kedua. Atau sebaliknya. Saya rasa ini konsep penyatuan kalender hijriyah yang paling praktis dan memenuhi kaidah bahwa Ka’bah adalah pusat bumi (bukan Ka’bah sebagai garis batas tanggal qomariah internasional sebagaimana diusulkan oleh beberapa pakar). Bagaimana? Setuju khan dg usul saya?

    • Pak Prasojo,
      Yang menjadi Batas Tanggal Internasional sebaiknya suatu tempat di permukaan bumi yang jauh dari sana sini…

      Allah swt telah mendesain planet Bumi untuk keperluan itu… Allah swt telah mengkondisikan planet Bumi mempunyai bagian Samudera yang sangat luas… yaitu Samudera Pasifik…
      Sebuah tempat dengan daratan-daratan yang dihuni manusia berjauhan tempatnya…

      Kalau menurut versi Pak Prasojo… Batas Tanggal Internasional akan ada di daerah yang padat penduduknya… yang tempatnya berdekatan satu sama laing…

      Yang namanya Batas Tanggal Internasional harus Tetap… jangan berubah-ubah… Harus tetap mana bagian bumi yang lebih dulu hari nya…
      sebab kalo berubah-ubah… Akan susah juga…
      Contohnya kalo bulan ini yang duluan Tanggal nya bagian bumi I versi Pak Prasojo… terus bulan depan belum tentu, Sebab bisa jadi bagian bumi II yang duluan tanggal nya…
      Akan susah ngatur Administrasi yang Fix…

      Batas Tanggal Internasional juga harus berada di daerah di muka bumi yang relatif tidak padat penduduknya dan jauh dari tempat tinggal manusia (Daratan) yang lain…
      Agar jangan sampai… Baru saja bepergian 1 kilometer ke rumah teman (misalnya)… Eh hari / tanggal sudah berganti… di rumah hari Kamis tgl 2 misalnya, pas ke rumah teman eh hari masih Rabu / tanggal sebelumnya, yaitu tgl 1… 🙂

  34. Ivan….lah katanya mau menjadikan Ka’bah sebagai pusat bumi? Rasanya, untuk menjadikan Ka’bah sebagai pusat bumi hanya dengan cara demikian. Kalau Ka’bah jadi garis batas tanggal qomariah internasional, maka Ka’bah jadi tepi bumi, bukan pusat bumi.

    • Kalau saya memahaminya Ka’bah sebagai pusat bumi… adalah pusat arah Barat dan Timur…
      Di Al Quran selalu yang dikatakan arah itu adalah Barat dan Timur… tidak ada Utara dan Selatan… saya menangkapnya sebagai petunjuk bahwa Ka’bah adalah 0° dari Bujur Barat-Timur…

      Kalau dengan metoda bayangan versi Prasojo… malah kesannya Ka’bah itu hanya Pusat buat Setengah Bumi… Pusat dari bagian bumi I…
      Dan bagian bumi II tentunya ada Pusatnya lagi… yaitu daerah dekat Hawaii (sedikit ke arah Timur)…

      Wilayah sekitar Hawaii itu termasuk kebalikan dari wilayah sekitar Mekah… Kalau daerah sekitar Mekah jam 12 siang, maka daerah sekitar Hawaii jam 11 malam…

      Mekah itu… bisa jadi… sebenarnya dipersiapkan Allah swt sebagai “Greenwich” penanggalan buat manusia…
      Hanya sayang, kita umat Islam telah keduluan Orang Barat buat menentukan 0° dari Bujur Barat-Timur…
      Sepertinya akan sangat susah kalau ingin langsung merubah 0° ini…

      Merubah 0° dari Greenwich ke Mekah… konsekuensinya daerah Hawaii yang sekarang hari Kamis (misalnya) harus berubah menjadi hari Jum’at…
      Orang Muslim Hawaii akan merasa aneh kalo tiba-tiba harus shalat Jum’at di hari yang biasa mereka anggap sebagai hari Kamis… 🙂

      Penanggalan Internasional yang Baik yang berdasarkan Konsep 1 matlak bagi seluruh muka bumi… sepertinya harus Sama antara Hari dan Tanggal di mana pun di dunia…
      Kalau di sebuah wilayah, suatu tgl 1 yang sedang berjalan itu adalah hari Jum’at (misalnya)… maka di seluruh muka bumi juga sama… jangan sampai di muka bumi ada yang tgl 1 nya yang hari Kamis atau hari Rabu…

  35. Ivan…setuju. Tapi kalau soal hari, kan nggak perlu merubah! Hari biarlah mengikuti kalender syamsiah. Sekarang kan masalah tanggal saja. Tanggal qomariah tidak bergantung hari syamsiah. Persoalan mengawali tanggal qomariah (belahan bumi yang mana duluan) kan tinggal berpedoman kepada di belahan bumi mana hilal muncul (rukyat) atau hilal wujud (hisab). Katakan kalau hilal muncul/wujud di kawasan Kanada duluan, berarti awal bulan (tanggal 1) dimulai dari sana. Atau kalau hilal muncul/wujud di kawasan Afrika, maka awal bulan dimulai dari belahan itu. Kalau kita lihat peta imkan rukyat Prof. Thomas, sepertinya hilal muncul/wujud selalu pada lokasi yang sama dan tidak berubah-ubah setiap bulan. Berarti awal bulan mestinya kan tinggal menetapkan dari sana.

    • Kalau menurut saya…

      Yang namanya Kalender Hijriyah Internasional… sebaiknya dihindari dari selalu berubah-ubahnya Tempat Awal Permulaan Tanggal…
      Sebab ini akan menyulitkan Kalender tersebut untuk digunakan dalam keperluan duniawi… semisal buat tanggal perjanjian antar negara…
      Kalender Hijriyah akan sulit untuk menggantikan Kalender Masehi…

      Sedangkan Kalender Hijriyah ini tentunya Alloh swt tetapkan bagi manusia adalah bukan buat Ibadah saja… Bukan buat dipakai saat Puasa, Idul Fitri dan Idul Adha saja… Tapi buat digunakan manusia untuk segala keperluan manusia di muka bumi…

      – Bila umat Islam sedunia sudah ada kesepakatan Konsep 1 Matlak buat seluruh permukaan bumi…
      – Bila umat Islam sedunia sudah ada kesepakatan menggunakan Ka’bah (Mekah) sebagai Patokan Penanggalan Hijriyah…
      – Bujur Barat-Timur nya katakanlah tetap pada Patokan Greenwich sebagai patokan untuk perubahan hari di wilayah-wiayah di muka bumi…

      Pada praktek Penetapan Hilalnya… Kita bisa cukup hanya dengan menghitung dengan Kriteria Wujudul Hilal pada Koordinat Ka’bah…

      Bila pada Koordinat Ka’bah, Hilal dihitung telah Wujud… Itu sudah cukup bagi Penetapan Tanggal 1 Bulan Hijriyah buat Seluruh Dunia…
      dengan Perubahan Tanggalnya… selalu Tetap dimulai dari Negara Kiribati, sebagai Negara yang paling Timur dalam Perubahan Hari dan tanggal…

      Dengan Konsep 1 Matlak untuk Seluruh Permukaan Bumi… InsyaAlloh, yang tetap teguh dengan menggunakan Kriteria Imkan Rukyat pun akan terakomodir…
      Sebab dengan posisi Ka’bah (Mekah) terletak relatif di tengah-tengah… Pada saat dihitung di Mekah, Hilal telah Wujud 0,5° pun… biasanya wilayah (negara) di sebelah Barat Mekah pada hari dan tanggal yang sama pada saat matahari terbenam di tempat masing-masing… sudah ada wilayah (negara) yang tinggi Hilalnya mencukupi untuk Kriteria Imkan Rukyat…

  36. Ivan…itulah yang saya maksud. Bukan tergantung dimana hilal muncul. Kalau ini mah…pasti kacau. Maksud saya, dengan melihat peta imkan rukyat atau peta wududul hilal (dimana kelihatannya kenampakan/kemunculan hilal selalu dimulai pada kawasan yang sama), maka dari situlah awal bulan dimulai. Saya hanya melihat peta imkan rukyat nya pak Thomas dan lihat peta wujudul hilal Muhammadiyah, sepertinya kemunculan hilal itu relatif tetap pada kawasan tertentu. Kalau lihat peta tersebut, benua Australia tidak mungkin menjadi patokan awal bulan qomariah global. Semoga tidak keliru

  37. Menurut rumor (A1) mennag Surya DA bakal digeser. Semoga ada hikmahnya kedepan dan semoga pula indonesia tdk menyombongkan diri lagi dari mekkah dan dunia.
    Mari kita songsong laitul qadar 2012 bersama mekkah dan dunia dgn haqqul yakin…

  38. Kepada Pak Agus yang saya hormati, terima kasih atas sanggahannya mengenai kata “terlihat” seperti yang di contohkan oleh Bapak.

    Bapak memberikan contoh 2 kasus seperti yang tertera dalam website yang diberikan oleh Bapak (mohon maaf alamat website saya hapus, sepertinya komentar akan dimoderasi apabila mencantumkan alamat website. Bagi yang ingin melihat alamat website seperti yang di maksud oleh Pak Agus, silahkan melihat komentar beliau sebelumnya di atas) :

    ====================================================
    Berikut tanggapan dari Pak Agus:

    @Syarif

    Sekarang apakah definisi “terlihat” ini? Saya persilakan untuk mempertimbangkan kasus di bawah ini:
    – Pengamatan menggunakan infra merah dan olah citra (lihat hasil terakhir di halaman paling bawah), dalam atmosfer bumi (elongasi 4.75 derajat)
    – Pengamatan dari luar atmosfer bumi (elongasi 2 derajat)

    Keduanya menunjukkan sebuah observasi yang dianggap tidak mungkin dalam kriteria imkanu rukyat Pak Djamaluddin. Apakah yang seperti di atas masih dalam kriteria terlihat? Mungkin sebagian orang menganggapnya tidak, sedang saya menganggap ya. Misalnya kita bisa menggunakan dua alat observasi secara bersamaan, saya kira kriteria “terlihat” nya hilal akan semakin mendekati konsep wujudul hilal. Atau mungkin saya yang salah, karena wujudul hilal sudah terlanjur metode yang kuno dan usang.

    =====================================================

    Saya menemukan hal menarik dari kedua kasus yang di contohkan oleh Pak Agus, yaitu kata ELONGASI. ELONGASI pastinya berbeda dengan ELEVASI, jadi saya simpulkan bahwa Pak Agus juga berpendapat supaya hilal dapat terlihat, selain ELEVASI juga harus ada informasi ELONGASI dan keduanya harus TIDAK terpisah. Pertanyaan pertama saya ke Pak Agus, apakah pada motode Hisab Wujudul Hilal (WH) memasukan informasi Elongasi pada perhitungannya (saya mengacu ke penentuan awal bulan pada buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah” cetakan tahun 2009, halaman 82-94)? Mohon pencerahannya.

    Berikutnya, saya juga mempunyai kesimpulan yang sama dengan Pak Agus, bahwa hilal sudah dapat TERLIHAT dari kedua kasus tersebut, saya SETUJU alias SEPAKAT. Saya coba dulu dari kasus kedua, pertanyaan kedua saya untuk Pak Agus, apakah kasus yang kedua (terlihat dari luar atmosfer bumi) sesuai dengan bimbingan Nabi Muhammad SAW? Mohon pencerahan dari Bapak.

    Untuk kasus pertama, saya juga SEPENDAPAT bahwa hilal sudah TERLIHAT. Hanya, pemahaman saya bahwa penentuan awal bulan tidak hanya dari terlihat hilal saja ternyata, tetapi ada kriteria lainnya. Mari kita lihat kasus pertama berdasarkan kriteria WH:

    (1) Hilal terlihat setelah terjadinya Ijtimak (“the image was taken 4 hours after new moon”), ini sesuai dengan kriteria pertama WH,

    (2) Ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam. Kalau dilihat dari jam saat pengambilan gambar disebut antara 2 – 5 jam setelah bulan baru (gambar diambil pada pukul 07:00 – 10:30 CEST) yaitu sekitar pukul 05:00 CEST, artinya ijtimak terjadi pada pagi hari, maka ini sesuai dengan kriteria kedua WH,

    (3) Kriteria ketiga WH menyebutkan bahwa “saat terbenam matahari bulan berada di atas ufuk”. Gambar diambil pada pukul 07:00 – 10:30 CEST pagi, artinya hilal terlihat saat matahari belum terbenam, maka TIDAK SESUAI dengan kriteria WH (untuk lintang tinggi, kadang-kadang bulan dapat terlihat saat pagi/siang hari. Bahkan pada tgl 29 Agustus 2011, pengamat di Jerman telah dapat melihat hilal menggunakan CCD imaging pada sekitar jam 10:00 CEST).

    Dengan menggunakan kriteria WH, saya menyimpulkan bahwa gambar-gambar hilal tersebut TIDAK DAPAT dijadikan acuan dimulainya bulan baru hijriyah karena ketiga kriteria WH TIDAK TERPENUHI sekaligus. Pertanyaan ketiga saya, bagaimana menurut Pak Agus?

    Demikian, terima kasih atas sanggahan Pak Agus, mohon maaf apabila ada kata-kata saya yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya, terima kasih.

    Wallahu’alam…

    • Pak Syarif,

      Sebenarnya 2 poin utama yang ingin saya benturkan dengan metode imkanu rukyat.
      (1) elongasi yang sangat kecil pun memungkinkan terjadinya “hilal”. Kriteria imkanu rukyat memberi batasan bahwa “terlihat” adalah dari permukaan bumi, yang dalam catatan terpengaruh atmosfer bumi. Banyak yang menyalahartikan itu sebagai ketidak-terlihatan hilal adalah karena “kemustahilan absolut secara ilmu astronomi”, bukan dikarenakan asumis-asumsi dasar yang membatasi definisi terlihat ini.
      (2) Semua data observasi yang diturunkan ke dalam kriteria imkanu rukyat berdasar pengamatan langsung ditambah penggunaan alat bantu optik. Sesuatu yang tidak terlihat dalam data observasi tersebut, tidak selalu berarti sesuatu yang tidak mungkin untuk dilihat. Dengan penggunakan infra merah dan proses olah citra dari banyak sampel, saya kira kriteria imkanu rukyat masih bisa ditekan ke nilai yang lebih kecil. Elongasi 4,75 derajat menujukkan angka yang jauh dari limit Danjon 7 derajat, maupun limit Danjon dengan alat bantu optik 6,4 derajat. Angka terakhir ini yang juga dipakai dalam salah satu kriteria dalam “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” yang disodorkan Pak Djamaluddin.

      Menilai apakah fakta diatas sebagai rukyat hilal sesuai dengan sunnah Nabi, saya kira tidak. Jelas-jelas contoh kedua adalah hasil observasi hilal di pagi sebelum matahari terbit, bukan setelah matahari tenggelam. Hanya saja itu adalah hal yang tidak mempunyai korelansi, mengingat saya hanya membicarakan masalah visibilitas hilal yang dikaitkan dengan parameter elongasi, bukan masalah sunnah Nabi.

      Dikaitkan dengan wujudul hilal,
      (1) Wujudul hilal hanya memberi kriteria apakah hilal sudah terjadi atau belum, terlepas apakah benar-benar bisa terlihat atau bukan. Selama matahari-bulan-bumi tidak dalam satu garis lurus, maka berapa kecil elongasi bulan-matahari, selalu ada bagian dari sinar matahari yang dipantulkan ke bumi -> hilal sudah wujud
      (2) Wujudul hilal tidak perlu memberi kriteria-kriteria tambahan sebagai syarat terjadinya hilal, karena menurut kriteria di atas, hilal selalu terjadi setelah konjungsi ketika bulan sudah di atas ufuk pada saat hari berganti di waktu matahari tenggelam. Kasus yang mungkin ada artinya untuk dikaji adalah kasus saat gerhana matahari tepat pada saat matahari tenggelam.

    • Pak Agus, terima kasih atas tanggapannya. Ada hal yang menarik dari pendapat Bapak, yaitu mengenai parameter tambahan: ELONGASI. Kalau boleh saya menyimpulkan, kita sepakat bahwa untuk “TERLIHAT”-nya hilal (baik itu menggunakan mata maupun ilmu) harus terpenuhinya 2 faktor yang tidak bisa dipisahkan, yaitu:

      (1) terbentuknya sudut antara matahari (sumber cahaya) dan bulan terhadap bumi, sehingga PANTULAN cahaya matahari yang mengenai permukaan bulan akan jatuh di permukaan bumi (ELONGASI), dan

      (2) untuk melihat pantulan tersebut, posisi bulan harus berada di atas horison (ufuk) dari posisi pengamat di bumi (ELEVASI).

      Permasalahan pertama adalah, metode Wujudul Hilal TIDAK memasukan kriteria ELONGASI pada perhitungannya, tetapi hanya menyebutkan ELEVASI > 0 maka Hilal telah wujud. Bagaimana menurut pendapat Bapak, mengenai hal tersebut?

      Kemudian dari tanggapan Pak Agus di atas, saya mencoba menyimpulkan bahwa Bapak berpendapat (mohon koreksinya) apabila Elevasi > 0 DAN Elongasi > 0 (untuk selanjutnya satuan/unit elevasi dan elongasi adalah derajat), maka sangat memungkinkan terjadinya hilal. Untuk sementara kita tahan pendapat Bapak ini, dan mari kita meninjau kriteria dari Hisab Wujudul Hilal (WH).

      Salah satu kriteria WH adalah apabila ELEVASI > 0 maka hilal telah wujud, tanpa perlu menghitung nilai ELONGASI. Artinya, kalau saya coba simpulkan secara sederhana, WH mengatakan: ” Apabila Elevasi > 0 PASTI-nya ELONGASI > 0″. Kemudian, Pak Agus sendiri mengatakan: ” Selama matahari-bulan-bumi tidak dalam satu garis lurus, maka berapa kecil elongasi bulan-matahari, selalu ada bagian dari sinar matahari yang dipantulkan ke bumi”, artinya ada satu kondisi dimana apabila Elongasi = 0, maka TIDAK ADA cahaya matahari yang dipantulkan ke bumi.

      Dari pendapat Pak Agus tersebut apabila dikaitkan dengan WH, maka hipotesa WH yang mengatakan apabila ELEVASI > 0 maka PASTI ELONGASI > 0 menjadi KURANG TEPAT, karena ada satu kondisi dimana bisa saja ELEVASI > 0 tetapi ELONGASI = 0 (kasus gerhana matahari). Permasalahan berikutnya yang muncul adalah, pada kondisi tersebut, semua kriteria WH terpenuhi, tetapi kesimpulan WH bahwa Hilal telah wujud belum dapat terpenuhi, karena elongasi = 0. Supaya kesimpulan tersebut terpenuhi, mungkin perlu ditambahkan kriteria baru di WH selain elevasi > 0 yaitu elongasi > 0 seperti pendapat Pak Agus sebelumnya. Bagaimana menurut pendapat Bapak? mohon pencerahannya.

      Sekarang kita kembali pada pendapat Pak Agus bahwa apabila Elevasi > 0 DAN Elongasi > 0 maka hilal sudah dapat terlihat. Untuk masalah Elevasi > 0, saya kira telah di bahas oleh Pak Rois mengenai perhitungan WH yang hanya mengitung TITIK TERTINGGI bulan. Saya coba tetap konsisten membahas masalah visibilitas hilal dikaitkan dengan ELONGASI dalam diskusi dengan Pak Agus. Menurut Pak Agus: “elongasi yang sangat kecil pun memungkinkan terjadinya hilal”. Pertanyaan saya apakah cukup dengan mengatakan bahwa elongasi > 0 (pada kondisi elevasi > 0) maka hilal sudah wujud? kita ambil contoh himpunan nilai/bilangan riil antara 0 sampai 0.0000001 yang lebih besar dari 0, apabila kita ambil nilai terkecil dari himpunan tersebut (kecuali nilai 0) sebagai nilai elongasi maka kriteria elongasi sangat kecil karena lebih besar dari 0 sudah terpenuhi, pertanyaannya adalah apakah dengan nilai elongasi tersebut sudah cukup untuk memantulkan cahaya matahari ke bumi? contoh sederhana adalah saat terjadinya gerhana matahari itu sendiri, apakah sesaat sebelum dan sesudah puncak gerhana matahari (elongasi = 0) kita dapat melihat permukaan bulan yang memantulkan cahaya matahari ke bumi? Mohon pencerahan dari Pak Agus mengenai hal tersebut.

      Sedangkan mengenai pemanfaatan proses olah citra dan filter infra merah sesuai dengan website yang Pak Agus contohkan, dimana disebutkan bahwa elongasi 4.57 sudah dapat terlihat hilal. Dari website yang sama, saya juga menemukan bahwa si pemilik website (Eng. Martin Elsasser dari Public Observatory Munich) menyimpukan, elongasi 4.57 tersebut di dapat pada pengamatan siang hari (day time) sedangkan pada pengamatan saat matahari terbenam (sunset) sudut yang dia dapat adalah 6.5 derajat (silahkan lihat presentasi dan paper dia yang di presentasikan pada Islamic Crescent Observation Project, Abu Dhabi Juni 2010). Ini berarti mendekati nilai elongasi yang disodorkan oleh Pak Thomas (6.4 derajat). Bukan begitu Pak Agus?

      Demikian, mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya dari Pak Agus. terima kasih.

      Wallahu’alam…

      • Pak Syarif,

        (1) elongasi dan elevasi
        Sebagai klarifikasi, saya akan menggunakan elongasi sebagai sudut yang dibentuk dari pusat matahari dan pusat bulan dari observer, bukan dari pusat bumi. Meskipun besar relatif antara bulan dan matahari bervariasi sedikit dilihat dari bumi, saya mengasumsikannya keduanya sama. Elevasi dihitung dari ufuk pada saat matahari terbenam. Dengan matematika sederhana, dengan sudut elevasi yang sama, sudut elongasi yang terkecil yang bisa dibuat dengan menggerakkan posisi matahari adalah ketika matahari tenggelam persis di bawah bulan (secara vertikal). Pada saat ini, elongasi = elevasi, jadi kesimpulannya elongasi >= elevasi. Ketika gerhana matahari total terjadi pada saat matahari terbenam, elongasi = elevasi = 0. Bulan dan matahari tenggelam bersamaan, berarti kriteria wujudul hilal belum terpenuhi. Ketika matahari tepat dibawah bumi, masih ada bagian bulan yang memantulkan cahaya ke bumi, meskipun kemungkinan tidak mungkin diamati observer karena terlanjur tertutup bumi. Mungkin ini yang perlu dikaji kalau wujudul hilal mengharuskan sebagian dari sinar hilal harus bisa ditangkap oleh observer (dan sepertinya tidak).

        (2) hilal dan elongasi > 0
        Selama bulan masih benda 3 dimensi dan bulat, selama ada sudut antara sumber cahaya dengan bidang yang tersinari, akan terjadi pemantulan. Apakah itu sekedar sebuah photon yang tidak terdeteksi, itu sudah diluar kemanpuan hitungan. Saya kira anda juga tahu, tidak ada angka nilai terkecil paling dekat dengan 0 yang bisa dihitung manusia kecuali dengan teori. Semua perhitungan menggunakan mesin selalu mengintroduksi error karena keterbatasan ketelitian mesin. Silakan baca IEEE 754 untuk standar umum yang dipakai di dunia komputer. Jadi nilai 0 pun bukan satu bilangan saja, tapi sebuah range dimana mesin sudah tidak bisa membedakannya dengan 0 ==> manusia pun tidak bisa membedakannya. Jadi permisalaan anda tidak realistis.

        (3) Eng. Martin Elsaesser dan elongasi minimum
        Angka 4,6 derajat yang di dapat adalah angka terkecil berhasil diobservasi oleh group dia di siang hari. Itu bukan merupakan batas minimum hilal yang bisa diamati dengan cara yang dia sodorkan. Mengutip dari papernya (bukan dari presentasi):
        “Practical limits for dedicated visual observation and imaging observation still need to be determined.”
        Sedang mengenai 6.5 derajat, silakan melihat dan mendengar langsung presentasinya. Ketika menyebut angka 6.5 derajat, dia mengungkapkannya seperti ini (silakan cari di antara waktu 24:05 – 24:35):
        “.., and after sunset I didn’t have much occasion to do that yet, but a had one occasion earlier this year, and it was very easy to image a crescent at about 6.5 degree, on good but not perfect weather condition”.
        Jadi tidak pernah ada yang mengatakan bahwa angka 4,6 derajat (siang) atau 6,5 derajat (petang) adalah batas minimum sudut elongasi untuk melihat hilal. Terutama dengan angka 6,5 derajat dimana “sangat mudah memotret hilal dalam kondisi cuaca yang bagus meskipun tidak sempurna”.

      • Pak Agus, terima kasih atas tanggapannya. Menarik sekali semua penjelasan dari Pak Agus. Ada tambahan ilmu bagi saya. Ijinkan saya untuk mencoba menanggapi semua penjelasan Pak Agus sesuai dengan pemahaman saya.

        (1) elongasi dan elevasi
        Saya sepakat dengan definisi elongasi yang dijelaskan oleh Pak Agus, berarti kita mengambil definisi elongasi toposentrik. Dengan definisi tersebut artinya konjungsi (new moon), baik saat gerhana matahari maupun tidak, sama-sama memiliki sudut elongasi 0 derajat dilihat dari pengamat. Kita tahu bahwa saat gerhana matahari maka pusat matahari dan pusat bulan berada tepat dalam satu garis, sedangkan saat konjungsi lainnya selain konjungsi saat terjadi gerhana matahari, pusat matahari dan pusat bulan tidak berada dalam satu garis.

        Menurut Pak Agus, elongasi SELALU >= elevasi. kondisi ini terpenuhi apabila konjungsi telah terjadi sebelum matahari terbenam, tetapi apabila konjungsi terjadi setelah matahari terbenam maka elongasi TIDAK SELALU >= elevasi. Karena kita sedang membahas elongasi berdasarkan kriteria Wujudul Hilal (WH), maka saya SEPAKAT dengan Pak Agus, yaitu apabila kriteria WH mengatakan konjungsi terjadi sebelum matahari terbenam, logikanya PASTI elongasi >= elevasi.

        Kembali ke saat gerhana matahari, yang menarik adalah, saat setelah gerhana matahari, BISA SAJA elongasi masih 0 derajat, karena elongasi seperti definisi awal kita, adalah sudut yang terbentuk antara matahari dan bulan BERDASARKAN posisi observer di bumi (note: gerhana matahari dan konjungsi sama-sama memiliki elongasi 0 derajat). Oleh karena itu, apabila kita melihat gerhana matahari, maka sesaat sebelum dan sesudah terjadi gerhana kita hanya dapat melihat bayangan hitam dari bulan dan BUKAN bulan sabit. Apabila matahari sudah di bawah ufuk (terbenam) tetapi sebagian piringan bulan (yang dalam hitungan WH sudah di atas ufuk, karena berdasarkan TITIK TERTINGGI) masih melekat di matahari, contohnya adalah kondisi bayangan PENUMBRA, maka kemungkinan hilal belum terbentuk. Bagaimana menurut Pak Agus.

        (2) hilal dan elongasi > 0
        disini saya SETUJU 100% persen dengan penjelasan Pak Agus. Bahkan saya sangat tertarik dengan penjelasan Bapak, dimana pemisalan saya TIDAK REALISTIK.

        Kita sepakat bahwa nilai bilangan riil terkecil yang mendekati 0 secara TEORI itu ADA! tetapi nilai ini TIDAK REALISTIK dalam perhitungan. Kemudian Pak Agus juga menjelaskan: “Selama bulan masih benda 3 dimensi dan bulat, selama ada sudut antara sumber cahaya dengan bidang yang tersinari, akan terjadi pemantulan. Apakah itu sekedar sebuah photon yang tidak terdeteksi, itu sudah diluar kemampuan hitungan.”

        Dari kedua penjelasan tersebut, ditambah perbedaan elevasi antara kriteria WH (elevasi > 0) dan kriteria Imkanur Rukyat (IR) (elevasi >2)), sekiranya saya mengambil kesimpulan sebagai berikut: “Secara TEORI ada pantulan matahari yang mencapai bumi pada elevasi antara 0 derajat – 2 derajat (dengan elongasi > 0), tetapi pantulan tersebut TIDAK REALISTIK” artinya walaupun secara TEORI pemantulan terjadi pada sudut sekecil apapun walau berupa photon yang tidak terdeteksi, akan tetapi pantulan pada sudut sekecil itu adalah TIDAK REALISTIK untuk dapat terlihat. Bagaimana tanggapan Pak Agus atas kesimpulan saya tersebut.

        (3) Eng. Martin Elsaesser dan elongasi minimum
        Saya juga setuju 100% dengan semua tanggapan Pak Agus pada sub ketiga ini, terutama dengan pendapat Pak Agus berikut: ” Jadi tidak pernah ada yang mengatakan bahwa angka 4,6 derajat (siang) atau 6,5 derajat (petang) adalah batas minimum sudut elongasi untuk melihat hilal. ” Hanya dalam penelitian ilmiah, maka catatan terakhir dari suatu penelitian yang dipublikasi dapat dijadikan sebagai batas minimum suatu teori sebelum kemudian batas tersebut di anulir oleh penelitian selanjutnya. Sebagai contoh: danjon limit dijadikan sebagai batas minimum, karena merupakan penelitian pertama yang dipublikasikan sebagai batas /limit dalam MELIHAT bulan sabit. Maka apabila nilai 4.6 dan 6.5 tersebut merupakan nilai minimum dari suatu penelitian yang dipublikasikan, nilai tersebut dapat meng-anulir nilai danjon limit dan menjadi patokan/acuan terkecil dalam melihat hilal untuk penelitian yang lain. Kemudian, pada website Islamic Crescents’ Observation Project (ICOP), terdapat catatan mengenai World Record Crescent Observations (www[dot]icoproject[dot]org[slash]record[dot]html). Semua nilai tersebut adalah hasil penelitian yang dipublikasikan, jadi dapat dijadikan sebagai acuan minimum untuk penelitian berikutnya.

        Pemahaman saya dari keterangan di atas, apabila ada suatu batasan minimum dari kegiatan penelitian yang telah dilakukan, mengapa kita tidak mengacu pada batasan tersebut bersama-sama tanpa membuat suatu batasan baru yang belum terbukti dalam bentuk TEORI yang kemungkinan TIDAK REALISTIK (perlu diingat, batasan elevasi > 2 derajat oleh IR juga ada yang menganggap TIDAK REALISTIK).

        Demikian, mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya dari Pak Agus. terima kasih.

        Wallahu’alam…

      • Pak Syarif,

        (1) Elongasi: secara specifik saya sudah mengatakan kalau sudut elongasi dihitung berdasar sudut yang dibentuk oleh pusat matahari dan pusat bulan, dari titik observer. Ketika konjungsi terjadi tidak bersamaan dengan gerhana matahari total, maka sangat jelas saat konjungsi pun sudut elongasi sudah lebih besar dari 0. Saya belum bisa memahami kesimpulan Pak Syarif yang menyatakan bahwa elongasi selau 0 ketika terjadi konjungsi dengan definisi di atas.

        Sebenarnya saya selalu mencoba menggunakan hilal dalam tanda petik (“hilal”) ketika berbicara tentang wujudul hilal, meskipun saya sendiri kurang konsisten dalam penulisan ini. Hal itu dikarenakan sejauh yang saya pahami wujudul hilal memang tidak mementingkan penampakan hilal dalam konsepnya. Wujudul hilal lebih berpegang kepada ijtihad dan landasan filosofis bahwa penanggalan berdasar bulan seharusnya menggunakan siklus bulan, bukan pada bentuk penampakan hilal. Saya hanya memberikan alasan tambahan bahwa selama gerhana matahari tidak terjadi ketika matahari terbenam, “hilal” memang sudah ada (baca: crescent selalu terjadi sebelum, pada saat, dan setelah konjungsi), meskipun mungkin sangat susah untuk dilihat dari permukaan bumi. Saya menambahkan link-link di komentar sebelumnya yang mendukung pernyataan ini.

        Kalau saya diperbolehkan untuk mengubah definisi wujudul hilal, saya mungkin akan condong terhadap pendefinisian “bulan di atas ufuk” dalam konsep wujudul hilal sebagai piringan bawah bulan di atas ufuk, bukan piringan atas bulan seperti yang menjadi pedoman hisab Muhammadiyah. Dengan ini, wujudul hilal tidak hanya “jalan tengah” antara awal bulan secara astronomi dan syari’at, tetapi juga berdasar kriteria hilal yang sudah “wujud sempurna” (dalam arti: tidak ada bagian hilal yang terpotong karena tertutup di bawah ufuk), meskipun sinar hilal mungkin sangat sukar (baca: tidak mungkin) dilihat dari permukaan bumi. Ini juga akan menghilangkan keberatan tentang ketidakmungkinan hilal terjadi selama gerhana matahari bersamaan waktunnya dengan terbenammnya matahari.

        (2) Mengenai tidak realistik dan teori, sepertinya Pak Syarif menarik kesimpulan yang kurang tepat. Ketika perhitungan menunjukkan nilai lebih besar dari 0, berarti memang nilai tersebut sesuatu yang cukup besar bisa dihitung melalui alat. Perhitungan adalah bentuk aproximasi dengan ketelitian yang terdefinisi sebelumnya. Pak Syarif membawa ke masalah “TIDAK REALISTIK” ke dalam bentuk observasi, sepertinya Pak Syarif sudah tidak membicarakan wujudul hilal lagi. Atau, kalau ingin memojokkan metode hisab yang lain: misalnya sebuah kriteria imnaku rukyat mengharuskan sudut elongasi minimal 2 derajat. Bagaimana ketika ada yang pihak yang mengaku melihat hilal dengan sudut elongasi 1,9999 derajat. Ingat 1×10^-4 adalah nilai yang cukup besar dalam perhitungan komputer. Apakah sebuah kriteria imkanu rukyat bisa membuktikan adanya perbedaan kemungkinan yang signifikan terhadap terlihatnya hilal dalam sudut 2 derajat dan 1,9999 derajat? Saya yakin tidak. Kalau saya yang salah mengenai ini, saya akan senang hati menerima informasi tambahan.

        (3) Yang saya sering kurang paham, mengapa imnaku rukyat bukan sebuah teori? Kriteria imkanu rukyat adalah teori yang diturunkan dari data-data observasi. Tidak ada landasan utama kriteria ini kecuali fakta bahwa sinar hilal akan terhalang oleh atmosfer bumi yang diperburuk oleh faktor-faktor cuaca. Tidak ada unsur ideal dan non-ideal yang masuk dalam parameter ini, kalau saja iya, tentusaja diperlukan faktor lain seperti tinggi tempat (ketebalan atmosfer), kelembaban udara, kondisi awan dan lain-lain. Selain itu, saya juga akan sedikit membedakan antara bentuk penelitian dengan hasil observasi. Halaman yang Pak Syarif sodorkan adalah semata-mata hasil observasi (sebagai data), bukan sebuah hasil penelitian itu sendiri (kecuali terhadap teknik observasi dan pengambilan gambar). Dalam data tersebut, tidak ada informasi bahwa itu adalah nilai minimum yang bisa diraih dalam kondisi yang sama.

        Kalau kita mau kembali ke pokok permasalahannya, sebenarnya perbedaan metode penentuan awal bulan melulu masalah ijitihad dan masalah filosofis:
        (1) rukyat: hilal harus terlihat pada saat awal bulan
        (2) imkanu rukyat: hilal tidak perlu terlihat selama “diyakini” hilal bisa terlihat berdasar hasil observasi lampau melalu parameter-parameter yang disepakati
        (3) wujudul hilal + modifikasi saya: hilal tidak perlu terlihat selama hilal sudah terjadi dan tidak ada bagian hilal yang tertutup karena di bawah ufuk
        (4) wujudul hilal (Muhammadiyah): hilal bukan lagi kriteria karena awal bulan ditentukan berdasarkan siklus peredaran bulan.

      • Pak Agus, terima kasih atas koreksinya. Saya coba menanggapi ya Pak, mudah-mudahan tanggapan saya lebih mudah di pahami

        (1) Elongasi
        Sepertinya masih ada perbedaan kita dalam mendefiniskan elongasi. Karena menurut Pak Agus sudut elongasi terbentuk dari pengamatan di bumi, maka yang saya pahami bahwa saat terjadinya konjungsi itu bulan tidak terlihat (kecuali saat terjadinya gerhana matahari). Apabila kita gambarkan lintasan bumi dan bulan terhadap matahari dalam bidang datar (2D), maka saat konjungsi terjadi, bumi-bulan-matahari selalu berada dalam satu garis “lurus”, artinya elongasi = 0. Apabila pusat bumi-bulan-matahari tepat berada dalam satu garis, maka terjadilah gerhana matahari TOTAL (total eclipse). Apakah gerhana matahari total terjadi setiap konjungsi, tentu tidak, karena posisi bulan selalu berubah sekitar 5 derajat ke “atas” dan ke “bawah” dari bidang datar tersebut diatas. Kalau begitu apakah sudah terbentuk pantulan akibat sudut 5 derajat tadi? ternyata tidak Pak. Karena bulan adalah benda padat yang tidak mempunyai atmosfer, sudut tersebut tidak cukup untuk membuat pantulan sinar matahari ke bulan mencapai bumi, sehingga newmoon atau bulan baru kadang juga disebut sebagai dark moon atau invisible moon atau bulan mati, karena tidak dapat dilihat dari posisi pengamat di bumi.

        Dari pemahaman di atas , saya memahaminya bahwa setiap saat konjungsi (new moon) maka elongasi = 0 derajat, sedangkan saat full moon (bulan purnama) elongasi = 180 derajat. Kemudian yang saya pahami lagi adalah, selama lingkaran bulan masih menempel pada lingkaran matahari saat terjadinya gerhana matahari total, maka elongasi masih = 0 derajat. Elongasi > 0 adalah saat lingkaran bulan telah benar-benar terpisah dari lingkaran matahari, sehingga terhitung dari saat itu diyakini telah ada pantulan sinar matahari ke bulan yang mencapai bumi. Kita bisa lihat saat terjadi gerhana sebagian (partial eclipse), yang juga terjadi saat konjungsi (new moon), saat itu elongasi = 0 (menurut pemahaman saya), tetapi pusat bulan tidak bertumpuk dengan pusat matahari, bagian bulan yang tampak adalah bagian yang tidak tersinari (bagian hitam), dan tidak ada bulan sabit terlihat disana. Mohon koreksinya dari Pak Agus.

        (2) Mengenai realistik dan teori.
        Disini saya hanya mencoba menyimpulkan apa yang saya pahami dari pendapat Pak Agus sebelumnya. Bapak sendiri sebelumnya mengatakan:
        (-) “…Apakah itu sekedar sebuah photon yang TIDAK terdeteksi, itu sudah DILUAR kemampuan hitungan…”
        (-) “..meskipun sinar hilal mungkin sangat sukar (baca: TIDAK mungkin) dilihat dari permukaan bumi…”
        artinya kan, kalau hanya dengan menyimpulkan bahwa di atas 0 derajat (sekecil apapaun sudut yang terbentuk) sudah terlihat (tanpa perlu lagi observasi), maka itu tidak realistis dan hanya ada dalam teori, bukan begitu Pak? atau mungkin saya masih salah dalam memahami pendapat Pak Agus.

        Pemisalan Pak Agus mengenai pihak yang mengaku melihat hilal dengan sudut elongasi 1,9999 derajat, menurut saya, justru menunjukkan bahwa Rukyat dan Hisab TIDAK DAPAT DIPISAHKAN. Kalau dari hasil perhitungan (Hisab) mengatakan bahwa hilal berada pada elevasi 1.9999 derajat, maka tentunya pengamatan (Rukyat) yang melihat hilal pada sudut tersebut akan di terima, dan ini dapat dijadikan sebagai koreksi terhadap kriteria yang ada sebelumnya. Beda misalnya kalau hasil perhitungan (Hisab) dikatakan elevasi = 0.6 derajat tetapi ada yang melihat (Rukyat) hilal dengan mengatakan bahwa hilal terlihat pada elevasi = 1.9999 derajat atau 2.0001 derajat atau bahkan > 2 derajat sekalipun, pengakuan ini tentunya perlu diselidiki kebenarannya. Apabila pengakuan itu di dapat dari banyak hasil pengamtan yang tersebar di seluruh Indonesia, maka hasil Rukyat yang benar dan hasil perhitungan yang salah. Tetapi apabila hanya satu orang yang melihat, maka hasil pengamatannya perlu di ragukan (mohon jangan di bawa ke perdebatan bahwa dulu Nabi Muhammad SAW menyatakan bulan baru hanya berdasarkan kesaksian satu orang badui).

        (3) Pendapat saya yang terakhir (kalau Pak Agus membaca kembali tanggapan saya sebelumnya) sebenarnya saya tujukan ke 2 metode yang ada yaitu WH dan IR. Disana saya coba “mengkritik” kenapa WH dan IR tidak langsung mengadopsi kriteria-kriteria yang sudah ada dari hasil obervasi atau penelitian atau apalah, yang sudah di publikasikan secara internasional. Kesan yang saya dapat, metode WH merasa “dipaksa” mengakui/menerima metode IR, dan metode IR merasa “terpaksa” membuat suatu kriteria yang dapat menyatukan pengusung hisab murni dan pengusung rukyat murni di Indonesia. Kalau keduanya mengadopsi kriteria dari luar, dan sepakat untuk menggunakannya bersama-sama, kan kesan tersebut jadi terhapus.

        Demikian, mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya dari Pak Agus. terima kasih.

        Wallahu’alam…

      • Pak Syarif,
        (1) elongasi: mendefinisikan elongasi 0 pada saat konjungsi hanya mungkin setelah melakukan proyeksi posisi bulan terhadap bidang orbit bumi terhadap matahari. Mengingat kita sedang membicarakan bulan, elongasi harus dibaca sebagai “elongasi bulan”, bukan elongasi planet atau elongasi satelit yang mempunyai definisi berbeda dalam astronomi. Menggunakan tautan ICOP yang Pak Syarif sodorkan, di situ terdapat definisi penggunaan elongasi. Kemudian silakan cermati hasil laporan “Smallest Elongation from Sun”, anda akan menemukan sudut elongasi 4,5 derajat meskipun barusaja terjadi konjungsi. Jadi saat disekitar (tidak perlu tepat) saat konjungsi adalah saat sudut elongasi terkecil dalam satu siklus bulan, dan elongasi 0 hanya terjadi ketika gerhana matahari total/cincin terjadi. Mengenai pernyataan bahwa bulan tidak bisa memantulkan cahaya matahari ke bumi disekitar saat konjungsi, saya tidak perlu mengomentari terlalu panjang: pernyataan ini sudah terbukti salah, silakan lihat kembali tautan diatas.

        (2) teori dan realitas: pebedaan wujudul hilal dengan imkanu rukyat dalam aspek ini adalah, wujudul hilal memberikan kepastian bahwa ada landasan kepastian teori bahwa bulan *bisa* terlihat atau tidak di sekitar kriteria tinggi bulan 0 derajat, sedang imkanu rukyat tidak bisa memberikan kepastian secara teori bahwa hilal bisa dilihat atau tidak disekitar kriteria tersebut. Ketika Pak Syarif mengatakan kalau kriteria imkanu rukyat ini harus dan seharusnya direvisi ulang sesuai dengan perkembangan zaman, maka kesimpulan saya adalah konsep imkanu rukyat memang belum mapan dan belum siap untuk diaplikasikan dalam jangka waktu panjang. Pak Djamaluddin menggolongkan ini sebagai sesuatu yang “dinamis”, padahal dalam realitasnya ini adalah hal yang negatif ketika diaplikasikan sebagai sebuah sistem penanggalan.

        (3) Masalah wujudul hilal sukar diterima buat saya adalah, konsep ini dirasakan terlalu jauh meninggalkan penafsiran-penafsiran tradisional terhadap kriteria awal bulan dimana sangat menggantungkan terhadap visibilitas hilal. Imkanu rukyat pada dasarnya adalah “merukyat dengan hisab”, tidak begitu berbeda dengan rukyat, hanya saja dalam prakteknya landasan teori dalam penetapan kriteria masih dirasakan kurang kuat. Selain itu imkanu rukyat juga dipopulerkan dengan memberikan persepsi salah mengenai “hilal” (dalam arti crescent): bahwa “hilal” TIDAK MUNGKIN TERJADI ketika kriteria imkanu rukyat tidak terpenuhi, padahal imkanu rukyat seharusnya hanya memberikan acuan bahwa SANGAT SULIT TERLIHAT (baca: tidak pernah terliha sebelumnyat) dalam kondisi bulan dengan parameter yang sama.

      • Pak Agus, terima kasih atas koreksinya.

        (1) Elongasi.
        Ternyata saya memang SALAH dalam memahami elongasi disini. Seperti yang Bapak katakan, saya rancu antara elongasi planet dan elongasi bulan. Sekali lagi terima kasih atas koreksinya. saya SEPAKAT dengan pemahaman Pak Agus mengenai elongasi dan “kemungkinan” adanya sinar pantulan mencapai bumi pada saat elongasi > 0. Pada akhirnya kembali ke pada problem dasar mengenai definisi “terlihat” apakah terlihat dengan ilmu atau terlihat dengan mata, tapi sepertinya itu sudah masuk ke wilayah Fiqh, saya tidak berani berdebat disana.

        (2) Terori dan realitas.
        Disini juga sebenarnya kita kembali ke perbedaan mengenai definisi “terlihat”. Tetapi saya kurang paham dengan pendapat Pak Agus bahwa Imkanur Rukyat (IR) TIDAK BISA memberikan kepastian secara teori.
        Kalau kita baca tulisannya John Caldwell and David Laney (2001) yang berjudul ” The First Visibility of The Lunar Crescent” (bisa di cari di www[dot]icoproject[dot]org[slash]paper[dot]html) pada Figure 1 digambarkan hasil pengamatan berdasarkan perbedaan elevasi dan azimuth. Disana terlihat bahwa pengamatan pada elevasi 6.4 dan altitude 4 derajat, Pak Thomas mencoba menawarkan kriteria yang sudah dikenal sebagai kriteria dasar dalam dunia astronomi.

        Sebenarnya, kalau kita kembali ke Buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah”, pada halaman 24 tertulis ” …Keberadaan Bulan di atas ufuk (tambahan: saat matahari terbenam) itu penting mengingat ia adalah inti makna yang dapat disarikan dari perintah Nabi Muhammad SAW melakukan rukyat…” saya memahaminya bahwa WH juga (sebenarnya) mengharuskan hilal yang terlihat oleh mata, karena HANYA hilal yang di atas ufuklah yang bisa terlihat oleh mata.

        Mengenai konsep yang dinamis, memang demikian halnya Pak Agus. Menurut David McNaughton (1997) dalam tulisannya “A Universal Islamic calender”, menyebukan bahwa kriteria dalam perhitungan astronomi dapat berubah. Dicontohkan mengenai rata-rata umur bulan, sekarang ini nilainya dalah 29.530589 hari, ribuan tahun lalu adalah 29.530587 hari dan ribuan tahun ke depan kemungkinan menjadi 29.53091 hari. Kalau kemudian dikatakan “ah itukan ribuan tahun, engga bakalan terasa”, mungkin tidak, tetapi akumulasi kesalahan dalam perhitungan dapat berakibat terjadinya perbedaan hari menurut perhitungan dengan kejadian sebenarnya. Contoh nyata adalah (mungkin) penganut paham Hisab Urfi.

        (3) Pada point ini saya SEPAKAT Pak Agus. Saya mencoba menambahkan, kalau kita hanya tergantung pada Hisab, dikhawatirkan akan terjadi akumulasi kesalahan akibat dari penggunaan approximation dalam perhitungan. Kalau hanya tergantung dengan Rukyat maka sangat kecil kemungkinan terbentuknya kalender islami secara global, karena awal bulan selalu menunggu hasil rukyat. Mungkin jalan tengahnya adalah Rukyat yang dipandu oleh Hisab, seperti yang ditawarkan oleh Khalid Shaukat (2010) dalam tulisannya yang berjudul “A Suggested Global Islamic Calender”, bagaimana menurut Pak Agus?

        Demikian, mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya dari Pak Agus. terima kasih.

        Wallahu’alam…

      • RALAT:
        mohon maaf sepertinya tulisan saya terpotong… 😦

        tertulis:

        …Kalau kita baca tulisannya John Caldwell and David Laney (2001) yang berjudul ” The First Visibility of The Lunar Crescent” (bisa di cari di www[dot]icoproject[dot]org[slash]paper[dot]html) pada Figure 1 digambarkan hasil pengamatan berdasarkan perbedaan elevasi dan azimuth. Disana terlihat bahwa pengamatan pada elevasi 6.4 dan altitude 4 derajat, Pak Thomas mencoba menawarkan kriteria yang sudah dikenal sebagai kriteria dasar dalam dunia astronomi….

        SEHARUSNYA:

        Kalau kita baca tulisannya John Caldwell and David Laney (2001) yang berjudul ” The First Visibility of The Lunar Crescent” (bisa di cari di www[dot]icoproject[dot]org[slash]paper[dot]html) pada Figure 1 digambarkan hasil pengamatan berdasarkan perbedaan elevasi dan azimuth. Disana terlihat bahwa pengamatan pada elevasi kurang dari 5 derajat tidak terlihat hilal (disini tentunya dalam definisi melihat dengan mata). Artinya jangankan 0 derajat, bahkan 2 derajat saja sudah dianggap tidak bakalan dapat terlihat hilal, jadi WH dan IR sama-sama TIDAK ADA landasan teorinya, kalau saya pinjam pernyataan Pak Agus: “terlalu kecil untuk dideteksi (atau TIDAK terdeteksi) sehingga sinar hilal sangat sukar (baca: TIDAK mungkin) dilihat dari permukaan bumi.” Jadi terlihat pada elevasi antara 0-2 atau 0-5 derajat hanya ada dalam teori.

        Kemudian Mohammad Odeh (2006) dalam tulisannya yang berjudul “New Criterion for Lunar Crescent Visibility” pada halaman 41, menyebutkan paramater untuk terlihatnya hilal (kembali kemungkinan disini definisinya adalah terlihat dengan mata). Odeh menyebutkan ” The visibility of lunar crescent cannot be predicted reliably using ONLY one of the above parameters.” karena terdapat parameter elevasi disana, maka artinya menggunakan kriteria elevasi saja tidak cukup dipercaya. Odeh juga menyebutkan 3 paramater dasar yaitu elongasi (ARCL), altitude (ARCV) dan azimuth (DAZ) (keterangan lebih lengkap silahkan baca tulisannya), setidaknya kalau kita kembali kepada kriteria yang ditawarkan oleh Pak Thomas, yaitu elongasi lebih besar dari 6.4 dan altitude 4 derajat, Pak Thomas mencoba menawarkan kriteria yang sudah dikenal sebagai kriteria dasar dalam dunia astronomi.

  39. Kepada Pak Ivan, terima kasih banyak Pak, saya setuju dengan tanggapan di awal tulisan dan pendapat Bapak. Saya mencoba menanggapi disini ya Pak Ivan. Sepertinya pemahaman saya dan Pak Ivan sudah lebih dekat, hanya masih ada sedikit perbedaan, mudah-mudahan kita yang awam bisa saling melengkapi juga ya Pak Ivan (sambil berharap dapat diluruskan oleh ahlinya, yaitu Pak Thomas dan kawan-kawan yang mempelajari astronomi). Artinya kita belajar bersama-sama di Blognya Pak Thomas ini.

    KONSEP MATLAK

    (1) Menurut Pak Ivan: ” Yang saya maksudkan dengan Konsep 1 Matlak di permukaan bumi adalah : Penetapan Awal Bulan Hijriyah dengan menggunakan seluruh Penghitungan Hilal di berbagai wilayah bumi pada tanggal yang sama… ” ini saya SETUJU dan SEPAKAT Pak.

    Tetapi pendapat Pak Ivan berikutnya: “dengan Patokannya Kriteria Wujudul Hilal (WH) dengan Koordinat Ka’bah Mekah… agar Penetapan yang dilakukan bisa mengakomodir kriteria Imkan Rukyat…” saya masih belum paham. Apakah maksudnya kriteria WH ini sama dengan kriteria WH versi Muhammadiyah (WH-MD)? Apabila kriterianya sama, kembali ada hal teknis yang akan diperdebatkan, terutama dengan hanya mencantumkan kriteria bulan diatas ufuk sebagai kriteria telah wujudnya hilal dengan matlak lokal (daerah Mekkah).

    Karena sekiranya ada kasus serupa seperti yang saya contohkan sebelumnya, bahwa bulan belum di atas ufuk di Mekkah, tetapi menurut perhitungan (HISAB) hilal sudah dapat terlihat di samudera pasifik (bukan di daratan/benua), pertanyaannya apakah akan diumumkan awal bulan baru hijriyah karena hilal sudah terlihat di salah satu wilayah di bumi (matlak global) atau tidak karena bulan belum wujud masih di bawah ufuk Mekkah (matlak lokal)? Bagaimana menurut Pak Ivan.

    (2) Pada tanggapan sebelumnya Pak Ivan mengatakan: “Kriteria Wujudul Hilal Muhammadiyah sekarang memang benar masih menggunakan matlak lokal… yaitu matlak wilayah Indonesia…NAMUN dengan posisi Indonesia yang termasuk wilayah paling Timur dalam pergantian hari (tanggal)… penggunaan kriteria ini menjadi tidak masalah… SEBAB akan menyamakan Awal Puasa, Idul Fitri dan Idul Adha Indonesia dengan negara lain di sebelah Baratnya…” Pendapat inilah yang menurut saya suatu KEBETULAN bukan berupa KEPASTIAN.

    Karena, pada pendapat tersebut Pak Ivan memasukan kriteria baru yaitu “posisi Indonesia yang termasuk wilayah paling Timur.” Jadi kalau saya membuat kalimat baru dari pendapat Bapak:…. Hasil perhitungan kriteria WH KEBETULAN bersamaan dengan Awal Puasa, Idul Fitri dan Idul Adha Indonesia dengan negara lain di sebelah Baratnya, KARENA (kriteria baru ) posisi Indonesia yang termasuk wilayah paling Timur. Kesimpulan bukan berasal dari proses perhitungan (kriteria awal perhitungannya), tetapi dari kriteria di luar perhitungan, ini yang dapat membuat ketidakpastian. Mohon pendapatnya.

    HIPOTESA WH DI INDONESIA

    (1) Mohon penjelasan Pak Ivan mengenai software Accurate Time. Apakah ini merupakan software yang dibuat oleh Odeh? Kalau memang demikian, bukankah disebut wilayah putih adalah daerah yang tidak mungkin terlihat hilal walau bulan sudah di atas ufuk? Mohon koreksinya apabila salah.

    Supaya tidak rancu definisinya, kita sepakat dulu kalau:

    – BULAN (Moon/Qomar) adalah benda planet yang TIDAK memancarkan cahaya. Bulan selalu ada, tetapi bulan terlihat di Bumi saat cahaya matahari DIPANTULKAN oleh permukaan bulan.

    – HILAL (Crescent/bulan sabit) adalah bentuk bulan yang tampak dari bumi saat cahaya matahari dipantulkan tersebut, artinya posisi bumi-bulan-matahari membentuk suatu sudut sehingga pantulan cahaya matahari sampai di bumi.

    Kalau dalam sotware tersebut dikatakan bahwa hilal sudah di atas ufuk tapi tidak terlihat oleh mata, saya jadi bertanya-tanya, apakah pada software tersebut juga dapat dimasukan perhitungan posisi awan atau objek/benda langit atau peristiwa lain (topan/badai/dll) yang dapat menghalangi cahaya sampai di bumi? Mohon pencerahannya.

    (2) Pak Ivan, sangat menarik kalau software Stellarium dapat menghitung kalau bulan mati (saat terjadinya konjungsi) itu memantulkan cahaya ke bumi. Apakah Pak Ivan YAKIN dengan hasil perhitungan Bapak? Penggunaan software Stellarium itu rumit tidak Pak? saya jadi tertarik untuk mencoba meyakini pendapat Pak Ivan bahwa “bulan mati memantulkan cahaya ke bumi.”

    Demikian, mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya. terima kasih.

    Wallahu’alam…

  40. Pak Syarif, maaf nunggu kelamaan…
    Saya coba jawab lagi ya… 🙂

    KONSEP MATLAK

    (1) Yang saya pahami dari perbedaan antara Kriteria WH Muhammadiyah dengan Kriteria WH Ummul Qura adalah :
    – Kriteria WH Muhammadiyah : Kriteria WH dengan batas minimal (yang penting bulan masih “nongol” di atas ufuk, walaupun cuman lingkaran atasnya)
    – Kriteria WH Ummul Qura : Kriteria WH dengan batas maksimal (bulan harus “nongol” 1 bulatan penuh pas di atas ufuk)

    Menurut saya, dengan Patokan Koordinat Mekah untuk Matlak Seluruh Bumi, untuk menjadi ketentraman semua pihak… Sebaiknya yang digunakan adalah Kriteria WH dengan batas maksimal… yaitu WH Ummul Qura…

    Sebetulnya Ummul Qura Arab Saudi dalam kepentingan seluruh umat Islam sedunia, sudah ada dalam rel yang tepat dalam menetapkan tanggal Hijriyahnya… Hanya sayang Pemerintah Saudi tidak mau menggunakan ini ketika menetapkan tanggal yang urusannya Ibadah… tapi masih menggantungkan diri kepada Metoda Rukyat… Yang justru malah sangat rentan untuk menimbulkan kekeliruan…
    Contohnya Kekeliruan Penetapan Awal Bulan Dzulhijjah 1428…

    Menurut Perhitungan Astronomi
    ( Saya mengambilnya penghitungan Software Accurate Times) :

    – Tgl 9 Desember 2007, Arab Saudi masuk pada daerah berwarna merah … Itu artinya pada tgl tersebut saat matahari terbenam di sana (malam Senin 10 Desember 2007), Hilal masih di bawah Ufuk… yaitu -04°:56′:20″
    Pada tgl tersebut baru wilayah Amerika Selatan lah yang masuk kepada daerah yang berwarna putih (Hilal di atas Ufuk)…

    – Hilal untuk Dzulhijjah 1428 di Arab Saudi baru di atas ufuk pada saat matahari terbenam adalah besoknya, yaitu tgl 10 Desember 2007 (malam Selasa 11 Desember 2007)
    Pada tgl tersebut Arab Saudi sudah termasuk daerah berwarna Biru (Need Optical Aid), dengan tinggi Hilal = +05°:03′:16″

    Tapi yang terjadi adalah Pemerintahan Arab Saudi menetapkan awal bulan Dzulhijjah di hari yang seharusnya masih tanggal 30 Dzulqo’dah 1428 dengan alasan adanya saksi rukyat yang mengaku melihat hilal pada tgl 9 Desember 2007 M… Padahal Hilal nya sendiri di Arab Saudi pada saat itu di bawah ufuk ( -4° )
    ( Sumber : Kontroversi_Dzulhijjah_1428_H_Saudi_Arabia – NU.or.id )

    Hal di atas juga menjadi bukti bahwa Penetapan Penanggalan berdasarkan Rukyat, sangat besar kemungkinan Human Error nya… Berbeda dengan Penetapan Penanggalan berdasarkan Penghitungan Hisab Astronomis…

    Mengenai masalah “Mengapa Hanya mencantumkan kriteria bulan diatas ufuk sebagai kriteria telah wujudnya hilal dengan matlak lokal (daerah Mekkah)” ?…
    Ide dasarnya adalah :
    Tercapainya suatu kesepakatan yang bisa memuaskan seluruh umat Islam sedunia, dengan tetap berdasarkan kepada nilai-nilai Al Quran dan Hadist Nabi…

    – Bila menggunakan Kriteria WH saja, tanpa peduli di sebelah mana pun Hilal itu berada yang penting suatu tanggal itu ada bagian bumi yang masuk Kriteria WH, walaupun katakanlah Hilal baru Wujud di Ekuador…

    Contohnya tanggal 9 Desember 2007, Hilal untuk Muharram 1428 di atas…
    Dari Software Accurate Times terlihat, ketika Hilal di benua Asia, Eropa, Afrika dan Amerika Utara masih di bawah ufuk, Hilal di wilayah Ecuador sudah wujud di atas ufuk… yaitu tinggi hilal = +01°:26′:20″ )

    Bila hal ini yang dilakukan, yang menggunakan Kriteria Imkan Rukyat dapat dipastikan tidak akan menyepakatinya…

    – Sedangkan dengan Patokan Koordinat Mekah, katakanlah Hilal di Mekah di atas ufuk hanya 0,5°… maka di wilayah sebelah Barat Mekah pada tgl yang sama… akan ada Hilal yang tingginya sudah mencukupi kriteria Imkan Rukyat…
    Itulah yang menjadi dasar mengapa Hilal di Mekah cukup hanya dengan kritera WH saja, tidak perlu dengan kriteria Imkan Rukyat…

    (2) Posisi Indonesia adalah termasuk yang paling Timur dari pergantian hari :

    Secara mudahnya kita bisa melihat fakta nya sekarang… Wilayah di tengah-tengah Samudera Pasifik lah yang dijadikan dijadikan Batas Alamiah Perubahan Hari di dunia…

    Di bawah ini hanyalah Pemikiran saya Mengapa Secara Alamiah dan Naluriah, Samudera Pasifik dijadikan Batas Perubahan Hari Internasional :
    Kita meyakini bahwa asal mula Nenek Moyang Manusia adalah Nabi Adam as… dan Nabi Adam as beserta istrinya setelah turun ke muka bumi, tempat menetapnya adalah di daerah Mekah…
    Jadi adalah logis kalau kalau dalam penyebaran anak keturunannya… adalah menyebarnya relatif ke arah Timur dan ke arah Barat Mekah… yang kemudian berhenti penyebaran itu karena terhalang Samudera yang sangat luas… yaitu Samudera Pasifik…

    Jadi Ke arah Timur menyebar sampai di Kepulauan Oceania…
    Ke arah Barat menyebar sampai di Benua Amerika…

    Walaupun menurut Teori Model of Migration to the New World… Orang Amerika Asli katanya adalah dari Asia melalui Selat Bering (Perbatasan Alaska dengan Rusia)…
    Penyebaran manusia anak keturunan Nabi Adam as dari Daerah Mekah ke arah Barat, melalui Benua Afrika kemudian sampai di Benua Amerika melalui Laut Atlantik… sangat mungkin terjadi…
    Mungkin bisa kita bandingkan dengan Pelaut Ulung Bangsa kita pada zaman dahulu yang katanya bisa sampai berlayar ke Madagaskar…

    Pada saat anak keturunannya menyebar ke segala penjuru bumi itulah… masing-masing membawa informasi hari yang sama yang secara terus menerus dijadikan patokan mereka dari generasi ke generasi…
    Itulah sebabnya mengapa sekarang yang dijadikan Perbatasan Tanggal Internasional (Perbatasan Perubahan Hari di muka bumi) secara alamiah dan naluriah manusia akan mengarahkan nya kepada daerah di sekitar Samudera Pasifik…

    Dan menurut pendapat saya, Penanggalan Hijriyah Internasional yang berdasarkan 1 Matlak di permukaan bumi harus sama di semua wilayah permukaan bumi antara Hari dan Tanggal…
    Bila di suatu wilayah muka bumi, suatu tanggal 1 yang sedang berjalan itu adalah hari Jum’at (misalnya)… maka di semua wilayah permukaan bumi sama…
    Tidak ada yang tanggal 1 nya itu hari Kamis atau hari Sabtu… semua sama yaitu hari Jum’at…

    HIPOTESA WH DI INDONESIA
    (1) Memang benar yang termasuk ke dalam daerah dari Kriteria Odeh adalah Hilal di atas ufuk yang tidak terlihat mata…
    Tapi ini kembali lagi kepada masalah Penafsiran kepada Metoda Rukyat yang dilakukan Nabi…

    Pemegang Kriteria Wujudul Hilal memahami Rukyat Nabi itu… adalah Hanyalah Metoda itulah yang baru diketahui umat Islam pada zaman Nabi dalam memastikan bahwa Hilal telah muncul sebagai pertanda Penanggalan sudah memasuki Bulan Baru…
    Untuk Zaman sekarang Cara Memastikan Hilal telah muncul sebagai Pertanda Penanggalan sudah memasuki Bulan Baru… Bisa menggunakan Ilmu Hisab Astronomi…

    Dan hal ini bukan berarti Mengagungkan Iptek dibanding Petunjuk Nabi… seperti yang dituduhkan oleh orang-orang yang Naif selama ini…
    Kalau hal ini berarti mengagungkan Iptek… tentunya yang pergi haji dengan lebih memilih pesawat terbang dan mobil dibanding mengendarai unta dan perahu dayung pun bisa kita tuduhkan sebagai Pengagung Iptek… 😦

    Masalah yang ditampilkan Software Accurate Times mengenai daerah berwarna Merah, Putih, Biru, Magenta, Green itu adalah bisa kita katakan sebagai “penafsiran” yang dilakukan Odeh dari angka-angka (data) hasil perhitungan astronomi…
    Sedangkan data-data yang berupa angka itu seperti yang saya pernah saya katakan… mau dari Lapan, NU, Muhammadiyah, Persis, Ummul Qura atau siapapun… selama Ilmu Hisab Astronomi nya sama, akan menghasilkan data-data yang berupa angka yang sama…

    Contoh Ilmu Hisab Astronomi yang beda kemarin adalah… Hisab Takribi yang dilakukan Tim Cakung… Hasil tinggi Hilal Syawwal kemarin yang didapat Tim Cakung berbeda dengan Hasil Lapan dll…

    (2) Mengenai ‘bulan mati (saat terjadinya konjungsi) itu memantulkan cahaya ke bumi’… Terus terang saya meyakininya…
    Berdasarkan kepada penghitungan Magnitudo nya…

    Alhamdulilah… Software Stellarium itu tidak rumit pak… Software nya Free lagi, tidak usah beli atau pakai bajakan… 🙂

    Tinggal didownload di stellarium.org , terus Install saja… Kita hanya tinggal memasukan lokasi, tanggal dan jam… langsung tersimulasikan seperti kita melihat langsung di lapangan…
    Untuk mengetahui Magnitudo suatu benda langit kita tinggal klik saja kepada benda langit yang kita inginkan…
    Sebetulnya di Accurate Times pun penghitungan Magnitudo nya ada juga… Cuman memang kalau di Stellarium bisa lebih enak lihatnya dan bisa langsung…

    Mudah-mudahan ke depan, dengan adanya Kalender Hijriyah yang sudah bisa memberi kepastian seperti halnya Kalender Masehi… Kita bisa menggunakannya secara luas untuk berbagai keperluan…

    Bisa jadi nanti, mungkin bisa kita usulkan Kalender Hijriyah digunakan untuk Penanggalan Gaji Karyawan dan PNS…
    kan lumayan untuk yang gajian, gajian bisa lebih cepat 1 hari tiap bulannya… 🙂

    Hanya harus siap resikonya… Yang punya tagihan kredit, tagihan kreditnya juga bakal lebih cepat 1 hari tiap bulan… 😀

    • Pak Ivan, terima kasih atas tanggapannya. Iya nih, Pak Ivan kemana aja, lama saya menunggunya..hehehe. Tidak apa-apa ko’ Pak, kita kan juga harus mengerjakan kegiatan yang lain, di blog ini kita hanya mencoba untuk mencari dan menimba ilmu dengan berdiskusi. Tentunya diharapkan bukan berupa debat kusir tapi diskusi yang berakhir dengan kesepahaman, setuju yah Pak Ivan. Saya coba tanggapi yah Pak.

      KONSEP MATLAK

      (1) Sepertinya ada perbedaan paham pada diskusi kita di sub topik ini. Saya memahaminya, apabila kita menggunakan matlak global, maka Imkanur Rukyat (IR)-nya pun IR versi global, bukan IR versi pemerintah lagi yang hanya menggunakan matlak Indonesia. Jadi kalau IR versi global, dimanapun hilal itu terhitung dapat dilihat di muka bumi (baik itu di daratan maupun hanya di lautan) maka sudah dapat ditentukan bahwa esok harinya adalah bulan baru.

      Tetapi kalau matlak global menggunakan Wujudul Hilal (WH) versi Ummul Qura sekalipun, maka saat bulan masih dibawah ufuk Mekkah, tetapi hilal sudah terlihat di wilayah Amerika Selatan, belum dapat ditentukan bahwa esok adalah bulan baru karena bulan masih di bawah ufuk. Tetapi dengan perhitungan IR versi global, maka bulan baru sudah dapat ditentukan esok hari karena hilal sudah terlihat di muka bumi (dalam hal ini terlihat di Amerika Selatan).

      (2) Penentuan batas tanggal internasional di Samudera Pasifik sebenarnya sederhana, karena pada daerah tersebut apabila terjadi perubahan hari tidak akan menjadi masalah karena TIDAK BANYAK manusia berdomisili tepat pada batas garis tersebut, artinya hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan manusia TIDAK begitu besar. Buktinya garis berubah saat memasuki wilayah Kepulauan Kiribati, dimana semua wilayahnya menjadi satu tanggal yang sama (keputusan ini baru ditetapkan tahun 1995!).
      Bayangkan apabila garis tanggal internasional berada tepat di kota Bandung, maka kota Sumedang akan sehari lebih lambat dari kota Cianjur, walaupun jamnya sama karena sama-sama GMT +7 (dihitung dari batas garis waktu internasional, Greenwich Mean Time).

      Mengenai sebaran manusia, dari yang saya pahami, jaman dulu benua itu bersatu dalam bentuk daratan yang luas yang disebut PANGAEA. Apakah keberadaan Nabi Adam a.s. dan istri itu setelah masa Pangaea.. wallahu’alam, tetapi mungkin sudah di luar topik pembahasannya ya Pak Ivan.

      Maksud saya pada sub topik ini adalah penetapan awal bulan berdasarkan kriteria WH KEBETULAN bersamaan dengan Awal Puasa, Idul Fitri dan Idul Adha Indonesia dengan negara lain di sebelah Baratnya, KARENA (kriteria baru ) posisi Indonesia yang termasuk wilayah paling Timur. Jadi BUKAN karena suatu KEPASTIAN, karena pada saat bulan berada di bawah ufuk, maka WH akan mengatakan belum masuk bulan baru, walaupun di negara bagian barat telah terlihat hilal, artinya kriteria tetap tetapi hasilnya berbeda.

      HIPOTESA WH DI INDONESIA

      (1) Saya SETUJU dengan Pak Ivan. Semua data hasil perhitungan astronomi akan menghasilkan hasil yang sama. HANYA penafsiran dari hasil tersebut dapat berbeda tergantung kriteria yang digunakan. Kriteria WH dan IR sepakat bahwa bulan yang masih di bawah ufuk (elevasi 2 sudah dapat terlihat hilal. Masalahnya adalah WH menggunakan batas minimum elevasi > 0 sedangkan IR pada elevasi > 2, jadi ada perbedaan penafsiran terhadap keberadaan bulan pada elevasi antara 0-2 derajat, apakah hilal sudah TERLIHAT atau belum. Pertanyaan saya, apakah REALISTIK, kalau bulan baru muncul pada titik tertingginya saja (yang berarti sudah di atas ufuk) maka hilal sudah terlihat, padahal hilal adalah sebagian pantulan sinar matahari pada wilayah bulan secara utuh (bukan ujungnya saja)?

      (2) Pak Ivan, yang Bapak maksud magnitudo ini apakah absolute magnitudo atau apparent magnitudo (dalam stellarium mungkin ditulis hanya magnitudo saja)? Dugaan saya, dengan perhitungan stellarium, pada saat konjungsi (new moon) maka absolute magnitudonya tidak ada karena bulan TIDAK memancarkan cahaya. Sedangkan nilai apparent magnitudo yg -1.70 itu dikarenakan bulan 100% menerima cahaya matahari tanpa satupun dipantulkan ke bumi, maka langit di belakang bulan akan memiliki kecerahan yang tinggi, contohnya seperti efek benda yang disinari dari belakang benda tersebut, benda akan tampak berwarna hitam (karena tidak ada cahaya yang dipantulkan ke mata), tetapi daerah di sekeliling benda tersebut akan terang. Kecerahan (brightness) disini BERBEDA dengan cahaya matahari yang dipantulkan oleh permukaan bulan ke bumi. Mohon koreksinya dari Pak Ivan.

      Demikian, mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya. terima kasih.

      Wallahu’alam…

    • RALAT:

      HIPOTESA WH DI INDONESIA

      (1) … Kriteria WH dan IR sepakat bahwa bulan yang masih di bawah ufuk (elevasi 2 sudah dapat terlihat hilal. …

      Seharusnya:
      (1) … Kriteria WH dan IR sepakat bahwa bulan yang masih di bawah ufuk (elevasi 2 sudah dapat terlihat hilal. …

  41. @Agus: Harus diperjelas, apakah definisi elongasi itu:
    1. Jarak dari titik pusat matahari ke titik pusat rembulan; atau
    2. Jarak dari lingkaran matahari ke lingkaran rembulan.
    Jika mengikuti definisi nomor 1, maka betul bahwa gerhana matahari total terjadi pada saat elongasi = nol derajat. Ilustrasinya adalah dua lingkaran rembulan dan matahari berimpit dengan satu titik pusat lingkaran.
    Akan tetapi kalau elongasi mengikuti definisi nomor 2, maka yang dimaksud dengan elongasi = nol derajat adalah ketika dua buah lingkaran rembulan dan matahari berjajar berimpitan dengan dua titik pusat lingkaran sendiri sendiri.

  42. Pak Agus……
    Sebenarnya saya setuju dengan pendapat anda berikut :

    “Kalau saya diperbolehkan untuk mengubah definisi wujudul hilal, saya mungkin akan condong terhadap pendefinisian “bulan di atas ufuk” dalam konsep wujudul hilal sebagai piringan bawah bulan di atas ufuk, bukan piringan atas bulan seperti yang menjadi pedoman hisab Muhammadiyah. Dengan ini, wujudul hilal tidak hanya “jalan tengah” antara awal bulan secara astronomi dan syari’at, tetapi juga berdasar kriteria hilal yang sudah “wujud sempurna” (dalam arti: tidak ada bagian hilal yang terpotong karena tertutup di bawah ufuk), meskipun sinar hilal mungkin sangat sukar (baca: tidak mungkin) dilihat dari permukaan bumi. Ini juga akan menghilangkan keberatan tentang ketidakmungkinan hilal terjadi selama gerhana matahari bersamaan waktunnya dengan terbenammnya matahari.”

    Tapi kita juga harus konsisten dengan definisi “matahari terbit”. Pertanyaannya, apakah matahari terbit itu dihitung dari “mulainya piringan atas matahari menyembul di atas ufuk” atau “seluruh piringan matahari berada di atas ufuk”??? Konsistensi ini menurut saya penting agar kita tidak mendefinisikan sesuai selera, misalnya untuk matahari kita mendefinisikan secara minimal sedang untuk bulan kita mendefinisikan maksimal. Ini tidak fair menurut saya. Nah, sekarang kita tinggal sepakati saja definisi itu, mau pakai yang mana.

  43. […] Menguak Isyarat Lengkap dalam Al-Quran tentang Penentuan Awal Ramadhan, Syawal, dan DzulhijjahWujudul Hilal Tidak Ada Dasar Pembenaran EmpiriknyaHaruskah Shaum Arafah Sama Harinya dengan Wukuf?Program Konversi Kalender Masehi-Hijriyah1. T. […]

Tinggalkan komentar